Adinda dan Pada Akhirnya

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Mengharukan
Lolos moderasi pada: 7 May 2015

Gadis itu tak berdaya setelah menerima kenyataan yang begitu pahit dan menyakitkan. Adinda dinyatakan hamil dua bulan oleh dokter kandungan. Awalnya ia tidak percaya saat melihat hasil tespeknya bergaris merah dua yang menandakan positif, kemudian ia berkonsultasi pada dokter dan ternyata hasil tespek itu tidak salah, hasilnya betul-betul positif. Adinda menjerit dalam hati setelah mendengar kenyataan itu. Bagaimana nasib dia selanjutnya? Adinda baru kelas tiga SMA. Dia piatu sejak kecil, ditinggal ibunya karena kecelakaan. Kini Adinda tinggal bersama ayah dan kakak laki-lakinya. Ayah Dinda keras. Sejak kecil Adinda tidak pernah diperlakukan lembut layaknya anak oleh ayahnya, Adinda depresi dan benci sama ayahnya yang selalu kasar pada dirinya. Tetapi kakaknya sangat beda, kakaknya begitu menyayangi Adinda lebih dari apapun.

Adinda tidak menyangka semua ini akan terjadi. Dia menyesal telah melakukan perbuatan yang hina itu bersama kekasihnya Robin. Gadis itu percaya sepenuhnya kepada kekasihnya, sehingga ia mau memberikan apapun yang diminta Robin, termasuk keperawanannya.

“Robin, kita ketemu di tempat biasa, ada yang mau aku bicarakan.” ucap Adinda di dalam telfon, Robin mengiyakan ajakannya. Dan Adinda pun segera bersiap-siap untuk pergi ke sebuah tempat yang telah dijanjikannya.
Sesampainya di taman, tempat favorit Adinda dan juga Robin. Robin sudah duduk di sana, dengan memakai jaket berwarna hijau daun. Adinda langsung duduk di samping Robin.
“Ada apa, Sayang. Kok wajah kamu kayaknya tegang banget.” cetus Robin sembari mengelus rambutnya Adinda yang lurus, hitam dan panjang itu.
“Robin, aku hamil dua bulan..” kata Adinda, matanya berkaca-kaca. Sontak Robin terkejut. Menatap mata Adinda dengan ketidakyakinan.
“Kamu becanda yah..” cetus pria itu tegang.
“Aku gak becanda.. aku serius, Robin. Dokter sendiri yang bilang sama aku, kalau di perutku ada janinnya. Robin, kamu janji kan, kamu mau tanggung jawab apapun yang akan terjadi sama aku. Dan sekarang aku mau kamu temui papahku, dan bilang kalau kamu sudah menghamili aku, setelah itu kamu nikahi aku.” teras Adinda. Robin terdiam lama. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Laki-laki itu hanya menelan ludah getir, dan berharap cepat menyelesaikan masalah yang sangat pelik ini. Dia tetap diam tak menjawab sepatah kata pun, membuat Adinda mulai kesal.
“Robin! Kamu jangan diam aja dong. Jangan buat aku semakin gelisah.” Kemudian Robin berdiri. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaketnya. Ia membelakangi Adinda. Entah apa yang tengah dipikirkan lelaki itu?
“Aku belum siap, Adinda. Aku belum siap untuk menikah.” kata Robin. Adinda langsung berdiri tepat di belakang Robin. Airmatanya semakin menghimpit. Mendengar Robin bicara seperti itu.
“Apa kamu bilang, belum siap? Robin! Siap gak siap, kamu harus tetap nikahin aku. Kamu harus tanggung jawab atas bayi ini. Aku gak mau yah, jadi bahan hinaan orang, sedangkan kamu malah enak-enakan ninggalin masalah ini gitu aja. Ini masalah kita berdua, jadi kita yang harus menanggungnya berdua. Kamu tuh jangan bikin aku stres, Robin..” Adinda mulai mengeluarkan airmatanya. Menahan rasa sakit di dadanya.
“Aku masih sekolah, Dinda.. dan aku masih pengen tetep sekolah. Jadi aku belum siap untuk menikah sekarang.”
“Kamu pikir aku enggak? Aku juga masih pengen sekolah.. kalau bukan karena perbuatan kamu, aku gak mungkin menderita seperti ini, Robin..” Adinda semakin menangis, ia tak kuasa membendung airmatanya itu. Airmata kepedihan.
“Okeh, gini aja. Sebaiknya kamu gugurkan kandungan itu. Karena gak akan ada gunanya juga kalau kamu melahirkan bayi haram itu.”
CPRETTT…!!! satu tamparan melayang ke pipinya Robin. Emosi Adinda sudah terbakar. Dia tidak menyangka kalau Robin bakal bicara seperti itu. Benar-benar menyakitkan batinnya.
“Tega kamu, Robin. Kamu tega mau bunuh bayi kamu sendiri. Apa kamu tidak memikirkan perasaanku?” sahut Adinda dengan suara meninggi. Robin hanya mengerang kesakitan, sembari mengusap pipi yang merah bekas tamparan dari tangan Adinda itu.
“Ini jalan satu-satunya, Dinda, kalau kamu gak mau malu dan dihina di depan semua orang. Bayi itu hanya akan membawa sial dalam kehidupan kamu. Terserah kamu mau lakuin atau enggak, yang penting sekarang, jangan pernah ganggu hidup aku lagi. Hubungan kita cukup sampai di sini.” Robin hendak melangkah pergi. Adinda segera mencegah dan menangkap tangan Robin sembari menangis histeris.
“Robin kamu mau kemana? Kamu jangan tinggalin aku.. aku butuh kamu, Robin. Kamu harus tanggung jawab.. kamu gak boleh pergiii..” Adinda mengangis histeris, sembari mengenggam erat tangan Robin. Ia tidak peduli, karena di taman itu pun tidak terlalu banyak orang.
“Haah.. sudahlah.. jangan ganggu hidup aku lagi!!” Robin dengan ganas melepaskan genggaman tangan Adinda, sehingga Adinda tersungkur ke dasar tanah. Robin terus melangkah pergi, tanpa memperdulikan Adinda sama sekali.
“Robiiinn…” Adinda menjerit memanggil nama Robin, sembari dihujani airmatanya.

Di sekolah. Adinda terkejut saat masuk kelas, melihat tulisan di papan tulis yang menjelek-jelekkan namanya ~ Adinda cewek murahan. Hamil diluar nikah, cewek gampangan. Munafikk!! ~ Dia terkejut. Ternyata kabar kehamilannya itu sudah tersebar dimana-mana, termasuk teman-teman sekelasnya mengetahui aibnya itu. Siapa yang menyebarkan? Apa mungkin Robin? Tidak mungkin, dia bukan siswa sekolah ini. Adinda menangis dan meronta. Semua yang di kelas memandangnya sinis dan jijik.
“Kelihatannya aja alim, tapi dalemnya busuk. Ih.. amit-amit deh..” cetus salah seorang siswi di kelas itu. Adinda tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan menangis. Tiba-tiba seeorang siswa masuk kelas memanggil Adinda.
“Adinda, kamu dipanggil kepala sekolah..” Jantung Adinda semakin berdebar kencang, saat dirinya dipanggil kepala sekolah. Kemudian ia langsung pergi dengan membawa tasnya menuju ruang kepala sekolah.
Sesampainya di sana, Adinda begitu terkejut melihat papanya tengah duduk di depan kepala sekolah. Rasanya saat ini dunia benar-benar serasa runtuh. Adinda menahan tangisnya dalam hati, kemudian duduk di samping papanya yang tengah menunjukan mimik muka kecewa.
“Adinda, dengan berat hati, saya putuskan untuk mengeluarkan kamu dari sekolah ini.” Dug! Petir menyambar dengan cepat. Adinda tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa terkejut dan sesak saat mendengar dirinya dikeluarkan dari sekolah. Adinda benar-benar tidak menyangka, bahwa berita kehamilannya sampai terdengar oleh kepala sekolah. Gadis itu mencoba menahan tangisnya setelah menerima kenyataan yang begitu pahit ini.

Setelah sampai di rumah. Tak segan-segan amarah ayahnya mulai membara setelah menerima kenyataan anak gadisnya hamil diluar nikah. Belum sempat Adinda tepat menginjak anak tangga untuk memasuki kamar, kepalan tangan yang keras telah mendarat di wajahnya yang sejak tadi merasa ketakutan. Adinda merintih kesakitan. Ayah Adinda semakin kalap dan seperti ingin membunuh anaknya.
“Anak nggak tahu diuntung! Bikin malu! Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga ini! Kamu sudah melempar kotoran ke muka saya. Anak kurang ajar!” cptreet…! plak..! dug..! dess..! Bentakan ayah yang membuming dan pukulannya yang nyaring hingga terdengar oleh seorang pembantu di rumah itu, hanya saja pembantu wanita separuh baya itu hanya bersembunyi sembari menatap kejadian itu dengan pilu dan iba. Ayah Adinda terus menghajar anak perawannya dengan menyambit tubuh Adinda memakai gesper. Adinda terus menjerit kesakitan, sambil terus memohon ampun kepada ayahnya dan meminta untuk menghentikan siksaannya.
“Ampun, Pah.. ampuun..” Rintih Adinda mengaliri airmata yang begitu deras.

Tidak lama setelah Adinda habis bersih disiksa ayahnya, barulah Rezas segera datang, dan cepat menghentikan siksaan ayahnya terhadap adiknya tersebut.
“Cukup, Pah! Kenapa papah tega menyiksa Adinda, Pah? Apa salah dia..?” Suara Rezas terdengar meninggi, sepertinya ia tidak terima Adinda diperlakukan seperti itu.
“Apa salah dia, kamu bilang? Dia.. dia aib keluarga ini. Dia hamil diluar nikah. Dasar anak pembangkang! Anak tidak tahu diuntung!” Kembali ayahnya hendak memukul Adinda, tapi Rezas segera mencegah, hingga ayahnya merasa kelelahan dan kemudian pergi menuju kamarnya.

Di pojok sana, Adinda hanya menangis menahan rasa perih dan sakit di seluruh tubuhnya bekas pukulan yang dilampiaskan ayahnya barusan. Rezas segera menghampiri adiknya yang malang itu. Ia menjongkok dan mulai menanyakan kebenarannya.
“Benar apa yang dikatakan papah? Kamu hamil?” tanya Rezas pelan. Adinda hanya menganggukan kepala, sesekali airmatanya terus terjatuh. Rezas terlihat menahan rasa kecewa. Matanya berkaca-kaca penuh kepiluan. Ini adalah kenyataan yang paling buruk yang menimpa keluarganya.
“Siapa ayah dari bayi itu? Siapa yang akan tanggungjawab dengan semua ini, Dinda..?” Suara Rezas terdengar membentak. Adinda terus saja menangis, setelah bentakan dari ayahnya, sekarang Adinda harus menerima benatakan dari kakaknya. Sungguh hidup ini sangat kejam.
“Jawab, Dinda.. jawab pertanyaan kakak. Apa kamu sanggup menanggung beban ini sendirian? Siapa laki-laki yang menghamilimu? dan di mana dia sekarang? Apa dia mau bertanggungjawab?” Adinda mengusap sedikit airmatanya, dan menggelengkan kepalanya dengan tiada pasti. Rezas kewalahan. Sepertinya ia telah direndam emosi yang lebih-lebih dari ayahnya.
“Bodoh kamu! Sekarang kamu tahu akibatnya kan? Kamu ditinggalin sama laki-laki biadab yang kamu percayai itu. Sekarang hidup kamu benar-benar hancur, Dinda.. kenapa kamu tidak bisa berpikir kesana, hah!!.. Kakak kecewa sama kamu..” Setelah itu Rezas segera pergi dari hadapan Adinda yang masih tersedu-sedu menangis. Rasanya memang dunia ini sudah runtuh dan tidak tersisa apa-apa lagi. Semua orang jadi membenci Adinda. Tiada lagi orang yang sayang kepadanya. Mungkin dunia juga sudah terlanjur benci, sehingga Adinda diberikan hukuman yang begitu berat. Sekarang bagaimana nasib Adinda dan anaknya? Mau dibawa kemanakah janin yang sangat tidak diharapkan itu? Sementara dirinya betul-betul tersiksa dan tidak ada lagi yang memperdulikannya. Bahkan laki-laki yang amat dicintainya, yang begitu dipercayainya, sampai Adinda rela memberikan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, laki-laki yang sudah merenggut kesuciannya pun kini telah mengkhianatinya.

Semenjak itu Rezas jadi cangguh kepada Adinda. Dia tidak pernah menyapa adiknya seperti biasa, bahkan tersenyum pun sudah enggan lagi. Adinda merasa tidak ada gunanya lagi tinggal di rumah yang seperti neraka itu. Gadis itu pun memutuskan untuk pergi dari rumah, dan meninggalkan semua kenangan buruk yang pernah terjadi di rumah yang tiada kasih sayang itu.

Adinda berjalan di pinggir jalan raya dengan sempoyongan sembari mendendeng tas besarnya. Entah kakinya akan melangkah kemana, Adinda sendiri berjalan dengan tiada kepastian. Dia tidak punya saudara, dan juga teman dekat, karena semua teman dan sahabat-sahabatnya selalu menghindarinya. Gadis itu berkali-kali hanya bisa menangis meratapi penderitaannya.

ADVERTISEMENT

Adinda berdiri di depan rumah yang sudah tidak asing lagi baginya. Ya, rumah yang bercat putih dan megah itu adalah rumahnya Robin. Rumah inilah yang menjadi saksi kenangan buruknya bersama Robin. Andai waktu itu tidak kejadian, Adinda tidak mungkin menderita seperti ini.

Setelah diterima masuk oleh satpam yang menjaga gerbang di depan, Adinda dengan pelan mengetuk pintu rumah itu. Tidak lama kemudian, seorang pria berbaju darbos merah dengan celana pendek selutut muncul di hadapan Adinda setelah pintu dibuka. Adinda terkejut menatap wajah Robin yang sepertinya tidak suka melihat kedatangan Adinda.
“Ngapain lagi kamu ke sini? Denger yah, di antara kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi meningan sekarang kamu pergi dari sini..” Robin membentak, yang justru malah mengundang airmata Adinda yang sudah hampir kering.
“Robin.. aku udah gak punya siapa-siapa lagi.. cuma kamu yang aku butuhin sekarang, demi bayi kita, Robin..! aku mohon.. Cuma kamu satu-satunya yang aku harapkan..” Adinda memohon sambil menangis. Tangannya menggenggam erat tangan Robin yang kekar. Robin tidak memberikan reaksi apapun. Dia hanya memendam amarah.
“Lepasin! Kamu pikir aku peduli? Denger yah, aku udah ngasih saran buat kamu supaya kamu gugurin kandungan itu, maka semua masalah akan selesai. Tapi kamu gak pernah mau denger. Dan sekarang itu terserah kamu. Jangan campur adukkan aku dengan masalah yang gak jelas ini.” Robin segera melepaskan tangannya dari genggaman Adinda.
“Kamu tidak pernah tahu bagaimana menderitanya aku. Kamu egois, Robin. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, setelah itu kamu tinggalin aku gitu aja. Kamu itu gak lebih dari seorang baj..” Cpreeett..! satu tamparan mendarat keras di pipi Adinda yang basah. Robin geram dan menahan kepalan tangannya setelah melampiaskan tamparan yang menyakitkan itu kepada mantan pacarnya, sekaligus gadis yang sudah dihamilinya. Adinda hanya bisa merintih dan airmatanya semakin deras. Dengan teganya Robin segera masuk ke dalam dan menutup pintu itu rapat-rapat.
“Robin.. Robin buka pintunya.. Robin…” Adinda menghujam tangisan yang tak terbendung lagi, sembari digedur-gedurnya pintu itu dengan perasaan kesal yang amat dalam. Mungkin disinilah akhir harapannya yang pelan-pelan menghisap semua kebahagiaannya. Sudah tidak ada lagi harapan hidup untuk seorang gadis yang masih belia itu. Siapa yang peduli? Tiada lagi malaikat cinta dalam hidupnya, seperti almarhum ibunya. Ia duduk sempoyongan tiada berdaya. Sesekali menggebuk-gebuk perutnya yang di dalamnya terdapat janin yang sangat tidak diharapkannya itu. Adinda sungguh tidak rela jika bayi itu lahir tanpa seorang ayah. Rasanya memang sudah mau kiamat. Mungkin mati adalah jalan untuk menghapus semua penderitaannya yang tiada kian berujung.

Sebulan kemudian. Rezas sudah gelagapan seminggu terakhir ini mencari keberadaan Adinda. Setelah satu hari Adinda kabur dari rumah, Rezas baru menyadari kesalahannya yang selama ini tidak memperhatikan Adinda lagi. Seharusnya bukan sikap itu yang ditonjolkan di depan Adinda yang justru membutuhkan semangat dan dorongan dari orang-orang terdekatnya. Rezas hanya bisa menangis setelah membaca buku diary Adinda yang tertinggal di bawah bantalnya.

~ Preity.. dunia rasanya gelap sekali. Tidak ada cahaya yang menerangi sedikitpun. Mata hatiku sudah gelap. Semuanya gelap, Preity.. sehingga aku tidak bisa mengenal apa-apa lagi. Mengapa dunia begitu kejam, Preity.. aku tahu ini kesalahanku, aku tahu ini kebodohanku. Tapi aku tidak sanggup menahan penderitaan ini, sungguh aku tidak sanggup, Preity. Rasanya aku ingin menyusul Mama yang sudah lama ada di sana. Aku ingin mati. Aku sudah tidak mau lagi hidup di dunia ini… T_T ~

Seperti itulah curahan hati Adinda di buku diary yang dinamainya preity pada lembar terakhir. Rezas merasakan kekhawatiran yang amat dalam. Bagaimana nasib adiknya sekarang? Di mana Adinda? Sudah satu bulan ia tidak berjumpa dengan Adinda.

Rezas kembali menyalakan mobilnya. Setelah pulang dari kampus ia segera pergi untuk mencari Adinda kembali. Rezas tidak akan menyerah, sebelum menemukan Adinda, dan memastikan bahwa Adinda baik-baik saja.
Dengan keadaan pusing dan cemas, laki-laki yang sudah berumur matang itu menyetir mobilnya, sembari memikirkan Adinda. Pikirannya terfokus pada Adinda yang sekarang tidak diketahui keberadaannya. Pada saat itu Rezas kebingungan melihat segerombolan orang berlari-lari di pinggir jalan seperti tengah mengejar maling. Benar saja! Karena sebagian orang juga tengah meneriakkan maling. Rezas segera memakirkan mobilnya, dan bertanya kepada salah satu warga yang ikut kejar-kejaran itu. Sebetulnya ini tidak penting, karena Rezas harus terfokus mencari Adinda. Tetapi hatinya merasa bahwa sedang ada yang tidak beres.
“Pak, orang-orang itu lagi pada ngejar apa?” tanya Rezas.
“Oh, itu. Ada orang gila maling duit di dagangan orang.”
“Orang gila?”
“Iyah, orang gila baru di desa ini. Sebulan yang lalu mau bunuh diri tapi ketolong sama warga di sini, dan akhirnya dia jadi stres.” Kemudian terdengar sebuah teriakkan lagi dari seorang warga.
“Weyy.. malingnya udah ketangkap, ayo kita gebukin..” teriaknya sampai terdengar oleh Rezas yang sedang ngobrol sama bapak-bapak itu.
“Udah ketangkap katanya. Mari mas, saya kesana dulu.” Rezas pun membuntuti bapak-bapak itu dari belakang, menuju ke segerombolan warga yang tengah memukul-mukul maling tersebut.
“Huu.. dasar maling tidak tahu diri.. cantik-cantik kok jadi maling. Gila lagi..” sahut salah seorang warga yang ikut beraksi menghakimi maling itu. Rezas tanpa sengaja melihat siapa yang tengah dikerumuni masa itu. Refleks Rezas terkejut bukan main. Wajah gadis yang tengah dipukul masa itu seperti wajah Adinda, tapi tidak terlalu jelas. Rezas segera menghentikan aksi warga tersebut. Setelah para warga itu menghentikan aksi pukulannya, Rezas langsung berlinang airmata, ternyata yang dilihatnya itu benar. Gadis itu memang Adinda adiknya. Rezas sembari menangis menghampiri gadis yang tengah tidak berdaya merintih kesakitan karena dipukul-pukul masa. Gadis itu hanya jongkok dan menunduk menahan sakit.
“Adinda..” Rezas menatap muka memar adiknya yang sepertinya tidak mengenali dirinya. Gadis itu terlihat kebingungan menatap Rezas.
“Maaf, pak polisi.. saya sudah mencuri. Karena saya butuh uang buat makan. Saya gak punya uang pak polisi..” kata Adinda ketakutan. Rezas langsung memeluk Adinda yang memang sudah tidak mengenalnya lagi. Adinda sudah terkena gangguan jiwa, sehingga ia tidak mengenal siapa Rezas. Semua warga menatapnya dengan heran. Bahkan ada juga yang menangis melihatnya. Rezas sungguh tidak menyangka adiknya akan menjadi seperti ini.
“Ini kakak, Dinda.. ini kakak.. kita pulang yah.. kamu punya rumah, kamu punya kakak..” sahut Rezas sembari menangis. Adinda masih menunjukan muka heran.
“Rumah? Kakak?”
“Iya, Dinda.. ini kakak. Kakak sayang sama Dinda. Maafkan kakak sudah menelantarkan kamu selama ini. Kakak sayang sama kamu, Dinda..” Rezas kembali memeluk Adinda erat. Linangan airmatanya semakin mengundang warga untuk ikut merasakan haru biru yang terjadi pada adik kakak ini.

Kemudian Rezas membawa Adinda ke mobil. Sebelum akhirnya pulang, Rezas minta diceritakan apa yang sebelumnya terjadi kepada Adinda sehingga membuatnya seperti ini? Salah satu warga pun menjelaskan, bahwasanya sebulan yang lalu, ada seorang gadis yang sepertinya tengah hamil nekat mau bunuh diri dengan berdiam diri di rel kereta, menunggu kereta datang. Pada saat kereta sedang melaju, akhirnya ada seorang warga yang melihat dan langsung mencegah si gadis itu. Namun gadis itu gelagapan dan tidak mau ditolong, ia berlari ke jalan raya, sehingga sebuah mobil menabraknya. Kejadian itu membuat sang gadis keguguran. Setelah pulang dari rumah sakit, gadis itu menjadi bertingkah aneh. Sering ngomong sendiri, nangis sendiri, ketawa-tawa sendiri. Warga jadi takut melihat tingkah polah gadis itu. Dan kesananya kelakukan gadis stres itu semakin menjadi-jadi. Ia jadi sering maling barang-barang warga, harta benda warga. Dan sampai saat ini, dia menjadi seperti itu.

Rezas cukup hanya mengeluarkan airmatanya setelah mendengar cerita yang memilukan yang terjadi pada adiknya itu. Ia hanya menatap Adinda yang masih merintih kesakitan di dalam mobil. Menatapnya penuh pilu. Rezas hanya bisa ikhlas, jika pada akhirnya Adinda harus mengalami depresi berat dan mengalami tekanan batin, sehingga membuat jiwanya terganggu. Dan kini pada akhirnya, Adinda harus menjalani hidupnya dengan setengah nyawa, karena setengahnya lagi pergi entah kemana. Tetapi Rezas berjanji akan merawat dan mengasihi adiknya sampai sembuh kembali. Ia akan menjaga Adinda dengan penuh kasih sayang. Mungkin itulah yang Adinda harapkan selama ini. Rasa kasih sayang yang tak kunjung datang dalam hidupnya.

“Adinda.. kakak sayang kamu..” Rezas mengecup kening adiknya dengan linangan airmata. Baginya, Adinda adalah harta satu-satunya yang harus ia jaga dan ia rawat sepanjang hidupnya.

Selesai

Cerpen Karangan: Maya Sharma
Blog: mayamarlianasharma.blogspot.com

Nama: Maya Marliana
Nama populuer: Maya Sharma
TTL: Karawang, 13 Februari 1995
Pendidikan : Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Jurusan :Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Hobby: Menulis dan menyanyi lagu Bollywood
Cita-cita: Guru, sastrawati dan Penyanyi Bollywood Indonesia

Cerpen Adinda dan Pada Akhirnya merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Takdir Yang Mengubah Segalanya

Oleh:
Pagi belum menampakkan fajar, Andi bersiap siap untuk berangkat sekolah, ia memakai pakaian sekolah. Andi berpamitan dengan Ibunya “bu saya mau berangkat sekolah dulu, Assalamualaikum” kata Andi “walaikumsalam hati

Berlayar Merengkuh Petang

Oleh:
Aku hanya seorang pengamen, tak lebih dari itu. Tidur beralas bumi beratap langit lah kemewahan duniawi yang selama ini aku nikmati. Kerjaku tak perlu ijazah, bermodal suara anugerah Illahi

Kue Bolu Buat Dimas

Oleh:
Ketika tuhan memberikan ujian kepada hamba-hambanya secara terus menerus, bukan berarti DIA membenci, tetapi malah sebaliknya tuhan sayang kepada hambanya dan akan mengangkat tinggi derajat kita jika kita berhasil

14

Oleh:
Udara pagi terasa dingin sekali, tak biasanya Fanya merasakan seperti ini. Selimut masih berada dalam pelukan Fanya, suara merdu burung tak tahu ke mana untuk pagi ini. Entah mengapa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *