Bunga yang Mekar Setelah Badai

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 13 May 2020

Apakah salah dan dosaku? kenapa aku dilahirkan dari pasangan bandar nark*ba dan pemabuk? dan kini aku sendirian di dunia yang luas nan kejam ini. Dengan berbekal baju dan sepasang sandal yang lusuh yang melekat pada tubuhku, peninggalan rumah yang kini telah disita oleh lintah darat. Dan kedua orangtuaku telah masuk hotel prodeo.

Entah harus kemana dan harus apa aku sekarang? aku hanya seorang gadis berusia sembilan tahun dan harus menghadapi hari-hari yang terus berlari dengan menyusuri jalanan kota yang ramai sesekali aku mengais sisa-sisa sesuatu yang dapat mengganjal perut dan membasahi kerongkonganku yang hampir putus, meski sesaat.

Hari demi hari aku lalui dengan hidup dari sisa makanan di tempat sampah, tidur di emperan toko, mandi di masjid yang kulalui (itupun tanpa sabun)
“Aku lelah! aku tidak kuat menghadapi hidup yang seperti ini!” Teriakku sambil terisak-isak berdiri di sebuah gedung kosong.
“Kenapa aku harus dilahirkan dengan jalan hidup yang begini? apa dosaku…? apakah tak bisa kurasakan hal yang dirasakan anak lain?”, teriakanku menggema di seantero dunia dan tangisku semakin menjadi-jadi. Lama-lama aku lelah dan terbang ke alam bawah sadarku.

Dan ketika aku terbangun, hari telah senja, kutatap sang surya yang hampir pergi ke peraduannya. Dan setelah benar-benar memastikan sang surya tidur, aku turun dan kembali menyusuri jalan, dan kutemukan sebuah toko buku, di kacanya tertempel sebuah stiker. Kucoba membacanya (aku pernah sekolah, itupun hanya sampai kelas 2)
“SEGELAP DAN SEKELAM APAPUN MASA LALUMU, MASA DEPANMU MASIH SUCI.. DAN SEMUA ORANG MEMILIKI MASA DEPAN YANG CERAH, SEKALIPUN IA PENJAHAT”
Entah mengapa setelah membacanya aku terbayang akan masa depanku yang indah, seolah kutemukan secercah cahaya di tengah kegelapan.

Dan untuk mewujudkan harapanku yang masih menjadi mimpi, aku berjualan koran dari agen koran pinggir jalan. Kujalani semua dengan ikhlas dan penuh semangat, sesekali aku bermain dengan anak jalanan yang seprjuangan denganku dalam menghadapi kerasnya hidup, dan kami masih bisa tersenyum. Dan bagiku, inilah kebahagiaan.

Hari-hari berganti menjadi minggu. Minggu-minggu berlari terganti oleh bulan. Dan kini aku telah menginjak usia ke 10. Dan hadiah terindah yang dapat kupersembahkan untukku adalah sebuah buku dan bolpoin. Dan kini aku punya keseharian baru dalam hidupku. Pagi aku ikut belajar di sebuah SD -meskipun dari luar jendela pinggir jalan- karena semangatku untuk meraih mimpi; siang aku berjualan koran, dan sore aku membersihkan masjid -ya, kini aku menjadi marbot masjid cilik (meski tak adzan juga) dan aku diizinkan oleh pak haji (pengelola masjid) untuk tinggal di kamar marbot, sesekali aku diajari ilmu agama.
Sungguh kebesaran Tuhan amatlah nyata. Apalagi bagi hambanNya yang bersabar.

Hari ini adalah hari Minggu, setelah menjual koran, aku berjalan-jalan ke sebuah taman. Indah, tenang, sungguh Maha Agung sang Pencipta.
Tiba-tiba aku melihat seorang balita berjalan di jembatan sendirian, dan ia hampir terjatuh, untung sempat kutolong, namun ia menagis dengan sangat keras, hingga memangil segerombol orang yang mengira akan menyakiti anak ini.
Sang anak direbut dariku, dan aku diseret-seret.

“Saya hanya ingin menolong dia, Pak”, kataku parau menahan tangis. Pak polisi hanya menatapku datar.
“Iya, pak ia hanya menolong anak saya”, seorang perempuan paruh baya membuyarkan kesunyian.

“terimakasih telah membebaskan saya, bu” kataku sambil mencium tangannya.
“Bagaimana kalo kamu ikut ibu dan menjadi anak ibu? ibu juga akan menyekolahkanmu.” kata ibu itu serius menatapku.
“Jujur ibu tau kamu selalu ikut belajar di sekolah, kan?”

Tahun-tahun berlalu, dan aku kini adalah mahasiswi Harvard University jurusan hukum yang akan diwisuda. Dan tak kusangka aku juga mendapat gelar cum laude.
Setelah lulus, aku bekerja di salah satu pengadilan, sebagai jaksa, dan hari ini adalah kasus pertama yang kutangani. Ibu dan adikku ikut untuk menyaksikanku.
Dan tak kusangka, kasus pertamaku adalah menuntut hukuman seberat-beratnya pada bandar nark*ba, yang tak lain adalah ayahku sendiri. Tubuhku lemas seketika di kursi jaksa. Aku tak tau harus apa yang kulakukan. Padahal aku menuntutnya hukuman mati.

ADVERTISEMENT

“jaksa silahkan untuk mengungkapkan tuntuannya.” kata hakim menatapku. Aku berdiri dengan susah payah, menatap ibu dan adikku, juga ayah kandungku. Aku berpikir akan meringankan tuntutanku, tapi aku tak bisa melanggar kode etik profesiku.
“saya menuntunt terdakwa dengan…” suaraku terhenti menatap sang terdakwa dengan airmata yang hampir pecah. Sang terdakwa tersenyum padaku, seolah berkata “terserah” dan kepasrahan, namun ada juga kebahagiaan.
Aku berusaha menguatkan hatiku. Menghapus air mataku, dan menatap hakim.
“Dengan hukuman mati, hakim yang mulia.” kataku tegas gemetaran.
Dan hakim menyetujuinya, dan akan dilakukan dua bulan lagi. Sebelum keluar terdakwa tersenyum padaku.

Dua bulan kemudian, aku mendengar bahwa ayahku telah dieksekusi, dan semua memuji caraku bekerja, dan bahkan aku akan ditempatkan ke luar negeri dengan gaji yang amat besar. Bahagia memang, tapi.. mungkin sudah takdir..

Dua tahun kemudian, aku telah memiliki keluarga kecilku, suami yang baik, anak-anak yang lucu nan pintar. Sungguh, percayalah pada kekuasaan Nya, takdirNya, kerja keras, dan kebaikan. Bunga akan mekar setelah badai..

Cerpen Karangan: Tarisa Rahmawati
Blog / Facebook: Tarisa

Cerpen Bunga yang Mekar Setelah Badai merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Mutiara Hati Yang Terlupakan

Oleh:
Bukan orang yang sepandai Albert Einsten. Bukan juga orang yang sekaya Presiden Obama di Amerika. Sederhana, tidak banyak tingkah, lugu, pendiam, itulah diriku. Tidak banyak teman yang kumiliki, ‘sendiri’

Lain Kali Ke Rumahku Ya

Oleh:
Dingin. Hanya kata itu saja yang terlintas di otakku untuk mendeskripsikan hari burukku ini. Sudah dingin, lemas, dan aku hanya mengenakan rok panjang yang berwarna hitam gelap! Betapa ceroboh,

Sebelah Mata

Oleh:
“Menunggu bus nak?” Tanya seorang Bapak-Bapak kembali menyadarkanku dalam lamunan. Aku hanya mengangguk. Ku tatap wajah lelaki yang tadi membuat lamunanku berlari menjauh. Tampak kerutan-kerutan di wajahnya. Tubuhnya yang

Bumbu Sate Mbah Ijah

Oleh:
Embun pagi masih menyelimuti kotaku tercinta ini. Matahari juga masih enggan menampakkan sinar kokohnya. Aku juga masih enggan untuk bangun. Tetapi, dari dalam kamar aku mendengar suara kelontangan di

Aku, Ulang tahun dan Hidup

Oleh:
Aku menatap etalase toko kue dengan tatapan kosong. Berbagai kue dengan macam-macam rasa dan warna, juga hiasan yang menghiasi kue itu menjadi lebih indah. Ada kue coklat spesial, kue

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *