Kereta Api
Cerpen Karangan: Dwi Surya AriyadiKategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 18 June 2013
Awan hitam kembali menggantung di kolong langit. Pertanda sebentar lagi akan turun hujan deras. Hembusan angin mulai bertiup dan semakin kencang. Udara dingin mulai turun dan menusuk kulit. Alam kembali memperingatkan sebuah kota yang tampak kecil digenggamannya.
Aku hanya bisa menggerutu. Kesal mengapa hujan sore ini turun diwaktu yang sama seperti kemarin, dua hari yang lalu, dan semingu ini. Tidak bisakah menunda satu jam untuk membiarkanku menapaki halte walau hanya beberapa menit.
Aku kembali naik kereta menuju kantor. Biaya murah meskipun diraih dengan berdesakan membuatku mafhum beginilah kenyatan di negeri ini. Kalau punya uang beli tiket AC. Kalau tidak relakan saja tubuh wangi ini bersimbah peluh sampai kantor.
Di jam sibuk pagi hari dan sore hari semua tampak sama. Bahkan yang ber-AC pun tidak ubahnya truk pengangkut ternak. Bedanya gerbong itu terisi manusia-manusia yang dicucuk oleh nasib. Aku telah menjadi bagian dari mereka. Aku sama seperti mereka.
Namun, hujan di awal Mei selalu membuatku gusar. Menjelang Juni yang seharusnya kemarau, mengapa harus bersimbah derasnya air dari langit. Sebaliknya akhir Desember, tak satu pun tetes air yang turun. Aku mengernyitkan dahi mengingat pelajaran tentang musim di Indonesia semasa sekolah dulu. Apakah pelajaran itu masih diajarkan? Atau telah berganti mengikuti perubahan alam.
Semua beralasan cuaca panas dan pergeseran iklim karena global warming. Ah, istilah yang sering kudengar dari koran-koran, majalah-majalah, pamflet, spanduk, brosur, hingga baliho di pinggir jalan. Tidakkah mereka memperhatikan peringatan itu? Banyak orang menambah jumlah kendaraan pribadinya. Apakah itu menjadi salah satu penyebab global warming?
Bagaimana dengan penebangan hutan secara masif di bumi Kalimantan sana? Selalu saja menjadi alasan penyebab cuaca panas hari ini. Tidakkah mereka melihat dengan mata kepala sendiri sesuatu yang jelas menempel di hidung kita? Bau rokok ada dimana. Di stasiun, terminal, kantor, pasar, bahkan sekolah tak luput dari asap rokok.
Biarkan aku menggurui kehidupan sejenak. Di zaman ini tidak mempan simbolisme budaya penuh makna sebagai bahan pembelajaran. Kepala mereka selalu menginginkan sesuatu yang instan. Tidak ada lagi filosofi dalam bertindak, berkata, berhubungan, dan merasa. Manusia telah tumpul. Itulah yang kulihat. Dan itulah yang kurasakan.
Aku telah menjadi bagian mereka. Manusia instan yang terlena oleh gemerlap kehidupan dunia. Spiritual hanya obrolan santai pelepas dahaga ketika terhimpit petaka. Setelah itu, semua tertawa terbahak. Berkacak pinggang disamping tempat ibadah.
Kembali kepada diriku yang tenggelam dalam gerimis kecil. Aku putuskan menunggu hingga hujan reda. Kukira hujan tak turun hari ini jadi payung yang telah kupersiapkan tidak terbawa di tasku. Memang, perhitungan alam tidak selalu pasti hasilnya.
Dibalik jaket, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Aku segera merogoh saku dan membaca pesan itu. Sebuah undangan dari kawan lama. Segera kubalas agar tidak menimbulkan kekecewaan. Hidup memang penuh sesuatu yang tidak terduga. Seperti hari ini.
—
Gerbong ini sepi sekali. Berbeda beberapa jam yang lalu. Sangat berbanding terbalik. Aku dapat duduk lega didalamnya. Meskipun tidak benar-benar kosong. Kereta berhenti di stasiun. Satu dua penumpang turun, diikuti beberapa yang naik.
Seorang laki-laki paruh baya duduk disampingku. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak merah. Sepertinya mirip seragam salah satu calon pemimpin kota ini ketika melakukan kampanye. Aku selalu ingat baliho besarnya setiap menyeberang jalan menuju halte.
Pasangan yang berbeda berhadapan dengan yang seragam. Maksudku, mereka berbeda dalam hal suku, ras, agama. Tapi mampu menyatukan dalam satu visi kepemimpinan. Bukannya aku menolak sesuatu yang sama. Anak kecil pun tahu kalau pelangi lebih menarik dari pada sekedar hitam-putih.
Aku melirik ke arah laki-laki itu. Kacamata bertangkai kuning terpasang di wajahnya. Sebuah jam tangan silver melingkari pergelangan kirinya. Rambut yang sebagian memutih serta setengah botak. Celana hitam serta sepatu kulit cokelat mengkilat menempel ditubuhnya.
Sepertinya laki-laki ini orang yang selalu sibuk. Mungkin dia sengaja pulang larut untuk menghindari sesak di jam-jam sibuk. Tangan kanannya menggenggam koran yang di lipat. Ia duduk dengan tenang dan segera bersandar.
Dengan lincah tangannya membuka lembar koran satu persatu. Aku bisa membaca jelas tajuk utama koran itu. Ia sedang membaca koran sore. Berita memang aneh. Begitu cepat tersebar bahkan koran pun kini terbit dua kali sehari. Serasa minum obat.
Kalau dulu setiap pagi koran sebagai teman sarapan di meja makan. Sekarang setiap makan siang dan malam selalu ditemani koran. Membaca apa yang terjadi semalam dan baru saja terjadi sore ini. Setidaknya koran di stasiun dijual lebih murah. Jadi membeli dua kali pun sama dengan satu kali harga normal.
Wajahnya asyik membaca setiap detail dari berita di koran itu. Aku melihat ia sesekali bergumam lirih. Aku tak tahu apa yang dikomentarinya. Apakah kenaikan bbm, peristiwa perampokan, pembunuhan, utang luar negeri, demo mahasiswa, kasus korupsi, bencana longsor, banjir, kebakaran, atau mungkin nilai tukar rupiah dan indeks saham.
Aku pernah melihat seseorang membaca surat kabar tak biasa. Maksudku, bahasa pengantarnya adalah bahasa inggris. Jangan dulu meremehkan para penumpang kereta yang selalu berdesakan. Dibalik bau keringat mereka selalu terselip kemampuan istimewa. Contohlah orang yang baru saja kusebutkan tadi.
Yang menarik lagi, ada penumpang yang membaca kitab suci. Maaf bukan bermaksud merendahkan atau melecehkan. Masing-masing memiliki penilaian tersendiri. Aku hanya ingin bertanya, tidakkah mereka terfokus dalam satu garis vertikal kepada Tuhan? Bukankah suasana berisik mengaburkan konsentrasi? Apakah membacanya seperti membaca buku atau surat kabar hingga begitu mudah dibuka di muka umum? Bersinggungan dengan tangan-tangan kotor dan bau-bau tak sedap.
Kalau aku selalu menyimpan firman Tuhan di hati. Bukan disebuah kertas. Tidak perlu repot menghafal. Cukup menjalankan kebaikan. Tuhan akan mengerti setiap maksud dan tindakan makhluk-Nya.
Cukup untuk berwacana dalam hubungan antar manusia dengan penciptanya. Mataku tak dapat berpaling dari laki-laki itu.
“Pulang kerja?,” aku beranikan diri menegurnya. Sontak pandangan mata itu tergerak melihatku. Ia tersenyum. Mungkin heran melihat diriku yang menegurnya.
“Ah tidak, saya hanya ingin mengunjungi seseorang,” jawabnya.
Dengan cepat ia membereskan koran itu, lalu melipat dan meletakkan dipangkuannya.
“Kau sendiri hendak kemana malam-malam begini? Sepertinya kau yang pantas disebut ‘pulang kerja’,” lanjutnya.
Mata kami telah saling beradu. Aku melihat guratan yang telah termakan usia. Wajah itu penuh dengan pengalaman hidup. Tersirat betapa sisa-sisa usia muda masih terbayang disana. Meskipun telah terinjak oleh usia senja. Namun tak mengurangi aura yang muncul ketika hendak menyuarakan sesuatu.
“Sebenernya saya telah pulang ke rumah sore tadi. Ini karena ada teman yang membutuhkan bantuan jadi harus berbalik lagi,” kataku. Aku membetulkan posisi duduk menjadi lebih tegak. Tidak ingin dipandang sepele oleh dirinya.
“Saya kira adik ini pulang kantor. Biasanya memang beberapa karyawan lebih memilih pulang larut daripada berdesakan. Tapi itu pilihan mereka. Kalau mereka masih sendiri mungkin tidak masalah,” ujarnya laki-laki itu. Ia mengurut dahi disela-sela alisnya.
“Maksud bapak, saya tak mengerti?” aku kembali bertanya. Ia melepas kacamatanya untuk sesaat agar leluasa mengusap matanya dengan tisu.
“Maksud saya, mereka yang pulang jam segini pasti belum memiliki tanggungan anak atau suami-istri. Mungkin mereka telah menikah tetapi belum memiliki anak. Atau sebaliknya belum menikah, jadi sekehendak hati pulang kerumah. Toh, tak harus merepotkan untuk ditunggu kepulangannya,” ujar laki-laki sambil tersenyum.
“Oh begitu!” aku hanya termangu.
Dia seperti yang kuduga, sarat akan pengalaman hidup. Usia memang telah membuktikan. Ia seperti orang yang mampu memaknai setiap detik perjalanan hidupnya. Selalu melihat dengan cermat apa yang ada di depan matanya.
“Kau sendiri bagaimana, sudah menikah atau belum? Ah, sepertinya itu hanya pertanyaan klise bagimu. Dari wajah, tubuh, dan tingkah lakumu, jelas membuktikan kalau kau… ,” kata-katanya terhenti. Ia tidak lagi memandangku.
Aku hanya terdiam menunggu kata-kata itu. Antara tarik ulur waktu dengannya. Kunanti dirinya melanjutkan pembicaraan yang terhenti. Ada rasa kagum mendengar apa yang telah dikatakannya. Tetapi ada yang mengambang dan butuh penjelasan.
“Kau memang belum menikah. Jika kau telah memiliki pasangan yang terikat oleh janji suci.
Wajahmu selalu menunjukkan rasa cemas, kalau-kalau terlambat mengecup keningnya menjelang tidur. Sedangkan ketenanganmu menunjukkan kau dalam kesendirian dan penuh tanda tanya dalam hati,” lanjutnya.
Benar-benar laki-laki yang mampu menebak isi hati. Meskipun aku tidak sanggup mencerna dengan gamblang kalimat terakhirnya, tetapi aku bisa menangkap makna tersirat keseluruhan pesan itu. Ia berpikir aku adalah manusia yang hidup sendiri dan tidak memiliki pendirian. Mungkin itu yang bisa kuurai dari kalimatnya.
“Bagaiman menurut bapak tentang sebuah pernikahan? Tampaknya saya bertanya pada orang yang tepat. Mungkin bapak sudi memberikan pengalaman berharga kepada saya,” pintaku. Boleh jadi aku mendapatkan sesuatu yang tidak terduga dari dirinya.
“Kau ini ada-ada saja. Apa yang dapat diberikan laki-laki tua macam diriku. Menolong keluarga sendiri saja tidak mampu. Apalagi membantu orang lain,” jawabnya segera.
“Bukankah tadi dengan ketepatan yang mendekati kebenaran, bapak mampu menebak keadaanku. Mungkin bapak bisa cerita pengalaman itu. Saya yakin selalu ada hikmah dalam setiap perjalanan hidup,” timpalku. Entah aku yang berubah atau dia yang telah mengubah sikapnya. Aku seperti tidak lagi melihat wajah bertekad itu.
“Banyak yang terjadi dalam hidup saya. Sampai saya sendiri bingung, benarkah semua itu telah terlewati dalam hidup saya. Semua berlalu begitu saja. Tidak ada yang membekas di kepala. Aku seperti lupa pada setiap kenangan yang kubuat sendiri. Usia ini benar-benar telah memakan kemampuan mengingatku,” ujarnya. Tangannya kembali memijat diantara kedua alis.
“Sebenarnya saya akan mengunjungi seseorang. Saya tak sanggup mengatakan dia hanya sebatas seseorang. Tapi apa mau dikata. Anak satu-satunya sudah tak sudi melihat wajah ayahnya. Kini hanya tekad saya lah yang membawa saya berada di gerbong ini,” katanya memulai bercerita tentang maksud dan tujuan perjalanan malam ini.
“Kau tahu! Saya telah membuat suatu kesalahan besar. Tidak datang ketika pesta pernikahan anak sendiri. Saya terlampau sibuk dengan pekerjaan. Seperti kali ini, saat itu saya selalu pulang malam. Mengeyahkan wajah penuh lelah menanti kepulangan di rumah,” ia berhenti sejenak sembari membetulkan letak kacamata yang agak menurun.
“Sudah kukatakan padamu. Jika kau merasa cemas, pastilah telah terikat oleh janji suci. Namun kecemasan yang saya rasakan telah sirna. Bertahun-tahun saya selalu terlambat untuk mengecup kening mereka yang kucintai. Jikalau pagi, aku telah pergi sebelum mereka bangun. Namun itulah kenyataan yang kualami. Hingga kini perasaan bersalah selalu melingkupi diriku.” Matanya mulai berkaca. Kulihat dirinya mencoba menahan diri untuk tidak terlarut dalam kesedihan.
“Lalu bagaimana dengan istri dan anak bapak?” tanyaku dilingkupi rasa kasihan dan penasaran. Ia seperti gamang ketika akan bercerita. Selalu berjeda untuk sekedar mengistirahatkan bibir agar tidak terucap kesalahan kata.
“Mungkin aku tidak sempat meminta maaf. Dan mereka telah meninggalkanku sendiri. Mereka benar-benar pergi dan tidak ingin melihatku lagi. Aku telah terasing oleh keluarga sendiri.
Seperti yang kau lihat. Laki-laki tua tidak bertujuan menaiki kereta di malam hari. Aku bukan tak memiliki tujuan. Aku hanya tersesat dan berusaha menemui anakku sendiri,” lanjutnya. Ia memandang keluar. Melihat gelap yang terselubung pekat.
Beberapa stasiun telah terlewati. Ia tiba-tiba berdiri dan melihat peta perjalanan. “Sebentar lagi aku akan turun. Jangan dipikirkan ceritaku tadi. Semua hanya pengalaman tidak berguna. Hanya sampah berserakan. Sebaliknya kau harus membangun kenanganmu sendiri. Jaga mereka yang selalu menunggu kau pulang dirumah. Jangan sampai mengecewakannya,’ kata-katanya terhenti ketika pintu gerbong terbuka. Ia melambaikan tangan dan segera berlalu ditelan kegelapan.
Aku kembali termangu melihat dirinya yang pergi begitu saja dengan kesan yang penuh tanda tanya. Siapa gerangan laki-laki itu? Kata-katanya penuh dualisme pandangan. Ia selalu berpositif tetapi bernegatif. Tak ada yang pasti. Apakah anaknya masih bersedia menerima kembali? Mengapa tiba-tiba aku memikirkannya? Sudahlah dia sendiri juga tak melanjutkan ceritanya, jadi untuk apa kulanjutkan. Lebih baik duduk tenang melanjutkan perjalanan.
Seorang wanita duduk diseberangku. Pakaian kantor masih melekat ditubuhnya. Wajahnya tirus dan pucat. Mungkin kelelahan dan hendak cepat-cepat sampai rumah. Aku mencoba mencuri pandang padanya. Seperti yang dipesan oleh laki-laki itu. Jika tersirat kecemasan maka ada sesuatu atau seseorang sedang menunggu kedatangannya.
Wanita itu sibuk bermain dengan ponsel di kedua tangan. Sepasang earphone terpasang di telinga kiri dan kanan. Jari-jari tangan sibuk memencet tombol di ponsel itu. Matanya tak henti-henti berkedip menahan rasa kantuk. Ia masih sempat menguap kecil.
Sepertinya ia benar-benar gelisah. Mengapa aku begitu peduli dengan wanita itu? Bisa saja ia sama seperti penumpang lain. Tapi dalam kepalaku, hanya dia yang selalu menarik perhatian.
Bukan karena pakaian yang dikenakan. Tidak untuk wajah lumayan cantik pada dirinya. Ada sesuatu yang berbeda. Hingga mengait mataku untuk sejenak melirik bahkan memandang kearahnya.
Aku tidak memandangnya bulat-bulat. Kurang sopan rasanya berkelakuan seperti itu. Sebaiknya sedikit menutupi maksud hati dengan mencuri pandangan. Agar terlihat wajar. Lagipula ini malam hari. Tidak ada lagi pikiran jernih tentang maksud baik seseorang.
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang menarik. Tidak hanya menarik tapi sangat ganjil bagi diriku. Tiga orang murid SMA masuk kedalam gerbong. Aku dapat mengetahui mereka adalah siswa SMA dari seragam putih abu-abu yang masih dikenakannya.
“Malam-malam begini, apa yang dikerjakan mereka? Lebih tepatnya mengapa mereka pulang larut malam,” tanyaku dalam hati.
Bagiku melihat anak sekolah selarut ini sangat ganjil, entah menurut mereka yang terbiasa dengan kehidupan kota ini.
Meskipun telah lama tinggal disini, bukan berarti aku setuju dan mentolerir setiap kebiasaan dan tingkah laku penduduk ibukota. Aku masih punya batasan-batasan norma sebagai penilaian pribadi. Melihat anak sekolah berangkat sebelum subuh saja aku geleng kepala, apalagi ini pulang menjelang tengah malam.
Ibu kota memang tak mengenal waktu. Namun bagiku, mereka masih membutuhkan orang tua. Jangan-jangan seperti laki-laki itu bilang. Tidak sempat mengecup kening orang yang dicintainya menjelang tidur. Dan tidak melihat mata kumal mereka dikala pagi hari.
Seragam itu terlekat ditubuh mereka sejak pagi. Tunggu atau mungkin ada sekolah SMA yang masuknya siang atau sore. Mungkin pengetahuan sempitku saja yang menyamakan kalau SMA pasti semua masuk pagi. Tetapi kenapa harus sampai selarut ini? Tidakkah sang guru berpikir, bagaimana jika mereka adalah anak kandung sendiri.
Untung saja mereka laki-laki dan tidak sendiri, coba kalau perempuan. Yang sudah dewasa saja takut apalagi yang masih masa pertumbuhan. Mudah-mudahan orang tua mereka selalu memperhatikan anak-anak ini. Jikapun tidak lagi memiliki orang tua, masih ada yang cemas menunggu mereka dirumah.
Kembali teringat tujuanku naik kereta ini. Sebuah pesan yang kuterima sore tadi berasal dari teman lama. Dia teman kuliahku dulu. Lama tidak saling berhubungan hingga tiba-tiba dia mengagetkanku dengan berita duka. Ia mengabariku tentang seseorang yang dulu juga termasuk teman baikku. Dulu, tidak sekarang.
Sesuatu terjadi pada dirinya. Sebuah kecelakaan membuatnya tidak sanggup meneruskan hidup. Memang semuanya tiba-tiba. Aku masih ingat dengan canda tawa sewaktu masih bersama di bangku kuliah.
Ingin sekali aku mengenang sosoknya. Namun tetap saja aku harus bertemu dengan rasa sesal dan kecewa. Keterpaksaan membuatku duduk di gerbong ini. Untuk tujuan melayat jenazahnya. Jikalau ada kesempatan ingin sekali aku melihat dirinya berdiri tegap di depanku.
Aku mencoba mengingat sedikit kenangan itu. Lagi-lagi rasa kecewa dan bercampur amarah mulai naik. Tanganku mengepal diterpa udara dingin gerbong ini. Gemeretak gigi yang saling beradu membuatku geram. Apakah aku harus tertawa oleh kematiannya atau menangis?
Suasana hati yang tidak menentu sejak menerima pesan itu. Kebimbangan antara harus datang atau tidak. Inilah yang membuatku mencoba mengalihkan pikiran semenjak kereta meluncur di kegelapan malam. Boleh jadi ini pertama kali aku menemui dirinya walau dia tak lagi mampu menatap mataku. Dia telah terpejam dan tidak mungkin membuatku kembali kesal.
Sudahlah, aku hanya bisa menarik napas. Tidak ada guna untuk mencaci orang yang telah tiada. Dia tidak akan mendengar teriakan sumpah serapahku di dunia sana. Atau mungkin dia sengaja lari dariku. Kabur dari tanggung jawab sehingga tidak lagi merasa berhutang atas sebuah kesalahan.
Sial, kenapa tiba-tiba aku semakin gamang. Tiba-tiba aku marah kemudian reda. Kesal kembali, lalu hening. Stasiun tujuan semakin dekat, namun ketetapan hati masih saja belum terpenuhi.
“Tuhan, tolong aku kali ini. Aku memang jarang memohon pertolongan-Mu. Tapi untuk saat ini jangan buat hatiku tak menentu. Cukup Kau pilihkan satu untuk kubawa menemui jasadnya,” mohonku pada Tuhan.
Seorang wanita duduk disebelahku. Aku segera melirik kearahnya. Kaos yang berbalut jaket serta celana jeans biru melekat di tubuhnya. Rambut panjang sebahu dan tergerai menutupi sebagian wajahnya. Aku tidak melihat dengan jelas rona wajah wanita itu.
Ia seperti penumpang lainnya yang sibuk dengan ponsel di genggamannya. Berkali-kali terdengar suara denting dari ponsel itu. Lagi-lagi membuatku kesal. Kenapa harus membiarkan bunyi keras keluar dari ponsel? Apakah untuk menunjukkan bahwa ia memiliki banyak teman? Atau sekedar pamer ponsel baru. Kulihat wanita itu tersenyum tak jelas. Sedikit tertawa, entah apa yang ditertawakan.
Mataku terpejam mencoba menghindar dari kebisingan. Ingatan kembali saat aku berjalan berdua dengan seseorang. Wanita yang sangat anggun dan menarik. Selalu membuatku jatuh kepayang. Teringat kami saling berjanji untuk sehidup semati.
Ah, indah sekali bisa mengingat sosoknya. Meskipun kini telah jauh. Aku selalu berupaya menghadirkan dia dalam hatiku. Kenangan manis tentangnya memang telah lama kututup, tetapi perasaan untuk dirinya selalu terbuka.
Merasakan apa yang pernah dirasakan, itulah yang selalu kucoba dikala sepi. Saat sendiri, aku berharap dia memenuhi hasrat hatiku untuk sekedar berlabuh sejenak mengurai mimpi. Sungguh indah ketika memandang bulan bersama sambil terbaring beratap langit. Menonton pertunjukkan bintang yang menari untuk menghibur hati.
Inilah yang selalu aku rasakan setiap waktu. Namanya selalu membekas. Meskipun sudah tak lagi bersama. Mungkin sifat kerasku telah membuatnya terluka hingga perpisahan terjadi diantara kita. Namun aku tetap menyimpan hatinya disini. Didalam relung jiwa tersimpan rapi dalam kotak emas berbalur cinta.
Pujangga tidak akan mampu melukis pesona matanya. Kerlingan itu membuatku terjatuh dalam lautan cinta yang berada dihatinya. Mungkin aku tidak akan mau bangun, jika di dalam mimpi ia selalu bernyanyi.
Suatu ketika dirinya menyanyi di bawah sinar bulan. Lagu itu tidak sekedar bernyanyi. Dalam bait yang dinyanyikan, ia bersuara dan berbicara. Berkata sapaan untuk pemilik hati. Memang sulit untuk mencerna setiap perasaan halus yang dimilikinya. Tapi itulah yang kusuka. Tersenyum ketika duka.
Merasakan dan terus merasakan. Tidak lagi kupikir tentangnya. Cukup dirasakan. Itulah pesan yang selalu disuarakan ditelingaku. Ia tidak ingin mengganggu pikiran tetapi ingin bersandar dalam hati. Selalu menemani setiap perjalanan hidupku.
Suara ponsel menyadarkanku. Aku kembali menatap suasana gerbong yang masih sama. Terasa lama sekali aku memejamkan mata. Untung saja tidak ada orang yang iseng. Kepenatan mulai menghampiriku akibat duduk terlalu lama.
Aku membuka pesan itu dan membacanya. Dahiku berkerut membacanya. Boleh saja berusaha meminta maaf. Memang bukan dirinya langsung yang meminta maaf. Kedua orang tua dan teman yang mengetahui masalahku dengannya, telah mengirimkan permohonan maaf. Hatiku diuji. Moral memang tidak pernah berpihak pada kenyataan.
Aku yang mengalami bagaimana dia bersikap kepadaku. Apakah jika tidak memberikan maaf pada orang yang telah tiada akan mengganggu ketenangannya. Biarkan saja dia hadir di hadapanku saat ini. Akan kuumpat sosok itu. Kumaki sampai habis suaraku.
Sial, disaat seperti ini, orang lebih mengutamakan masa kini dan melupakan masa lalu. Mereka dengan mudah meminta maaf setelah peristiwa itu. Kemarin-kemarin, dimana saja mereka? Apa yang mereka lakukan? Kesadaran memang hadir ketika telah ditegus dan diitampar.
Apakah harus dicambuk dulu biar sadar? Apa mesti di tampar, ditendang, dipukul biar mereka terbuka mata? Agar mereka merasakan perih, supaya mereka malu dan cepat minta maaf. Meminta maaf memang sesuatu yang mudah, namun memberi maaf bukan pekerjaan kecil.
Aku bukan jiwa yang bersih dalam menjalani hidup. Tidak mudah bagiku memberikan maaf tulus dari dalam hati. Aku bisa mengucapkan namun tidak mampu menepati dalam hati. Sekali lagi aku yang berbalik meminta maaf karena tidak sanggup memberi maaf yang tulus.
Aku segera membalas pesan itu. Basa-basi sedikit tentang maaf sengaja kulakukan. Seperti halnya manusia lain, bertopeng dalam manisnya bibir. Toh, sudah biasa mereka dengar. Asal sudah ada pernyataan lisan maupun tulisan, semua masalah beres. Tidak ada lagi perselisihan. Ini yang kulakukan pada mereka. Seperti ini pula yang kuterima dari yang lain. Jadi jangan menyalahkanku jika suatu malam akan kusumpahi dirinya agar tersikasa di alam sana.
Kereta telah tiba di stasiun akhir. Aku segera keluar dan menuju jalan seberang stasiun. Aku memandang sekitar, menolak ojek-ojek yang menawarkan jasanya. Ada temanku yang bersedia menjemput untuk mengantar ke rumah duka.
Sebuah motor berhenti tepat didepanku. Lampu itu menyilaukan mata. Sang pengendara turun dan mendekat ke arahku. Aku mengenal siapa dia.
“Sudah lama?” Aku bertanya padanya. Ia segera membuka helm. Dan mengulurkan tangan.
“Lumayan! Gimana kabar?” balasnya disusul sambutan tanganku. Kami berjabat tangan erat. Dibalik keremangan lampu aku bisa melihat dia yang berdiri didepanku. Kacamata itu masih tetap sama seperti dulu. Aku tidak melihat sebuah perubahan.
Aku sengaja tidak langsung kesana. Kutunggu menjelang pagi, sehingga aku menumpang tidur di tempat orang yang menjemputku. Kami berencana melayat bersama. Aku yang meminta ia untuk menemaniku. Yang jelas, aku tidak ingin sendiri berkunjung kesana. Terlalu berat untuk menjejakkan kaki sendiri.
—
Sebuah nisan terpasang digundukan tanah didepanku. Tidak ada tetes air mata seperti lainnya. Mataku terasa kering dan kaku. Aku menatap kosong ke bawah sana. Membaca nama yang tertulis di batu itu. Sayup-sayup angin berhembus menerpa tubuhku.
Aku berbalik memandang langit. Kepala kutengadahkan keatas. Mata menyapu semua pandangan yang dapat kutangkap.
“Apakah dia disana?” desahku lirih. Tak ada awan menggantung di bawah langit. Hari ini tidak sama seperti kemarin.
Aku menghela napas panjang. Kubalikkan badan dan segera menyusul orang-orang yang telah meninggalkan tanah pekuburan ini. Kupandangi orang terakhir yang masih berdiri disana. Sambil berjalan sesekali aku melirik ke orang yang masih terpaku menatap nisan.
“Lama tidak berjumpa. Akhir kau datang kemari,” kataku dalam hati. Aku kembali mengalihkan pandangan. Tidak lagi melihat dia yang kini setengah jongkok disana. “Apa yang kau pikirkan saat ini? Masih setia meratapi tubuh kaku itu,” kataku kembali lirih.
Seseorang tiba-tiba menepuk bahuku. “Hai mau pulang bareng!” serunya.
Aku segera menoleh kekanan. Sosok tubuh yang telah lama kukenal berjalan disampingku.
“Boleh, asal gak ada yang marah,” jawabku. Ia hanya tersenyum. Aku pun membalas senyuman itu. Mata kami beradu penuh arti.
“Kau ini masih seperti dulu. Tidak berubah,” ujarnya.
“Emang aku harus berubah seperti apa. Apakah harus memakai kostum dan berjubah?” timpalku dengan seringai kecil.
“Maksudku, apa hatimu masih seperti dulu dan tidak pernah berubah?” tanyanya sambil menambah tensi pandangan dari matanya.
Aku terkejut dengan perkataan itu. Dia lagi, dia lagi. Tidak pernah bosan mengejekku. “Jadi hati siapa yang akan kau ubah?”
Cerpen Karangan: Dwi Surya Ariyadi
Cerpen Kereta Api merupakan cerita pendek karangan Dwi Surya Ariyadi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Maaf Aku Pergi
Oleh: M.HadinataTeeeeetttt teeeeet teeeeeet… bel berbunyi menandakan jam belajar hari ini sudah habis. Keadaan di dalam kelas pun semakin gaduh, karena anak-anak ingin segera lekas pulang. mereka pun keluar tidak
Di Balik Janji Indah
Oleh: Amin MokoagowSemenjak prang dunia II 1943-1945. Jepang melancarkan serangan kilat melalui udara ke negara-negara di Asia Tenggara yang pada saat itu adalah jajahan blok barat. Pada 1943 juga jepang menduduki
Arch di Jariku
Oleh: Martha Zhahira El-Kutuby“Dek, siapa aja temen-temenmu yang enak diajak buat penelitian untuk tugas biologi kakak?” tanya Kak Ami lewat pesan singkatnya di handphoneku. “Siapa ya, Kak? Oh ya, yang udah kakak
Duduk di Sekitar Terminal
Oleh: NurshantiJawablah jika kamu ditanya, dan jangan pernah bingung untuk menjawab, apapun itu jawabannya. Seperti hari ini aku pulang sekolah, dan seperti biasa aku naik angkutan umum yang melewati depan
Lalat Lalat Waktu
Oleh: Danang Teguh SasmitaJudul cerpen ini (atau apapun bentuk tulisan ini menurut kalian) mungkin terdengar seperti terjemahan bebas dari judul salah satu lagu band progressive rock asal inggris: Porcupine Tree, yang berjudul
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply