Hujan di Medan Senja

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 15 August 2015

Hujan di Medan Senja,
Satu persatu air dari awan kelabu yang menggantung di atas langit mulai menjatuhkan diri, terhempas kedalam peluk bumi. Membuat jalanan becek, genangan air beriak-riak teriak. Senja yang harusnya hangat, menjadi dingin seketika. Dalam beberapa saat saja, air dalam saluran pembuangan sudah memenuhi batasnya, membuat banjir semata kaki orang dewasa. Matahari sudah meredup bahkan sejak tengah hari tadi, gelap memenuhi seluruh penjuru kota itu. Hujan semakin lebat, dia masih di situ, di emperan toko, entah menunggu siapa, kekasihnya? Atau hanya menunggu hujan sirna.

Hujan di Medan Senja,
Tak ada yang menarik perhatian orang dalam dirinya, hanya saja menarik perhatianku. Rambut panjang bergelombang, mata bulat penuh dan tajam tapi meneduhkan, hidungnya tidak terlalu mancung, bibirnya tipis rapuh, dan dari sudut pandangku, aku bisa melihat setopeng muka ramah. Tersenyum ketika ada yang menatapnya atau melewatinya, dia tampak tenang, berusaha agar percikan hujan tak buru buru membuatnya pergi dari emperan toko itu. Tapi itu tak sekedar muka biasa, aku bisa melihat sekelebat rumit masalah dalam wajahnya. Siapa yang tahu? Aku bahkan tak tahu namanya. Aku siapa? Hanya pengamat yang berteduh, tepat di seberang gadis itu. Aku bukan siapa-siapa, ini hanya secangkir cerita tentangnya.

Hujan di Medan Senja,
Kalau kalian kira kisah ini seperti di ftv-ftv yang tayang setiap hari di stasiun televisi swasta, mungkin kalian akan berpikir aku akan menyusulnya, menerobos hujan ke seberang emperan toko, mengajak berkenalan, ngedate, kemudian suatu hari aku akan menyatakan perasaanku, sedikit konflik-konflik dan ujung ceritanya berakhir dengan happy ending. Kalau kalian berpikiran seperti itu, kalian keliru.

Hujan di Medan Senja,
“Perkenalkan namaku Rindu, hidupku mungkin hanya sebatas umur salju, yang mencair seketika saat terkena panas, menguap lalu hilang, bersembunyi di balik awan dan turun menjadi hujan, enggan menjadi embun yang terlalu takut menghadapi hari.

Mungkin semua akan berakhir saat hujan di Medan senja hari ini. Semuanya, bahkan segalanya, semuanya akan berakhir, aku mungkin tak sempat mengucap salam terakhir pada kedua orangtua angkatku yang merasa rugi telah mengangkatku sebagai anak. Aku juga tak akan sempat mengucap salam terakhir pada laki-laki bangs*t yang telah mengecewakanku, memberi nyawa di perutku tetapi sekarang mungkin sedang bermesraan dengan mahasiswi muda di hotel tak jauh dari sini.

Aku juga terancam drop out dari sekolah kedokteranku, nilaiku hancur gara-gara laki-laki brengs*k itu. Tak juga melunasi hutang bank untuk biaya aku masuk kuliah. Aku dipecat dari pekerjaanku dan sudah dua bulan aku mencari pekerjaan lain namun tak mendapatkan satupun.

Ya Tuhan, cobaan apa yang harus aku hadapi? Sungguh aku sudah tak sanggup lagi.

Mungkin, saat aku menulis ini, hidupku sudah di ujung kata, tak perlu menunggu koma, tinggal menunggu titik untuk menyelesaikannya. Satu karakter, titik. Aku memang masih berharap bisa lulus dari semua cengkraman dan tekanan yang memaksaku untuk jatuh, jatuh dan semakin jatuh jauh ke dalam perut bumi, aku sudah tak punya harapan. Tak akan bisa menggapai permukaan.

Haruskah aku benar-benar berakhir di sini? Hujan di Medan senja, saat mentari tak mungkin lagi muncul saat itu, saat semua harapan sirna. Biarlah aku menangis dalam tangisan senja kali ini. Senja tanpa matahari. Senja berkabut yang kemudian menangis dan menangis sepuas dia menangis agar senja esok hari hangat dan penuh harapan. Selamat tinggal.”

Hujan di medan senja,
Aku termenung melihatnya, saat kutatap, tetesan air mata jatuh membasahi pipinya, dia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas, melipatnya hingga bagian terkecil, lalu membuangnya ke dalam tong sampah. Segelintir kemudian dia tiba-tiba berlari kencang, menabrakkan dirinya pada truk yang juga sedang melaju kencang dan tewas seketika. Aku terpana. Tak tahu berbuat apa hingga akhirnya aku menemukan selembar kertas yang dia buang ke dalam tong sampah itu, kisahnya.

ADVERTISEMENT

Hujan di medan senja,
Hujan masih menangis hingga tengah malam, gerimis kecil, aku masih menggenggam lembaran kertas yang aku temukan, tak kunjung terlelap. Tak kunjung aku terlelap.

Cerpen Karangan: Dwimas Anggoro
Blog: Didimz.blogspot.com

Cerpen Hujan di Medan Senja merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Pahitnya Kopi Tak Sepahit Pandemi

Oleh:
Secangkir hot cappucino masih mengebul, mengeluarkan uap panas, tersaji di hadapanku. Aku langsung menyesapnya perlahan, menikmati rasa kopi yang tak pernah gagal memberi inspirasi. “Eh buset deh Aliyah, lo

Kado Terakhir Untuk Mamah

Oleh:
Di pagi hari itu, hawa terasa dingin, ibarat jarum yang menusuk-nusuk di tubuh kita. “Emm, dingin banget sih hari ini.” Oceh Dina sambil menoleh ke arah kalender yang ada

Ada Apa Dengan Negara Ini

Oleh:
Reno terus berlari dengan kencang 2 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup dia berlari sambil meruntuki dirinya sendiri, motor yang dibawanya mogok di tengah jalan dia lupa membawanya ke

Keyakinan Adalah Kekuatan

Oleh:
Di sebuah rumah makan di pinggir jalan. Aku melangkahkan kakiku sambil membawa amplop berwarna coklat di tanganku. Amplop itu berisi surat lamaran kerja. Yah! Waktu itu usiaku baru 15

Selamat Menjadi Dewasa

Oleh:
Ayunan yang kududuki berderak pelan saat kuayunkan. Yah, besinya tak lagi mulus seperti saat aku pertama kali memainkannya. Aku selalu duduk disini saat aku dihadapkan dengan masalah, karena aku

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *