Jadi Teman Harus Solid, Katanya…

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 4 February 2017

“Bagaikan air di atas daun talas”. Sebuah pepatah yang berarti orang yang selalu bergantung dan mengikuti orang lain, atau lebih singkatnya, tidak memiliki pendirian. Namaku Fahmi. Saat ini aku sedang duduk di bangku SMA. Aku memiliki teman yang cukup spesial. Bisa dibilang, Ia adalah seorang sahabatku. Menurut orang-orang, solidaritas dalam suatu pertemanan lebih penting daripada apapun. Prinsip ini ditemukan pada Wahyu yang bernama lengkap Wahyu Prasidya Nugraha. Wahyu sebagai orang yang setia memimiliki prinsip bahwa dalam suatu persahabatan, solidaritas diatas kebaikan ataupun kejujuran. Terlepas dari ketergantungan atau tidak, itu tidak penting baginya. Yang penting, sebagai sahabat harus solid. Hm, sungguh menarik namun aku juga setuju dengannya. Menurutku, memang sebagai teman yang setia kita harus selalu bersama dengan teman. Sampai-sampai, Wahyu dan aku bersumpah untuk menjadi orang yang solid dan setia dengan sahabatnya sampai kapanpun. Hari demi hari, aku semakin mempelajari apa arti kesolidaritasan untuk menjadi sahabat yang setia dan selalu ada untuk sahabatnya.

Beranjak kuliah aku dibingungkan dengan pilihan universitas untukku berkuliah. Aku harus berkuliah di tempat yang sama seperti Wahyu. Sayangnya, Wahyu lebih memilih untuk bekerja terlebih dahulu sebelum melanjutkan kuliah.
“Tolonglah Yu, mari kita berkuliah bersama! Aku harus kuliah saat ini juga! Aku tidak bisa bekerja terlebih dahulu sepertimu!” pintaku kepada Wahyu.
“Aku tidak bisa kuliah sekarang! Kalau kamu memang orang yang solid, aku tidak perlu memberitahumu apa yang harus kamu lakukan” jawabnya.
Dengan berat hati dan rasa menyesal, aku meninggalkan Wahyu sendirian. Sambil berjalan menjauhinya meter demi meter, aku memikirkan permasalahan ini. Menurut Wahyu, karena kami sudah bersumpah, Aku harus mengikutinya untuk ikut bekerja. Namun, beasiswa yang aku dapatkan ini tidak bisa aku lewatkan. Sepintas, aku mulai mempertanyakan arti solidaritas sebenarnya. Apakah benar, solidaritas harus dijunjung tinggi dalam situasi seperti ini, dimana masa depanku sedang ditentukan? Aku harus menimba ilmu di Universitas Indonesia. Malam harinya, aku bulatkan tekadku untuk tetap memilih kuliah di Universitas Indonesia. Terlintas di pikiranku tentang sumpah solidku. Tak kupedulikan, sumpah hanyalah sebuah kata di lidah.

Sudah tiga bulan lebih aku hilang kontak dengan Wahyu. Di sisi lain, aku sangat gembira karena aku sudah 1 minggu berkuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Hari ini hari Rabu, 15 Maret 2006. Di Universitas Indonesia, aku mengambil jurusan kedokteran umum. Aku tidak terlalu membaur dengan mahasiswa lainnya di universitas ini. Namun, sejauh ini mahasiswa yang aku kenal cukup baik dan ramah.

Pada saat sedang mengerjakan tugas di rumah, Aku menerima panggilan telepon yang tidak kuketahui. Dengan rasa sedikit ragu, aku mengangkatnya.
“Halo, dengan siapa saya bicara?” tanyaku.
“Hai, Mi. Ini temanmu, Wahyu. Bisa nanti kita bertemu di suatu tempat?” jawabnya.
Tanpa ada kata maaf di antara kita, saya menentukan lokasi yang tepat untuk mengadakan pertemuan. Tempat yang aku pilih yaitu kafe terdekat yang biasa kami kunjungi untuk bersantai. Jam yang sudah ditentukan adalah pukul 20.00.

Aku menunggu kedatangannya di kafe ini. Sudah 15 menit kududuk di tempat yang sepi ini. Akhirnya dia datang. Dengan pakaian yang cukup rapi dengan rambut yang klimis, Ia menyapaku dengan senyuman kecil. Kami bersalaman dan duduk untuk berbincang-bincang.
“Fahmi, aku ingin masalah di antara kita selesai. Aku ingin minta maaf atas keegoisanku pada waktu itu, tak seharusnya aku melarangmu untuk menimba ilmu”. kata Wahyu.
“Ya, Yu. Aku ingin berminta maaf kepadamu karena aku telah melanggar sumpah yang telah kita buat sejak lama”. Pintaku.
“Sumpah solidaritas itu? Tak kusangka kamu masih mengingatnya. Saat ini aku sedang bekerja sebagai MC. Gajinya cukup pas untukku. Aku ingin memperkenalkanmu seseorang suatu hari. Ia adalah salah satu teman MC ku. Namanya Beni. Orangnya sangat setia dengan temannya. Mungkin kamu akan cocok dengannya”. Kata Wahyu.
Aku sedikit penasaran mendengar hal itu. Selama yang kukenal, Wahyu jarang memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya.

Satu bulan kemudian, aku dipertemukan oleh Wahyu kepada Beni. Perawakan Beni yaitu: kulit coklat kehitaman, rambut klimis, dan badan sedikit lebih besar dariku namun lebih kurus daripada Wahyu. Yang kudengar darinya, Beni adalah anak seorang pejabat tinggi sehingga Beni merupakan keturunan dari orang yang kaya. Dari cara Ia berbicara, aku merasa orang ini sedikit tidak terpercaya dan membuatku sedikit tidak aman berada di dekatnya. Aneh, ini pertama kalinya aku menilai seseorang tanpa berkenalan lebih dekat lagi. Hawanya sangat tidak mengenakan padaku. Intuisiku selalu mengarah kepada keburukan. Ah, lupakan. Lagian, Wahyu merasa nyaman berada di dekatnya. Selama Ia adalah seseorang yang solid, Wahyu dan aku pasti akan senang.

Setelah beberapa minggu kenal dengannya, aku merasa semakin terganggu dengan adanya Beni. Bagaimana tidak? Ia sering mengajakku ke tempat-tempat malam. Sering sekali aku tolak tawarannya. Namun Wahyu? Dia pasti akan bergantung dengan apa yang Beni lakukan. Tak jarang, Beni memperkenalkanku kepada minuman beralkohol dan memamerkan kepadaku minuman-minuman yang mahal. Aku tetap mencoba untuk tetap tersenyum dan sabar untuk menolak semua tawarannya. Belum kucoba untuk menasihatinya. Namun, ketika kudengar teman lainnya menasihati Beni, Beni membalasnya dengan bentakan. Sudahlah, semoga saja apa yang dilakukan Beni dan Wahyu tidak lebih dari itu.

Hari ini hari Sabtu, 17 Februari 2007. Sabtu yang cerah kuawali dengan membaca koran. Kata demi kata kubaca dengan giat dari atas sampai bawah. Lalu, terdapat headline yang cukup menarik yang tertulis berupa “Klub malam digrebek, 4 orang berhasil dibekuk”. Dari apa yang tertulis, klub malam yang dimaksud adalah klub malam yang pernah Beni ajak kepadaku. Berlokasi tak jauh dari tempatku kuliah. Dalam paragraf berikutnya, 4 orang yang dimaksud berinisial: AWS, WPN, BBM, dan AN. Sontak aku berpikir sejenak, bukankah nama lengkap Wahyu adalah Wahyu Prasidya Nugraha? Aku merasa sedikit yakin namun masih tidak percaya. Di bawahnya, tertulis bahwa yang bersangkutan telah terbukti membawa benda haram nark*ba dan beberapa diantaranya merupakan pengedar. Aku terkejut! Dengan ikhlas, aku merasa tabah dan berpikir, akankah ada kemungkinan bahwa sahabatku ini tersandung kasus nark*ba?

Siangnya, kubawa koran itu dan kuhampiri kos yang dimiliki oleh Wahyu. Aku baru sekali berkunjung ke tempat tinggalnya. Sehingga, ketika dalam perjalanan, aku sedikit nyasar beberapa kali dan salah arah. Setelah bertanya kepada orang-orang, akhirnya aku sampai di tempat tinggalnya. Kosnya berwarna biru muda itu bertingkat, sedikit terlihat kumuh dan tidak terawat. Pagar hitam dan pendeknya sudah berkaratan. Aku mendekat ke papan yang tertulis, dan kamar Wahyu terdaftar di nomor 015. Kunaiki tangga itu dan kuketuk pintu kamar Wahyu. Tak ada jawaban. Kubuka pintunya, terkunci. Gawat, hari ini hari Sabtu. Mana mungkin Wahyu tidak ada di tempat tinggalnya? Kulihat lagi koran itu, dan kubaca bahwa yang bersangkutan telah diserahkan ke polsek yang tertera lokasinya di koran. Lantas, aku bergegas ke polsek.

Menjelang sore, aku baru tiba.
“Sore, Pak, apa yang bisa saya bantu?” tanya pak polisi yang menyapaku.
“Sore, Pak, apa betul berdasarkan koran ini ada 4 orang yang terbukti membawa nark*ba?” tanyaku.
“Betul, Pak. Orang-orang itu masih ada di ruang tersebut. Masih dimintai keterengan”. Jawabnya.

ADVERTISEMENT

Setelah diizinkan untuk masuk ke ruangan, kubuka pintu kayu dan aku terkejut. Aku melihat Wahyu sedang duduk tepar di pojokkan ruangan. Kepala dengan rambut yang berantakan menyender di tembok. Ia terlihat tak bertenaga. Kantung matanya sangat terlihat dan berwarna hitam. Di sampingnya, adalah Beni. Beni sedang menunduk dan terlihat sadar. 2 orang lainnya, adalah teman Wahyu dan Beni yang tidak aku kenal.

“Anda siapa?” tanya pak polisi yang sedang mengetik. Kesunyian ruangan terhembus dan pusat perhatian mengarah kepadaku.
“Saya teman dari saudara Wahyu, Pak”. Jawabku sedikit terbata-bata, merasa sedikit terpukul.
“Wah, syukur sekali orang ini masih punya teman terdekat. Saya tanya dia, dia bilang tidak punya sama sekali. Saya pikir, orang ini orang terlantar”. Kata bapak itu dengan sedikit kesal.
Orang lainnya, hanya melihatiku seperti tak mengenalku. Beni, menatapku sebentar, kemudian membuang mukanya dari hadapanku dan menunduk. Wahyu, terlihat sangat lemas. Karena terasa sedikit canggung, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu dan menanyakan detailnya kepada polisi yang lainnya.

“Orang itu kenapa, Pak?” tanyaku.
“Mereka tersandung kasus nark*ba, beberapa diantaranya pengedar. Satu orang yang terbaring lemas mungkin overdose. Sudah kami bawa ke puskesmas terlebih dahulu, namun malah melakukan tindak kekerasan kepada pegawai di sana dan menolak untuk ditindaklanjuti oleh pihak rumah sakit. Akhirnya, kami bawa ke polsek terlebih dahulu untuk dimintai keterangan. Bagus, lebih baik dia lemas sekarang”. Jawab Polisi itu dengan lengkap.

Aku meninggalkan lokasi, dan kembali pulang karena hari sudah mendekati Maghrib. Aku berdoa untuk Wahyu. Namun takdir berkata lain, Aku dikejutkan oleh telepon dari pihak kepolisian.
“Apa benar anda merupakan saudara terdekat dari saudara WPN?” tanya polisi itu dengan tegas.
“Benar, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” jawabku.
“Saya ingin memberitahukan bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia. Kami turut berduka cita dan jika anda berkenan untuk mengunjunginya, anda bisa mengunjungi ke rumah sakit yang setelah telepon saya SMS. Terima kasih dan selamat malam.” Tutup Polisi itu.

Aku menangis, terkejut, terpukul. Tanpa pikir panjang, kunaiki motorku dan dengan gas penuh aku bergegas ke rumah sakit. Aku lihat Wahyu dengan kulit berwarna sedikit biru, dingin, dan mulut berbusa terbaring tak bernyawa. Sejenak aku berfikir, inikah yang dinamakan kesolidaritasan? Sampai-sampai ikut terjerumus ke dalam kasus yang sebenarnya dengan akal sehat bisa ditolak dengan baik-baik. Jika prinsip solid itu tidak ada, Wahyu sebagai orang yang bijak pasti akan menolak nark*ba. Namun inilah kenyataannya, karena terlalu setia, Wahyu menjadi orang yang tidak memiliki pendirian. Ia menjadi orang yang mudah dimanipulasi. Jika temannya berkata A, dia akan berkata A. Jika temannya berkata B, maka dia berkata B. Pelajaran yang bisa kupetik adalah, solidaritas penting namun bukan berarti kita harus bergantung kepada orang lain untuk melakukan hal yang bodoh. Sikap solidaritas dapat menjerumuskan ke pembodohan, bila terlalu berlebihan. Seperti pepatah mengatakan “Bagai air di atas daun talas” yang dimana jika air di atas daun talas yang menggenang, air itu akan mengikuti kemanapun daun talas itu akan pergi. Tak peduli itu ke tempat yang kering atau pun sebagainya. Dalam arti lain, arti dari peribahasa itu adalah orang yang tidak memiliki pendirian. Menurutku, orang yang setia yaitu jika satu temannya berbuat kesalahan, maka yang lainnya harus meluruskan temannya yang salah, bukan malah mengikuti untuk berbuat kesalahan. Dengan kata lain, solid bukan berarti bergantung! Seharusnya hal kecil ini sudah kusadari dari dulu.

SELESAI

Cerpen Karangan: Yoga Putra Prawira

Cerpen Jadi Teman Harus Solid, Katanya… merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Pemimpi Bermimpi Menjadi Pemimpin

Oleh:
Di pagi yang dingin menusuk tulang dan embun pagi masih tampak bersinar di antara dedaunan. Aku terbangun dari tidurku, yang semalam telah kurajut sebuah mimpi indah. Mimpi-mimpi yang semalam

Love Hour (Part 4)

Oleh:
Segelas teh limun dingin menyegarkanku kembali setelah berkutat dengan dua matakuliah memusingkan di hari Senin ini. Kevin nampak menikmati biskuit gandum krim cokelatnya -satu pak ukuran besar yang nampaknya

Onta

Oleh:
Cahaya bulan malam ini tampak ragu membasuh bumi. Mungkin bulan takut pada gumpalan awan yang berbaris di langit. Mungkin juga bulan sudah jenuh melihat bumi yang telah menua dan

Broken Wings

Oleh:
Dunia remaja, orangtua bilang, adalah dunia penuh jebakan, penuh dengan huru hara atau euphoria sementara. Bisa saja, sewaktu-waktu kamu terjerumus tanpa tahu jalan keluarnya. Namun tetap, masa remaja adalah

3 Sahabat

Oleh:
Ini adalah kisah tentang 3 orang sahabat yang saling tolong-menolong, perhatian satu sama lain dan juga saling memahami perasaan masing-masing. Mereka bertiga sudah berteman sejak kecil karena bisnis orangtua

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Jadi Teman Harus Solid, Katanya…”

  1. pricillia angel says:

    Ceritanya bagus kak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *