Bertemu di Plaza

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 9 August 2016

Jalanan becek pagi ini, bekas hujan semalam. Kampung sempit yang kumuh ini semakin kumuh dengan hadirnya genangan air di jalanan kampung. Aku berjalan dengan berjingkat-jingkat untuk menghindari genangan air di sepanjang kampung rumah yu nah, saudara kandungku satu-satunya. Aku ingin menghabiskan hari minggu ini dengan menemani kakakku berjualan di pasar, sekalian refreshing. Rasanya capek sekali sebulan terakhir ini, aku tenggelam dalam usaha untuk menuntut kenaikan upah di pabrikku. Kenaikan ini harus didapat karena kalau tidak naik aku dan temen-temanku harus makan apa, ditengah kenaikan hampir semua harga kebutuhan hidup. Dan sekarang kami tinggal menikmati hasil perjuangan itu, karena tuntutan kami dipenuhi oleh pabrik. Mulai minggu depan pabrik menjanjikan kami sudah bisa menikmati kenaikan upah.

Sampai di depan rumah yu nah kulirik jam tanganku, ah masih pukul 05.15. Kuketuk pintu rumah, tapi yang keluar cuma andang anak yu nah, “Oh bulek, masuk bulek” kata andang sambil membukakan pintu untukku. “Mana ibumu ndang?” tanyaku kemudian. “Ibu udah berangkat bulek”. Ah telat aku, padahal tadi sehabis subuh aku langsung terbang kesini, tapi masih saja telat juga. Tanpa pikir panjang aku langsung terbang lagi menuju pasar dimana kakaku biasa berjualan yang tak jauh dari rumahnya. Sesampai di pasar kulihat yu nah sudah melayani pembeli, aku langsung berdiri di sampingnya dan mulai membantu membungkuskan cabe merah. “Lho?… Oh kamu toh lis, tumben” kata yu nah kaget demi melihat kehadiranku di sampingnya yang tiba-tiba.
“Iya yu, aku mau bantu yu nah hari ini, refreshing yu”.
“Kebetulan aku hari ini agak ndak enak badan. Jadi kamu bisa nggantikan aku, lis”.
Aku lihat memang yu nah agak pucat, “Memangnya sakit apa yu?” tanyaku sambil terus melayani pembeli.
“Mbak cabenya kok dapatnya cuma segini, banyak banget naiknya ya?” pertanyaan si ibu pembeliku dan kebanyakan pembeli lain yang tidak perlu kujawab, jadi ya aku kasih senyuman termanisku saja.
“Mbak diajak ngomong kok senyum senyum. Mentang-mentang cantik mbaknya obral senyum” goda si ibu pembeliku selanjutnya.
Tapi aku tidak bergairah menyambut godaannya, yang aku pikirkan keadaan kakakku. Setelah si ibu tadi berlalu aku meneruskan pertanyaanku yang belum dijawab “Yu sampeyan ini sakit apa?”. Yu nah yang sudah beringsut agak ke belakang masih sibuk mencari sesuatu untuk alas dia duduk, setelah tidak menemukan sesuatu untuk alas dia akhirnya menarik tumpukan karung goni di bawah lapak untuk alas duduk.
“Ndak apa-apa kok lis mungkin cuma flu saja, biar aku pake istirahat disini dulu nanti kan reda sendiri. Wong cuma panas sedikit kok” jawab kakakku.
“Ya sudah sekarang aku yang nggantikan sampeyan, tapi kalo sampe nanti sore belum reda juga diperiksakan lho yu?” pintaku, dan yu nah cuma mengangguk mengiyakan permintaanku.

Kasihan juga yu nah setelah kang narto, suaminya, hilang 13 tahun yang lalu dia harus mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya sendirian. Kang narto hilang karena dia terlalu teguh memperjuangkan nasibnya. Setelah kang narto hilang banyak teman-temannya yang ketakutan, hingga kemudian mereka tidak meneruskan perjuangan yang sudah mereka galang dengan susah payah. Sudah banyak usaha dilakukan untuk mencari keberadaan kang narto, bahkan kuburnya pun tidak ada yang bisa menunjukkan. Instansi yang terakhir memanggilnya pun menyatakan tidak tahu. Karena menurut keterangan orang dari instansi itu, setelah urusannya diselesaikan di kantor instansi itu kang narto disuruh pulang. Melaporkan hilangnya kang narto ternyata menjadi sebuah usaha yang konyol, karena semua instansi yang dilapori hanya mencatat. Ketika didesak, aparat yang terhormat itu kemudian hanya menyimpulkan sekenanya “Sudahlah mungkin si narto itu pergi ke selingkuhannya, sabar saja kalau dia sudah bosen akan pulang sendiri”.

Aku sendiri merasa berdosa terhadap kakak iparku itu, karena sempat menyalahkannya ketika yu nah harus mengungsi ke kampung karena kang narto bermasalah dengan aparat keamanan waktu itu. Waktu itu aku berpendapat kang narto sok jago dengan cara dia menuntut upah yang layak. Sudah untung dapat pekerjaan, bukannya berterima kasih pada orang yang memberi pekerjaan, malah nuntut upahnya dinaikkan. Apalagi dengan cara mengajak teman-temannya mogok kerja segala. Itu kan pekerjaannya orang-orang dari organisasi yang sekarang sudah dilarang, bener saja diuber-uber oleh aparat, karena kang narto sudah melakukan hal yang sama dengan mereka.

Yah dulu memang aku masih berpikiran seperti itu. Tapi setelah aku mengalami sendiri, aku jadi bisa merasakan betapa penindasan itu benar-benar telah tidak memanusiakan aku dan teman-temanku, maka aku sekarang memahami bahkan mengagumi kang narto. Sekarang aku tahu biarpun sudah bersungguh-sungguh bekerja, aku hanyalah seperangkat angka yang harus dikontrol untuk tidak mengurangi keuntungan bagi mereka barang sedikitpun. Upah yang aku terima dari kerjaku untuk menghasilkan produk bagi mereka, jadi tidak berarti bila dibandingkan dengan nilai produk yang aku hasilkan. Sudah jelas keuntungan yang mereka dapat berlipat tapi mereka terus menerus mengaku keuntungan tidak banyak. Bahkan mereka seringkali mengatakan kalau mereka rugi, tanpa mau memberi bukti kerugian secara fair. Tapi sayang kang narto telah lenyap ditelan oleh keserakahan tuhan kekuasaan dan tuhan kekayaan. Aku ingat kata bapak dulu, “Mungkin ini sudah nasib lis”. Nasib?, apa benar itu nasib kang narto?, apa benar nasibku harus menjadi seperti ini?.

Aku sekarang juga jadi sangat tahu kalau usaha untuk menuntut itu tidak bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri. Bukan hanya semua teman harus ikut, tapi semua peluang harus bisa kita gunakan dengan sebaik-baiknya. Tidak peduli cara memperjuangkan nasib dikatakan seperti cara setan belang menurut aku itu tidak penting. Memang bagi mereka yang tidak merasakan, atau tidak mau merasakan, diperlakukan seperti bukan manusia mungkin akan mengatakan janganlah cara itu yang dipakai. Mesinpun malah lebih diperhatikan dari pada aku, secara ketat mereka memelihara mesin itu. Jika terjadi kerusakan sedikit saja, mesin-mesin itu akan menikmati perbaikan kalau perlu istirahat yang layak. Sedang aku harus bisa membiayai pengobatanku sendiri. Orang-orang yang haus keuntungan itu tidak akan memberi semua yang sudah menjadi hakku. Demi tujuan itu mereka akan berusaha memakai tangan orang-orang yang haus kekuasaan untuk ikut mengarahkan tinjunya ke orang-orang seperti aku ini.

Kekuasaan itu memang sangat jahat, karena demi kekuasaan itu orang mau diperalat untuk menindas orang lain. Kalau perlu dengan cara menghilangkan nyawa orang lain, yang penting kekuasaan bisa langgeng di tangan. Bagi mereka memberikan apa yang sudah menjadi hakku akan berarti mengurangi keuntungan, padahal keuntungan adalah tuhan bagi mereka, jadi mereka akan mati-matian berusaha untuk mengelak dari kewajiban. Kekuatan gabungan dari kekuasaan dan uang akan menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat, sedangkan aku cuma punya otot yang amat terbatas kekuatannya. Dengan keadaan seperti itu kalau kita tidak melawan dengan segala kekuatan dan peluang yang ada kita sendiri yang akan tergilas oleh arogansi mereka.

Tak terasa hari sudah semakin siang dagangan yu nah sudah habis. Setelah selesai beres-beres aku mengajak yu nah pulang, “Sudah selesai yu, ayo kita pulang” ajakku sambil membantu yu nah berdiri. Rupanya yu nah tadi sempat tertidur sambil bersandar di dinding belakang toko kelontong. “Yu, sampeyan ini kok memaksakan diri sih yu. Wong badan sampeyan panas sekali seperti ini iho?” sambil berjalan pulang aku coba memprotesnya.
“Cuma dengan berjualan ini aku dapat uang lis, kalau aku ndak berjualan aku makan apa?, andang…”,
Cepat aku potong kata-katanya, “yu nah ngganggap aku ini apa?, kalau sampeyang sakit aku kan masih bisa bantu bahkan sekolah andang pun akan aku coba untuk bantu yu”.
“Kamu ini lis, cobalah mulai sekarang kamu memikirkan dirimu sendiri dulu”. Aku paling tidak suka kalau yu nah sudah mulai menasehati seperti itu, karena pasti akan terus menyinggung kesendirianku. “Hasil kerjamu itu kalau ada yang bisa disishkan ya kamu tabung buat persiapan kamu berkeluarga nantinya, umurmu itu sudah 27 tahun lho. Wajahmu cantik pasti banyak laki-laki yang mau meminangmu”. Tepat dugaanku yu nah kembali mengusik hal itu lagi.

“Lis aku serius tanya ini, kapan kamu mau mengakhiri masa gadismu?”. Kalau sudah sampai pada pertanyaan itu aku selalu pusing dibuatnya. Kenapa menikah harus dibatasi oleh umur. Banyak memang laki-laki yang mendekatiku, tapi apakah mereka akan mau dengan segala pengertian akan apa yang selama ini, dan akan selamanya, aku kerjakan. Aku tidak ingin kejadian seperti sulastri yang terus terusan bertengkar dengan suaminya hanya gara-gara sulastri banyak mengurus organisasi buruh di pabrik tempatku kerja.

Bahkan orangtuanya pun ikut menyalahkan sulastri karena menurut mereka istri itu harus melayani suami bukannya keluyuran yang rapatlah, yang itulah. “Lis kok diam, kenapa kalau aku tanya itu kamu kok diam. Memangnya dari teman-temanmu yang banyak itu ndak ada yang sreg sih?”.
“Sudahlah yu, mungkin belum ketemu jodoh aja kok”, selalu cuma itu yang mampu aku ucapkan untuk menghibumya. Sebenarnya aku ingin juga cepat menikah tapi apakah bisa?.

ADVERTISEMENT

Sesampai di rumah, yu nah langsung aku suruh untuk istirahat di tempat tidurnya. “Nah sekarang sampeyan tiduran saja dulu, nanti sore aku antar ke dokter ya?” kataku sambil membantu menidurkan yu nah di tempat tidur. Sepintas mataku menangkap selembar kartu nama tergeletak di meja samping tempat tidurnya yu nah. “Lho yu ini kartu nama siapa?, suparto, suparto siapa yu?”.
“Oh iya, beberapa hari yang lalu aku ketemu sama suparto, itu lho temanmu di smp dulu. Terus kemarin dia main kesini, dia nanyakan kamu katanya salam sama kamu dan dia ninggal kartu nama itu buat kamu barangkali kamu mau menghubungi dia kapan-kapan”.
Terbanyang kembali suparto, si cenil sebutanku bagi dia, teman karibku masa smp. Ah seperti apa ya dia sekarang?. “Dia kerja apa sekarang yu?” pertanyaan yang tidak jujur pun keluar, yang aku ingin tanyakan sebenarnya adalah apa sekarang dia sudah berkeluarga atau belum. Tapi aku malu untuk menanyakannya pada yu nah, dan aku tidak mau memberi harapan yang berlebihan padanya.
“Entah dia ndak cerita banyak kok, tapi dia sekarang tambah ngganteng lho lis, dan katanya dia juga sama dengan kamu belum berkeluarga”. Ah terjawab sudah. “Cobalah kamu hubungi dia, eh barangkali ada kecocokan lis”.
“Aku memang mau menguhubungi dia kok, tapi bukan untuk cari kecocokan” jawabku sekenanya.

Pagi sebelum berangkat kerja aku sempatkan untuk telepon ke rumah suparto. Dia masih seperti dulu lucu dan pintar, pantas saja sekarang dia sudah sarjana dan sekarang bekerja di sebuah bank terkenal di kota ini. Kami janji akan bertemu malam ini untuk reuni di plaza. Senang sekali rasanya bisa ketemu lagi dengan cenil. Diam-diam aku berharap dari cenil akan pengertiannya, dan aku bisa menjawab keinginan yu nah. Malam nanti aku akan minta ijin teman-teman untuk tidak ikut rapat evaluasi. Sekali-sekali boleh kan untuk memikirkan diriku. Setelah menelepon aku langsung menuju pabrik untuk bekerja.

Tiba di pintu pabrik aku sangat kaget melihat banyak teman-temanku bergerombol di depan pintu pabrik. Ternyata aku lebih kaget lagi ketika tahu bahwa mereka bergerombol untuk membaca pengumuman dari pabrik. Pengumuman itu menyatakan bahwa pabrik membatalkan kesepakatan dua hari yang lalu tentang kenaikan upah kami. Pabrik menyalahkan kepala personalia, yang waktu itu mewakili pabrik untuk berunding dengan kami, karena telah menyalahi wewenang pimpinan. Pabrik merasa tidak ada kewajiban menaikan upah sama sekali karena pabrik sudah memberi upah sebesar umr. Selain itu pabrik mengancam bagi mereka yang tidak menyetujui keputusan pabrik dianggap mengundurkan diri. Sedang yang menyetujui akan diberi bonus oleh pabrik. Pagi itu aku dan teman-teman berusaha meminta keterangan labih lanjut dari pihak pabrik atas pengumuman itu. Tapi pihak pabrik bersikeras kalau pengumuman itu sudah putusan final. Keadaan bertambah runyam dengan kehadiran sepasukan aparat keamanan yang katanya akan mengamankan keadaan. Sepasukan aparat keamanan itu bergerombol di dekat pintu pabrik sisi dalam.

Di sisi luar pintu pabrik terjadi kebingungan dan perdebatan seru di antara kami. Pagi itu juga teman-temanku terpecah menjadi dua, satu pihak tidak ingin meneruskan permasalahan sedang yang lain ingin melanjutkan usaha sampai perusahaan memenuhi tuntutan menaikan upah. Pertentangan di antara kami membuat suasana menjadi kacau, ratusan di antara kami menginginkan masuk ke pabrik untuk kembali bekerja. Sedangkan ribuan lainnya menginginkan untuk meneruskan usaha menuntut kenaikan upah dengan menggelar aksi mogok kerja untuk menekan menejemen pabrik. Pihak yang menginginkan untuk meneruskan usaha mendapatkan kenaikan upah, termasuk aku, berusaha melobi dan mengajak lagi teman-teman yang terlanjur masuk kedalam pabrik untuk ikut mendukung yang aksi diluar pabrik.

Aku dan beberapa temanku berusaha masuk ke area pabrik untuk. Menemui teman-teman yang berada di dalam pabrik. Ternyata kami tidak bisa masuk ke dalam pabrik karena pintu pabrik sudah ditutup oleh satpam, dan kami tidak diizinkan masuk ke dalam pabrik. Karena tidak boleh masuk kami mencoba cara lain yaitu dengan mencegat teman-teman yang belum sempat masuk untuk ikut dalam aksi kami. Semakin siang semakin banyak teman yang bergabung bersama kami di luar pabrik. Kami bergerombol memanjang didepan pabrik. Karena lokasi pabrik berada tepat di pinggir jalan masuk ke arah kota, maka macetlah lalu lintas di depan pabrik. Kemacetan itu lebih banyak disebabkan oleh banyaknya pengendara yang berhenti karena ingin mengetahui apa yang sedang terjadi, atau hanya sekedar melihat-lihat keadaan.

Tapi tiba-tiba beberapa orang aparat keamanan menarik beberapa teman, termasuk aku, untuk keluar dari kerumunan teman-teman yang sedang melakukan aksi. Demi melihat ada yang ditangkap, teman-teman yang lain berusaha untuk menghalang-halangi dan mencoba menggagalkannya. Tapi komandan aparat keamanan itu bersikeras untuk tetap membawa kami ke kantor mereka. Yadi dengan lantang kemudian mencoba menggertak pasukan aparat keamanan itu “Untuk apa teman kami harus dibawa?, kesalahan kami apa?”.
“Anda-anda ini, menurut undang-undang, telah melakukan tidakan yang tidak menyenangkan dengan cara menyabotase produksi pabrik. Kalian juga telah menggangu ketertiban umum dengan cara melakukan aksi unjuk rasa tapi tidak memberitahukan sebelumnya. Coba kalian lihat sekarang jalanan jadi macet gara-gara kalian bediri bergerombol di pinggir jalan. Jadi kami akan memintai keterangan pada orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian ini” jawab si komandan.
“Jadi teman kami akan ditahan?”.
“Belum tentu nanti kita lihat basil pemeriksaan di kantor. Jadi saran saya agar kalian semua membubarkan diri dengan masuk kerja atau pulang ke rumah masing-masing”,
Demi mendengar jawaban sang komandan itu seluruh teman-teman menjawab kompak “Tahan kami aja semuanya”.
Tapi aparat keamanan itu tidak menggubris dan tetap menggiring kami menuju kendaraan yang sudah dipersiapkan. Aku bingung, bukan karena ditangkap, tapi bingung bagaimana aku harus memberi tahu suparto. Jika pemeriksaan ini berlarut-larut pasti aku tidak akan bisa menemuinya di plaza nanti malam. Lalu bagaimana caraku untuk menyampaikan tentang ketidak bisaanku menemuinya malam ini, karena aku sedang menjalani resiko dari usahaku untuk menuntut hak.

Cerpen Karangan: Bahrul Ulum

Cerpen Bertemu di Plaza merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Bait Perjuangan

Oleh:
Kala itu di sore hari, awan hitam menyelimuti langit menunggu aba-aba Tuhannya menurunkan hujan. Gerimis mulai mendarat di Desa Lalahan. Angin berhembus menerobos lubang-lubang jendela. Seminggu sudah tiap sore

Anakku Yang Ketiga

Oleh:
“Paripurna, bukan hanya rapat saja yang ada paripurnanya. Rupanya Rumah sakit (RS) ada juga paripurnanya,” Aku bergumam kecil. Untuk mencapai titik itu, paripurna bukan gelar sembarangan. Melainkan penghargaan bintang

Siti Nurbaya Hidup Lagi

Oleh:
40 tahun yang lalu, ada gadis bernama Siti. Nama panjangnya Marsiti. Satu kata saja. Menurutnya, dia rupawan. Dan itu memang benar. Dia kembang desa. Banyak orang terpesona dengan wajahnya

Menjadi Dewasa

Oleh:
Ehm… Kata orang, masa remaja masa yang paling menyenangkan. Kataku, ini adalah masa yang paling membuat tertekan. Dibebani dengan tuntutan kerja, ekspetasi orangtua, pertanyaan kapan wisuda, gaji berapa, nama

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *