Di Penghujung Minggu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Pendidikan
Lolos moderasi pada: 16 July 2023

Sebagian besar orang menghabiskan waktu di akhir pekan untuk berkumpul bersama keluarga, pergi liburan, atau bahkan menikmati minggu dengan bersantai di rumah. Namun tidak denganku, aku seperti kain basah di penjuru ruang, tercenung ditemani minda yang kelut-melut. Kuharap senyuman mentari ini tak membuat ibu memanggilku untuk membatunya mengancang dagangan. Aku tak mungkin bisa membantu ibu dengan perasaan bancuh.

Pergi ke kamar adalah pilihanku, menutup pintu, menghidupkan laptop dan mengikuti seminar konseling. Kuharap mingguku produktif walaupun minda tetap tidak bisa dibohongi.

“Muzaki Fidzikrillah.” Panggilan suara dari google meet mengagetkanku.
“Hadir pak.” ucapku sambil sedikit grogi dan senyum kecil.

Tujuh tahun yang lalu aku adalah insan menuntut ilmu yang terkenal nakal di kelas. Seorang bocah yang tak memiliki semangat belajar, karena memang sejak kecil aku diasuh oleh wanita tua berambut putih dan kulit keriput yang kupanggil dengan sebutan nenek. Ibuku pergi merantau ke luar kota, banting tulang sendirian demi menghidupi aku dan nenek. Ayahku, entahlah aku sama sekali tak tau seperti apa parasnya, ibu hanya memberitahuku kalau ayah pergi meninggalkan ibu saat aku dalam rahimnya. Terdengar menyayat sekali tapi inilah kenyataannya. Aku sama sekali tak mengenal kasih sayang ayah dan ibu, aku iri melihat teman-temanku bersama keluarganya yang lengkap.

Di bangku sekolah dasar aku senang menjaili teman-teman di sekolah, karena ku rasa itu bisa membuatku sedikit bahagia, melihat teman-teman kesal dengan ulahku. Aku terkenal dengan kenakalannya, sering telat masuk kelas, tak pernah belajar, acuh terhadap nilai, terserah mau ranking kelas atau tidak aku tidak peduli.

Sekarang ibu sedang di rumah, menghabiskan akhir pekan bersamaku. Sebentar lagi ujian nasional. Ibu menyuruhku untuk belajar, aku selalu menolak setiap kali disuruh untuk belajar. Aku rasa untuk apa aku belajar kalau nasibku seperti ini terus, tidak bisa bertemu ayah. Ibu pun sebentar lagi akan pergi merantau jauh dariku. Heningnya malam kala itu mengawal ibu untuk menemaniku, aku dihadapkan oleh buku pelajaran yang sudah ibu siapkan sesuai dengan mata pelajaran ujian besok.

“Kamu harus janji kepada ibu kamu harus rajin belajar, ibu ingin kamu jadi orang yang sukses dunia dan akhirat. Janji kepada ibu nak.” ucap ibu memelas.
Aku mengangguk mendengar kata-kata ibu, membendung air mata yang mulai membanyak. Kupandang matanya berbinar, lemah memalangi isak. Bisa aku baca dari balik dinding-dinding matanya, betapa besar kasih sayang ibu yang tersimpan dalam-dalam. sepertinya ibu berharap banyak untuk masa depanku.

Ujian nasional di hari terakhir ibu berangkat ke luar kota, ibu tak meminta izin kepadaku, karena ibu tau kalau aku tak akan mengizinkan ibu untuk pergi merantau. Tetapi ibu tetap berangkat. Ibu merantau untuk menafkahi aku dan nenek, sebab tak ada lagi yang bisa ibu andalkan selain dirinya sendiri.

“Ibu dimana nek?” tanyaku sambil teriak.
“Ibu berangkat nak.” Jawab wanita tua itu.
Mendengar pernyataan nenek, aku langsung marah, kulempar tas yang aku gendong ke sudut ruang. Aku pergi bermaksud ingin menyusul ibu, memantang keberangkatan ibu ke luar kota. Naik ojek yang kebetulan pengendaranya adalah tetanggaku sendiri. Aku menangis, memaksa tetanggaku itu agar ia mau mengantarkanku ke terminal bus untuk menyusul ibu.

Sesampainya di terminal aku memasuki satu persatu bus yang sedang parkir, kulihat kanan kiri, depan belakang tak ada ibu. Aku bertanya pada supir bus menanyakan penumpang atas nama Sri Mutia. Namun apalah dayaku, aku tidak bertemu ibu, mungkin bus yang ibu naiki sudah jalan sebelum aku sampai di terminal.

ADVERTISEMENT

Bukannya aku tak sayang pada nenek, tapi aku hanya ingin seperti teman-temanku, berkumpul bersama ibu dan ayahnya. Kalaupun ayah tak bisa menemani masa remajaku setidaknya ibu bisa menemaniku. Tapi kenapa tidak denganku, semua orang tuaku pergi meninggalkanku.

Dua Minggu kemudian, aku bersiap-siap mengikuti wisuda. Acara formal yang sama sekali tak ingin aku hadiri. Lagi-lagi aku harus melihat teman-temanku bersama ibu dan ayahnya. Sedangkan aku? Aku hanya ditemani nenek. Aku benci dengan kehidupan ini, seakan kebahagiaan tidak memihak kepadaku.

“Ibu kamu tidak menemanimu wisuda Zak?” tanya Nisa sambil melihat ke kanan kiri mencari sosok yang bernama ibu Sri.
“Bukan urusanmu!” jawabku ketus. Nisa yang tahu sifatku langsung menghindar.

Kenapa ini semua terjadi padaku, aku benar-benar kurang dewasa dalam memahami ini semua. Air mata pun mengalir tak bisa kubendung lagi. Aku hanya menangis di ruang kelas yang sunyi, kepedihanku semakin dalam.

“Peringkat tiga ujian nasional adalah ananda Nisa Dwi Rahma.”
Ibu wali kelas enam sedang membacakan peringkat ujian nasional. Melihat Nisa maju ke panggung ditemani ibunya aku semakin iri, kutundukan kepala untuk menahan tangis, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Aku yang terkenal nakal namun saat wisuda hanya sebagai bocah murung, diam melamun.

“Peringkat satu ujian nasional adalah ananda Muzaki Fidzikrillah.”
“Zak! Zak! Kau dipanggil tuh.” Suara Reno membuyarkan lamunanku.
Aku? Hah! Aku heran, sama sekali tak menyangka akan mendapat peringkat pertama ujian nasional, aku ditemani nenek naik panggung untuk menerima piala. Aku bingung harus merasa sedih atau bahagia.

Ouch!…
Terasa ada yang memelukku keras dari belakang, nyaman sekali. Segera mataku melihat ke belakang. Ternyata itu adalah ibu Sri Mutia, Ibuku. Langsung aku balas pelukannya.
“Ibu benar-benar tak menyangka kamu mendapat peringkat pertama nak, ibu bangga padamu.”

Semenjak kejadian itu aku jadi termotivasi untuk belajar.

Cekreeeeek…
“Zaki sudah selesai seminarnya? Kalau sudah selesai bantuin ibu menyiapkan dagangan ya.” Ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku tentang masa lalu yang penuh dengan asam manis.

Layar laptopku masih menyala, seminar yang kuikuti belum juga selesai. Saat ini aku adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di Jakarta. Hal yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku ingin mengabulkan harapan ibu sedikit demi sedikit. Aku mengambil jurusan konseling, dengan maksud agar bisa membantu orang-orang yang membutuhkan pendekatan individual seperti yang aku alami dulu.

Sekarang aku dan ibu memilih untuk tinggal di Jakarta, ibu berjualan di depan rumah sambil menemani perkuliahanku. Dan atas izin Allah, aku mendapat beasiswa full. Jadi ibu tidak perlu banting tulang keluar kota lagi untuk membiayai sekolahku. Dan nenek sudah meninggalkan kami satu tahun yang lalu karena sakit diabetes.

Remember this, takdir Allah itu selalu yang terbaik, bila terasa belum baik, berarti takdirnya belum selesai. Jadi sabar, kuatkan kesabaran. Percayalah bahwa kesabaran akan membawamu pada kebahagiaan.

Cerpen Karangan: Faris Nur Hikmah
Facebook: facebook.com/faris.nurhikmah.1004

Cerpen Di Penghujung Minggu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Anak Sholeh

Oleh: ,
Pada suatu hari, terdapat muadzin yang bernama Mansyur yang setiap hari adzan di masjid yang berada di pinggiran jalan raya. Saat Mansyur ingin mengumandangkan adzan ia sangat tergesa gesa

Setitik Cahaya Harapan Si Gadis Buta (Part 2)

Oleh:
Beberapa hari berikutnya… “Zah… Zizah…”, panggil Kak Raka. “Ada apa Kak…”, tanyaku. “Kamu akan segera bisa melihat Zah…”, ucap Kakakku seraya menggoyangkan tubuhku. “Benarkah Kak…?”, ucapku sangat senang. “Benar

Kasih Sayang

Oleh:
Saat ini seorang laki-laki yang dari dulu sampai sekarang yang, berumur 17 tahun itu tidak pernah merasakan arti dari kasih sayang dari keluarga maupun teman-temannya. Dia bernama Andi yang

Dinda

Oleh:
Pekikan keras mengganggu telinga gadis itu, ia seakan ingin berontak apa yang telah terjadi di luar sana. ibu tak kuasa menahan tangisnya, berhari-hari ibu menangis dalam kekejaman lelaki biadab

Hitam Putih Hari Raya

Oleh:
Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar.. Allaahu akbar.. Walillaahilhamdu Samar, kudengar lantun merdu takbir raya memenuhi langit maghrib petang itu. Aku mengusap wajahku dengan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *