Dilema di Pertengahan Malam

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Galau, Cerpen Islami (Religi), Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 6 September 2015

Malam ini untuk kesekian kalinya aku terbangun dari sebuah mimpi buruk yang hampir sama dengan malam-malam sebelumnya. Bagaikan sebuah melodrama bersambung yang menunggu kepastian akhir cerita. Tentu saja yang aku inginkan sebuah akhir yang melegakan kalbu. Tapi yang terpenting dari itu semua, aku ingin terlepas dari belenggu bunga tidur yang sangat meresahkan jiwaku. Aku ingin terbawa oleh kehangatan malam yang nyaman. Sungguh tidak adil rasanya apabila kesempatan merebahkan semua saraf-saraf kesadaran harus aku lepaskan begitu saja. Kala sebagian besar yang bernapas merehatkan aktivitas dan terbuai oleh alunan nyanyian malam, aku di sini hanya bisa menarik napas panjang tanpa bisa memejamkan mataku kembali.

Bunga tidur itu sungguh berusaha menenggelamkan akal sehatku. Hantu-hantu malam itu dengan kejamnya merenggut hakku untuk terbuai dalam kenyenyakan. Aku tidak pernah lupa mengikrarkan berbagai doa dan surat-surat suci sebelum aku tidur, bahkan aku berdzikir menjelang lelap. Namun bunga tidur itu seraya menghantuiku tanpa ampun. Aku akan memanjatkan syukurku kepada Allah apabila yang hadir dalam tidurku itu ialah sesuatu yang indah dan membahagiakan. Tapi aku pun hanya bisa berserah diri kepada-Nya apabila aku mendapatkan mimpi yang sama sekali tidak aku harapkan.

Sama halnya dengan malam ini. Mimpi itu terulang kembali, mimpi seseorang yang meminta belas kasihanku, namun aku di sana hanya bisa diam dalam kebimbangan. Dan aku terjaga dan kembali ke dunia nyata karenanya. Aku pun tidak dapat melanjutkan tidurku. Ku ambil kesempatan ini untuk menjaga malam dalam sujud lail yang mungkin dengan kesibukanku selama ini sulit sekali untuk mendapatkannya. Ku sadari di balik semua kesusahan pasti ada pendar kekhusuan.

Beberapa kali aku membukakan mulutku dengan refleks karena rasa kantuk yang menyerang. Hari ini adalah hari praktekku yang melelahkan. Beberapa perawat yang biasanya membantuku tidak bisa hadir karena berbagai kepentingan ataupun sakit ringan yang tak diundang. Otomatis tugasku berlipat ganda adanya. Apalagi ditambah dengan wabah demam berdarah yang sedang gencar-gencarnya menyerang penduduk di kota Bandung ini. Belum lagi masalah kekurangan gizi yang semakin merajarela. Bayi-bayi tak berdosa itu hanya bisa pasrah tergeletak menunggu untuk diobati dan pemberian perbaikan gizi. Para orangtua hanya bisa mengandalkan kepulihan anak-anak mereka di tangan hamba-hamba seperti kami. Sedangkan semua kekuasaan yang sesungguhnya adalah berada di tangan Yang Maha Kuasa. Kami hanya bisa berusaha.

Fiuuh, akhirnya untuk sementara tugasku agak berkurang. Hampir semua pasien di bagian anak sudah kami tangani, setidaknya untuk saat ini. Aku dan rekan kerjaku tinggal menyusun dan mengedit kembali hasil dari pemeriksaan para pasien, setelah itu semua laporan itu aku serahkan pada dokter yang sedang bertugas.
“Ya sudah, kalian boleh istirahat, tapi saya bisa memanggil kalian kapanpun, jadi cepat kembali.” kata dokter Hisyam tegas.

Aku dan rekan-rekan kerjaku akhirnya bisa merehatkan barang sejenak otot-otot dan saraf-saraf lelah kami. Ku sapu peluh dengan dinginnya air, tapi kantuk itu kembali menyerang. Tidak aku tidak boleh terlelap di saat seperti ini, bukan saja karena ini adalah lingkungan kerjaku, tapi juga aku tidak mau terlibat dengan bunga tidur yang kerap kali mengganggu kesengganganku. Aku berusaha untuk tetap terjaga.

“Matamu kok sayu, kamu kurang istirahat?” kata Fitri di sebelahku yang sedang menikmati segarnya air mineral.
“Entahlah, belum lama ini tidur malamku tidak lengkap, aku pasti terbangun di pertengahan malam, dan aku mengalami mimpi yang berulang-ulang” jawabku seadanya. Temanku ini cukup mengenalku dengan baik. Kami biasa membagi suka dan duka kami, setidaknya berguna untuk mengusir kejenuhan selama bekerja.
“Sabarlah, semua itu pasti ada maksudnya, serahkan semuanya pada Allah, sekarang jaga kesehatanmu. Makan makanan yang bergizi.” Katanya sembari menyodorkan botol plastik yang berisi air mineral.
“Oh ya, bagaimana kabar Ibumu?” katanya menanyakan hal yang kerap kali menjadi topik pembicaraanku dengannya.

Wanita yang ku cintai itu sangat ku jaga perasaannya. Tubuh ringkih serta ketidakberdayaannya memintaku untuk melindunginya dari mulut-mulut pedas yang kerap kali menorehkan sebersit masa lalu yang legam. Ya masa lalu yang sebenarnya tidak ingin aku dan Ibuku ungkit-ungkit kembali.
“Hai, ditanya kok malah melamun?” gelagapan aku dibuatnya. Aku ternyata terbuai oleh sosok lemah itu.
“Alhamdulillah, beliau sehat” jawabku. Fitri adalah satu-satunya teman yang tahu akan masa lalu keluargaku. Tapi ada satu kepahitan di masa lalu yang enggan aku ceritakan kepadanya, tidak belum saatnya.

Waktu senggang kami tiba-tiba terpotong oleh sebuah kenyataan bahwa kami harus bertugas kembali. Dokter Hisyam rupanya memerlukan beberapa perawat untuk membantunya menangani seorang pasien yang datang dengan tiba-tiba. Ya, tentu saja semua pasien yang datang ke rumah sakit ini datang tanpa merencanakannya terlebih dahulu, kecuali orang-orang berduit yang datang hanya untuk sekedar melakukan medical check up.
“Kabarnya ada seorang Bapak yang terserang gejala stroke sewaktu sedang menyeberang jalan. Ia hampir tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya” Kata seorang perawat laki-laki pada kami. Kami pun bergegas.

Ku lihat beberapa orang tengah mengerumuni sebuah tempat tidur di mana pasien yang baru tiba itu direbahkan. Sedangkan seorang Ibu dan seorang laki-laki setengah baya tengah berkata-kata untuk memberikan keterangan kepada seorang perawat. Beberapa saat kemudian orang-orang tersebut satu demi satu meninggalkan ruangan gawat darurat yang dipenuhi dengan peralatan medis itu. Dokter Hisyam dan beberapa perawat dengan teliti memeriksa keadaan pasien tersebut. Aku dan Fitri pun membantu mempersiapkan peralatan steril yang dibutuhkan.

ADVERTISEMENT

Hingga saat aku mendekati pasien itu, sorotan sepasang mata sayu memandangku dengan penuh kebisuan. Aku tertahan di antara kenyataan dan angan-angan. Oh itukah dia? Degup jantungku serasa memicu darah untuk bergerak lebih cepat. Darahku tersirap dibuatnya. Sebuah wajah yang tak asing bagiku menumpulkan keinginanku untuk bergerak. Sebuah wajah yang dahulu sering menyeringai ketenangan kaluargaku, khususnya Ibu! Tidak! aku tidak bisa meneruskannya. Detik itu juga aku limbung. Tapi suara hatiku yang lain berkata, “Jangan jangan sekarang.”
“Kerahkan semua tenagamu untuk bertahan. Demi kebaikanmu!” suara itu seakan-akan bermaksud untuk membentengi kerapuhan jiwaku. Dengan sekuat tenaga aku bertahan di sana.

Pembagian tugas sudah diputuskan. Mau tak mau aku harus bertugas malam hari. Tapi untung bagiku ada Fitri yang juga bertugas malam. Segelas kopi pahit sengaja aku buat agar aku tetap terjaga sepanjang malam. Biarlah pagi yang akan menemaniku beristirahat setelah malam yang melelahkan. Tapi ada satu yang menggangguku, kehadiran laki-laki itu. Ku lihat sore tadi beberapa sanak keluarganya datang menjenguk. Seorang wanita berumur empat puluhan dan seorang anak perempuan berumur belasan tahun. Aku heran, setelah semua yang lelaki itu lakukan terhadap keluargaku, ternyata masih ada yang sudi untuk mengasihinya.

Entahlah, kebencian itu kian hari kian bergemuruh di dalam dadaku. Bagaikan amukan ombak yang siap menggempur pertahanan pantai yang tenang. Apa yang telah ia perbuat sungguh membekas dalam goresan kepahitan yang mendalam. Sebuah luka yang mengering kini terbuka kembali. Aku berusaha untuk tidak memberitahu Ibu akan keberadaannya. Namun entah dari mana asal keberanian itu muncul. Keberanian untuk menceritakan segalanya kepada Ibu. Mungkin dorongan hatiku yang menuntut keadilan. Mungkin sepenggal kata maaf? tapi rupanya pertahanan jiwa Ibuku lebih kuat dari yang aku kira. Beliau hanya terpaku di peraduannya memandang samar ke arahku tanpa berkata-kata. Tak ada air mata yang mengalir sedikit pun. Sungguh kuatnya dirimu Ibu, di balik tubuhmu yang renta dan ringkih.

Pepatah mengatakan masa lalu itu sudah tidak ada. Mengingat masa lalu, mengenangnya kembali dan menghadirkannya dalam angan, dan merasa sedih dengan semua hal miris yang telah dilalui adalah sebuah tindakan bodoh. Kita tidak bisa mengembalikan bunga menjadi sebuah serbuk sari kembali, atau mengembalikan bayi pada rahim Ibunya. Semuanya itu sungguh menakutkan. Dan aku tidak mau terus-menerus berkubang dalam ketakutan. Tapi aku hanya manusia biasa yang kadang menyerahkan diripada kebencian. Betapa menggunungnya perasaan terlarang itu dalam lorong jiwaku.

Dia perumpamaan seorang kaisar bengis yang kini turun tahta. Dalam kesunyian malam, dia berani memecahkan si raja malam dengan tangannya yang dingin. Mengobrak-abrik pertahanan jiwa dua orang wanita ciptaan Tuhan. Dua wanita yang seharusnya ia belai dalam taburan kasih sayang, perlindungan dan kehangatan pelukan yang menenangkan. Tapi dia berbeda, ia adalah api yang menyala dengan garang, mencoba untuk mengalahkan sang angin yang tidak berdaya. Amukannya, amarahnya, siksaannya, kerap kali menyentuh dua raga wanita yang diam-diam membendung kemarahan. Tangan itu dengan suka cita membagi kebengisannya. Membuat kepedihan yang mendalam dalam raga. Tapi kepedihan itu tidak sama besarnya dengan seonggok kepedihan yang telah bersarang dalam hati. Ya, laki-laki itu dengan berat hati harus aku sebut Ayah.

Kini semua telah hilang terbawa angin masa lalu. Luka itu memang sudah terpendam. Lama setelah dia pergi meninggalkan aku dan Ibuku, pergi tanpa ku harapkan agar dia kembali. Biarlah aku tumbuh tanpa dekapan dan ciuman di kening seorang Ayah pada putrinya. Sepanjang Ibuku tidak ia sakiti lagi. Wanita, judi, mabuk-mabukan, semua hal hina sudah pernah ia jabani. Tapi sebuah rahasia kelam tengah menari-nari dengan licik di benakku. Ayah patutkah aku memanggilmu dengan panggilan luhur itu? Di mana perasaanmu saat kau renggut kesucianku? Di mana belas kasihanmu saat nafsu menguasaimu dan melampiaskannya pada darah dagingmu sendiri? Hai di manakah keadilan?!

Malam kelam, seperti biasa aku tidak bisa tidur. Mimpi itu kini sudah jelas artinya. Seseorang yang meminta belas kasihanku itu adalah seorang pria tua yang kini tak berdaya di hadapanku. Aku ingin membelainya dengan kasih, namun kaki ini terasa berat untuk melangkah. Aku hanya bisa terpaku di ambang pintu kamar dengan ditemani oleh butiran-butiran hangat yang ke luar disela-sela mataku. Allah inikah jawaban-Mu? Aku pun berlari meninggalkan fatamorgana itu. Tanpa ku sadari sepasang mata tengah mengawasiku. Sepasang mata yang dipenuhi dengan tanda tanya.

“Ayunda, tolong periksa keadaan pasien di kamar Gelatik, saya memerlukan laporan perkembangannya sekarang” pinta dokter Hisyam sambil menyerahkan papan kecil serta selembar kertas pemeriksaan.
“Kamar Gelatik? Bukankah itu kamar Ayahku?” sergap kata-kata dalam hatiku.
Sebuah dilema terombang-ambing dalam benakku. Haruskah aku pergi ke sana? Kuatkah aku menatap matanya lagi? Tapi, rupanya kedua kakiku berkata lain, aku melangkah ke arahnya, untuk menunaikan tugasku sebagai seorang perawat. Aku harus profesional dalam hal ini. Itu tegasku.

Sepasang mata sayu itu terbangun dari tidurnya. Mungkin akibat dari kehadiranku. Dengan tanggap aku memeriksa tekanan darah dan perkembangan-perkembangan lainnya. Aku tidak mau melihat matanya. Aku hanya ingin menjalankan tugasku sebaik-baiknya. Tanpa diduga, sebuah suara memecahkan kesunyian. Suara yang sejak lama tidak aku dengar. Suara yang dulu lantang dan pongah. Sekarang hanya tinggal sebuah pita suara tua yang berusaha untuk berkoar kembali.
“Ayunda, Ayah berdosa! Maafkan Ayah” suara parau seseorang yang tengah terbaring tak berdaya. Nyaris tak terdengar olehku. Desiran angin di balik jendela bahkan lebih gagah.

Sebuah kata-kata yang ingin aku dengarkan dahulu kala, saat kau masih di sisi kami. Mengapa baru kau katakan sekarang? Mulutku diam seribu bahasa. Kata-kata yang aku rangkai sedemikian rupa untuk aku tumpahkan apabila aku bertemu denganmu kini pergi bersama angin. Hanya mataku yang bicara. Dengan beban seribu sembilu di dada, aku pergi meninggalkannya dalam kebisuan. Entahlah, apakah aku bisa memaafkannya?

“Kadang kekalutan hati harus dibagi kepada orang lain, Ayunda” ujar suara milik dokter Hisyam tiba-tiba. Aku terperangah. Tidak menyadari kalau air mataku ini telah disaksikan oleh seorang figur Ayah dalam bungkus sebuah ikatan kerja. Dokter Hisyam, beliau adalah dosenku di sekolah keperawatan. Sosoknya yang tegas dan bijaksana sangat aku kagumi. Beliau adalah penawar obat rinduku untuk figur seorang Ayah.
“Air matamu itu tidak mungkin ke luar tanpa sebab, nona manis” kata-kata rayuan yang manis. Aku tersenyum dibuatnya. Segera aku hapus sisa-sisa tangisanku.
“Dia Ayahmu?” terkejut aku mendengar pertanyaan beliau kali ini. Darimana dia tahu?
“Maafkan saya jika terlalu lancang membuka rahasia pribadimu, tapi saya tidak bisa membiarkan anak didik saya terlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan, itu bisa mengganggu kelancaran penyembuhan pasien” aku hanya diam, beliau benar. Rupanya dia mengerti mengapa aku hanya terdiam tanpa menjelaskan apa-apa kepadanya. Tapi akhirnya aku membuka suara juga.

“Saya bingung dengan tindakan saya selanjutnya, Dok. Begitu banyak luka yang ia torehkan pada saya” aku berkata seadanya. Ku lihat kerutan jelas di dahi tuanya.
“Sejelek apapun Ayahmu, dia tetaplah Ayah bagimu. Orang yang telah menghadirkanmu ke dunia”
“Tapi, luka itu telah membekas dan akan tetap membekas selamanya, Dok” jawabku tanpa beban.
“Kau cukup dewasa untuk mengambil keputusan, Ayu. Pada dasarnya manusia diciptakan dengan beribu ujian. Allah mengujimu kali ini dengan sebuah kenyataan yang tidak menyenangkan. Semakin kuat iman seseorang, maka semakin berat terpaan ujian.” Kami hanya terjaga dalam kebisuan. Kembali air mataku meleleh.
“Maafkanlah Ayahmu itu. Bahkan Allah sangat pemurah untuk pintu maaf-Nya. Biarkan dia mendengarkan kata-kata melegakan bagi jiwanya yang mungkin tidak akan kamu temui lagi. Kata-kata penuh kasih dari putrinya, mungkin bisa menjadi obat ketenangan jiwanya saat kelak dibawa oleh kematian. Ayu, tenangkan jiwanya” kata-kata itu meluncur dengan sendirinya dari mulut dokter Hisyam.
“Aku percaya, kau adalah anak yang berbudi luhur. Ikutilah kata hatimu” sepenggal kalimat akhir yang menyapu kekalutan relung hatiku.

Sebuah derap langkah yang terkesan tergesa-gesa menghampiri kami. Dan derap langkah itu ternyata adalah milik Fitri. Ia cukup kaget melihat mataku dipenuhi dengan air mata. Sebuah tanda tanya besar mungkin bergelantungan di benaknya. Tapi dengan cepat ia singkirkan tanda tanya itu.
“Dok, pasien di kamar gelatik sepertinya” kata-kata itu tenggelam dalam derap-derap langkah ketergesa-gesaan. Kami berlari menuju kamar itu. Allah mungkinkah?

Ku lihat kamar itu dipenuhi beberapa orang yang tidak aku kenal. Seorang wanita dan anak gadisnya tengah berurai air mata. Laki-laki itu rupanya tengah bergulat dengan detik-detik kematian. Tapi lagi-lagi sebuah suara parau ke luar dari mulut keringnya.
“Ayunda!”

Aku tak kuasa menumpahkan air mata kepedihan. Melihatnya meregang nyawa sangat menyakitkanku. Aku berlari ke arahnya. Beberapa mata memandangku dengan kebingungan yang mendalam.
“Ayah aku memaafkanmu!” ku peluk tubuhnya yang kurus itu dengan sepenuh kasih. Kucium keningnya dengan takzim.

Kau adalah Ayahku, darahmu mengalir dalam tubuhku, sampai kapan pun aku akan tetap memanggilmu Ayah. Sisa nafasnya yang tersengal-sengal memintaku untuk membisikan sebaris syahadat di telinganya. Dan nyawa itu pun terbang untuk menemui-Nya.

Suara petir sayup-sayup mengiringi kepergiannya. Tangisan malam pun pecah begitu saja. Begitu juga dengan tangisan sang langit yang menginginkan percikan air matanya menyentuh bumi dan membelai tanah-tanah yang diberkahi. Sekali lagi ku belai dan ku ciumi wajahnya yang tenang.

Bandung, 010206

Cerpen Karangan: Thursina Shafa
Blog: coratcoretpunyaelin.blogspot.com
Visit my blog ya… 😉

Cerpen Dilema di Pertengahan Malam merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Meskipun Itu

Oleh:
Bagiku cinta adalah salah satu kekuatan yang menguatkan. Masa jatuh cinta, cinta diam-diam, cinta dijatuhkan bahkan cinta kembali bangkit setelah dicampakkan. Cinta memang ada, tetapi tidak mudah untuk mendapatkannya.

Seruling Di Senin Petang

Oleh:
Sore ini nampak begitu sendu. Angin bertiup sepoi-sepoi. Pohon-pohon dengan riang memainkan daunnya, menghasilkan satu-dua bunyi desis ramah di telinga. Saat ini senin petang. Ada kebiasaan unik nan aneh

Pelukan

Oleh:
Bahagia bukan kepalang jika seorang laki-laki dan perempuan yang dijalin hubungan suami istri mempunyai buah cinta. Apalagi buah cinta tersebut merupakan pertama kalinya yang lahir ke dunia. Suara azan

Pacar Impian

Oleh:
Suasana diruang tv tampak pecah.Suara sorak ramai terdengar begitu nyaring ditelinga.Gadis yang nan rupawan bernama dian tampak berjingrak-jingkrak dan bersorak-sorai gembira riang.Sedangkan winda, sahabat kos dan kuliahnya hanya tersenyum

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *