Di Balik

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 9 May 2017

Hitam menyelimuti langit kota Tanjung Pendam yang tak henti-hentinya menitikkan bulir-bulir rahmat Tuhan. Pukul tiga dini hari, dingin, sepi dan melenakan untuk mereka yang enggan menyibak selimut, bangun dan mendirikan shalat qiyaumul lail. Hanya ada suara rintik hujan yang jatuh saling sahut menyahut. Usai shalat, aku hendak tidur lagi karena kepalaku pening. Namun, dini hari yang terlalu lengang itu dipecahkan oleh suara orang bertengkar di luar rumah. Aku melongok ke jendela demi melihat apa yang terjadi di beranda rumah tetangga seberang rumahku.

“Masih ingat pulang, kau?! Masih butuh kau dengan aku?!! Anak tak waras! Buat malu saja kerjamu! Patut kau disejajarkan dengan Malin Kundang! Biar jadi batu kau karena durhaka pada orangtua!!!” lengking pria jangkung, 50 tahun, ketika mendapati orang yang mengetuk pintunya pagi buta adalah seorang perempuan yang tak dikehendakinya.
“Tak usah banyak cakap kau! Kalau tidak karena aku, kau mungkin sudah hidup menggelandang sekarang!” sambar perempuan muda tadi yang mulanya diam jadi ikut-ikutan beringas. Dia berusaha masuk ke dalam rumah tetapi pria itu mencegah dengan kasar.
“Bagus aku hidup jadi gelandangan daripada hidup setiap hari lihat punya anak perempuan jal*ng pulang selalu pagi buta! Bawa saja semua uangmu pergi! Aku tak butuh uang harammu!” usirnya. Perempuan berbalut busana mini itu makin terbakar amarahnya.
“Kau bilang aku jal*ng, laki-laki tengik?! Kau pikir aku ini jal*ng karena siapa?!!” teriaknya.
Bila seorang laki-laki muda tak keluar dari dalam rumah, mungkin mereka sudah beradu tinju. Lelaki muda itu mengajak ayahnya masuk seraya berusaha menenangkannya.
“Ada apa sebenarnya?” tanyanya dengan hati-hati.
“Kau urus saja urusanmu dan laki-laki tengik itu!” ujarnya, berbalik pergi.
Dengan kesal ia meninggalkan rumah yang sedari kecil menaunginya. Diterabasnya selendang gerimis berlapis-lapis, angin membuat rambut panjangnya berkibaran, ia berjalan tergesa tapi kakinya sendiri tak tahu harus meneruskan langkah ke mana. Kulihat laki-laki muda tadi mengekor di belakangnya, tergesa.

“Pulanglah… Ke mana lagi kau? Ini masih gelap” pinta laki-laki itu. Perempuan itu tak acuh, hatinya sakit diusir begitu oleh ayahnya sendiri. Perempuan itu kasar, tapi tak dapat dirinya mencegah air mata yang mulai menganak sungai di pipinya.
“Kak… Jangan keras kepala begitu. Tak aman bagimu keluar dini hari begini. Bajumu basah, nanti kau sakit. Pulanglah…” pinta laki-laki itu lagi. Perempuan itu berhenti, mengusap air matanya dan berbalik.
“Tidakkah kau dengar tadi aku sudah diusir dari rumah itu?! Tulikah kau?! Jangan buntuti aku lagi! Biar saja aku pergi, memangnya siapa peduli?! Biar saja aku sakit, sampai mati pun kalian takkan peduli!!!” teriaknya, matanya menatap tajam ke arah adiknya.
“Kau pikir walaupun kau jal*ng begitu aku tak peduli padamu?! Apa kiramu aku membuntutimu pergi sekarang? Apakah itu juga sebuah ketidakpedulian?!” nada laki-laki itu meninggi. Disebut jal*ng, perempuan itu makin menjadi amarahnya. Dilayangkan sebuah tamparan ke pipi adiknya. Gencatan senjata, laki-laki itu mendekap perempuan liar yang terus meronta, tapi matanya basah. Kemudian, mereka berdua saling bertangisan di bawah rintik hujan yang dingin. Dan tak terasa, pipiku basah menyaksikan kebiruan itu.

Dadaku sesak dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan di dalamnya. Aku bertandang ke rumah Pak Cik Zakir ba’da Maghrib demi mengemban misi penting kelanjutan kehidupanku. Aku agak nervous kala mencium tangan Pak Cik Zakir dengan takzim. Sedari tadi pikiranku melayang, membayangkan diriku menikahi putri imam masjid raya kampung kami. Imam sekaligus guru ngajiku semasa kecil yang terkenal garang tapi hatinya lembut.
Setelah kuutarakan niatku untuk mengkhitbah putri beliau, wajah yang sedari tadi sumringah menerimaku mendadak menjadi ragu. Aku sedikit takut. Dalam hati banyak pertanyaan menyeruak tentang perubahan air muka Pak Cik. Lama beliau mendiamkanku, menyiksaku dalam diam yang panjang. Karena ketakutan itu, aku menceritakan pada beliau bahwa aku telah lama memendam perasaan kepada putrinya.
“Dia adalah kawan mengajiku sejak kecil, kawan bermain, kawan sekolah dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah. Banyak yang kuketahui tentangnya, tapi untuk sekadar bertegur sapa dengannya, aku gugup. Pak Cik, aku betul-betul mencintainya sejak aku mendengarkan tilawahnya di Tsanawiyah dulu”
Mendegar penuturanku, Pak Cik Zakir malah berlinang air mata. Yang dapat kubaca di raut wajahnya, beliau terlihat sedih, terharu dan rindu jadi satu. Aku bingung berada di situasi ini. Aku pikir, kedatangan aku akan berjalan lancar-lancar saja dan tak menyangka jadi semenegangkan ini.

Ba’da Ashar, hari senin sampai jum’at adalah jadwalku menjaga toko buku milik pamanku. Toko itu dibangun sederhana tapi diberi sentuhan interior agar terkesan segar dipandang dan tidak membosankan. Kala itu ba’da Ashar di suatu Senin yang cerah, seorang perempuan muda mengenakan celana jeans biru dengan atasan kemeja kotak-kotak dan rambut panjang tergerai dengan sedikit sentuhan bleaching merah tua pudar masuk ke toko bersama empat orang anak. Jika dilihat dari pakaiannya, mereka tampak menyedihkan. Kumal, lusuh dan seperti tidak terurus. Mereka asyik memilih buku-buku di rak pajangan, perempuan itu membebaskan mereka memilih buku apa saja yang mereka senangi. Mereka semua tampak gembira bersama perempuan itu.

“Ini bukunya” kuserahkan buku-buku yang dibelinya dalam kantong besar.
“356 ribu, setelah diskon 20%. Terima kasih telah berbelanja” kataku lagi. Setelah membayar dan mengambil buku dia pergi menggandeng anak-anak kumal itu dan menenteng sekantong besar buku-buku. Mereka melonjak-lonjak gembira.
Itu bukanlah momen yang luar biasa, tapi mengindikasikan sesuatu yang tak kuketahui tentang perempuan itu. Sejak saat itu, aku lebih peka terhadap segala yang dilakukannya di luar. Nanti kau akan mengerti, kawan.
Yang kutahu tentang dia yaitu dia pergi menjelang maghrib dan sering pulang larut malam, atau bahkan hampir subuh, diantar laki-laki berbeda pakai motor atau mobil. Bukannya aku selalu mengintip dia pulang, tetapi sering dia pulang saat aku selesai shalat malam. Dan ketika itu juga meledaklah pertengkaran di rumah itu, antara dia dan ayahnya. Dia perempuan baik-baik dulunya. Tapi sejak lulus SMA, jilbab ditanggalkannya, kelakuannya menjadi liar. Yang awalnya hanya pergi main biasa hingga jam 9 malam, makin menjadi-jadi ketika ibunya sakit. Kelakuannya memperparah kondisi ibunya kala itu. Sejak itu, dia jadi anti sosial, kasar dan tak acuh. Bertegur sapa dengan tetangga pun tidak. Pun aku, hanya memandanginya dari jauh.
Menyeruak gosip tak sedap di kampung kami bahwa dia sudah dicap perempuan nakal. Bahkan, salah seorang tetanggaku katanya pernah melihatnya di Meteora, klub malam sekaligus pusat pr*stitusi terselubung di kota kami. Mengerikan mendengar itu, mengenaskan melihat perubahan perempuan itu yang sangat anjlok.

Sinar matahari sore melesat-lesat seperti batang-batang cahaya menelusup celah dinding lelak beratapkan daun rumbia di rumah reyot 5×6 meter. Rumah di bibir Danau Merantik itu seperti dikucilkan zaman. Kesepian, sedih, bongkok dan seperti ingin roboh. Kampung Weh salah satu kampung yang mengelilingi danau jernih itu. Dikepung perbukitan, maka terpampanglah panorama indah di kampung Weh yang asri.

Sore itu, Marwa, gadis cantik dan berpenampilan kasual itu sedang mengajar bahasa inggris untuk anak-anak miskin yang ditampungnya di rumah tersebut. Mereka semua antusias mengikuti pembelajaran. Apalagi Marwa adalah orang yang amat sabar dan menyenangkan bagi mereka.
“Tirukan kakak membaca ya” ujarnya kepada kelas.
“Book = buku, Ruler = penggaris, pencil = pensil!” serunya, sambil menunjuk-nunjuk kata dalam bahasa inggris di papan tulis. Kelas menirukannya, walaupun tak sempurna.
Ketika kelas yang menyenangkan itu berlangsung, sahabatnya masuk dan berbisik.
“Aku menunggumu di luar setelah kelas usai” ujar lelaki berpostur seperti tentara itu. Marwa mengangguk setuju. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya.

Setelah kelas usai dan anak-anak itu pulang, Marwa menemui Julian yang tengah menunggunya dengan gelisah di beranda.
“Ada apa, Julian? Kau terlihat kurang baik”
“Aku ingin memberitahumu sesuatu” kata Julian ragu.
“Cepat katakan, jangan buat aku penasaran” desak Marwa karena melihat Julian begitu gusar dan gugup.
“Ibumu telah meninggal siang tadi” kata Julian kemudian. Marwa tak terlalu terkejut mendengar itu. Dia terlihat tegar. Tapi wajahnya terlihat sangat menyesal dan bersalah. Sejak kondisi Ibunya semakin parah beberapa minggu ini, ia telah merasa dirinya gagal memperjuangkan kehidupan Ibunya itu. Dua hari lalu, Ibunya yang terserang stroke tak sadarkan diri, sehingga keluarga membawanya ke rumah sakit. Tapi kemudian koma, sehari setelah menemani Ibunya dirawat, Marwa berangkat ke Kampung Weh untuk kembali mengajar seperti biasanya. Marwa telah meminta maaf atas segala dosa-dosanya di telinga Ibunya sambil menangis. Ia merasa dirinya akan berpisah selamanya dengan Ibunya. Bukan Marwa pesimis kepada Tuhan, tetapi karena ia tak lagi ingin Ibunya menderita berkepanjangan seperti itu. Kemudian Marwa pergi, tanpa pamit kepada Ayah dan adiknya.

Menindaklanjuti khitbahku tempo hari, Pak Cik Zakir mengutus putranya, Syahdan, untuk menemuiku di toko buku pada suatu siang di hari Rabu. Aku mengajaknya duduk di bar kopi di sudut toko buku.
“Bang, Abah meminta Abang untuk datang ke rumah nanti ba’da Isya. Abah bilang ingin membicarakan soal lamaran Abang” kata Syahdan kemudian.
“Insya Allah aku akan datang. Tapi, aku bingung melihat Abahmu menangis ketika aku bilang mengkhitbah putrinya.”
“Aku tak tahu, Bang. Mungkin nanti Abang akan mendapat jawabannya dari Abah” jawabnya, sambil mengaduk kopi hangat.
Seperti yang sudah ditetapkan, aku menemui Pak Cik di kediaman beliau. Pak Cik menyambutku dengan sumringah, lalu kucium tangannya dengan takzim. Kemudian beliau mempersilahkanku duduk di dekatnya.
“Terlebih dahulu aku harus menanyakan putriku apakah dia menerima khitbahmu atau tidak, karena dia belum pulang seminggu ini. Aku ingin menanyakan padamu apakah engkau yakin ingin menikahi putriku? Kau tentu tahu bagaimana dia. Seperti yang orang-orang katakan, itu semua benar” ucap Pak Cik serius.
“Bahkan aku tahu apa yang Pak Cik tidak tahu tentangnya di luar sana.” Jawabku tenang. Beliau terkejut.
“Apa maksudmu, anak muda? Aku ini ayahnya, tentu aku yang paling tahu tentang dia”
“Bukan begitu Pak Cik. Selama ini yang Pak Cik tahu dia hanyalah seseorang yang ingin bebas, Pak Cik hanya melihat dari satu sisi. Kalau Pak Cik berkenan, aku ingin mengajak Pak Cik ke tempat-tempat biasanya dia berada” ulasku. Pak Cik penasaran.
“Baiklah.” jawab Pak Cik akhirnya.
Aku pamit setelah itu. Meninggalkan beribu tanya dalam kepala Pak Cik. Aku yakin Pak Cik tak bisa tidur malam ini.

ADVERTISEMENT

Besoknya, aku membawa Pak Cik ke Meteora. Beliau tentu tahu apa yang dilakukan orang-orang di dalam sana. Pandangan beliau nanar ke arah bangunan mewah berkedok tempat karaoke itu. Aku mengajaknya masuk ke dalam, melihat-lihat mana tahu putrinya ada di dalam. Sengaja aku meminta Pak Cik agar tak mengenakan kopiah dan gamisnya yang biasa beliau kenakan. Tentu agar menyamarkan Pak Cik, dan tak patut rasanya pria berkopiah dan bergamis masuk club.
Beliau ternganga-nganga melihat pemandangan penuh maksiat. Seumur hidupnya baru kali ini beliau menginjakkan kaki ke tempat hina seperti itu, pun aku. Beliau membayangkan putrinya di antara perempuan-perempuan yang berbusana mini mengumbar aurat, minum alkohol dan bermaksiat ria dengan para lelaki. Aku membayangkannya hingga ingin muntah di tempat.
Keluar dari tempat itu, malam sudah semakin terjatuh. Aku membawa Pak Cik menyusuri jalanan Jend. Soedirman yang banyak gelandangan, orang gila dan pengemis berserakan. Pak Cik bingung mengapa aku membawa beliau ke tempat ini. Itulah sisi yang tak pernah terlintas apalagi terbayang dalam kepala Pak Cik tentang putrinya.

“Setiap senin sampai Jum’at malam, dia menyusuri jalanan ini sendirian membawa puluhan nasi bungkus yang dibagikannya pada orang-orang malang ini.” Jelasku pada Pak Cik, mengarahkan pandanganku pada penghuni kolong jembatan dan trotoar itu. Pak Cik tertegun.
“Dengan hasil yang didapatnya dari tempat tadi itu dia membeli nasi” tambahku. Tentu beliau paham betul halal haram suatu pendapatan dilihat dari perolehannya. Namun yang dilakukan putrinya, tak serta merta dapat disalahkan.
“Lalu di mana dia sekarang, Zayn? Aku ingin melihatnya…” ucap beliau lirih. Hatinya gamang bercampur rindu kala itu.
“Insya Allah besok pagi aku akan mengajak Pak Cik ke Maulu.” Janjiku. Beliau tercengang mendengar Maulu. Maulu adalah kecamatan yang amat terbelakang di pulau kami. Letaknya jauh di pedalaman hutan sana. Jin saja malas buang anak di sana, saking terpencilnya.
“Apa yang dilakukannya di daerah seperti itu? Di Maulu, praktek perdukunan masih marak, aku takut dia terjerumus ke dalam syirik” ujar beliau, khawatir.
“Tenang Pak Cik, berdoa saja yang terbaik untuknya. Semoga Allah SWT selalu melindunginya dan meridhoi apa yang dilakukannya di sana”

Kami berangkat ke Maulu naik bus, seperti yang kujanjikan pada Pak Cik Zakir. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam, kami sampai di Maulu. Lalu untuk mencapai kediaman putrinya, memakan waktu 12 jam lagi. Sampai di pemberhentian mobil reyot, kawanku telah menyambut kami dengan ramah. Malam itu dia mengizinkan kami untuk bermalam di rumahnya. Kau tentu kenal dia, kawan, dia sahabatku sejak kecil. Kami sekampung. Pak Cik juga kenal dia, tapi beliau terkejut mengapa kawanku yang badannya tinggi besar dan tegap (gagal masuk angkatan darat karena buta warna) berada di kampung ini.
Aku dan si gagal masuk tentara itu mengajak Pak Cik Zakir melihat-lihat pemandangan di kampung itu. Aku telah akrab dengan kampung ini karena kawanku tadi sering mengajakku tinggal saat akhir pekan. Tentunya dengan tujuan utama melihat perempuan yang aku cintai sejak Tsanawiyah itu.

“Itu putri Pak Cik” tunjuk si gagal masuk tentara itu menunjuk pada perempuan yang berada di luar rumah beratapkan rumbia. Dia sedang menertibkan anak-anak didiknya yang berantakan berbaris untuk pemeriksaan kuku demi bisa masuk kelas.
Pak Cik tersenyum bercampur bingung melihat putrinya seperti seorang guru, meskipun tak berseragam. Lama kami mengintai dari balik tanaman teh-tehan di sudut pekarangan. Setelah itu, kami pergi ke kedai untuk minum kopi. Kopi di sini sangat khas aromanya, berbeda dari kopi biasanya. Dan si gagal masuk tentara itu kemudian si gagal masuk tentara ini bercerita tentang sahabat perempuannya itu…

Minar, terkenal dengan breaking news-nya yang sumbernya selalu disensor, memang mulutnya senang sekali membuat gempar warga Kampung Weh. Kegemparan yang lalu akibat ulahnya yaitu tentang gosip yang beredar tentang Fernandes melakukan tindakan yang tidak sopan diceritakan di sini, terhadap Elisa di suatu siang bolong di pekarangan rumah A Tong. Fernandes adalah anjing milik A Kiong, dan Elisa adalah anjing betina milik Chen Tung Ko. Sontak Chen, yang sombong marah-marah tak terima anjing pudelnya di***** oleh anjing kurapnya A Kiong. Sudahlah, itu sudah lama berlalu. Gosip yang digembor-gemborkannya kini lebih membuat warga gempar kuadrat. Apa pasal?
“Kalian selama ini ditipu oleh si perempuan kota itu. Lagaknya sok baik mendidik anak-anak miskin sini belajar. Ternyata dia itu perempuan tunasusila, kalau kalian mau tahu! Dia jual diri! Raihan melihatnya sendiri dia sedang di diskotik di kota. Amboi, jangan-jangan anak-anak di rumah belajar itu akan diajarinya ‘begitu-begitu’!” ujarnya mengompori ibu-ibu yang sedang berbelanja di warungnya. Bodohnya, mereka langsung tersulut gosip murahan tersebut.
Singkatnya, gosip yang diumbarkan Minar cepat menular seperti kolera. Suatu malam, berbondong-bondong warga kampung berdemonstrasi ke rumah didik yang ditinggali Marwa di dekat danau itu. Warga yang tak menerima lagi Marwa di sini karena akan membahayakan anak-anak yang dididiknya dan warga kampung karena dia seorang tuna susila. Mereka berteriak-teriak membawa obor mengajak warga yang terlewati massa itu ikut. Didobraknya pintu rumah yang hampir roboh itu.

“Perempuan murahan! Keluar kau! Jangan sembunyi dari kami! Kami sudah tahu akal busukmu tinggal dan berbuat sok baik di sini!!!” ujar warga sahut menyahut teriakannya. Marwa terbangun mendengar kereamaian suara di depan rumahnya. Tapi ia tak berani keluar. Ia sadar dirinya dalam bahaya.
“cepatlah keluar! Atau rumah ini kami bakar!” ancam warga kemudian, karena yang mereka mau belum didapatkan. Tubuh gadis itu menggigil ketakutan, tapi masih belum berani keluar. Dan akhirnya mereka tak main-main dengan ancaman itu, dilemparkannya obor-obor di tangan mereka sehingga dengan mudah menyulut rumah yang terbuat dari papan lelak dan atap daun rumbia. Benar-benar tebakar.
“Biar mati sekalian kau, jal*ng!” pekik seorang warga penuh kemenangan. Menyadari rumahnya terbakar, Marwa lari keluar menyelamatkan diri, tentu warga itu langsung membekuknya. Dia meronta-ronta.
Mengetahui sahabat perempuannya dalam bahaya, kawanku langsung menggandengku lari ke TKP, Pak Cik juga tersengal-sengal mengekor di belakang kami. Tiba di sana, api sudah berkobar melahap semua bagian rumah menyedihkan itu. Kami berdua menatapnya nanar. Pak Cik menyongsong kerumunan brutal yang mendekat itu.
“Yaa Rabb, Yaa Rabb!!!” pekik beliau berlari ke kerumunan, berharap Tuhan melindungi putrinya.
Anak gadisnya hampir dihakimi oleh warga. Diterabasnya kerumunan itu demi mendekap putrinya yang menangis pilu. Warga bingung siapakah pria paruh baya yang tiba-tiba memeluk perempuan jal*ng itu. Pun Marwa, terkejut akan kedatangan ayahnya di depan matanya. Menyelamatkannya yang hampir dihabisi.
“Minggir Pak Cik! Ini urusan kami! Perempuan ini harus kami beri pelajaran agar tak berbuat yang tidak-tidak membuat nama kampung kami tercemar!” kata warga..
“Urusan kalian, kau bilang?!! Jelas ini pun urusanku! Putriku hampir dihabisi orang-orang tolol dan aku harus membiarkannya?!! Aku masih waras, tidak seperti kalian!” tandas Pak Cik yang amarahnya sudah di ubun-ubun. Seperti telah mengganggu singa tidur siang, mereka akan diterkamnya.
“Gadis ini sudah meresahkan warga kampung, Pak Cik! Dia patut diusir dari sini!” kata seorang warga yang kuduga jadi provokator atas kerusakan ini. Pak Cik Zakir mengganas.
“Meresahkan bagaimana?! Aku tahu semuanya! Julian yang memberitahuku!!! Aku yakin di antara kalian ada yang membuat gosip murahan! Siapa orangnya?!! Kemari! Biar kutebas lehernya!” sambar Pak Cik Zakir. Itulah kalau kalian mau tahu kemarahan Pak Cik Zakir. Imam yang lembut bisa jadi sangat ganas. Pun mereka yang baru pernah bertemu, jadi diam tak berani menyalak lagi.
“Aku yang selalu mendampinginya ke manapun. Seluk beluk tentangnya tentu aku tahu. Seperti berita yang tersebar, itu tak benar! Kami di sini hanya mengajar, murni mengajar, bahkan tak mengharapkan apapun” tambah Julian, emosi.

Suasana benar-benar panas kala itu. Adu mulut, makian, amarah, tangis pilu Marwa dan rumah yang sekejap berubah menjadi onggokan besar puing hitam berasap-asap. Aku dan Julian berinisiatif menggiring semuanya ke rumah Ketua RT setempat demi mencari penengah juga agar dapat meluruskan kesalahpahaman warga tentang Marwa.
Kita tak pernah tahu ke mana kita akan berakhir, di surga-Nya atau disiksa di neraka-Nya. Kita pun tak pernah tahu yang sekarang terlihat orang baik akan selamanya baik dan berakhir di surga. Atau yang kita lihat sekarang orang buruk akan berakhir di neraka. Allah akan menurunkan hidayah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Jangan pernah berprasangka kecuali yang baik terhadap orang lain.

Semoga ini adalah yang pertama dan terakhir untukku. Karena, seumur hidupku aku baru satu kali jatuh cinta pada laki-laki sampai-sampai aku tertunduk-tunduk bila berpapasan dengannya, saking malunya. Aku jatuh cinta padanya ketika Tsanawiyah dulu, dan sampai bertahun-tahun terlewat rasa itu tetap terpendam, terkurung, terkunci rapat. Hingga pada suatu ketika aku begitu kotor dan tak pantas untuk mengaharapkan laki-laki sholeh itu. Aku berusaha melupakannya, bahkan berusaha membencinya, namun aku tak kuasa. Di setiap doaku, aku senantiasa meminta untuk dipantaskan dengannya. akhirnya, aku mulai putus asa karena aku tak kunjung berubah. Aku tetaplah aku yang jal*ng. Kupikir, aku yang terlanjur kotor mestinya merusakkan diriku sekalian. Namun, Allah menunjukkan jalan pulang. Maha Suci Allah yang telah membuat hati Zayn mencintaiku dengan tulus. Hati yang ikhlas mencintaiku, bukan sekedar menerima lebih kurangku, tapi juga cinta yang tak pernah menghakimi kesalahanku. Cinta Zayn mampu melihat hitam putihku dengan terang. Aku bersyukur pada Yang Maha Pengasih, telah menjawab setiap doaku, telah memberiku kesempatan untuk berubah dan telah memilihkan Zayn untukku.

Para tamu undangan telah hadir memenuhi ruangan. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga dan sahabat karib kami. Semuanya berpakaian nuansa putih. Tak ada raut selain kesukacitaan yang tergambar di wajah-wajah mereka. Pun aku, telah siap dengan gaunku sejak lepas subuh tadi. Padahal acara akan dimulai pukul 8. Energi cinta selalu saja mengobarkan semangat. Gaun yang kukenakan hari ini adalah gaun terbaikku untuk acara paling menakjubkan sepanjang sejarah hidupku. Gaun putih bercorak bunga-bunga mawar putih kecil menjalar dari ujung kaki hingga leher. Khimar putih berkilat-kilat terjuntai ke dada. Lelaki itu duduk di sampingku. Dengan kostum dari ujung kaki hingga pecinya, semuanya bernuansa putih. Melihatnya tersenyum, hatiku mengembang.
Tepat di hari bertabur kelopak mawar itu, aku menjadi kekasih halalnya. Mendampinginya selamanya, kuharap sampai ke surga. Aku menatap indah matanya untuk pertama kali.

*Penulis mempersembahkan cerita pendek ini untuk pembaca setia, muslimah seluruh dunia, dan saudara Wahyu Muhammad Rizky (motivator saya)

Cerpen Karangan: Amalia Aris Saraswati
Facebook: Amalia Aris Saraswati

Cerpen Di Balik merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sarung Terakhir

Oleh:
Perutku semakin tidak karuan setelah sekian lama berada di kereta yang para penumpangnya bersatu padu dalam satu gerbong. Dimana segala macam wewangian yang menusuk hidung sedang berperang memasuki hidungku.

Ini Hidup Gue

Oleh:
Andra memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah yang terletak di sebuah desa kecil di daerah Bogor rumah yang cukup besar dibandingkan rumah lainnya, malam ini waktu menunjukkan pukul 10.00

Gadis Renta

Oleh:
Tak terasa, ternyata sudah satu pekan aku berbaring di tempat tidur ini. Kaku, sakit, ngilu. Ya Tuhan apa sebenarnya yang terjadi padaku? apa ini pertanda? tapi kapan waktunya? cepat

Meja Dan Kursi

Oleh:
Aku melihat tempat belajar anak-anak usia dini di Kampung Cileuksa Desa Bandung sangatlah prihatin. Anak-anak belajar di kantor balai desa secara lesehan. Tidak mempunyai meja dan kursi. Mereka melaksanakan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *