Burung Beo Sang Kyai

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Inspiratif, Cerpen Islami (Religi), Cerpen Lucu (Humor)
Lolos moderasi pada: 4 November 2020

Kullu nafsin dzaiqotul maut.
Siapa yang tidak mengenal Michel Jackson, artis ternama berkulit hitam itu. Dulu, sebelum masuk pesantren aku sangat mengidolakannya. Apalagi setelah operasi plastik, wajahnya menjadi semakin cool dan keren. Tapi siapa sangka, operasi plastik yang berkali-kali itu mengantarkannya pada kematian.
Padahal karirnya ketika itu sedang dipuncak-puncaknya. Nama yang tengah tenar itu telah kembali, Izrail tak pernah takjub pada artis internasional dan tak mengenal kasihan dan sayang. Di tangannya Michel Jackson dan budak tidak ada bedanya. Namrudz, Fir’aun, Nero ataupun Hitler, Margaret Thatcher, (w.2013) Lady Diana (w.1997), Benazir Bhuto (2017), ataupun Nike Ardila (1975-1995), baginya sama dengan kyai Wahid, ustadz Jefri atau kang Kamdan.
Atau bahkan anda, atau… aku juga. Setiap yang bernyawa pasti akan mati.

“Tiit… Tiit…” Suara klakson mobil membuyarkanku dari lamunan. Aku segera sadar diri dan menghindar. Kupikir itu mobilnya kyai, ternyata bukan! Sebuah mobil inova berwarna putih mengkilap, mungkin itu tamu kyai.
Seorang kyai muda keluar dari mobil, sorban putih melilit kepalanya, jenggot agak tebal menutupi dagunya. Dengan gamis itu ia tampak berwibawa.
Ia mendekat, akupun menunduk takdzim.

“Apa kyai Syamsudin ada?” Tuturnya padaku sopan.
“Kyai sedang keluar.” Jawabku ringan.
Seseorang berbaju putih keluar dari mobil, ia membawa burung beo dan sangkarnya yang cukup indah.
“Kira-kira kapan kyai akan pulang?” Tanya kyai muda di hadapanku.
Akupun kembali menunduk lalu menjawab.
“Insyaallah sebentar lagi.”

Tepat ketika aku selesai mengatakannya, sebuah mobil hitam memasuki gerbang pesantren.
“Nah, itu kyai!” ujarku sembari menunjuk kearah mobil kyai Syamsudin, pengasuh pesantren ini.
Kyai Syamsudin keluar dari mobil. Langsung saja kyai muda itu menghampiri dan mengucapkan salam. Tampaknya beliau-beliau begitu akrab.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikum salam. Marhaban ya shodiqiy!” Jawab kyai Syamsudin membalas dengan hangat.
“Hayya natakallam baytiy. Tafadhol.” Kata kyai Syamsudin mempersilahkan tamunya untuk duduk dan berbincang-bincang di dhalem.
“Ta’al ya Waladiy!” kyai Syamsudin memanggilku. Aku senang sekali bisa dipanggil kyai hari ini. tanpa mengulur waktu aku segera menghampiri dengan tetap menundukkan kepala sebagai keta’dziman.
“Tolong buatkan teh untuk tamuku ini, dan juga untuk dua orang di mobil itu. Suruh mereka juga ke rumah.” Kata kyai padaku.

Segera setelah kyai Syamsudin dan tamunya menjauh, aku mempersilahkan sopir dan seorang santri yang membawa burung beo tadi untuk ke dhalem. Baru setelah itu aku ke dapur untuk membuat teh. Aku sudah dua tahun menjadi khodam kyai, jadi hal seperti ini sudah menjadi kewajibanku.

Dan kebetulan di dapur sudah ada buk Tori. Jadi aku tidak perlu susah-susah mencarinya untuk bilang padanya, agar menyiapkan makanan untuk tamu kyai. Beliaulah yang menyiapkan, sedangkan aku hanya mengantarkannya ke ruang tamu.

Buk Tori, nama beliau memang aneh, maklum lah, nama orang dulu. Beliau pernah cerita kalau beliau sudah tiga puluh tahun bekerja disini sebagai khodimah, semenjak beliau masih nyantri disini.
Sempat berhenti satu tahun karena dinikahkan oleh orangtuanya, yang diakad langsung oleh kyai sepuh. Namun belum juga dikaruniai anak, suami beliau meninggal dunia karena kecelakaan. Sejak peristiwa itu beliau putuskan untuk mengabdi di pesantren ini. Mengingat cerita itu aku jadi teringat dawuhnya kyai, semua orang pasti menemui ajalnya. Ah, sungguh pasangan pengantin baru yang harus terpisah di tangan Izrail.

“Aditya…!” Panggil buk Tori mengagetkanku.
“Kamu ini melamun terus Dit.”
“Hihihi, biasa buk bertafakur, kan memang dianjurkan buk!” Jawabku cengingisan.
“Iya tapi kan ada tempatnya. Kalau misalnya pas dipanggil nggak denger, kan bukan tafakkur lagi itu namanya.”
“Duh, iya iya buk, ada apa?” jawabku segera karena merasa tersinggung, namun aku tetap tersenyum seperti bergurau. Beliau seakan sudah menjadi sahabatku walaupun beda jauh usianya.
“Berapa orang tamunya?”
“Paling tiga orang!”
“Eleh… kamu ini gimana, kok masih paling?”
“Ia beneran buk, Cuma tiga orang.” Jawabku cengingisan telah berhasil ngerjain buk Tori.

Ketika tehnya sudah siap aku langsung membawanya ke ruang tamu.
“Burung ini saya dapakan dari Mesir.” Kata kyai muda itu menunjukkan burung beo-nya pada kyai Syamsudin.
“Terimakasih teman saya akan beri nama burung ini, Bejo. Alias burung ijo!” Senyum kyai disambut senyum semua tamu keika itu.
Sedangkan aku hanya bisa tersenyum dalam hati mendengar canda kyai itu.

Namun batinku masih bertanya-tanya, sebenarnya siapa kyai muda ini, kenapa beliau begitu akrab dengan kyai Syamsudin? Apa dia ini seorang malaikat yang menyamar sebagai manusia. Astaghfirullah, aku melamun yang macam-macam lagi. Ketika sadar aku buru-buru ke dapur, untuk menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu itu.

ADVERTISEMENT

Semburat matahari menggiring matahari untuk terus berjalan, seakan memaksaku untuk terus menapaki takdir-takdir yang ditetapkan. Usai shalat dhuha, dzikir dan doa secukupnya aku segera turun dari masjid membawa kitab pengajian.
Sebelum melanjutkan rutinitasku sejenak aku duduk di depan asrama untuk memotong kuku.

“Assalamuaikum…” Sapa Rudi sembari bersandar padaku. Yah, dia mengagetkanku sebelum aku sempat bertafakkur.
“Wa’alaika.” Jawabku cuek sambil terus memotong kuku.
“Eh, Dit! Aku punya pertanyaan buatmu!”
“Apa?” jawabku dengan nada lemah tanpa semangat.
“Hewan apa yang memiliki adik yang sangat perhatian?”
“Ya semua hewan yang terlahir bersaudara pasti punya adik.”
“Bukan itu maksudku, ini adiknya berbeda. Justru adiknyalah yang mengurus semua keperluan kakaknya.”
“Apa ya?” Aku berfikir keras, kayaknya pertanyaan ini menantang. Itulah aku, suka tantangan fikiran. Namun aku tidak menemukan jawabannya.

“Aku menyerah!” kataku setelah lama berfikir.
“Gitu aja dak bisa jawab.”
“Terus jawabannya apa?” ujarku menantangnya. Berharap dia juga tidak tau jawabannya. Namun ternyata aku salah.
“Burung kakak tua…” jawab Rudi dengan lagu.
“Hah! Kok bisa?” tanyaku heran. Timbul tanda tanya besar di kepalaku.
“Iya. Kan kamu adiknya.”

Ingatanku bagai layar lebar yang memutar rutinitasku setiap hari selama lima bulan terakhir ini. iya, semenjak kyai memiliki burung beo. Beo atau kakaktua sama saja. Beliau menugaskanku untuk selalu merawat burung beonya. Makan setiap harinyapun sudah diatur oleh dokter khusus kenalan kyai. Rupanya burung beo itu menjadi peliharaan kyai yang sangat disayangi dan diperhatikan kesehatannya. Bahkan hampir seluruh waktu senggang kyai dihabiskan bersama burung beo itu.
Dan setiap hari kyai mengajari burung kesayangannya mengucapkan kalimat tasbih. Subhanallah – Alhamdulillah – Allahuakbar. Biasanya ketika kyai berhasil mengajarkannya satu kalimat, beliau menyuruhku memanggil sepuluh atau lima belas santri untuk mengadakan syukuran di dhalem.

“Hey, melamun lagi!” Rudi mengagetkanku. “Sudah jam delapan tuh!” lanjut Rudi sembari menunjuk jam.
Ini waktunya memberi makan si-Bejo. Aku segera bangkit dan bergegas meuju ke dhalem.
Ternyata kyai sedang mengajari burung beonya lagi. Aku hanya memerhatikanya dari jauh. Tak lama setelah itu kyai memanggilku.
“Ta’al ya waladiy, Ta’al.”
“Kumpulkan semua santri. sebentar lagi, kita akan mengadakan syukuran lagi.”
Sedikit terkejut mendengar ucapan kyai itu. Biasanya Cuma sepuluh atau lima belas orang.
“Semua kyai?” tanyaku untuk memastikan aku tidak salah dengar.
“Iya.” Jawab kyai mantap.
Aku mundur perlahan lalu pergi. Sembari hatiku bersorak ria. Bukan karena syukuran itu. Justru karena dengan begitu, secara otomatis sekolah akan diliburkan.

“Emmz, ehm.” Aku berdehem pada Rudi yang masih duduk di teras pondok.
“Emang ada apa?” tanya Rudi antusias.
“Sekarang kyai mengadakan syukuran lagi, SEMUA SANTRI!” Aku memberi penekanan ketika mengucap kalimat terakhir.
“Kebetulan lagi laper nih!” gerutu Rudi sembari meraba perutnya.
“Hanya urusan perut di fikiranmu, tidak ada yang lain.”
Rudi malah tersenyum ketika aku sindir.
“Rud, ayo bantu aku mengumpulkan anak-anak. Biar lebih cepat.”
“Kalau Cuma itu serahkan pada ane. Ente tunggu saja disini.” Kata Rudi dengan gayanya.
Akupun pasrah sepenuhnya. Jadi aku bisa bersantai dan bisa membantu buk Tori menyiapkan makanan.

Tidak butuh waktu lama. Tidak sampai sepuluh menit ratusan santri sudah memenuhi halaman rumah kyai.
Kyai keluar memakai baju putih dengan sorban putih melilit kepalanya. Wajah beliau berseri, nampaknya beliau sangat bahagia hari ini. mungkin karena wibawa kyai semua santri langsung tertunduk diam, tanpa paksaan dan pengawasan.

“Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk saya dan si Bejo. Alhamdulillah, saya sudah berhasil mengajarkannya kalimat tauhid tertinggi. Si Bejo sudah bisa melafadkan ‘Lailaha illallah’.”
“Alhamdulillah,” kata semua santri secara serentak. Mereka juga ikut bahagia mendengarnya dari kyai idola mereka.
Aku berdiri tak jauh di samping kyai, sembari menenteng sangkar, kulihat si beo hijau itu seakan ikut bahagia merayakan acaranya sendiri. Kyai lalu menyuruhku menggantung burung beonya di tempat biasa, di samping rumah.

Acara syukuran pun dimulai dengan penuh khidmat. Sudah pasti yasin tidak lupa dibaca disetiap acara di pesantren ini. ditambah beberapa dzikir dan sholawat, lalu ditutup dengan doa. Dan inilah yang paling ditunggu kebanyakan santri, acara makan-makan. Semuanya percaya kalau dalam piringan nasi ini ada banyak barokah. Jadi semuanya makan dengan lahapnya.

Tiba-tiba… Kkkrrrrgghhhh!!##??**%$#?*!#
“Sangkar burungnya…!” Teriak seorang santri. Aku pun bergegas mendekatinya diikuti semua santri yang melupakan kata ‘barokah’, mereka meninggalkan nasinya begitu saja.
Sebuah pertarungan tidak seimbang antara kucing dan beo lemah yang sudah tidak berdaya.

Kyai membelah kerumunan santri. Beliau masih sempat menyaksikan langsung burung kesayangannya menghadapi maut.
“Ciacctt… cccttt…” Suara terakhir dari burung malang itu. Sungguh na’as, inilah akhir dari cerita burung istimewa milik kyai.
Sedang yang paling kuperhatikan sedari tadi adalah wajah kyai. Beliau kelihatan sangat bersedih. Seakan ingin meneteskan air mata, namun beliau mungkin malu menampakkannya di hadapan santri-santrinya.

Beliau menyuruhku menguburkan burung kesayangannya. Lalu kyai Syamsudin masuk ke dalam rumah, menutup pintu tanpa mengucap sepatah katapun. Beliau sangat terpukul.

Itulah mulanya awal mendung di pesantren. Semua kelihatan lesu. Para santri seakan kehilangan panutan idola mereka. Termasuk aku sendiri. Namun aku tidak henti-hentinya bertafakkur, mencari hikmah yang terselip dalam kejadian itu.
Hari-hari berlalu. Minggu-minggu seakan terulang. Bulan-bulanpun terlewati. Dan pesantren masih dalam keadaan pekat berkelabu. Keadaan seperti ini serasa tidak akan pernah berakhir. Kyai masih dalam kesedihannya. Beliau tetap mengurung diri di rumah. Bersimpuh menangis di sudut kamar.

Sampai ketika terlintas dalam tafakkurku. Berduka cita itu tidak boleh lebih dari tiga hari. Kecuali bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya. Bahkan kyai sendiri yang menjelaskan hadits itu panjang lebar. Namun kenapa kyai sendiri yang tidak bisa bersabar ketika musibah menimpa beliau? Bahkan beliau berduka cita melebihi perempuan janda yang melaksanakan iddah.
“Astaghfirullah!” kataku lirih, sesaat setelah menyadari sangkaan burukku. Dari pada aku berburuksangka, kenapa aku tidak mengumpulkan dana saja untuk mengganti beo milik kyai.
Dan benar saja ide berlianku itu direspon baik oleh teman-temanku. Inisiatif ini juga kusampaikan pada pengurus. Dan alhamdulillah, mendapat tanggapan bintang lima, alias super baik. Ya, dari pada bertafakkur tidak ada kerja nyata, yang akhirnya berburuk sangka, lebih baik seperti yang kulakukan sekarang ini. dan semoga saja ide cemerlangku ini bisa mengembalikan cahaya yang sempat meredup di pesantren ini. aku menjadi pahlawan tersembuyi, karena hanya Allahlah yang akan mencatat niat dan amalku ini. tanpa aku harus membangga-banggakan diri di hadapan teman-temanku. InsyaAllah aku ikhlas.

Hari yang gemilang. Semua santri berpakaian putih rapi. Burung beo yang lebih indah dari sebelumnya, lebih cakap dan lebih segalanya, sudah disiapkan sebagai hadiah untuk kyai.
Kyai keluar dengan pakaian biasa. Dengan wajah tirus sehabis menangis. Mungkin beliau kurang tidur semenjak hari na’as itu. Aku berdiri paling belakang. Karena aku takut tidak ikhlas hingga besar hati dan membanggakan diri.

“Santri-santriku!” kata kyai Syamsudin dengan wibawanya.
“Terimakasih sudah sangat perhatian pada saya. Juga terimakasih yang sudah merawat Bejo sebaik-baiknya. Namun ketahuilah! Kesedihan saya bukan karena Bejo meninggalkan kita, namun hal yang paling dalam membuat hati saya ini susah untuk bergembira, adalah ketika melihat Bejo tidak mengucapkan syahadat ketika matinya. Dia lebih memilih mengucapkan suara aslinya sebagai binatang –Ciacctt… ccctt– dibanding syahadat. Padahal sudah ribuan kali saya mengajarkannya, dan ratusan kali dia menirukannya.”
“Lalu apa jadinya jika semua ilmu dan dzikir yang kita amalkan tiap hari hanya ocehan belaka, hingga tidak menjadi ucapan penutup akhir hidup saya kelak. Semua hanya ada di mulut, tidak sampai di hati seperti halnya si Bejo.” Lanjut kyai Syamsudin menahan tangisnya.

Semua santri tertunduk, perenungan kyai begitu dalam menusup hati manusia yang sehari-harinya hanya diisi dengan ilmu dan dzikir itu. Termasuk aku sendiri.
Seharusnya aku yang lebih sedih dibanding dengan kyai.*

Cerpen Karangan: Miftahul Anam
Blog / Facebook: zauhirl aqrof
orang yang mengharap surga

Cerpen Burung Beo Sang Kyai merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Cinta

Oleh:
Aku tak sengaja melihat rasa cinta yang benar-benar cinta sore tadi. Aku melihat seorang anak berumur 13 tahun bermain sepak bola dengan semangatnya. Dia bermain dengan kami, para pemuda

Kenapa Harus Aku

Oleh:
Kehidupan itu sungguh suatu misteri. Banyak kejadian yang tak terduga yang terkadang menimpa kita. Itu lah yang aku rasakan, kejadian demi kejadian yang datang membawa kesedihan. Aku putra sulung

Nyanyian Pagi di Victoria

Oleh:
Dengan setengah berjongkok kuarahkan kamera “olympus” ku ke satu-satunya objek yang sudah lama kuincar selama tiga tahun terakhir. Tak cukup sekali, bahkan berkali-kali kupotret sosok seniman bela diri yang

Makna Ultah

Oleh:
Akhirnya aku mengerti makna dari hari ulang tahun. Dulu aku menganggap hari ulang tahun adalah hari yang paling bahagia bagiku selain hari raya idul fitri dan idul adha. Aku

Dunia Dongeng

Oleh:
Alkisah di pesisir pantai, hiduplah keluarga yang sangat miskin. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil. Hanya ada dua orang dalam keluarga itu. Seorang janda bernama Mande Rubayah, mempunyai anak

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Burung Beo Sang Kyai”

  1. Sunardi says:

    Luar biasa idenya ini. Mengajak kita untuk intropeksi diri terhadap ilmu yang sudah dipelajari. Analoginya mantap mengajak pembaca untuk merenungkan apa yang sudah dilakukan. Baca juga tulisan saya di ladangcerita.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *