Bukan Orang Suci

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 12 December 2015

Mobil hitam itu masih di sana. Aku tak tahu sejak kapan, tetapi mobil itu tidak akan meninggalkan tempat parkir itu tanpa membawaku ikut serta di dalamnya. Di depan kemudi terlihat samar-samar dari kaca Mas Adam duduk di belakangnya. Setelah ia menangkap kedatanganku segera ia ke luar dari mobil menyambutku. Ciuman kecil mendarat di pipiku. Ku berikan senyum termanis untuknya. Mas Adam… laki-laki yang sangat ku cintai. Malam itu ada yang tak biasa pada diri Mas Adam. Ia agak pendiam, seperti ada sesuatu di dalam dadanya. Tatapan matanya menyiratkan tanya di hatiku. Pendar lampu-lampu jalan menyelinap masuk mencoba menerangi wajahnya yang khas timur tengah. Hitam manis, hidungnya mancung, dan bola matanya besar.

“Cape ya Ra?” Mas Adam mencoba memecah kesunyian. Erat ia menggenggam tanganku.
“Ya Mas.” aku menjawabnya sembari tak henti memandangi wajahnya.
“Kalau kamu cape, kan sudah dari dulu aku minta untuk berhenti nyanyi, apa sih yang kamu cari?!”

Mas Adam menoleh ke arahku. Ku hanya duduk terdiam. Entah sudah kali keberapa Mas Adam meminta demikian. Aku tak pernah bisa menjawab karena aku tak tahu jawabannya. Menyanyi memang sudah menjadi bagian dalam hidupku sejak kecil. Tak satu pun boleh melarangnya. Entah kenapa Mas Adam tak pernah setuju aku terus menyanyi walaupun tak bisa dipungkiri bahwa di cafe tempat aku menyanyilah aku bisa mengenalnya.

Hari itu pengunjung cafe sedang sepi. Mungkin karena hari itu bukan weekend atau hari libur. Walaupun begitu aku harus tetap menghibur para pengunjung yang sedang asyik menikmati hidangan. Aku masih harus menyanyikan beberapa lagu permintaan dari para pengunjung. Alunan musik sangat membuaiku. Alunan musik baru berhenti ketika jam menunjukkan pukul 2 pagi. Aku harus bergegas pulang. Ku tolak ajakan rekan 1 band-ku untuk mengantarku pulang.

Ya. Yang ku tunggu tak lain adalah Mas Adam. Kecewa hatiku ketika ku tak menjumpainya di tempat parkir biasa ia menjemputku. Aku baru tahu ketika aku membaca pesan singkat di handphone-ku. Mas Adam sedang sakit, tak apalah batinku. Aku pulang naik taksi saja. Entahlah mengapa ada yang lain di hatiku, ku perintahkan sopir taksi untuk membawaku ke apartemen Mas Adam. Aku sangat khawatir denga keadaannya. Mas Adam tinggal sendiri di apartemen itu. Ya, aku segera datang untuk merawatmu Mas Adam..

Suasana di kondominium itu sangat sepi di pintu masuk hanya ada 2 orang satpam yang hanya melempar senyum ketika aku lewat Kedua orang satpam itu telah mengenalku dengan baik sehingga mereka tak perlu lagi menanyakan identitasku. Tak sabar ku untuk segera memberikan kejutan untukmu Mas.. Ku rogoh saku tasku lalu ku membuka pintu kamar Mas Adam dengan kunci yang telah ku dapatkan. Ku pasang wajah gembira. Ku cari saklar lalu ku nyalakan lampu guna menghapus gelap. Tiba-tiba jantungku serasa berhenti berdetak. Air mataku terasa deras mengalir tanpa bisa ku menahannya. Bayangan itu seakan perlahan tapi pasti menjadi sangat jelas di mataku.

Ku tajamkan mataku dan berharap ini adalah sebua ilusi. Oh Tuhan ku mohon yakinkanlah.. diriku yang ku lihat di depan mataku ini adalah scene dari sebuah sinetron atau apalah aku tidak peduli.. dua sosok insan yang sedang bercumbu itu terlihat tegang dan kaku menangkap kehadiranku. Polos.. benar-benar tanpa sehelai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Yang laki-lakinya adalah Mas Adam! ia menatapku tajam dengan riak wajah yang masih terlihat terkejut, “Ra.. please.. kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau mau datang?” luncuran kata-kata itu melintas dari mulut Mas Adam yang terlihat bergetar.

Secepat kilat ku berlari ditemani tetesan air mata yang masih meluncur deras. Mas Adam berusaha meraih tanganku dan mengejarku. Mengapa Mas Adam tega melakukan itu padaku? Mengapa ia tega mengkhianati ikatan pertunangan yang telah ku jalani selama 4 tahun bersamanya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku dan tak pernah ku mendapatkan jawabannya. Ku paksakan mataku untuk terpejam, sulit sekali. Pengkhianatan itu masih menari-nari di pelupuk mataku. Apa yang kurang dari diriku? Aku telah menyerahkan segalanya yang terbaik dalam diriku termasuk kesucianku.

Mengapa tak sedari dulu aku mempercayai ucapan Mas Andre yang bilang bahwa Mas Adam adalah seorang hypers*x. Dahulu ku anggap angin lalu, tetapi itu semua benar. Beberapa saat yang lalu aku baru saja melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jelas aku percaya. Karena ku yakin sekali mataku belum buta. Ku terlelap dalam penyesalan, kesedihan, dan bayangan sebuah pengkhianatan. Kamarku seakan menyempit. Sesempit batinku yang berteriak Mas Adam itu SAKIT!!! Ku coba susun hidupku kembali, walau tanpa Mas Adam, akan ku raih semua mimpiku. Aku pasti bisa.. bukankah banyak wanita-wanita terdzalimi seperti aku di dunia. Aku tak sendiri. Mereka bisa bangkit, mengapa aku tidak batinku.

Malam itu pengunjung cafe ramai. Momen yang tepat untuk menghibur diriku. Ku akan mempersembahkan yang terbaik. Ku teguk minuman itu entah untuk yang keberapa kalinya, panas akibat minuman itu tak ku rasakan lagi. Aku hanya ingin menikmati hidup dan melepaskan jenuhku walaupun untuk sesaat. Berat rasanya kepalaku seperti ada beban di atasnya. Ku rangkul tubuh Mas Anton di sampingku. Dinginnya malam masih setia mengiringi kami berdua. Aku tak tahu Mas Anton akan membawaku ke mana yang penting aku nyaman batinku.

ADVERTISEMENT

Buram masih menghiasi mataku, ah. Ku rasa aku mabuk berat semalam, terbaringku di atas ranjang yang ku tak tahu berada di mana. Tubuhku pun masih dibalut selimut putih. Ku pikir aku berada di sebuah kamar yang baru bisa ku pastikan setelah membaca nama hotel tersebut di sebuah buku menu. Tapi. Oh. Astaga ku melihat pakaian yang ku kenakan semalam berada di sampingku. Teronggok di ata meja. Oh Tuhan… jadi rupanya saat ini hanya selimutlah yang menutupi tubuhku. Tanganku menyentuh sebuah benda oh tetapi tidak.. bukan benda tapi sesosok tubuh yang berjenis kelamin laki-laki yang juga dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Oh Tuhan.. apa yang aku lakukan semalam.. mungkinkah aku dan Mas Anton… Oh Tuhan maafkan aku.. sungguh aku tak menyadarinya.

Ku hanya diam membisu sepanjang perjalanan. Tak ada sepatah kata pun yang ke luar dari bibirku. Aku pun tak tahu harus berkata apa. Minta maaf? aku tak merasa bersalah. Marah? aku pun tidak merasa berhak karena Mas Anton tidak memaksaku walaupun ku lakukan tanpa kesadaran penuh. Mas Anton masih terlihat fokus memandangi jalan yang ada di depannya. Sesekali ia menoleh ke arahku dan membelai rambutku. Sedari dulu aku telah mengangap Mas Anton sebagai Kakakku. Mas Anton sangat baik dan bijaksana di mataku. Tapi kenapa ia teganya. Tidak Ira ini adalah sebuah accident tak ada satu pun yang bersalah dan bisa disalahkan. Aku sudah berselingkuh dengan Mas Anton. Oh No.. Ira bukankah kini aku sendiri.. setelah peristiwa pahit itu.

Ku pandangi tumpukkan rupiah di hadapanku. Jumlah yang cukup banyak bagiku. Mas Anton memberikan uang ini padaku. Aku tak tahu untuk apa. Kompensasi. Uang luka atau apalah aku tak mengerti. Lagi pula aku tak bisa munafik setiap orang di dunia ini pasti membutuhkan uang. Ku nikmati saja batinku yang penting aku tidak pernah merugikan siapa pun. Ku pastikan langkahku untuk menatap duniaku yang baru. Aku hanya ingin menikmati hidup.. tak akan ada yang terluka karena aku sendiri sekarang.

Ku tatap bola mata yang besar itu. Untuk apa lagi Mas Adam datang menemuiku. Aku sama sekali tak pernah mengharap kedatangannya lagi apalagi di tempatku bekerja seperti saat ini. Aku malu kepada atasanku jika terjadi keributan.
“Maaf tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, semuanya sudah jelas saya harus bekerja silakan anda keluar dari sini.” seruku menyambut kedatangan Mas Adam.
“Aku cuma…” Mas Adam berusaha meraih tanganku.

Ku pandangi jari tanganku, masih ada cincin itu! benda itu masih melingkari salah 1 jariku kelipnya menyilaukan ketika cahaya redup rembulan mencoba menyinarinya, ku buka benda mungil itu dari selipan jariku, ku lemparkan ke arah tubuh Mas Adam. Ku balikkan tubuhku menuju fitting room. Teman-teman kerjaku telah menungguku di sana tapi tanpa ku sadari butiran kristal bening mengalir di pipiku. Aku menangis? Kenapa bisa? Aku tak tahu pasti alasan dalam diriku mengapa aku menangis. Mungkin air mataku hanya ungkapan beban batinku di lubuk hatiku terdalam aku masih dapat mendengar jeritannya dengan jelas. Kamu masih mencintai Mas Adam! Kamu tidak bisa berdusta Ira! jerit batinku.

Ciuman Om Rusdie mendarat sempurna di pipiku, sekali lagi ia mendekapku dengan erat sebagai ucapan terima kasih atas romantisme yang telah ku berikan semalam. Ah. Melelahkan memang.. tapi hal itu terbayar dengan rupiah yang menyesaki dompetku. Lagi-lagi malam ini seusai menyanyi aku janji dengan om Andi di sebuah hotel. Lelah memang tapi aku sangat menikmati duniaku ini. Profesi yang ku jalani sekarang tak hanya memberiku materi berlebih untukku tapi juga kesenangan dunia yang begitu luar biasa. Dalam sekejap ku bisa meraih rupiah yang sangat berlimpah hanya dengan berada dalam pelukan satu laki-laki ke laki-laki lain. Ya aku amat menikmatinya. Now this is my life..

Arloji rolexku menunjukkan pukul 2 dini hari. Loby hotel itu masih saja terlihat ramai. Terlihat beberapa pasang pria dan wanita hilir mudik, salah seorang bell boy menunjukkan letak kamar yang aku cari. Kamar 117. Seseorang telah menungguku di sana untuk minta “ditemani.” malam ini. Mas Anton yang mengenalkanku pada orang itu. Aku tak tahu dan tak mau tahu siapa namanya dan seperti apa parasnya. Yang aku tahu orang tersebut telah membayarku mahal guna bertemu denganku berdua saja malam ini. Ku urutkan nomor-nomor di setiap pintu kamar. Ku susuri lorong demi lorong. 113, 114, 115, 116 dan ku dapati nomor kamar 117.

Ku pastikan make up di wajahku telah terpoles rapi sebelum ku menekan bel. Tak lama setelah deringan bel usai anak kunci berputar pertanda pintu akan segera dibuka. Dan No. Oh My God jantungku seakan berhenti berdetak. Laki-laki yang ada di depanku itu sama sekali tak asing bagiku. Ya. penghuni kamar 117 itu adalah Mas Adam. Apa yang harus ku lakukan. Ini sungguh berat bagiku. Senyum yang terhias di bibirnya semakin membuat nyaliku ciut. Yang sekarang berada di otakku hanya satu. Lari! Ya, lari dari kenyataan yang lagi-lagi menjebakku.

Cerpen Karangan: Isnaini Agustine
Facebook: Ainy Febrian (Isnaini Agustine)

Cerpen Bukan Orang Suci merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


34 Km

Oleh:
Sejuk semilir angin menembus tulang rusukku. Ku singkap anak rambut yang menutupi telinga Lani. Ku usap lembut. “Vin, vin…” Ku dengar seseorang memanggilku dari luar pintu. “Vin, maaf aku

Mantan Bertahan Dengan Rasa Sakit

Oleh:
Gue punya pacar bernama rian saputra, Mulanya kita sebatas teman kerja… Berawal dari kebencian gue sama dia, yg padahal gue sendiri ga tau kenapa gue sangat membenci dia. Saat

Kembali ke Rumah (Part 1)

Oleh:
Langit biru berawan, udara yang segar, pemandangan hijau nan asri, bangunan tua yang berderet sedemikian banyak benar-benar menimbulkan nostalgia. Sangat indah, begitu membahagiakan. Seolah-olah seluruh unsur di tempat ini

Sisi Lain Dunia (Part 2)

Oleh:
“Otak kiri adalah bagian yang berguna untuk pemahaman dan semacamnya yang sulit dan biasanya saat bertanya, bingung, kesal, dan masih banyak lagi. Sedangkan otak kanan adalah yang berguna untuk

Cintamu Cahaya

Oleh:
Aku terbangun di deringan kesepuluh handphoneku berbunyi. Aku melirik jam dinding di kamarku. Jam tiga pagi. Sialan siapa yang menelepon pagi-pagi buta begini. Dengan malas aku mengangkat telepon itu.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *