Eksekusi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 28 April 2013

“Ini berkasnya Pak,” kata seorang pegawai sambil meletakkan sebuah map merah di mejaku. “Kau sudah mempelajarinya terlebih dahulu,” tanyaku kepadanya seraya mengambil map tersebut dan membukanya. “Sudah pak. Untuk eksekusi kali ini Bapak yang pimpin,” jawabnya. Ia kini duduk di hadapanku. “Bapak bersedia melakukannya?” tanyanya. “Saya bersedia,” jawabku cepat.

“Kalau begitu saya permisi dulu Pak,” pamitnya seraya meninggalkan ruanganku. Aku kembali fokus ke map yang kini telah berada ditanganku. Mataku masih menatap surat tugas yang diberikan oleh pengadilan tinggi kepadaku. Aku baca secara seksama semua yang tertera disana.

Aku membuka lampiran yang berada dibaliknya. “Astaga,” tiba-tiba aku terperajat melihat foto rumah yang terlampir disana. Aku masih belum percaya apa yang kulihat. Benar-benar membuatku kaget Lagi-lagi aku mengamati satu demi satu foto tersebut. Sebuah rumah dan pekarangan kecil. Kecil menurutku, karena dibanding dengan kasus sebelumnya yang aku eksekusi, rumah dan pekarangan yang aku lihat saat kini tidak sebanding. “Siapa yang tega melakukannya?” gumamku dalam hati. Hatiku terenyuh melihat apa yang akan aku kerjakan.

Aku menghela napas panjang. Segera kututup kembali map itu dan kuletakkan di sisi meja bertumpuk dengan map lainnya. Keterkejutanku masih memenuhi rongga kepala. Kali ini pekerjaan yang akan kulakukan sangat-sangat sulit. Aku tak tahu mana yang harus didahulukan. Tugas atau kemanusian. Hati kecilku berkata lirih kalau aku jangan melakukannya. Sebaliknya aku tak mau reputasi di kantor menjadi buruk gara-gara melalaikan tugas.

“Pilihan yang sulit,” desahku. Kuraih secangkir teh manis di meja. Kuteguk perlahan sembari kunikmati. Sedikit menenangkan pikiranku. Namun dikepalaku masih berkecamuk berbagai pertanyaan. Salahku juga sedari awal tidak memantau kasus itu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan yang lain sampai tidak menyadari ada seseorang yang sangat membutuhkan pertolonganku.

Kembali mataku menatap map di meja. Perasaan bersalah hinggap dihatiku saat ini. “Apa yang harus kulakukan?” desahku tak menentu. Aku benar-benar akan membuatnya kehilangan harta benda terakhirnya. Kali ini aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menolak atau menerima pelaksanaan eksekusi tersebut.

Aku meraih kembali map itu dan kubuka. Aku tak mengerti mengapa orang itu tega membuatnya menderita. Tega menggadaikan sertifikat rumah dan tanah saudaranya sendiri hingga menjerumuskannya. Benar-benar saudara yang tak tahu diuntung. Sejak kecil selalu bermasalah, dan kini sampai tua pun masalah yang dibawanya semakin besar. Bahkan kini aku yang dilibatkan dalam perkaranya. Dia memang tak mengenal balas budi padahal saudaranya sendiri telah menaruh kepercayaan padanya dan kini ia mengkhianatinya. “Benar-benar manusia tak tahu diuntung,” gumamku kesal. “Lihat saja akan kuremukkan tulang lehernya kalau aku bertemu lagi dengannya,” kataku kembali sambil mengepalkan tangan. Hatiku kesal, marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu.

“Lebih baik kutemui dulu dia dirumahnya,” kataku perlahan sambil menurunkan tensi kekesalan yang hampir mencapai ubun-ubun. “Mudah-mudahan dia mengerti. Meskipun dikemudian hari, aku tak akan berani menunjukkan wajahku dihadapannya lagi. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur. Aku harap aku bisa berbuat sesuatu membantunya untuk terakhir kali,” lanjutku. Aku segera beranjak dari kursi dan segera meninggalkan ruangan. Aku ingin mengkordinasikan terlebih dahulu dengan orang-orang yang akan kuajak besok. Aku ingin memilih orang yang tepat untuk tugas ini untuk menghindari banyak kesalahpahaman yang mungkin akan terjadi pada proses eksekusi nanti.

***

Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun membukakan pintu rumah itu. “Bapak ada?”, tanyaku pada anak itu. Aku memandang dirinya dan dibalas dengan tatapan penasaran darinya. “Bapak ada dirumah,” aku bertanya lagi padanya sambil sedikit membungkukkan badan. “Anak manis, bapak kamu ada di rumah,” tanyaku kembali dengan lembut. “Ad.. ada. Bapak ada dirumah,’ jawab bocah itu. Aku masih melihat tatapan penasaran diwajahnya.

ADVERTISEMENT

“Siapa Di,” terdengar suara memanggil dari dalam rumah. “Pasti dia,” pikirku. Aku mendengar langkah kaki mendekat dari dalam rumah. “Kau rupanya,” seorang laki-laki telah berdiri didepanku. Ia membuka pintu lebih lebar. “Mari masuk,” katanya ramah. “Di, masuk kedalam. Suruh ibu bikin minuman buat tamu,” perintahnya pada bocah kecil itu. Tanpa berkata lagi, bocah itu segara berbalik dan masuk kedalam rumah.

Aku segera melangkahkan kaki masuk kedalam rumah itu. Kumasuki ruang tamunya. Ruang tamu yang kecil jika dibandingkan dengan rumah-rumah berukuran sejenis. Ada empat kursi rotan disana sambil mengelilingi meja kayu bercat cokelat ditengahnya. Sebuah lukisan abstrak tergantung di dinding. Selain itu juga nampak sebuah jam dinding bulat bertengger disana. “Silahkan duduk,” ucapnya. Perlahan aku menuju salah satu kursi rotan itu dan duduk disana. “Terimakasih,” timpalku.

Kali ini kami telah duduk berhadapan. Aku dapat dengan jelas nelihat raut wajahnya. Raut wajah yang telah aku kenal semenjak kecil. Aku dan dia mengalami masa-masa kecil bersama. Hidup disebuah desa yang asri. Melakukan kekonyolan khas anak-anak desa. Kenangan itu masih berbekas di kepalaku.

“Bagaimana kabarmu?” tanyaku tiba-tiba. Aku masih belum bisa menguntai kata untuk disampaikan padanya. Ada banyak yang harus kukatakan dan aku tak tahu dari mana harus memulai. “Seperti yang kau lihat sekarang,” jawabnya. “Kau sendiri bagaimana. Masih berkutat dengan pekerjaanmu atau telah menemukan sesuatu lain yang tidak menganggu hati kecilmu lagi,” lanjutnya sembari melihat kearahku. Kebenahi letak dudukku sekadar menghindari tatapan langsung matanya.

Ada rasa tak nyaman ketika aku bersua dengannya kali ini. Aku merasa ada kerikil yang mengganjal hubungan kami. Meskipun aku tahu, dirinya selalu menerimaku kapan saja dirumahnya. “Entahlah, aku merasa tak bisa lepas dari pekerjaan itu,” kataku memulai percakapan kembali. “Sepertinya aku terlalu pengecut untuk keluar dari kantorku,” lanjutku. “Kau tahu, aku mengenalmu sejak kecil. Apapun yang kau rasakan dan ceritakan padaku dapat kupahami,” timpalnya tiba-tiba.

Lagi-lagi aku tak kuasa berbicara langsung maksud dan tujuanku berkunjung ke rumahnya. “Kau masih ingat ketika kecil dulu. Dirimu hampir saja jatuh ke dalam jurang gara-gara dikejar anjing pemilik kebun kelapa. Untung saja aku berhasil menahanmu,” katanya berusaha mengurai kebekuan dan keheningan suasana. “Ya, aku selalu ingat kejadian itu. Waktu itu kita nekat mencuri kelapa muda di kebun itu dan tertangkap basah oleh pemiliknya. Untung saja kita sudah turun dari pohon dan segera lari. Kalau tidak bisa habis kita oleh pemilik kebun itu,” timpalku kepadanya. Aku memutar kembali memori tentang kejadian itu. Aku selalu terkenang setiap waktu yang kuhabiskan bersamanya.

“Ya, itulah kau yang berani mencuri kelapa. Sudah kukatakan kalau dikebun itu dijaga seekor anjing, kau masih nekat juga,” ujarnya menimpali kembali perkataanku. Seorang anak kecil keluar dari balik ruangan dan membawa nampan berisi dua gelas teh manis. Bocah itu segera meletakkan satu gelas didepanku dan satu lagi disebrangnya. “Ini anakku, namanya Adi,” katanya sambil meraih bocah itu dan merangkulnya lembut. Aku melihat bocah itu hanya diam ketika sang ayah berusaha memeluknya. “Kelas berapa Adi?” tanyaku. “Dia sedikit pemalu kalau ketemu orang tak dikenal,” sahut ayahnya.

Aku melihat setiap jengkal dari ujung kepala hingga ujung kaki anak laki-lakinya. Tersirat sesuatu yang aneh disana. Aku bisa merasakannya. Namun aku tak berani mempertanyakan hal itu kepadanya. Bocah itu segera melepaskan diri dari dekapan sang ayah dan berlalu masuk kedalam rumah sambil membawa nampan. “Dia satu-satunya yang kupunya,” suara lirih terdengar dari mulutnya. Tiba-tiba aku melihat perubahan roman muka drastis dari wajah teman lamaku ini. Wajahnya tertunduk. “Apa maksudmu?” tanyaku tiba-tiba.

“Besok kami harus keluar dari rumah ini,” ia berkata sambil tangannya membuka tutup gelas dihadapannya. Sontak jantungku berdegup kencang. Aku mengerti apa yang sedang dipikirkannya saat ini dan arah pembicaraan yang dimulainya. “Apa yang harus kukatakan?”, tanyaku dalam hati. Kedatanganku kemari saja merupakan sebuah tarikan hati yang sangat berat, apalagi sampai tega mengatakan maksudku langsung kepadanya. Sampai saat ini aku masih tak sanggup untuk berkata jujur mengenai tujuanku bertamu.

“Kau tahu, ketika aku menemuimu tiga bulan silam,” katanya. “Aku datang ke kantormu. Masuk keruanganmu. Bertemu langsung denganmu. Aku datang sebagai sahabat. Sahabat yang membutuhkan pertolongan. Aku membicarakan panjang lebar masalahku denganmu,” lanjutnya. “Aku tahu itu. Kau menemuiku karena sedang dilanda permasalahan berat,” ujarku. “Aku tahu yang kau rasakan saat itu. Kau merasa tak punya kesempatan menang di pengadilan,” lanjutku.

“Kakak kandungku sendiri tega mengkhianati adiknya. Dia telah mengadaikan sertifikat rumahku ini. Pengadilan telah memutuskan kalau aku harus mengosongkan rumah ini selambatnya satu bulan setelah sidang. Aku sendiri tahu kalau hari ini adalah hari terakhir aku tinggal dirumah ini. Esok aku tak lagi tinggal disini,” katanya. Aku mendengar isakan kecil dari tiap-tiap kata yang diucapkannya. Hatiku tak kuasa mendengar keluh kesahnya. Aku masih termenung mendengar kata-kata yang barusan diucapkannya. Ada penyesalan yang menyelimuti jiwaku. “Apa aku mampu melakukan semua ini? Apa aku tega melakukan padanya?” tanyaku dalam hati. Pikiranku berkecamuk tak karuan. Hatiku semakin bimbang.

Rasa bersalah kembali menghantuiku. Aku segera mengalihkan pandangan keluar. Melintasi pintu dan jendela terbang ke alam bebas di luar sana. Tak dapat kupungkiri, kalau aku sudah terlambat membantunya. Bahkan untuk sekedar menemuinya saja aku sebenarnya tak sanggup. Namun tekadku sudah bulat kalau ini adalah pertemuan terakhir dengannya.

“Jadi dimana kau akan tinggal setelah ini?” tanyaku tiba-tiba. “Tak tahu. Mungkin menumpang sementara di rumah adik iparku,” jawabnya. “Bagaimana dengan kakakmu, dimana dia sekarang?” tanyaku kebali. Aku tahu perangai kakaknya yang selalu bermasalah. Bahkan ayahnya pun sudah angkat tangan dengan kelakuan kakaknya itu. “Aku sendiri tak tahu dimana dia sekarang. Aku tak sekalipun bertemu dengannya sejak enam bulan yang lalu. Sejak masalah dengan uang yang ia gunakan dari menggadaikan rumahku, ia tak pernah muncul batang hidungnya. Dulu aku menilainya telah berubah. Semenjak ayah meninggal, dia selalu berkata kepadaku kalau ia menyesali perbuatannya selama ini. Dan suatu hari ia datang kepadaku dengan maksud meminjam sejumlah uang untuk bisnis barunya. Ia mengiming-imingiku keuntungan yang berlipat dan aku termakan bujukannya. Sekarang apa yang terjadi? Aku telah tertipu dan harta benda berharga satu-satunya milikku telah hilang,” ujarnya. Aku meihat titik air mata jatuh di wajahnya. “Aku mungkin bisa bertahan, tapi bagaimana dengan istri dan anakku. Aku merasa bersalah padanya,” lanjutnya.

Suasana sore telah menggelayut langit. Samar-samar mendung mulai merangkak naik. Angin dingin mulai berhembus lirih. Perasaanku semakin tak menentu. Kupandangi diriku saat ini. Terduduk kaku di depan seorang sahabat yang membutuhkan pertolongan dan tak mampu melakukan apapun.

***

“Hati-hati jangan sampai jatuh,” kataku memperingatkan dua orang yang sedang mengangkat lemari cukup besar untuk dibawa keluar rumah. “Kau kemari. Tolong pindahkan ini. Letakkan disana,” perintahku sambil menunjuk papan yang telah tertulis sebuah pengumuman dan siap dilekatkan di depan rumah. “Semua cepat bekerja. Waktu kita tidak banyak masih ada eksekusi lain yang harus dilakukan hari ini. Ayo cepat…cepat,” kataku sedikit berteriak.

Aku ingin eksekusi rumah didepanku saat ini berlangsung cepat. Aku tak mau lama-lama ada disini. Sudah cukup pertempuran batin yang kualami sejak kemarin sore. Aku telah memutuskan untuk melaksanakan tugasku. Aku telah menyingkirkan rasa persahabatan.

“Maafkan aku kawan. Aku tak bisa menahan semua ini,” kataku dalam hati. Mataku masih mengawasi orang-orang yang keluar masuk rumah itu. Aku mendekat tumpukan barang-banrang yang ada di depanku. Sebuah cermin setengah badan tergeletak disana. Aku bisa melihat wajah dan tubuhku sendiri terpantul dalam cermin itu.

Diriku terbalut dalam sebuah seragam. Berdiri gagah. Aku tampak berwibawa sekali apalagi di depan anak buahku kali ini. Mereka selalu hormat kepadaku. Selalu memuji setiap pekerjaan yang kulakukan. Namun sebuah goresan terselip di balik seragamku. Goresan kecil kemelut hati. Aku masih tak kuasa untuk menangis meskipun terpendam jauh dilubuk hati.

Aku teringat ketika berkunjung kemarin sore. Aku mengatakan kalau aku terlalu pengecut untuk keluar dari sini. Itulah diriku. Kenyataan yang harus diterima. Kepastian hidup yang telah membunuh rasa persahabatan. “Maafkan aku kawan. Ini sebuah pilihan. Dan kali ini aku tak memilihmu,” kataku lirih.

Cerpen Karangan: Dwi Surya Ariyadi

Cerpen Eksekusi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Ladies Night Story

Oleh:
Namaku Nikita, seorang gadis yang mendapatkan nasib yang kurang begitu beruntung. Orangtuaku membuangku di panti asuhan, tahu alasannya apa? Yang jelas selama ini aku tinggal di panti asuhan sebelum

Anjing Geladak

Oleh:
“Lelaki ya harus kerja.” perkataan Bapak Mertuanya itu yang selalu dia ingat dalam benaknya. Pernah suatu hari Banyu jatuh sakit, typus, hasil diagnosis dokter. Dia berusaha untuk menyembunyikan rasa

Tanya

Oleh:
Namanya Nadya. Baginya waktu begitu cepat berlalu, menggoreskan tinta-tinta pembelajaran yang tak akan sirna. Sampai tiba waktu baginya untuk memilih jalannya dan bertanya pada dunia. Memang umurnya masih lima

Menyapa Heningmu

Oleh:
Hujan yang mengguyur kota kecil ini yang membuat perasaan gembira pada anak-anak yang menjadikan setiap hujan merupakan balasan dari Tuhan atas doa mereka, dan membasahi jiwa-jiwa yang tandus dengan

Sapi Bantuan (Pak) Presiden

Oleh:
Orang-orang kampungku terjaga dari tidurnya, tatkala mereka mendengar suara tangis bayi dari arah rumah Sobirin. Tetanggaku yang jarak rumahnya hanya lima rumah dari rumahku. Malam itu anak perempuan pertama

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *