Hilangnya 4 Mahkota Hitam

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 8 October 2016

Lidah itu terus mengecap. Merasakan semua hidangan yang ada di depannya. Tak terasa, sudah satu piring mereka habiskan. 4 gadis ini melakukan kesenangan yang sebelumnya seperti mustahil dilakukan. Hanya beberapa anak saja yang berani karena nekat melakukan hal-hal ini. Yaitu gelintiran santri yang berjalan ke sebuah tempat lumayan jauh dari pondok mereka. Tempat itu menyediakan fasilias sangat sederhana namun begitu memuaskan hati 4 santri ini. Keempatnya duduk bersila beralas karpet. Memakan semua hidangan yang mereka pesan. Makanan tak begitu mewah namun sehat dan tentu saja memewahkan hati-hati kecil yang memakan. Gado-gado, pisang, apel, anggur, es pelangi, sup buah, nasi ayam goreng, omelet, mi rebus, semua dilahap secara sempurna.

Usai melahap dengan sempurna, perut memberat, dan semangat yang membaja. 4 gadis ayu-ayu ini berjalan naik di daerah pegunungan yang asri. Tepat di sebuah tempat tak beratap dengan potongan kayu-kayu yang berbaris digunakan sebagai tempat duduk. Di depan tempat duduk tersebut ada 2 pohon yang masing-masing menganaki 2 ayunan yang terbuat dari tali tampar dan ban bekas. Ingin menikmati kesenangan, 4 gadis ini langsung mengendarai 4 ayunan yang telah disediakan.

“Aaaa… merasa hidup!!!” teriak Teresa sebebas mungkin. “lho. Itu artinya, selama ini kita nggak merasa hidup?” tanya Sinka yang ada di sebelah teresa “Yup! Selama ini kita selalu dikekang dalam penjara suci. Nggak dibolehin ini-itu. Diatur sana-sini.” Jawab gadis cerdas yang akrab dipanggil Risa. “Ehm! Kalian nggak ingat aku bawa ini?” tanya Meta membuat 3 gadis yang berayun ria ini menoleh refleks. 3 pasang mata memancarkan kilauan sinar. Menatap benda kotak tidak setipis lampiran kertas diangkat Meta setinggi yang ia capai. Benda itu juga memancarkan sinar seiring bunyi ckrik menyertainya. Sebatang hp touch-screen itu membuat hari mereka semakin berwarna.
“Nekat benar kamu membawa handphone ikut jejak kita.” Ujar Risa semberi turun dari ayunan dan mendekati Meta, diikuti 2 teman lainnya. “kalo nggak nekat jangan panggil aku Meta.”
Ckrik! Mereka berselfie ria dengan gaya yang kece-kece, alay, nan berekspresi. Tak lama mereka berfoto di ayunan, keempatnya berjalan menuruni pegunungan yang ditelusuri. Gadis-gadis umur 14 tahun ini mencari background tersering pegunungan untuk foto. Tak berangsur lama, berfoto dengan background apapun dilakukan. Namun seperti ada yang mengganjal. Bunyi ckrik dan sinar blitz datang tidak seiring pose yang mereka buat. “Mungkin orang lain lagi foto pemandangan alam” Sahut Teresa yang selalu berpikir positif.

Selanjutnya, lembaran hari yang mereka coreti dengan puluhan warna terus dilakukan. Tak ubahnya usaha untuk menikmati hidup. Selesai dhuhur, keempatnya makan siang di sebuah warung terdekat pondok. Di tempat sederhana ini, mereka bertemu dengan wali santri yang sengaja ingin bertanya. Kebetulan saja lelaki berumur kira-kira 30an ini duduk di sebelah bangku gadis penekat.
“Kelas berapa?”
“sembilan” jawab Sinka dengan polosnya.
“lagi sambangan?” tanya lelaki berjambang ini lagi.
“Ya. Ibu kami di mobil sama adek.” Jawab Teresa berbohong.
“Ehm. Kita saudaraan.” Risa menambahkan.
Selanjutnya, lelaki itu terus bertanya-tanya yang sekiranya tidak begitu penting bagi 4 gadis berkerudung ayam ini. Tapi tentu saja mereka menjawab penuh hati-hati dan sedikit berbohong. Berakting seolah-olah 4 gadis ini adalah saudara seperti yang tadi diucapkan. Ah, biarlah tak perlu terlalu dihiraukan.

Siang menjalang sore, 4 gadis yang wajanhnya tengah kulu-kulu ini kembali ke pondok dengan wajah yang tentu sangat penuh tanpa dosa. Atau yang urung disebut watados. Dan mereka kembali tentu saja kembali tapi tidak ke asrama yang seharusnya menjadi tempat istirahat. 4 gelintir santri ini kembali ke sebuah bangunan lama yang juga lama tidak ada yang menjejakkan kaki di sana. Tak terlalu besar. Mungkin setengan dari besar asrama mereka. Tempat ini berada di atas dapur pondok. Sering mereka sebut ‘markas’ karena tempatnya sangat terpencil. Jauh dari pembimbing, dan hanya beberapa anak saja yang mengetahui bahwa tempat ini terkadang berpenghuni. “Katanya nanti ada upacara bulanan…” Sinka mengawali pembicaraan setelah 4 gadis ini merebahkan badannya. “Ya kan sekarang tanggal 17.” Lanjut Risa. Pondok ini, selalu mengadakan upacara besar setiap tanggal 17 tiba. Upacaranya selalu membuat dahi penuh peluh karena sangat lama dan panas. “nggak usah ikut! Kita disini aja sampe malem.” Usul Meta. Benar saja. Seusai upacara ada pengajian di masjid. Sangat membosankan. Adalah penilaian yang mereka berikan tiap kali ikut pengajian. “Jangan lupa, abis pengajian kita ada takziran baca Al-Quran depan ndalem jam 9 sampe jam 10.” Teresa mengingatkan.

Tidur siang. Sesuai rencana. 4 gadis ayu-ayu ini meninggalkan kegiatan-kegiatan dalam pondok dengan sangat mulus. Karena mereka berada di ‘markas’. Hingga malam pun tiba ada 2 gadis yang menaiki tangga kecil markas dan membuka pintu depan tangga. “Astaghfirullah… kalian tidur. Teresa, Sinka, Risa, Meta, bangun… Ada panggilan dari ndalem untuk kalian. Takziran baca Al-Quran. “Ah!! Kata-kata itu bagai air yang menyiprati wajah nama yang dipanggil gadis bernama Aisyah. Teman seasrama yang baik dan sholehah. Wajah-wajah tersentak menghiasi kepala 4 gadis yang dari pagi hingga siang berpetualang. Tanpa ba-bi-bu, keempatnya berterimakasih kepada Aisyah dan berjalan cepat menuruni tangga. Berlari secepat dan sekuat tenaga menuju ndalem yang jaraknya kira-kira setengah kilo dari dapur pondok.

Setibanya di ndalem, meereka mendapati teman-teman lain yang juga takziran. Berdiri dan berjajar rapi membaca Al-Quran. Tapi yang membuat wajah mereka pucat adalah 4 orang dewasa yang lebih tepatnya disebut orangtua mengahadap Romo Kiyai. 2 orang lainnya berdiri sebagai saksi. Satu dari 2 orang itu adalah lelaki yang bertemu dengan 4 gadis saat di warung dekat pondok. “Itu 4 anak yang kabur dari pagi sampai siang.” Wanita berumur 20an bergelar pembimbing berdiri mendampingi Romo Kiyai menunjuk ke empat gadis nekat tadi.

2 jam lamanya mereka menjalani sidangan didampingi orangtua masing-masing. Hasilnya, 4 orangtua beserta anaknya menangis penuh pilu. Dan takziran yang diserahkan adalah hilangnya masing-masing mahkota 4 gadis ini. Botak. Itulah sebutannya. Ditambah lagi, besok saat apel pagi, mereka harus bersaksi kepada semua warga pondok. Bahwa, keempat gadis yang kehilangan mahkota hitam ini tidak boleh mengulangi kesalahan yang sangat fatal ini. Sekaligus, mereka akan berlari memutari pondok dengan memamerkan hilangnya mahkota hitam.

Seusai lari 3 kali mengitari pondok…
“Saya sebagai pembimbing, menyerahkan buku ini.” Buku itu adalah buku kumpulan surat pernyataan. Beliau membuka lembaran surat pernyataan 4 gadis ini. Sudah ada 2 pernyataan yang mereka tulis pelanggaran-pelanggaran mereka. Sambil memberikan pena, pembimbing itu membuka mulut lagi. “Isi pelanggaran kalian sesuai kenyataan. Dari pagi hingga malam. Kabur yang berlebihan dan tidak mengikuti kegiatan pondok sama sekali. Setiap anak yang menulis surat pernyataan ke-3, akan diperlakukan sesuai perjanjian awal. Kalian akan kami drop out”
Hanya tangis penyesalan yang dapat diberikan

Cerpen Karangan: Hayah
Facebook: Hayah Nisrine Firda/hayah Nisrina

ADVERTISEMENT

Cerpen Hilangnya 4 Mahkota Hitam merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Misteri Selembar Mukena

Oleh:
“Mari ikut bersama kami, kami akan tunjukkan jalan menuju kebenaran. Ketahuilah sahabatku, Allah SWT sungguh Maha Pemurah dan Penyayang. Kami yang berlumur dosa kini dibersihkan hanya dengan mengucap kata

Musaffir

Oleh:
Jika waktu bisa berhenti walau sedetik Apalah jadinya aku yang tidak pernah sabar menanti Walau dunia ini terasa luas, akankah hidupku bahagia jika diri-Mu menjauhiku… Seberapa besar dosa ku

Masjid Tua

Oleh:
Byur… byur… byur…!!! Terdengar suara anak-anak penuh kebahagiaan, sudah lama tak berenang mandi di kolam dan sangat ceria menikmati masa kecil yang indah. Mereka menilai kolam itu dapat memberikan

Takzir

Oleh:
Satu kata, namun ditakuti oleh santriwan-santriwati yang ada diseluruh dunia. Kata yang membuat santriwan-santriwati memiliki jejak yang mungkin bisa dibilang tidak baik di mata para pengurus pondok. Kata yang

Dream Death

Oleh:
Sore ini cuaca nampak muram. Semilir angin berhembus halus membelai pepohonan. Semua hening, ketenangan menyelimuti dari balik jeritan isak tangis yang teriring. Aku terbangun di antara keramaian, di antara

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *