12 Jam Yang Penuh Makna

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 23 December 2015

Setelah salat duha, aku pergi ke meja makan untuk sarapan. Seperti biasa Papa dan Mama sudah lebih dulu berangkat ke kantor. Papaku seorang Dirut di salah satu perusahaan swasta ternama di Indonesia dan Mama punya bisnis butik busana muslimah yang sangat terkenal di kotaku sejak 7 tahun belakangan ini. Rumah selalu sepi. Hanya tinggal aku, Bik Ida dan Mang Jaja. Dan jika aku ke kampus, tinggal Bik Ida dan Mang Jaja saja di rumah. Aku hanya anak tunggal. Tidak ada Kakak apalagi Adik. Sepi memang. Tapi aku berusaha untuk dapat menikmatinya walau kadang tak munafik, rasa kesepian itu selalu hadir.

Well, ku lihat jam di tanganku telah menunjukkan pukul 8 kurang 10 menit. Cepat-cepat ku habiskan makanannya. Lalu langsung saja aku ambil tas, dan pergi.
“Bik Ida… Tutup pintunya. Aku pergi ke kampus dulu. Assalamualaikum…” Teriakku memanggil Bik Ida sambil memasang sepatu.
“Waalaikumussalam Den Fajar…” Terdengar samar-samar Bik Ida menjawab salamku.

Sengaja hari ini aku tidak mengendarai si ninja -motor- ku untuk berangkat ke kampus. Ya lagi pengen saja. Aku berjalan ke depan lorong untuk mendapatkan angkot. Ku lihat di lorong jalanan itu penuh dengan adik-adik kecil yang sedang asyik bermain. Ibu-Ibu yang membersihkan halaman rumahnya. Sesekali mereka menoleh ke arahku. Dan aku pun tersenyum sambil mengucapkan salam. Aku merasakan hal yang sangat beda. Aku tak pernah merasakan tenang setenangnya seperti pagi ini.

Akhirnya aku sampai juga di depan lorong jalan rumahku. Aku berdiri di pinggir jalan, dengan beberapa orang, sambil menunggu angkot datang. Tak lama kemudian. “Braaakkk!!” Ku dengar suara itu melintas di gendang telingaku, sepertinya ada peristiwa kecelakaan. Sontak saja aku mencari sumber suara itu, lalu aku dan beberapa orang yang ada di sekitar jalan itu pun langsung mendekat ke TKP.

Sesampai di tempat itu ku lihat seorang anak kecil laki-laki sedang menangis dengan sesekali teriak, “Ayah… Ayah… Ayah….” Ternyata itu adalah anak dari pengemudi motor yang tertabrak truk besar itu. Anaknya memakai seragam sekolah dasar sekitar kelas 2. Aku dan bapak-bapak yang ada di sana langsung saja membawa bapak dan anaknya tadi ke rumah sakit untuk segera diobati lukanya. Dan sebagian bapak-bapak lagi akan mengurusi motor bapak tersebut dan sopir truk tadi serta membawanya ke kantor polisi untuk segera dimintai keterangan.

Saat di jalan anak laki-laki itu terus menangis. “Sabar dik. Ayahnya pasti akan sembuh… Cup jangan nangis lagi. Kita doain saja ya Ayahnya.” Aku menenangkannya, sembari menghapus air matanya. Akhirnya sampai juga kami di rumah sakit. Langsung saja ku panggil suster yang ada untuk membawakan ranjang dorong untuk pasien. Secepatnya suster itu pun melangkah ke arah kami. Hari sudah semakin siang. Tinggal aku dan anak laki-laki ini saja yang masih ada di rumah sakit. Bapak-bapak yang ikut mengantarkan tadi, mereka sudah ada kerjaan masing-masing. Kemudian tiba-tiba hp-ku berbunyi, ternyata Fahri yang meneleponku. Fahri adalah teman sekelasku dan sudah ku anggap juga sebagai sahabat, karena sudah sedari SMA kami berteman.

“Assalamualaikum jar”
“Waalaikumussalam…”
“Kamu di mana? Tumben jam segini belum sampe kampus. Dan pas mata kuliah Pak Guntur tadi kamu nggak masuk dan nggak ada kabar lagi. Kamu sakit?”
“Nggak kok ri, aku nggak sakit. Oya hari ini aku bolos kuliah dulu ya…”
“Loh ada apa? nggak biasanya kamu kayak gini.”
“Makanya kalau orang belum selesai ngomong itu jangan dipotong dulu” dengan sedikit nada tinggi.
“Hehe… iya iya maaf. Emang ada apa?”

“Nah gitu. Jangan dipotong pokoknya ya… Aku lagi di rumah sakit ri. Tadi saat aku lagi mau berangkat ke kampus. Ada tragedi kecelakaan, korbannya bapak dan seorang anak kecil. Bapaknya yang luka parah. Ini lagi ditangani oleh dokter. Aku sekarang lagi menunggu keluarganya tiba ke rumah sakit. Kasihan anaknya. Nangis terus dari tadi.”
“Innalillahi… Oh gitu. Baiklah jar nanti aku izinkan. Dan catatannya aku ku antarkan ke rumahmu nanti. Kalau kamu butuh bantuan aku, cepat hubungi aku ya.”
“Nggak usah diizinkan juga gak apa-apa ri. Heee. Sekali-sekali bolos… Oke siap bos. Terima kasih sebelumnya”
“Ah kamu ini… Ya. Sip. Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam…”

Tak lama kemudian sekitar pukul 10. 00 wib, ku lihat wanita parubaya berwajah cemas dan seorang anak laki-laki remaja, serta lelaki tua yang rambutnya sudah memutih namun masih kuat kelihatannya. Mereka berjalan mengarah ruang yang kami sedang tunggu. Saat adik kecil itu menoleh ke arah kanan, “Bunda… bunda” Pekiknya sambil menangis dan memeluk wanita parubaya tadi. Ternyata itu Ibunya dan istri dari bapak yang kecelakaan itu. Aku pun langsung berdiri dan mendekati mereka. Mereka sepertinya dari keluarga yang kurang mampu. Karena aku melihat dari Hp yang dipegang Ibunya dan dari pakaian mereka. Maaf bukan maksud aku untuk menilai orang dari penampilan.

Setelah berbincang-bincang ternyata benar dugaanku. Mereka memang berlatar belakang keluarga yang kurang mampu. Bapaknya adalah seorang tukang ojek biasa dan Ibunya adalah Ibu rumah tangga dan kadang-kadang membuka jasa untuk cuci baju, jika ada yang butuh. Anak laki-lakinya yang remaja baru masuk SMA. Dan lelaki tua itu adalah bapak dari Ibunya. “Haaaa…” Aku menghela napas panjang.

ADVERTISEMENT

Dan ku langkahkan kaki berjalan mengarah ruang administrasi. Ku tanya berapa biayanya kepada kasir. Ternyata lumayan besar. Saat ku lihat uang di dompetku hanya tinggal 300 ribu. Aku izin sebentar pergi ke ATM di dekat parkiran untuk menarik uang. Setelah ku tarik uang dari ATM aku langsung masuk lagi ke ruang administrasi. Ku bayar lunas biaya perawatannya. Lalu tanpa menemui mereka lagi aku langsung pergi.

Ku lihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11.45 wib. Tandanya beberapa menit lagi salat zuhur akan tiba. Ku cari masjid di sekitaran rumah sakit. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga. Masjid Al-Muhajirin. Ya itu nama masjidnya. Aku pun salat mengikuti di saf kedua. “Masya Allah ramainya yang salat. Hampir penuh masjidnya. Yang perempuan di belakang pun mengikuti.” Aku berucap dalam hati, sembari tersenyum.

Seusai salat ku ambil quran sakuku. Qur’an kecil yang selalu ku bawa ke manapun aku pergi. Aku pun membacanya. Hanya sampai 4 halaman aku membacanya. Dan aku langsung bergegas pergi. Sampai di pintu masjid ada anak-anak yang sedang menyemir sepatuku. Aku tersenyum, ku pandangi wajahnya dan ku sodorkan uang di tangannya. “Terima kasih kak…” ucapnya polos. “Ya sama-sama.” jawabku. Tampaknya ia sangat senang menerima uang pemberianku itu dan langsung pergi.

Matahari seolah berada dekat di atas kepalaku. Karena hari itu sangat panas. Sepertinya matahari sedang mengujiku. Hhi… “Krik… krik” ku rasakan alien-alien kecil di dalam perut ku sudah memberontak. Tak lama-lama lagi. Aku langsung singgah ke warteg yang ada di situ. Karena sudah biasa aku dan Fahri makan di warteg. Tapi kalau Mama tahu. Ia akan marah. Maaf ya ma… Saat makan di warteg aku selalu memesan makanan yang jarang sekali ada di rumahku. Seperti perkedel jagung, sayur kangkung, lalap timun, sambel terasi, dan tidak lupa dengan ikan asinnya. Makanan-makanan itulah yang aku pesan. Aku pun sangat menikmati makan siangku itu.

Setelah makan selesai, perut pun jadi kenyang. Aku pun melanjutkan perjalananku. Aku tidak tahu mau ke mana. Di dalam benakku berkata, “Karena sudah bolos kuliah. Sekalian saja ku nikmati hari ini dengan jalan-jalan mengitari sudut kota. Hehe” Aku berjalan menuju arah menteng. Ku lihat di situ banyak anak-anak geng motor Cross. Aku percaya diri saja mendekati mereka. Tanpa berpikir ulang apakah mereka akan mencelakakanku atau tidak. Ah bodoh, aku kan nggak ngapa-ngapain juga. Pikirku singkat.

“Siang bro…” Ku coba sapa mereka.
“Ya siang juga. Lo siapa? Dan ada perlu apa lo ke sini?” Salah seorang dari mereka bertanya padaku. Dan mereka agak merasa asing atas kedatanganku.
“Hehe. Nggak ngapa-ngapain. Tadi nggak sengaja saja aku lewat jalan ini dan melihat kalian… Oya perkenalkan namaku Muhammad Fajar Ikhsan. Panggil saja Fajar” Aku memperkenalkan namaku kepada mereka sembari menyodorkan tanganku kepada mereka.
“Oh. Gitu. Baiklah. Oke kenalin gue Dito, yang ini Zacky, ini Martin, ini Supri biasanya dipanggil kuplek, ini Bimo, ini Hardi, dan yang ini Jupri.”

“Kayaknya lo bukan anak sini ya?” tanya Martin padaku.
“Ya memang. Aku tinggal di cakung” Jawabku.
“Kenapa lo bisa ke sini. Kayaknya lo berjalan kaki ya?” Tanya Zacky.
“Hehe. Panjang ceritanya… Aku sendiri juga bingung” Jawabku. Sambil sedikit tertawa.
Kami pun bercerita layaknya teman yang baru saja kenal. Dan banyak yang kami bahas dan hal-hal aneh yang aku tanyakan kepada mereka.

Tibalah azan salat ashar dikumandangkan. Aku bertanya dengan mereka di mana posisi masjid itu.
Jupri dengan sigap menjawab, “di sana jar…” Jupri menunjuk ke seberang jembatan.
“kalau lo mau kita antar. Yuk naik” kata Zacky menawarkan.
“Oh nggak usah repot-repot…”
“Nggak lah. Nggak repot, ayo naik. Cepet”
Aku pun tak bisa menolak tawaran dari mereka.

Akhirnya kami pun tiba tepat di depan masjid. Aku sengaja tidak menawarkan mereka untuk salat. Tapi ternyata mereka pun singgah dan ikut salat juga. Kecuali Martin. Karena Martin beragama katolik. “Tin di sini dulu ya. Nggak apa-apa kan…” Dito berkata pada Martin.
“Yaelah bro. Biasa aje kali. Sudah pergi salat sono. Yang khusyuk ya…” Jawab Martin.
Aku tersenyum, sungguh luar biasa pertemanan ini. Saling melengkapi satu sama lain. Tidak membedakan ras. Dan saling mendukung akan hal ibadah. Aku dapat pelajaran dari mereka. Walaupun mereka anak motor, tapi mereka tidak pernah meninggalkan rabbnya, rabb yang telah menciptakan mereka. Good.

Seusai salat aku pun pamit dengan mereka. Mereka menawarkan untuk diantar pulang oleh mereka. Tapi kali ini aku menolaknya. Karena mengingat rumahku yang jauh. Akhirnya aku pun pergi dan berjalan mengarah jalan raya untuk mendapatkan metro mini. Yang akan ke arah kota tua. Setelah sampai di kota tua. Aku menuju stasiun kereta api, membeli tiket jurusan cakung. Di dalam kereta aku melihat seorang Nenek tua yang sedang kebingungan. Lalu ku dekati beliau. Ku tanya, “Kenapa nek? Kelihatannya Nenek sedang bingung”
“Iya aku sedang mencari cucuku. Tapi aku tidak dapat melihat anak muda.”

Aku pun bingung hendak ke mana aku akan mencari cucu Nenek ini. Sedang kereta ini sudah melaju. Saat aku memasuki gerbong demi gerbong. Aku melihat anak kecil yang lagi membeli pop mie di gerbong belakang. Langsung saja ku tanya, “Dik pop mienya beli 2. Yang satunya lagi untuk siapa?”
“Untuk Nenekku..” Jawabnya. Aku tambah yakin sepertinya ini cucu dari Nenek tadi.

Sebenarnya bisa saja ia memesan pop mie itu. Dan diantarkan. Tapi ia takut nanti pramugarinya bohong katanya. Karena ia hanya punya uang segitu. Dan takut pramugarinya salah orang untuk dikasih. Nanti Nenekku jadi nggak bisa makan pop mie. Hehe… pikiran anak kecil. Setelah ku antar ia kepada Neneknya. Hati kecilku berkata, “Sungguh mulianya hati anak ini. Rasa kasih sayang sudah ia miliki sejak dini. Terbukti perlakuannya kepada Neneknya tersebut. Aku yang sudah berumur 19 tahun ini… Hee..” Lalu aku pun tersenyum sendiri sembari melihat pemandangan yang sangat indah itu.

Tak terasa aku pun telah sampai di cakung. Aku mencari masjid di sekitaran stasiun, untuk salat magrib. Karena sudah 20 menit azan magrib berlalu saat aku masih di dalam kereta tadi. Akhirnya ketemu juga dengan masjidnya, tidak jauh dari stasiun. Karena dari satasiun ke rumahku itu jaraknya tidak terlalu jauh. Jadi ku putuskan untuk melanjutkan salat isya dulu di masjid ini. Tidak lama lagi juga akan masuk waktu isya pikirku.

Saat selesai membaca al-qur’an. Aku sedikit terkejut. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang, seraya berkata, “Pemuda, silahkan kumandangkan azan. Sudah masuk waktu isya nya.” Ternyata itu seorang bapak yang memintaku untuk mengumandangkan azan. “Oh ya baiklah pak” Jawabku.
“Allahuakbar… Allah…huakbar……. Laaillahailallah…” Lalu kami pun salat, dan bapak yang memintaku untuk azan tadi menjadi imam kami.
Setelah doa kami bersalam-salaman. Dan aku melanjutkan salat sunah ba’diyah isya 2 rakaat.

Tak lama kemudian saat aku ingin memakai jaket dengan maksud langsung pulang. Bapak tadi berjalan mengarahku dan duduk tepat di hadapanku.
“Kamu mahasiswa?” Tanyanya.
“Iya pak”, jawabku sambil tersenyum.
“Oh. Kuliah di mana? Jurusan apa? Semester?” tanyanya lagi.
“Di UNJ pak. Jurusan FKIP Fisika, baru semester 3. Hehe”

“Oya masih lama berarti lulusnya, manfaatin kuliah dengan sebaiknya, karena masih banyak mereka yang berkeinginan kuliah tapi tidak ada biaya. Cita-cita mereka untuk dapat kuliah pun kandas. Jadi bersyukurlah, karena masih dikasih kesempatan untuk kuliah. Benar-benar manfaatin, jangan sampai membuat kecewa kedua orangtua yang telah membiayai perkuliahan kita dan segala kebutuhan hidup kita selama kita sampai dengan sekarang.”

“Setiap salat jangan lupa untuk menyelipkan doa untuk mereka berdua. Saya juga punya anak laki-laki seumuran kamu. Dia sekarang kuliah di UGM Yogyakarta, jauh dari keluarga. Itulah saat saya melihat kamu. Saya teringat dengan anak saya.” Ucapnya. Ku lihat tatapan matanya tersimpan kerinduan yang paling mendalam kepada anaknya yang sedang menuntut ilmu di kota pelajar. “Oya pak insya Allah… Terima kasih pak atas nasihatnya.” Kataku sambil melontarkan senyuman padanya. Dan pamit pulang. Karena waktu sudah mengarah pukul 8 malam.

Kami bersama ke luar dari pintu masjid. Ternyata rumah bapak itu persis di sebelah masjid itu. Dan aku pun melambaikan tangan sambil mengucap salam untuk kedua kalinya. Ku lihat pangkalan ojek ada di seberang jalan. Aku ke sana dan memesan 1 ojek untuk mengantarkan ku pulang ke rumah, “Jalan tombak nomor 9 ya pak..” Kami pun melaju. Akhirnya sampai juga di rumah tercinta.
“Ini pak..” Ku berikan uang kepada bapak tukang ojeknya.
“Oya terima kasih”
“iya sama-sama pak. Hati-hati.”

“Ting nong. Ting nong” Aku menekan bel rumah.

Bik Ida pun ke luar. “Assalamualaikum bik…” Sapaku pada Bik Ida.
“Eh Den Fajar. Waalaikumussalam… Masuk..masuk…”
Ku lihat Papa dan Mama sudah pulang. Dan sudah duduk di meja makan menungguku pulang. Untuk makan malam bersama.
“Tumben. Biasanya menjelang pukul 10 malam, baru ada di rumah” gumamku dalam hati. Ah tapi sudahlah.

Aku pun mendekati mereka dan mencium tangan mereka sambil mengucap salam. Selesai makan aku langsung pergi ke kamar. Dari tangga sampai masuk kamar aku hanya dapat tersenyum dengan kejadian-kejadian yang sudah ku lalui pada hari ini. Ku hidupkan lampu kamarku. Ku letakkan tas di sudut kanan meja belajarku, dan ku lihat ada 2 buku catatan. Ku lihat namanya Muhammad Fahri Akbar. Aku tersenyum ternyata sahabatku memang benar-benar orang yang menepati janji dan pengertian.

Hari ini aku memang tidak mendapatkan pelajaran dari kuliah. Tapi selama 12 jam ini aku telah mendapatkan pelajaran tentang kehidupan. Selama ini aku yang selalu merasa kesepian, kedua orangtua yang selalu sibuk dengan urusan kantornya, ingin ini itu bisa aku dapatkan, tapi entahlah aku belum dapat menemukan ketenangan itu. Dan hari ini ternyata aku menemukan jawaban dari semua kegamanganku selama ini. Bersyukur. Ya bersyukur… sepertinya aku belum sepenuhnya bersyukur kepada Allah Swt selama ini.

Aku selalu merasa kurang dan mengeluh. Padahal aku punya sahabat yang sangat care denganku. Bik Ida yang selalu ada membantuku dalam hal apapun serta mengajariku agar aku dapat mandiri. Mang Jaja yang selalu siap jika aku minta temani nonton bola begadang sampai tengah malam dan mau diajak main PlayStation. Papa Mama yang sibuk di kantor bukan berarti tidak menyayangiku. Tapi mereka kerja dari pagi dan sampai malam. Itu semua hanya untukku. Dan aku harus memahami itu. Buktinya tadi mereka menungguku untuk mengajak makan malam.

Kejadian pada hari ini benar-benar membuatku tersadar betapa indahnya hidup ini jika aku dapat menikmati setiap apa-apa saja yang telah Allah berikan kepadaku. 12 jam telah menyadariku. Semua yang ku lewati selama 12 jam ini adalah rencana Allah. Aku yakin itu. Tidak ada yang kebetulan.
“Fabiayyiaalaaaaa i robbikumaa tukazzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Cerpen Karangan: Yeni Herlinda
Blog: yenshino.blogspot.com
Instagram: yeniherlinda

Cerpen 12 Jam Yang Penuh Makna merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Surat Dari Sahabat

Oleh:
Gak terasa kini kami sudah berpisah, tapi bagi kami berpisah bukan untuk selamanya, bahkan perpisahan ini langkah kesuksesan untuk kami dimasa depan nantinya. Haii… nama saya Difa Ramadhani, biasanya

Bandul Bintang

Oleh:
Lastri merenung dengan tatapan kosong. Wajahnya layu, tompel di pipinya pun berkerut. Ia memegang erat benda kesayangannya. Kalung berbandul bintang, kalung itu terbuat dari bebatuan langka, kalung itu merupakan

Rahasia di Balik Rintik Hujan

Oleh:
Langit mendung sore itu. Gumpalan abu-abu gelap seperti sudah mewanti-wanti semua yang dinaunginya bahwa sebentar lagi ia akan menumpahkan bawaannya. Eros bukannya tidak menyadari itu semua. Ia tahu jelas.

Dibalik “Cadar”

Oleh:
Aku Nurul, Nurul Azkiya (Cahaya bagi orang yang bersih hatinya) itulah nama lengkap pemberian Abah dan Ummiku. Aku tumbuh dan besar dalam lingkungan “Aktifis Dakwah”, Abah dan Ummi sering

Aku Tidak Dulu Ke Surga

Oleh:
Untuk masuk ke dalam surga tentunya kita harus berbuat amal yang baik sewaktu di dunia dan harus diniati karena Allah, sehingga di akhirat nanti kita akan dimasukan ke dalam

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *