Anak-Anak Hujan
Cerpen Karangan: Dira WKategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 15 June 2013
Pagi mengabarkan hidup dengan seberkas sinar cerah dari balik rimbun pepohonan. Burung-burung mulai riang berkicau bersama angin.
Seperti biasa, kurangkai sederet skema hidupku hari ini dengan suka cita, mengiringi senyum mentari. Kusegarkan kembali sendi-sendi hidup yang sempat kendor atau bahkan nyaris lumpuh kemarin. Kubangun lagi asa-asa yang belum juga kesampaian itu. Sebab hari ini adalah anugerah… Amarah yang kemarin nyaris menutup mata hatiku, kecemburuan yang hampir saja menggelapkan akal sehat, serta orang-orang tertentu yang juga nyaris membuatku kehilangan diriku sendiri, hari ini akan kuperbaiki atau jika perlu ku buang jauh-jauh. Di samping itu, hal terpenting yang mesti kupersiapkan sebelumnya adalah menata hati. Sederet daftar menu hidup hari ini akan menyakitkan jika tak terpenuhi, tanpa komitmen kuat bahwa apa pun yang terjadi pastilah yang terbaik untuk hidupku. Aku harus selalu berusaha untuk tersenyum dan menerima kenyataan dengan hati lapang.
Hari yang cerah, membantu hati mencerahkan wajahnya. Semangat, harapan dan senyuman, tumbuh segar di pinggiran taman hati.
Dudukku di depan kantor pesantren sudah 5 menit berlalu, menata hidupku hari ini sambil menikmati suasana wajah-wajah tunas bangsa dan harapan masyarakat itu mengulang aktivitas harian mereka di pagi hari, pergi sekolah. Beberapa orang benar-benar tulus mengapit senyum di antara ayunan langkah dan seragam rapi mereka. Beberapa lagi malah kusut wajahnya. Beberapa orang lainnya hanya menjadikan senyum sebagai topeng atas suasana hati mereka sebenarnya, mugkin bosan, mungkin pula karena persoalan lalu yang masih mereka gelisahkan. Sepertinya tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah aku rasakan dan aku alami dulu, ketika usiaku masih remaja seperti mereka. Sesekali ingin berontak dan berhenti sekolah, tapi terkadang sampai tak mau pulang dari sekolah. Begitu banyak alasan yang nyaris selalu memberikan rasa dan keinginan berbeda.
Sejenak kurenungkan pemandangan itu, terkait apa yang juga pernah kualami dan kujalani dulu. Kutemukan satu hal menarik yang mungkin tak mereka sadari. Mereka yang tampan, sedang-sedang saja atau jelek, dari kalangan berharta, pas-pasan atau melarat, semuanya satu warna. Baju, celana serta aksesoris lainnya sama, sesuai sekolah masing-masing. Dalam suasana itu mereka nampak kompak dalam satu arah kehidupan. Rasanya aku ingin kembali menjadi seperti mereka, menikmati pemahaman baru yang tak kutemukan dulu itu. Tapi, mungkinkah sang waktu sudi menghentikan lajunya dan kembali ke saat itu? Sepertinya ini mimpi yang terlalu gelap. Biarlah kunikmati saja dengan menyaksikan dan meresapinya lewat mereka, tanpa menyesali hari-hariku dulu yang sering meninggalkan kebersamaan itu dengan bolos sekolah.
Hmm, kalau saja mereka sadar bahwa dengan berangkat ke sekolah setiap pagi berarti menikmati kebersamaan tanpa bayang-bayang perbedaan status, asal-usul dan sebagainya, pasti mereka tak ingin melewatkan setiap helai kesempatan langka itu.
Kutinggalkan beranda kantor pesantren dengan perasaan amat bahagia. Kudapatkan satu pelajaran dari anak-anak sekolahan tingkat SLTP dan SLTA yang mengalir ke utara itu, ketika melewatiku di sebelah timur mereka.
Mendung tiba-tiba berarak dengan cepat, membentang luas di permukaan langit yang tak pernah kutahu warna aslinya itu. Sejurus kemudian, langit nampak redup, burung-burung sepertinya mulai panik beterbangan, orang-orang juga nampak hawatir. Jemuran di ambil, burung-burung dan semua orang cepat-cepat mencari tempat berteduh, sebab sepertinya akan turun hujan.
Gerimis ringan mulai bertebaran. Buru-buru kududuki lagi depan pintu kantor pesantren yang terletak di tengah-tengah bangunan panjang beruang-ruang dan menghadap ke utara itu. Ya, depan kantor pesantren selalu kujadikan pilihan untuk menikmati waktu tenangku. Karena terbukti banyak hal berharga kudapatkan dari sana.
Hujan kemudian benar-benar terjadi cukup dahsyat. Butirannya seperti di tabur dengan semangat yang besar atau bisa saja amarah menggebu. Suasana pun tiba-tiba seperti di sihir menjadi sepi dan hanya hujan yang menderu. Mula-mula kulihat bayangan wajah orang-orang yang pernah memberikan kesan berarti untuk hidupku. Tapi segera kutepis ilusi itu. Hal itu terlalu sering kualami dalam setiap kedatangan hujan, di antara butir-butir air yang jatuh bersambung. Aku tak ingin terus menerus menanggung rasa kehilangan dan rindu yang tak berujung itu. Sudah berulang kali kualami prihal wajah-wajah itu di antara butiran hujan, namun sama saja dengan sebelum-sebelumnya, aku hanya menjadi mainan masa lalu, membuatku larut dan tenggelam.
Hari ini aku tak ingin semua itu terulang. Aku ingin menghadapi hujan kali ini dengan kesadaran dan realita.
Di selokan dan gang, air mulai mengalir deras. Dedaunan yang berserakan penuh debu, hanyut entah kemana. Hujan kian menjadi. Anak-anak sekolah yang rapi dengan seragamnya di pagi hari tadi itu kini mulai berhamburan. Mereka nampak gembira memotong hujan dengan berlari-lari kecil menyusuri jalanan beraspal. Canda tawa mereka tumpah di antara butiran hujan yang menguyupkan tubuhnya. Senyumku mekar menyaksikan hujan dan anak-anaknya.
Ah! Aku dulu juga sering melakukannya bersama teman-teman di kampung halamanku, bahkan selalu ada rencana menyambut hujan dengan berburu burung yang tak berdaya karena terjebak di tengah hujan.
Tapi yang kusaksikan kali ini bukanlah anak-anak ingusan yang belum banyak tahu tentang hujan dan kehidupan seutuhnya. Mereka sudah besar-besar dan sebagian bahkan sudah dewasa. Rupanya anak-anak hujan kini sudah besar.
Renungku kembali mengalun jauh sampai ke saat itu, ketika aku masih menjadi bagian dari anak-anak hujan yang masih ingusan. Sepertinya ada satu hal yang membuat mereka tetap bertahan, menjadi pemungut butiran hujan sampai saat ini. Tapi tak mungkin kutanyakan pada mereka, belum tentu mereka tahu alasannya.
Kuamati kegembiraan mereka lekat-lekat. Ya, kegembiraan itu, mereka sama-sama gembira di bawah hujan. Lagi-lagi kebersamaan, mereka temukan kebersamaan menyenangkan di sana. Kubiarkan hujan menyentuh wajahku, ups, sejuknya terasa sampai ke dalam jiwaku, terlebih mungkin bagi mereka. Kalau saja tak banyak alasan yang menjadi pertimbangan untuk aku ikut serta mandi air hujan, pasti aku sudah larut dalam canda tawa bersama mereka.
***
05 Mei 2011
Kusaksikan hujan dari simpang empat jalanan kota, membentur-bentur bangunan gagah dan kendaraan-kendaraan bagus mentereng. Tak kusangka hujan juga memiliki anak di sini. Ya, anak-anak yang gembira di bawah hujan. Anak-anak hujan kota, lebih elit dan modern. Meski ada juga yang berlari-lari kecil dengan letupan canda tawa, tetap saja ada yang beda dengan anak-anak hujan di pondok dan kampungku. Kebanyakan mereka bahkan memotong ruas-ruas hujan menggunakan motor dengan membonceng perempuan yang seusia dengan mereka masing-masing. Namun meski begitu, mereka juga sama-sama bahagia di tengah guyuran hujan.
Tapi, astaga! Di tempat yang katanya lebih keras ketimbang tempat yang aku tempati di sana, kutemukan anak-anak hujan yang sudah lanjut usia. Mereka tetap menjadi anak-anak hujan demi kehidupan mereka sehari-hari, untuk makan istri dan anak-anaknya di rumah. Bahagiakah mereka, mencari nafkah sampai di bawah hujan? Atau mereka justru menikmatinya?
Cerpen Karangan: Dira W
Facebook: waridlk[-at-]facebook.com
Cerpen Anak-Anak Hujan merupakan cerita pendek karangan Dira W, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Ayah
Oleh: Mandala Putra“Srrruuuft Aaah…” suara Ayah saat meminum kopi buatan ibu. Setiap pagi aktifitas yang Ayah lakukan selalu diawali dengan segelas kopi. Ayahku adalah seorang yang hebat di mataku beliau tidak
Merindu Cahaya Rembulan
Oleh: Khairul A.El MalikyDengan penuh semangat, gadis berjilbab yang mengenakan jaket warna biru dan celana jeans hitam itu melangkah dengan menyusuri jalan utama. Tidak lupa dia juga menyunggi kue yang telah disusun
Akulah Tulang Rusukmu
Oleh: CreafidsPerlahan, kristal-kristal bening mengucur tenang di pelipis gadis itu. Wajahnya tetap memeancarkan keteduhan, walau sinar terik matahari menyiram seluruh inci bagian wajahnya. Cerahnya biru terang terlukis di petala langit.
Calon Wakil Rakyat
Oleh: Muhammad Nurul FajriKetika itu senja mulai menampakan keelokannya di atas bumi. Dua orang sahabat, Galeng dan Guntur berjalan di atas trotoar jalanan pusat kota menuju arah alun-alun kota. Kota itu termasuk
Mati Sekarang Atau Lusa, Sama Saja
Oleh: Riyandi MallayKalau tidak berperang ya berlatih, itulah siklus hidupku sebagai seorang prajurit infanteri yang mengabdi kepada negara melalui dunia militer. Karena akan melaksanakan tugas operasi ke daerah yang cukup rawan
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply