Permainan Termasuk Budaya Lho (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Budaya, Cerpen Inspiratif, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 24 January 2017

Kami bermain hingga arlojiku menunjukkan pukul 11 siang. Ingin saja kami ingin berjalan untuk pulang, tiba-tiba kami mendengar bunyi irama yang amat cepat. Aku tak mengerti dari mana bunyi itu dihasilkan. Tapi, ketika aku menoleh dan melihatnya ternyata ada beberapa bapak-bapak yang sedang memainkan barongan.
Barongan. Kupikir tak ada lagi orang yang mau memainkan benda itu. Tapi, bapak-bapak ini, mereka memainkannya. Mereka melakukannya di pojok lapangan yang tadi kami pakai untuk bermain. Aku sedikit penasaran.
Aku menarik tangan Alvin dan berlari menuju kerumunan bapak-bapak tadi.

“Vira, ngapain sih ke sana segala?” ucap Alvin dengan sesekali mencoba untuk melepaskan dirinya.
“Aku kan penasaran.”

Kami pun sampai di kerumunan tersebut. Seketika bapak-bapak tadi melihati kami berdua. Wajahnya terlihat ramah.
“Kalian sedang apa di sini nak?” tanya salah seorangnya.
“Saya penasaran dengan bapak, kalau tidak salah ini barongan ya?” ucapku.
“Begitulah, kami ingin latihan untuk besok.” Jawab bapak tadi ramah.
“Apa bapak selalu bermain ini, maksudku tidak pernah bosan?”
“Tidak, kami sebagai bangsa Indonesia harus tetap melestarikan kebudayaan kita. Kalian sebagai anak muda juga harus melestarikan budaya.”
“kalian bisa melestarikannya tidak harus dengan melakukan latihan khusus. Kalian bermain seperti petak umpet saja sudah termasuk melestarikan budaya.”
Aku agak tertegun dengan apa yang barusan bapak tadi ucapkan. Apa benar yang beliau katakan tadi?. Hanya dengan bermain seperti itu sudah termasuk melestarikan budaya?.
“Kenapa bisa pak?” tanya Alvin.
Kupikir tadi Alvin hanya bengong tak mendengarkan apa kami bicarakan. Oh, ternyata ia mendengarkan dan malah mengajukan pertanyaan yang hampir saja ingin aku tanyakan. Keren deh.
“Kamu tahu kan, kalau permainan seperti petak umpet sendiri itu adalah permainan asli dari Indonesia?. Permainan itu adalah pengaruh dari agama Hindu-Buddha pada masa nenek moyang kita. Jadi bukankah wajib kalau kita harus melestarikannya?”
Aku mengangguk tanda jelas. Sepertinya Alvin pun juga sama mengertinya. Jadi, memang benar yang dikatakan mama waktu itu. Kami tidak boleh melupakan permainan berharga itu. Hm, sepertinya sekarang aku sudah mengerti.
“Begitu ya pak, kalau begitu terima kasih atas informasinya. Kami pamit pulang dulu.” Ucapku dengan sopan.
Kembali kutarik tangan Alvin untuk segera pulang. Jika jam sudah menunjukkan pukul 12 aku belum ada di rumah. Bisa-bisa mama akan marah besar padaku. Dan aku masih punya tugas yang belum kukerjakan.

Aku kembali ke rumah. Menghempaskan diriku ke kasur empukku di kamarku. Memikirkan besok hari apa. Hari Rabu. Akh, mengesalkan sekali. Tugasku menumpuk di mana-mana. Tugas menggambarku pun belum selesai. Apalagi bahasa Indonesia, membuat cerpen.
Pusing kepalaku jika memikirkannya. Mengapa aku harus menerima cobaan berat seperti ini?. Bukankah tugas ini bisa diberikan pada orang lain yang lebih jago dariku?. Lagian tulisanku dan gambaranku pun belum bisa dianggap baik jika dibandingkan dengan lain. Ingin saja aku berteriak saat ini.
Namun, entah mengapa tiba-tiba kepalaku jadi pusing. Sangat pusing. Beberapa menit setelah aku merasakan pusingnya kepalaku aku tertidur. Bermimpi.

Aku berada di sebuah taman depan rumahku. Aku tengah terduduk sambil membaca buku kesukaanku juga ditemani musik indah yang dilontarkan oleh mulut penyanyi vocaloid terkenal, KAITO.
Aku tersenyum dan terus-terusan membaca tanpa memperhatikan sekitar. Tanpa kusadari ada seorang laki-laki yang sedang duduk di sampingku. Ia cukup tinggi. Walaupun kulitnya agak hitam tapi wajahnya manis.
Aku menoleh ke arahnya. Mencoba menyapanya tapi, ialah yang menyapaku duluan.
“Halo, Vira.” Ucapnya.
Sekejap aku merasa aneh. Mengapa ia bisa tahu namaku?. Bukankah kita baru pertama kali bertemu. Jika kuperhatikan dengan seksama pun aku baru pertama kali melihatnya. Tak ada secuil dirinya berada di ingatanku selama ini.
“Halo, bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanyaku dengan nada bingung.
Kembali ia tersenyum sambil menatapku. Aku pun mulai menutup bukuku dan mem-pause musik yang saat ini kudengarkan.
“Aku ini Rizki kakakmu. Sudahlah tak usah kau perdulikan aku.” Senyum.
Kakak?. Sejak kapan?. Aku tahu ini mimpi, tapi ini benar-benar terasa kenyataan dalam mimpi. Aku tak menyangka. Apakah ini adalah kakakku yang selama ini?. Akh, sebaiknya aku tak terlalu memikirkannya.
“Kenapa bisa ada di sini?” tanyaku kembali.
“Hm, aku ingin melihat perkembanganmu selama ini. Kau tumbuh, hanya saja tak sepertiku. Haha.” Ia tertawa.
“Huh, dasar!”
“Menurutku kau tak perlu memaksakan diri untuk semua tugasmu. Lakukanlah sesuai keinginanmu. Jika kau tak ingin mundur saja, daripada membuat gurumu merasa kecewa.” kupikir sarannya cukup bermanfaat.
“Aku mengerti. Tak usah kau sarankan aku seperti itu.” Ucapku berusaha untuk tak menangis.
“Satu lagi, tinggalkan smartphone mengganggumu itu. Matamu bisa sakit dan kau tak cukup bergerak. Sesekali lupakan benda itu dan mulailah bermain secara fisik. Kau juga tahu kalau tubuhmu itu tidak kuat berlari.”
Begitulah ia terus memberiku saran. Ia terus saja tersenyum dan tak pernah pudar senyumnya itu. Aku senang jika melihatnya apalagi jika bersamanya. Andai saja selalu seperti ini.
Tanpa kusadari air mataku menetes dan terus menatapnya. Ia balik menatapku dan akhirnya ia memelukku.

Aku mulai terbangun dan duduk sejenak. Apa yang kuimpikan barusan, sangat indah. Aku tersenyum dan segera aku melihat jam di HP’ku. Wow, tak terasa sudah jam 4 sore. Kubergegas untuk mandi dan makan.
Hm, jika kuingat-ingat perkataan orang dalam mimpiku tersebut ada benarnya. Badanku lemah dan mataku akhir-akhir ini juga agak gimana. Sebaiknya kuikuti sarannya tadi.

Malam pun telah tiba dan sudah waktunya untuk diriku segera ke kamar untuk mengerjakan tugas menumpukku. Namun, hampir saja aku ingin melangkah masuk kamarku, terdengar suara ketukan pintu. Sesegera mungkin aku membukakannya. Ternyata itu adalah Dewi, adik Alvin yang masih duduk di kelas 5 SD.

“Oh Dewi, masuklah.” Ucapku padanya.
Ia mulai berjalan masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
“Maaf mengganggumu, kakak ingin agar aku memberikan ini padamu.” Ia menyerahkan barang yang amat aku inginkan, figure KAITO terbatas!.
“Apa maksudnya?” tanyaku agak kebingungan.
“Kakak katanya sangat senang.” Jawab singkat Dewi padaku. Aku tersenyum.
Aku pun melesat menuju kamarku dan mengambil figure Miku milikku. Kuberikan benda tersebut pada Dewi.
“Aku akan menerimanya. Jadi berikan benda ini pada Alvin, bilang saja jika aku juga senang. Terima kasih.”

Sejak saat itulah. Aku mulai mengurangi bermain smartphone dan mulai mencintai budaya negeri sendiri. Dan mungkin aku juga akan mengurangi kecintaanku terhadap Jepang dan sebaiknya aku memulainya dengan menyukai budaya negara sendiri dibandingkan negara orang lain.

Yang harus kuingat adalah ‘permainan Indonesia juga termasuk budaya’. Permainan fisik yang dibuat oleh nenek moyang secara turun temurun adalah budaya kita sebagai bangsa Indonesia. Dan jika kita tak mampu melestarikan budaya seperti tari-tarian, cukup dengan melestarikan budaya permainan yang kita miliki.

ADVERTISEMENT

Cerpen Karangan: Takama Widji
Facebook: Wiji Alvivira Anggita Dewi

Cerpen Permainan Termasuk Budaya Lho (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Datanglah Sahabat

Oleh:
Saat aku melangkah menuju kelas baru yang akan kutempati, tiba-tiba seorang anak perempuan memanggilku dengan teriakan yang cukup keras, dia temanku waktu di SD. “Raisha…!” panggil Binar. “Apaan sih

Ia Yang Memutuskan, Ia Yang Menderita

Oleh:
Sudah 2 tahun Dika dan salwa berpisah. Sudah 2 tahun juga Dika menahan rindu yang membabi-buta. Walaupun Dika-lah yang memutuskan hubungan mereka berdua, tapi bukan tanpa alasan. Dika memutuskan

Kisah Cinta Masa SMP

Oleh:
Nama gue Laura Oktaviani. Yah, bisa dipanggil Laura. Gue sekolah di salah satu smp negeri di Jawa timur, tepatnya di Kab. Ponorogo, Kec. Ngrayun. Gue cantik, pinter, juga jago

Puisi

Oleh:
Lontaran panah cintaku Melesat padamu Kasih Akankah kau buka gerbang Atau kau biarkan tertutup Aku menulis puisi, empat baris. Sebelumnya telah berbaris-baris puisi kukarang pada lembaran-lembaran. Aku menulisnya kadang

Just Give Me A Reason

Oleh:
Teringat masa SMP. Masa dimana aku tak pernah punya sahabat. Teman memang banyak, namun tak ada satupun dari mereka yang bisa disebut sahabat. Aku kadang penasaran bagaimana rasanya mempunyai

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *