Pena Hitam

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Horor (Hantu)
Lolos moderasi pada: 19 August 2016

Ayam jago baru saja berkokok tanda matahari akan segera naik. Udara dingin masuk menusuk tulang sehingga bulu kuduk siapapun pasti meremang. Tetesan air masih saja turun seakan tahu apa yang saat ini Indira rasakan.
Ia terus membayangkan kejadian tadi pagi. Dia mungkin kurang beruntung, disaat teman-temannya yang mungkin saat ini sedang sarapan bersama keluarga, ia malah tidak pernah merasakan sarapan bersama sejak Ayahnya meninggal 2 tahun lalu, hanya diurus oleh ibu yang sibuk berkarir layaknya tak memiliki anak. Pikirannya masih terfokus atas kejadian tadi pagi. Tangannya terulur mengusap pipinya. Terasa perih. Tapi tak sebanding dengan sakit yang ada di hatinya. Ibu yang selama ini disayanginya tega menamparnya hanya karena masalah sepele, menumpahkan susu di baju kerjanya, tak sengaja. Dan seperti biasa, keadaan ini selalu sama, seakan tak pernah ada perubahan dari hari ke hari.

Indira meletakkan tasnya dan langsung duduk di kursi pojok kelas itu. Padahal bisa saja ia memilih kursi depan karena pagi itu belum ada siapapun di kelas. Ia mengambil earphone dan mendengarkan musik siapa saja secara acak. Ia termenung, meratapi hidupnya. Tidak ada tempatnya bercurah hati, dirinya korban bullying, anak bodoh, kesepian dan sendiri. Ia lelah dan muak, seandainya ia gadis pintar tentu tidak akan seperti ini, ia menangis, tak lama ia pun terlelap dengan earphone bersandar di telinganya.

Tubuhnya terasa digoyang-goyangkan, Indira seketika membuka mata dan melihat seorang gadis berambut ikal yang telah duduk di sampingnya. Tasya, teman sebangkunya kaget melihat mata bengkak Indira. “kamu gak papa ra? mata kamu bengkak gitu” cemas Tasya. “gak papa sya” tukas Indira. Ya selalu begitu, tertutup, sekeras apapun Tasya menanyakan keadaannya, jawabannya selalu sama “gak papa”. Tasya pun tak mau begitu “kepo” dengan masalah yang dialami temannya. Ia tahu jika sedang seperti ini, Indira ingin sendiri.

Bel pun berbunyi tanda pelajaran akan dimulai. Bu Siti selaku guru pelajaran sejarah pun masuk. Kondisi belajar-mengajar pun berjalan lancar hingga bu Siti berkata “ini hasil ulangan kemarin. Tolong dibagikan” seraya meninggalkan kelas. Kelas pun ricuh, “woy pada dapet berapa?” “eh punya gua mana nih!” dan masih banyak lagi. Indira pun mendapat kertasnya dan hasilnya seperti kursi terbalik. Ia mendapat nilai empat. Padahal ia sudah bekerja keras belajar hingga larut. “masa dapet segini doang” ujar Indira. “gak papa ra yang penting udah usaha” hibur Tasya. “wihh pinter banget lo bisa dapet empat hahaha” sindir Alana, ketua genk di sekolahnya yang selalu membully Indira. Indira pun mendapat cemooh dari teman-teman Alana. Tak tahan ia pun langsung pergi ke perpustakaan. Tasya pun diam, ia kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Jika sudah begini percuma ia mengejar Indira, Tasya tahu saat ini pasti Indira tidak ingin ditemani. Tasya pun membiarkan Indira pergi seorang diri.

Ia memilih tempat duduk di dekat rak buku bekas, karena hanya disini tempat duduk yang tidak terlalu kelihatan. Ia pun segera mengambil asal buku dan memasang earphone. Ia pun terlelap entah sampai kapan jika tidak dibangunkan oleh petugas perpustakaan. “kamu kalau mau tidur di rumah jangan disini nak. Disini kan tempat membaca bukan tempat untuk tidur” tegur bu Qonita. “eh iya maaf bu maaf” ujar Indira. bu Qonita pun pergi melanjutkan tugasnya Indira pun segera bangun dan ingin menaruh buku yang tadi ia ambil ke tempat semula. Tapi sepertinya ada sesuatu di dalam buku yang tadi ia ambil. Penasaran, Indira pun mengambil benda itu. Sebuah pena. “ini pena siapa ya? kayak udah lama tapi masih bagus, aku pake aja kali ya” tanya Indira pada dirinya sendiri.

Bel berbunyi tiga kali tanda pelajaran sudah selesai hari ini. Indira pun pulang bersama Tasya di sampingnya. Rumah mereka memang tak berjauhan. Hanya berbada beberapa blok Indira pun memberitahu Tasya soal penemuannya tadi. “kamu nyari apa sih ra?” tanya Tasya yang melihat Indira yang sedari tadi merogoh tasnya. “itu loh sya, tadi aku nemu pena di perpus. Masih bagus. Ya udah aku ambil aja” ujar Indira seraya merogoh tasnya. “kenapa diambil? kan bukan punya kamu” tegur Tasya. “ya emang kenapa, salah yang punya, kenapa naro sembarangan. Nah ini ketemu” ucap Indira sedikit sombong. Tasya merasa ada yang aneh dengan Indira tapi ia merasa hanya kebetulan saja. “cakep ya walaupun kuno-kuno gitu. Tapi keren” puji Tasya. “apa aku bilang. Bagus kan? besok-besok aku mau pake ini ah buat nulis” ujar Indira seraya mengibaskan rambutnya. Indira pun terus menatap pena itu hingga. Bruk!. Ia terjatuh ke sebuah selokan. “ya ampun kamu gak papa ra? sini ulurin tangan kamu” cemas Tasya. “aduuhh! Dengkulku sakit sya” keluh Indira. “ya udah ayo ke rumahku dulu, kita bersihin lukanya, di rumahku ada kotak p3k” saran Tasya. “gak usah deh, aku pulang aja. Di rumah juga ada obat-obatan kok” ujar Indira dengan angkuhnya. “ya udah hati-hati ya jangan ngelamun nanti jatuh lagi” ucap Tasya. “iya iyaa. Bawel deh” balas Indira. Mereka pun berpisah di pertigaan jalan itu.

Hari ini Indira sengaja datang lebih pagi. Ia mendongakkan kepala dan terlihat jam dinding masih berada dipukul 05.35. Waktu yang cukup untuk belajar kembali palajaran biologi. Ya! Indira memang sengaja datang pagi karena akan ada ulangan biologi, pelajaran pertama hari ini. Ia pun mulai belajar. 5 menit, 10 menit, 20 menit, tidak ada yang masuk ke kepalanya. Ia panik ditambah Bu Susi sudah masuk dan menyuruh anak-anak besiap-siap. Ia hanya bisa pasrah. Kertas ulangan pun sudah dibagikan. Lantas ia mengeluarkan pena yang kemarin ia temukan dan mulai mengerjakan ulangan biologi. Entah mengapa Indira merasa bisa menjawab soal-soal itu bahkan soal tersebut mudah sekali baginya.

“sya masa tadi soalnya keisi semua loh, aku gak nyangka aku pinter juga” sombong Indira. “alhamdulillah sya” puji Tasya. Tak butuh waktu lama untuk bu susi mengoreksi ulangan tadi. Kertas pun dibagikan kembali. “kamu dapet berapa sya?” tanya Indira. “aku dapet 6,4 ra” ucap Tasya sedih. “hahhaa terima aja sya. Liat nih aku dapet 9,6. Hampir sempurna” ucap Indira angkuh. “wahh hebat kamu ra, alhamdulillah yaa” puji Tasya walaupun sedikit kesal dengan sikap angkuh Indira. “wahh gila bisa juga lu dapet segitu” “nyontek dimana lu” “wah gua mesti les sama Indira nih” “lah bocah ingusan kayak lo bisa juga dapet nilai hampir sempurna” sindir Alena. Tak disangka-sangka Indira pun membalas ucapan Alena “bisa lah. Emang lo doang mbak” balas Indira seraya mengibaskan rambutnya dan berjalan ke luar kelas. Sontak kelas seketika diam. Ada apa ini hingga Indira berani melawan perkataan Alena.

Malam ini Indira tidur gelisah. Sudah jam 11 tetapi matanya belum bisa terlelap. Sudah ratusan kali ia ganti posisi. Ke kanan. Ke kiri. Miring. Telungkup. Terbaring dan sebagainya. Pikirannya sedang tertuju kepada benda yang sedang ia genggam sedari tadi. Ya, pena hitam itu. Entah kenapa semenjak ia memakai pena itu hasil ulangannya pun membaik. Ia teringat beberapa ulangan yang tiba-tiba hampir mendapat nilai sempurna. Tak lama ia pun terjun ke dunia mimpi.
Disana, tepat di ujung jalan itu berdiri seorang gadis dengan memegang tas serta buku-buku, rambutnya panjang bak model. Pakaiannya rapi, tetapi bukan itu yang mengejutkan Indira. Gadis itu memegang pena yang ia temukan di perpus. “Tidak! Tak boleh. Pena itu miliikku. Aku harus mengambilnya!” teriak Indira seraya mengejar gadis itu. Dengan kasar ia membalikkan tubuh gadis itu. Deg!. Indira kaget bukan kepalang. Gadis itu. Leher gadis itu. Astaga. Leher gadis itu bolong dengan ukuran sebesar pena hitam itu. Gadis itu mencengkeram pundaknya “kau selanjutnya. Hahahahaha” bisik gadis itu tepat di telinga Indira. “aaaaa tidak. Apa maksudmu!” teriak Indira seraya memberontak dari gadis itu. Tangannya memukul gadis itu. “aaa pergi kau. Aaa tolongg!! Tolongg!!” teriak Indira. Bug! Indira jatuh dari tempat tidurnya. Wajahnya pucat, peluh membasahi bajunya. Ia memegang telinga serta pundaknya, rasanya mimpi tadi benar-benar nyata. Ia terjaga hingga matahari menampakkan dirinya.

Minggu ini adalah pekan ujian. Hampir seluruh siswa pontang-panting belajar karena sehari bisa 2-3 pelajaran yang diujikan. Tetapi beda halnya dengan Indira. Gadis itu terlihat biasa saja. Ia bahkan hanya membolak-balikkan buku yang sedari tadi ia pegang. Tak lama ujian pun dimulai. Seperti biasa, Indira mengerjakan soal tersebut dengan sangat mudah. Dan tentu saja mendapat nilai yang sangat memuaskan. Setelah sebulan berlalu, Tasya pun merasa ada yang salah. Sejak Indira memakai pena itu, ia berubah. Indira menjadi anak yang sombong, dan yang aneh ia selalu mendapat nilai hampir sempurna, dan bahkan Indira memperlakukan Tasya seperti babunya. Bersamaan dengan hal itu, Tasya pindah sekolah. Bukan! bukan karena sikap Indira melainkan pekerjaan orangtuanya yang mengharuskan ia pindah ke Surabaya. Tak seperti orang lain yang sedih bila teman dekatnya pindah sekolah, Indira justru bersikap acuh tak acuh. “Ya udah sana pergi. Jangan lebay deh peluk-pelukan gini” ucap Indira melepaskan pelukan Tasya dan pergi meninggalkan Tasya yang ingin pamitan. Tasya pun kesal dan pergi dengan hati yang kecewa dan marah.

ADVERTISEMENT

Setelah kepergian Tasya, Indira pun merasa sendiri. Bangku di sebelahnya kosong. Mungkin akan terus kosong hingga ada murid baru yang masuk. Ia bingung kenapa tadi sikapnya tak acuh seperti itu. Padahal Tasya adalah temannya yang sangat pengertian. Ia menyesal. Ia marah terhadap dirinya sendiri. Ia menatap bangku temannya itu, entah mengapa ia teringat mimpinya tadi malam, gadis itu. Kenapa gadis itu berbicara ia selanjutnya. Ia mengeluarkan pena itu. Ia meletakkan pena itu di hadapannya dan tiba-tiba.. Brak! Alana.. ia jatuh tersungkur.. darah segar keluar dari dahi gadis yang suka membully Indira itu. Astaga ia tertimpa proyektor kelas. “woy panggil Pak Hendro cepet!” teriak Andara, ketua kelas 12 MIA 1. “udah bawa aja dulu ke uks” teriak salah satu murid. “itu teken dulu palanya biar darahnya gak keluar banyak” dan banyak lagi. Semuanya panik. Tak terkecuali Indira. Ia tercengang. Baru saja ia meletakkan penanya dan tiba-tiba Alana tertimpa proyektor itu padahal tak ada angin tak ada hujan. Kenapa ini bisa terjadi? batin Indira. Ia ketakutan. Entah mengapa ia hanya merasa diteror.

Setelah kejadian itu, Indira ketakutan. Ditambah ia bingung harus ke siapa ia bercurah hati. Jalan pulang yang biasa ia lalui bersama Tasya terasa jauh sekali. Tiba-tiba terbesit ide di pikiran Indira. “aku bakal buktiin kalo tadi cuman kebetulan. Gak mungkin pena bisa bikin orang celaka hanya dengan mengeluarkannya kan?” tamya Indira pada diri sendiri. Ia merogoh tempat pensilnya, mengeluarkan pena itu. Baru saja ia mau mengeluarkan, seorang pengendara motor melaju ke arahnya dan brak! Indira tertabrak motor itu. “aduhhh” keluh Indira. Untung saja ia hanya tersenggol dan jatuh ke rerumputan di pinggir jalan sehingga lukanya tidak terlalu parah. “aduh neng maapin bapak. Bapak gak ngeliat ada eneng lagi jalan atuh. Maapin bapak yaa” sesal pengendara motor itu. “liat-liat dong pak kalo jalan. Untung gak parah ini” bentak Indira. Indira pun memaafkan pengendara itu dan menyuruhnya segera pergi padahal pengendara itu memintanya pergi ke rumah sakit untuk diobati dan ia akan menanggung biayanya. Tapi hal itu ditolak Indira. Ada hal penting yang ia pikirkan. Pena itu. Ternyata ini bukan kebetulan. Sesaat ia mengeluarkan pena, ia tertabrak pengendara motor itu. Aneh. Ada yang tak beres, batin Indira

Indira, gadis itu penasaran ada apa sebenarnya. Ia pergi keperpustakaan keesokan harinya dan mengambil buku yang kemarin tempat dia menemukan penanya. Tangannya terus mencari tetapi nihil. Buku itu tak ada. Ia ingat betul buku itu ia taruh di pojok rak buku paling bawah, dan rasanya tak mungkin seseorang meminjamnya karena buku itu sangat usang bahkan tulisannya pun kabur. Ia terduduk. Ia ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengeluarkan penanya dari sakunya. Ditaruhnya pena itu disalah satu buku yang ada. Ia merasa takut. Ada yang aneh setiap ia mengeluarkan pena itu. Saat ia jatuh di selokan yang mengakibatkan bengkak di kakinya, Alana yang kejatuhan proyektor, ia yang tertabrak motor dan sederetan hal tak biasa yang terjadi. Ya! semua itu terjadi ketika ia mengeluarkan pena itu. Indira pun meletakkan buku itu di bawah rak. Ketika ia berbalik.. Deg! Gadis itu.. gadis leher bolong itu ada di depan matanya. Dan seketika ruangan menjadi gelap.

“Nak bangun nak.. Ya allah” ucap Bu Riri, Penjaga UKS. Indira terbangun dan merasa nyeri di kepalanya. “aww” keluh Indira seraya memegangi kepalanya. “saya kenapa ya bu?” tanya Indira. “tadi kamu pingsan nak di perpustakaan terus dibawa kesini sama Pak Angga” jelas Bu Riri. Sontak Indira kaget, seingatnya ia tengah menaruh buku dan.. astaga ia ingat. Gadis itu, gadis itu yang membuatnya pingsan. Seketika wajahnya pucat pasi. Indira langsung lari menuju kamar mandi. Teriakan Bu Riri tak dihiraukannya. Ia terus berlari. Ia hanya ingin sendiri. Sampai di kamar mandi, ia segera membasuh mukanya, menatap wajahnya di kaca besar itu. Air mata turun ke pipinya, ia menangis. “siapa kau! kenapa kau menerorku! apa salahku!!!” teriak Indira. Ia frustasi, tak sengaja ia meninju kaca besar itu dan prang! Kaca itu terpecah belah, darah segar keluar dari tangannya. Dari kaca itu ia bisa melihat. Pena itu. Pena itu ada di saku bajunya. Padahal tadi ia sudah menaruhnya. “dasar kau pena sialan!” teriak Indira sambil mengambil pena itu dan melemparnya ke kaca dan tiba-tiba gadis itu muncul dengan kondisi yang sangat mengerikan. Baju yang kumuh, leher yang mengeluarkan darah serta bau busuk yang sangat menusuk indera penciuman. “kau makhluk sialan. Akan kupatahkan pena ini” teriak Indira seraya mematahkan pena itu dan melemparnya. Ia segera berlari. Dengan penampilan yang acak-acakan ia pergi ke perpustakaan. Ke tempat dimana ia menemukan pena. Mengambil buku yang baru saja ia taruh bersama penanya. Membukanya dan “astaga” kaget Indira. Pena itu masih bertengger disana. Bagus seperti pertama ia menemukannya. Indira frustasi. “apa yang kau inginkan sialaannn!!” teriak Indira frustasi. Gadis itu tertawa bahkan siapapun yang mendengarnya pasti merinding. Tapi anehnya tak ada yang mendengarnya. “aku menginginkan jiwamu hihihihi” ucap suara itu. Indira muak. Segera ia mengambil pena itu dan.. Tap! Pena itu sudah tertancap di leher gadis berusia 17 tahun itu. Darah mengucur dengan derasnya mengenai seragamnya, bahkan mengenai meja serta beberapa buku. Di tengah detik-detik kematiannya, Indira Aulia Syahnaz, gadis itu tertawa layaknya gadis itu.

2 bulan kemudian..
“eh duduk disitu aja yuk la” ucap Difani, siswi baru SMA 31. “pas banget lo cari tempat duduk yang gak keliatan gini” ujar Lala. “iyalah. Kalo kita ketauan tidur di perpustakaan ribet urusannya. Gua tadi malem nonton ampe jam 2 gila. Ngantuk parah nih” ucap Difani seraya mengambil asal buku di rak bawah itu. “eh bentar-bentar” ucap Lala. “paan sih! gua mau tidur nih” kesal Difani. “Itu apaan fan? yang di dalem buku yang lu ambil?” tanya Lala. “ada apaan emang?” tanya Difani seraya membuka buku itu. “wih bagus banget nih penanya. Gua bawa pulang ah” ujar Difani setelah menemukan sebuah pena kuno di dalam buku bekas yang dia ambil di rak pojok paling bawah itu.

Cerpen Karangan: Medina
Blog: Medinaaulsav
Just a girl who can’t stop eating.hahaa

Cerpen Pena Hitam merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Ghost of School

Oleh:
Bel tanda istirahat telah usai berbunyi, Citra, Syfa dan Desi segera berlari ke kelas untuk tidak telat mengikuti pelajaran. “huffthh… Kalian ini, selalu deh pergi ke kantin lamaaaa bangeeett..”

Rumah Sakit Belanda Yang Menyeramkan

Oleh:
Romi menggigit-gigit jarinya. Ia berbolak-balik menelusuri koridor rumah sakit. Krek.. Sebuah suara mengagetkan Romi, “A.. a.. apa.. ii.. tt.. itu.. ” Ucapnya bergetar sambil ketakutan. Krek… krek… krek… sebuah

Antara Kita

Oleh:
“kringg…kringg” jam wekerku berbunyi, aku mulai mengangkat tubuhku yang terbaring menjadi duduk. “mimpi apa ya aku semalem?” gumam ku. Seketika suasana mnjadi sepi ktika ku ingat mimpiku malam tadi.

Hana, Gadis Misterius di Mimpiku

Oleh:
Aku menyusuri taman yang di penuhi bunga yang bermekaran. Disaat aku asyik berjalan, aku nelihat seorang gadis dengan gaun merah mudanya, dengan rambut sampai pinggang yang ia biarkan tergerai.

Wangi Bunga Cempaka (Part 2)

Oleh:
Kejadian itu, aku catat dalam buku harianku. Terjadi pada malam Selasa Kliwon, didahului dengan suara burung hantu, ayam berkokok dan lolongan anjing dan aroma wangi bunga cempaka serta hawa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *