Doa Penggali Kubur (Part 1)
Cerpen Karangan: Bambang WinartoKategori: Cerpen Covid 19 (Corona), Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 2 September 2022
Penggali kubur. Ya…, itulah pekerjaan utamaku. Pekerjaan lainnya, serabutan, apa saja. Satu liang kubur, bisa untuk makan dua hari. Jika tidak ada pesanan, Euis siap-siap cari utangan, di warung makan, warung sembako, warung rokok atau warung lainnya, entah warung apa lagi. Entah pula, sudah berapa banyak utangku di berbagai warung. Gelang dan kalung pemberian orangtuanya yang menempel di tubuhnya sudah tidak terlihat. Aku pura-pura tidak tahu.
Aku sebenarnya heran, Euis, salah satu kembang desa, anaknya Haji Komar yang cukup kaya, mau kawin denganku. Wajahku biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Banyak pemuda desa yang cukup gagah dengan pekerjaan yang layak, ditolaknya.
“Euis, kenapa engkau mau kawin denganku?”
“Iya Kang, Euis mimpi kalau kawin sama akang, hidupnya nanti akan makmur.”
“Makmur gimana, sampai sekarang saja Akang masih jadi penggali kubur.”
“Iya.., nanti kan berubah Kang, bukan menjadi penggali kubur lagi, jadi pengusaha.”
“Ha…, ha…, ha…”
“Iya…, bener Kang.”
“Terus, kalau akang sudah jadi pengusaha boleh nggak kawin lagi?” Sifat nakalku kambuh.
“Iiiih…, Akang ini, ada-ada saja. Tapi…, yaa…, bolehlah. Asal Akang sudah mampu membelikan Euis perhiasan yang Euis telah jual, mobil sama buka warung sembako. Tambahnya satu saja, yaa… Itu juga, Euis yang memilihkannya.”
Keyakinan Euis akan hari depanku, membuatku tambah tetap semangat. Apalagi Euis akan akan memberi bonus istri muda. Semoga mimpi Euis terbukti.
“Yaa…, Tuhan, berilah kami galian kubur yang banyak.” Hanya itu saja doa yang aku panjatkan setiap sehabis sholat.
Suatu malam, aku masih ingat malam Jum’at Kliwon, entah mengapa aku merasakan malam yang mencekam. Bulan dan bintang bersembunyi sejak mentari menuju peraduan. Angin berhenti bernafas, pepohonan diam mematung, binatang malam yang biasa ramai berdendang, kini membisu semua. Aku lihat Euis tidur dengan nyenyak setelah aku cumbu dengan penuh nafsu. Detak jam dinding sebanyak dua kali masih terdengar yang menandakan bahwa aku masih sadar. Didahului dengan hawa dingin yang menerpa wajahku, hidungku yang cukup tajam mencium bau busuk menyengat bercampur dengan bau amis darah. Antara sadar dan tidak, antara mimpi dan nyata, ada makluk aneh yang mandatangiku. Entah dari mana masuknya. Jaraknya demikian dekat, badan manusia tapi kepalanya kepala corona. Ya…, kepala corona, kepalanya bulat warna merah muda, rambutnya bagai pentol korek berwarna merah tumbuh jarang tapi merata di seluruh kepalanya. Matanya merah sebesar bola pingpong melotot menatapku. Aku mau berdiri tidak bisa, kedua kakiku seperti ada yang memegangnya dengan kuatnya. Aku mau teriak juga tidak bisa, seperti ada tangan yang demikian besar membekap mulutku. Aku mau pejamkan mata juga tidak bisa, mataku dipaksa memandang makhluk yang menakutkan. Bajuku telah basah dengan keringat dingin. Bahkan celana yang aku pakai juga basah karena pipis. Ketakutan.
“Jajang, aku menyampaikan kabar gembira, doamu telah dikabulkanNya. Galian kubur akan bertambah dan bertambah setiap harinya sampai waktu yang ditentukan. Tapi ingat Jajang, orang-orang yang engkau cintai juga akan menjadi korban dariku.”
Aku meronta dan meronta. Bersamaan dengan hilangnya manusia corona, aku bisa bangun dari tempat tidur. Aku lihat Euis masih tidur dengan nyenyak, tidak tahu kedatangan manusia corona. Aku duduk di tempat tidur mengatur nafasku yang masih terengah-engah. Ketika sudah normal, aku hanya berani tidur ayam dan berharap mentari segera menampakkan diri.
Untuk beberapa hari mimpi tersebut selalu menghantuiku, tapi hanya aku pendam dalam hati. Aku mencoba untuk tidak mempercayainya. Bukankah mimpi hanya bunga tidur? Mau cerita sama Euis aku tidak berani.
Alhamdulillah, rupanya doaku dikabulkanNya. Sejak Covid-19 menyerbu Indonesia, pesanan galian kubur semakin banyak. Mereka korban keganasannya. Sering, aku bersama Pardi dan Paimin lembur, menggali liang kubur sampai malam. Paling tidak, dalam satu hari, aku menerima pesanan tiga galian. Suatu jumlah yang lumayan. Satu orang dapat 200 ribu per galian. Kalau tiga galian berarti dapat 600 ribu, dikurangi makan dan lain-lain bisa bawa pulang 500 ribu. Pendapatan yang cukup besar. Euis senang. Hutang pun secara perlahan-lahan lunas.
Parjo, temanku penggali kubur juga, menyarankan agar menggunakan chain saw. Agak aneh. Tapi memang betul. Dengan chain saw pekerjaan galian kubur semakin cepat. Seperti memotong kue saja. Dalam satu hari bisa 6 galian. Dua kali lipat dari pekerjan sebelumnya. Ini berarti pendapatku dalam satu hari bisa 2 kali lipat juga, 1 juta. Hebat kan? Hanya penggali kubur.
Aku sadar bahwa sebagai penggali kubur, resiko tertular covid-19 sangat besar. Anjuran pemerintah tentang Protokol kesehatan (Prokes): memakai masker, jaga jarak dan cuci tangan dengan sabun senantiasa aku laksanakan. Bahkan, anjuran teman-teman via WA: minum jamu, menghirup uap yang telah diberi minyak kayu putih dan menyemprot lubang hidung dengan air garam juga aku lakukan.
“Cliiing,” aku buka WA.
“Pak Jajang tolong siapkan galian untuk sepuluh orang.”
“Siap Boss.”
Pesanan bertubi-tubi. Setiap hari selalu dan selalu bertambah. Aku sampai tidak sanggup melayaninya.
Suatu ketika, aku ketemu Wawan, teman SMA yang sekarang sudah jadi pengusaha besar dalam berbagai bidang dan juga pemborong di berbagai intansi pemerintah. Aku sebenarnya minder kalau ketemu dengannya. Bagai langit dan bumi. Konglomerat ketemu buruh galian kubur. Tapi dia sangat baik, memperlakukanku sebagai sahabat.
“Jajang, sebaiknya kamu tidak lagi sebagai penggali kubur. Kamu bisa menjadi pengusaha pemakaman Covid-19.”
“Bagaimana caranya? Aku kan bukan orang sekolahan.”
“Nanti, aku buatkan perusahaan pemakaman jenazah. Kita beri nama “PT. Pemakaman Corona”. Kamu sebagai Direktur Utama dan aku sebagai komisarisnya. Aku yang ngurus semuanya.”
Berkat Wawan, “PT. Pemakaman Corona”, menjadi terkenal. Wawan memang pandai dan mempunyai jaringan luas dengan instansi pemerintah. Berbagai proposal pemakaman covid-19 dibuatkannya. Dari proposal sederhana yang hanya berisi penggalian kubur saja, atau penyediaan peti mati saja sampai proposal paket lengkap: penggalian kubur, peti mati, prosesi pemakaman termasuk pembacaan doa. Rupanya paket lengkap paling diminati, meski biayanya lumayan mahal, 8 juta rupiah satu kuburan. Namun, harga yang aku tawarkan dianggap terlalu murah.
“Mas Jajang, paket lengkap dibulatkan saja menjadi sepuluh juta, yang dua juta untuk saya,” kata pemimpin proyek Covid-19 tanpa malu-malu.
Aku setuju-setuju saja. Bagiku dengan nilai yang aku tawarkan sudah mendapat untung 20%. Kontrak pemakaman sebanyak seratus paket lengkap aku tandatangani. Nilai kontrak yang harus aku tandatangi 1.000 juta, alias satu milyard. Aku terima 800 juta rupiah. Untungnya 200 juta rupiah. Hebat kan? Pemimpin proyek lebih hebat lagi, ongkang-ongkang dapat 200 juta rupiah juga.
“Jajang, sebaiknya kita dirikan cabang di berbagai daerah terutama pada daerah yang padat penduduknya dan berada pada zona merah atau kuning.”
“Sependapat Wan.”
“Jajang, aku sudah hubungi satgas covid-19 masing-masing daerah. Mereka sangat senang dengan adanya perusahaan kita. Engkau tinggal mengajukan izin usaha pemakaman covid-19.”
“Siap Wan.”
Berkat ketenaran perusahaan dan jaringan yang dibangun Wawan serta banyaknya kasus covid di berbagai daerah, bendera “PT Pemakaman Corona”, semakin berkibar. Luar biasa Wawan. Ketika aku datang ke daerah, mereka membantu dengan sepenuh hati. Izin usaha pemakaman keluar dalam hitungan hari. Aku juga dipertemukan dengan para pekerja penggali kubur. Untuk sementara sudah ada 100 cabang di seluruh Indonesia. Mereka aku didik mengenai protokol kesehatan dan protokol pemakaman. Segala keperluan yang berhubungan protokol kesehatan dan protokol pemakaman aku sediakan. Mereka hanya perlu tambahan chain saw dan ekskavator. Pertama kali lihat chain saw dan ekskavator untuk menggali kuburan mereka heran. Namun, setelah paham, pekerjaannya menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
Chain saw yang aku miliki sudah seribu, sementara ekskavator seratus yang tersebar di beberapa kota yang masuk zona merah. Bisingnya suara chain saw dan mesin ekskavator terdengar merdu di telingaku. Nyanyiannya, semakin sering di daerah-daerah yang masuk zona merah. Berbagai kontrak dari berbagai daerah sudah aku tandatangani. Kalau dijumlahkan, nilainya mencapai milyaran rupiah. Usahaku laris manis, “Seeng ada lawan” kata orang Ambon.
“Kang Jajang, apa kubilang. Akang sekarang sudah jadi pengusaha. Hidup kita makmur, benar kan?”
“Ya…, benar Euis. Berkat doamu, rezeki Akang semakin bertambah dan bertambah. Engkau memang istri yang baik, cantik dan setia serta selalu memberi semangat Akang, Terima kasih Euis.” Aku kecup keningnya.
Sebagai tanda terima kasihku kepadanya, apapun permintaanya aku turuti. Gelang, emas yang sempat dijualnya, kini telah kembali dengan model terbaru yang jumlah dan ragamnya jauh lebih banyak. Di tangannya selalu tergemgam smartphone keluaran terbaru. Euis memang senang bersosialita dengan sesama teman SMA, teman desa dan teman sesama pedagang. Sepeda motor bebek hanya bertahan beberapa bulan, demikian pula mobil Avansanya. Sekarang, Nissan Juke warna merah menyertai kemana pun Euis pergi. Dandanannya nggak kalah sama selebriti. Kaca mata hitam selalu menempel di matanya. Gelang, kalung, anting, cincin menghiasi tubuhnya. Pokoknya Euis tambah waaah, tambah kece. Warung sembako ditelantarkannya.
“Euis, mana janjimu?”
Cerpen Karangan: Bambang Winarto
Blog / Facebook: Bambang Winarto
BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993, dengan predikat lulusan terbaik. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : Dulkamdi (Part 1,2) (bulan Agustus 2022) Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022).
Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;
Cerpen Doa Penggali Kubur (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Bambang Winarto, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Woody dan Rara
Oleh: Eko Budi RahartoAku kembali melewati pabrik es krim Woody di jalan raya Bogor Jakarta pada sore hari. Sebuah merk es krim klasik, dari masa tempo dulu. Bergambar Woody Woodpecker, si burung
Anak Kecil
Oleh: Zahra KiranaSemua tidak akan datang jika kau mengharapkannya. Jangan pernah melebihi ekspektasimu, pola pikir itu hanya akan membawakan malapetaka di dalam hati dan jiwa yang tak pernah mau kau rasakan.
100 Senja Yang Telah Hilang
Oleh: Nur Mahmudah AliTerasa baru kemarin senja itu hilang dari pandanganku, duka itu masih saja mengeluti pikiran dan dadaku hingga hari ini. Seandainya saja senja waktu itu aku tidak begitu saja membiarkanmu
Pidato Seorang Buta
Oleh: Aris Prima GunawanDalam acara perpisahan sekolah, seorang siswa buta nekat berdiri di panggung untuk berpidato. Namanya Zai. Sejak kecil tak tahu segala bentuk yang dapat ditatap di dunia ini. Zai hanya
Bandul Bintang
Oleh: Harry HandikaLastri merenung dengan tatapan kosong. Wajahnya layu, tompel di pipinya pun berkerut. Ia memegang erat benda kesayangannya. Kalung berbandul bintang, kalung itu terbuat dari bebatuan langka, kalung itu merupakan
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply