Lawang Cakra Manggilingan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 30 September 2016

Pernah dengar cerita tentang lawang sewu? Lawang sewu atau dalam bahasa Indonesia Pintu Seribu adalah Gedung mewah yang dibangun di era penjajahan belanda. Ada banyak cerita yang dapat dijadikan pelajaran dari gedung lawang sewu. Dari cerita tentang keberanian pemuda merebut lawang sewu dari tangan pemerintah belanda sampai cerita tentang ketekunan para arsitek yang sangat detail menciptakan lawang sewu. Sayangnya cerita yang banyak beredar di masyarakat justru bukan tentang keberanian dan ketekunan, tetapi tentang seramnya kuntilanak yang tinggal di lawang sewu. Luar biasa! Setan memang hebat, sedikit kemunculannya dapat membuat heboh dunia dan menutupi banyak jerih payah perjuangan umat manusia. Lawang atau pintu rumah Pak Cakra tidak sebanyak pintu di gedung lawang sewu. Hanya ada satu pintu di depan rumah Pak Cakra. Terbuat dari kayu meranti dan berdiri gagah menghadang angin yang tak kenal etika keluar masuk rumah. Pintu yang begitu penting untuk tetap ada disana.

Dara adalah anak gadis Pak Cakra. Pak Cakra telah merawat Dara sendirian sedari bayi. Istrinya telah hilang, pergi meninggalkannya setelah melahirkan Dara. Karena itu Pak Cakra begitu menyayangi Dara. Pak Cakra berikan seluruh perhatian dan kasih sayang padanya. Tumbuhlah Dara sebagai gadis yang selalu ceria. Gadis kecil yang suka bergaul dengan siapa saja. Setiap ia pergi dan pulang dari sekolah melewati jalan di depan rumah para tetangga, tidak pernah ia lupa untuk sekedar menegur sapa siapa saja sekedar membagi keceriaannya. Kepada tetangga yang sedang menimang anaknya, pembantu yang sedang menjemur celana dalam majikannya, ataupun sekedar tukang somay yang sedang mangkal di depan gang. Semua disapa dara. Maka terang saja, kami semua para tetangga menyukainya. Melihat Dara seperti menyadarkan kami tentang betapa sederhananya bahagia di tengah himpitan tagihan hutang ataupun di tengah biaya cabe yang terus merangkak naik.

Mentari berganti bulan, musim hujan berganti kering, tokek bernyanyi rumba di dinding rumah, Hari terus berulang kehabisan naskah cerita. Tanpa terasa Dara kecil yang kami kenal kini telah beranjak dewasa. Dara bukanlah gadis yang ceria lagi. Sinar terang di sekitar wajahnya perlahan memudar menyisakan perias di yang kami tahu tak murah. Tak tercium lagi aroma bunga kepolosan dari kehadirannya. Hanya menyisakan aroma menyengat parfum beralkohol yang tak jelas haram atau halalnya. Orang bilang itu sebuah kutukan. Penyakit permanen manusia yang disebut kedewasaan. Awalnya kami keberatan mengiyakan, kami percaya Dara berbeda, sejak kecil Dara telah berbeda, ia telah mengajari kami pentingnya hidup dan bahagia secara sederhana. Namun seiring waktu berjalan, semua harapan perlahan menghilang. kami belajar mengikhlaskan bahwa Dara kecil yang kami kenal telah tiada dimangsa setan bernama budaya.

“mulai hari ini tidak ada pulang malam, pintu akan kukunci di atas jam 12 malam”.

Tepat jam 12 malam, teriakan Pak Cakra menggelegar. Suara Pak Cakra membangunkanku dan seluruh tetangga yang langsung ke luar rumah mencari sumber suara sambil bertanya-tanya ada apa. Nafas Pak Cakra mendengus tak karuan menahan emosi yang meluap. Matanya membesar dan merah. Di depannya Dara menangis mentup wajahnya.

“Darimana saja kamu baru pulang tengah malam begini, ingin jadi perempuan apa? ingin seperti Ibumu? entah hilang kemana”.

Sambil menagis dan menutup mukanya Dara berkata “Aku tidak akan seperti Ibu yah. Aku hanya ingin ayah percaya, aku bukan dara kecil yang harus terus ayah jaga, aku butuh kebebasan berekspresi, dengan cara begini ayah telah memenggal hak-hakku sebagai manusia dewasa”.

Mendengar kata-kata Dara, Pak Cakra terdiam. Telah salahkah dia begitu menyayangi Dara? yang justru membuat Dara menderita.

Esok paginya pak cakra cabut pintu di depan rumahnya. ia biarkan bolongan persegi panjang menganga di tembok depan rumahnya. memperlihatkan isi seluruh rumahnya. Melihat itu kontan saja aku sebagai tetangga protes padanya

“Pak Cakra, rumah tanpa pintu bukanlah rumah, tapi sekedar menjadi bale-bale yang bebas dikeluar-masuki”.

ADVERTISEMENT

Mendengar teriakanku Pak Cakra hanya mengusap kumis lebatnya sambil menjawab tenang “kalo memang harus jadi bale-bale ya sudah, tapi bukan pintu yang menjadikan bangunan sebagai bale-bale atau rumah”.

Mendengar jawaban Pak Cakra jelas saja aku yang tadinya marah menjadi bingung.

“Bale-bale adalah tempat untuk sekedar beristirahat, dan rumah adalah tempat untuk pulang, tak peduli berpintu atau tidak” Jawab Pak Cakra sambil masuk kembali ke rumahnya yang sudah tak berpintu.

Sejak itu angin bebas keluar masuk rumah Pak Cakra tanpa etika. Lama-kelamaan bukan saja angin yang tanpa etika, melihat bolongan menganga tak punya tujuan, pembantu-pembantu komplek mulai berani masuk ke dalam rumah Pak Cakra, memasang tali jemuran dan menjemur celana dalam majikannya di sana. Tukang somay pun tak mau ketinggalan, Mereka yang biasa mangkal di depan gang kini mulai berani mangkal di dalam rumah Pak Cakra, berteriak seenaknya menjajakan dagangan. “Somaiii, Somaaaiii” dan anak-anak SD pun gaduh berdatangan mengerubungi tukang somay di dalam rumah Pak Cakra. Rumah itu kini benar-benar telah menjelma bale-bale yang bebas dipakai siapa saja. Beberapa yang tak bertanggung jawab malah semakin semena-mena dengan membuang sampah sembarangan di sana. Satu teriakan Pak Cakra sebetulnya sudah cukup untuk membuat mereka semua gentar dan bubar. Namun di dalam rumah yang sudah tak tertolong lagi itu pak cakra justru memilih diam.

Mungkin karena sejak itu Pak Cakra tak perlu lagi bertengkar dengan putri kesayangannya. Dara telah senang mendapatkan kebebasannya. Tanpa ada pintu rumah, Dara bebas keluar masuk rumah kapanpun dia mau. Dara yang biasa pulang jam 12 malam mulai semakin menjadi-jadi. Keesokan malamnya Dara pulang lebih larut, hampir menjelang pagi. Minggu depannya lagi Dara benar-benar baru pulang saat ayam berkokok panjang. Hingga Dara tidak lagi terlihat pulang.

Pak Cakra mulai gelisah menanti kepulangan Dara ke rumah, sudah tiga hari Dara tidak juga pulang ke rumah. Pak Cakra memutuskan untuk melapor ke polisi, berharap polisi sigap menurunkan seluruh kavaleri mereka untuk mencari putri cantik jelitanya yang hilang. Namun itu hanya terjadi pada dongeng-dongeng zaman dulu. Nyatanya seperti yang kita tahu, pelaporan hilang di kantor kepolisian hanya akan dibuatkan selembar kertas surat kehilangan. Terkadang surat kehilangan memang bisa menjadi pengganti sementara dari KTP, paspor, buku tabungan atau surat-surat berharga lain yang hilang. Tetapi dalam kasus ini kita semua tahu kalau surat laporan kehilangan yang botak tak berambut itu jelas tidak bisa dibelai penuh kasih sayang. Tidak bisa menjadi pengganti putri semata wayang Pak Cakra. Maka sudah seharusnya petugas dapat bertindak lebih cepat. Ah! tetapi sekali lagi harapan tinggal harapan, karena kinerja petugas sama lambatnya dengan kukang.

Setelah berhari-hari lelah dihantui kegelisahan, dan tak juga kunjung datang kabar menyenangkan dari kantor kepolisian, Pak Cakra akhirnya memutuskan mencari sendiri putri semata wayangnya.

Setelah ditinggal pergi oleh pemiliknya, Penduduk semakin semena-mena menggunakan rumah Pak Cakra. Rumah itu sekarang bukan saja ramai di siang hari. Kini setiap matahari sudah mulai tenggelam, pasangan muda-mudi berdatangan ke sana. Mereka rata-rata adalah anak-anak para tetangga yang sudah mulai remaja. Awalnya mereka mencari tempat sepi sekedar untuk bercengkrama, bercerita, dan bercanda. Namun kalau dipikir-pikir 3 C tersebut kurang afdol kalau tidak ditutup oleh C yang ke 4, bercinta. Maka menjelmalah sudah rumah Pak Cakra menjadi sekedar bale-bale disiang hari dan layaknya hotel hillside di malam hari.

Tanpa adanya prinsip berkomunal, hidup hanyalah tentang supply and demand, Dimana ada kebutuhan disitu ada barang ataupun jasa. Maka mulai berdatanganlah P*K di sekitar rumah pak cakra, sebagai kebutuhan yang tak punya kekasih untuk bercinta. Awalnya penduduk sekitar membiarkan saja semua kekacauan yang terjadi di rumah Pak Cakra, Namun lama-kelamaan penduduk geram juga saat tahu anak-anak perempuan mereka hamil dan anak laki-laki mereka yang dulu senang jajan somay sekarang lebih suka jajan “jajanan” lainnya. Ibu-ibu takut suaminya jajan sembarangan disana, Bapak-bapak takut anak perempuannya dihamili orang disana, pemuda-pemudi takut pacarnya selingkuh disana. Jadi bersatulah mereka semua membongkar rumah Pak Cakra.

Di sebelah rumahku tidak ada lagi rumah Pak Cakra. Hanya hamparan tanah kosong yang sekarang justru sering digosipkan tempat angker. Benda peninggalan yang tersisa dari rumah Pak Cakra kini hanyalah sebuah pintu yang kuselamatkan dari sana. Sebuah pintu yang pernah dibuang Pak Cakra. Pintu yang selalu mengingatkanku bahwa sebuah pintulah yang menjadikan sebuah bangunan layak menjadi tempat untuk pulang. Pintu yang selalu menjadi pembatas tempat dimana kita berada, luar-dalam, atas-bawah. Lalu dimana Dara dan Pak Cakra? Entahlah, mungkin sedang mencari pintu yang telah hilang dari kepala mereka.

Cerpen Karangan: Aldi P Soebakir
Blog: http://kamar43176.blogspot.co.id
Aldi P Soebakir Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman yang sedang aktif dalam komunitas teater pulih.

Cerpen Lawang Cakra Manggilingan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Manusia-Manusia Trotoar

Oleh:
“Pak, Bu, Mbak! Tolongin ibuku, Mas! Kumohon! Aku nggak bohong.” Orang-orang masih saja lalu lalang melewati trotoar depan minimarket itu. Seorang gadis kecil semakin keras menangis sambil memeluk ibunya.

Jangan Mudah Bilang Iyaa (Part 1)

Oleh:
Dalam hidup terkadang kita dihadapi dua pilihan. Ada kalanya kita diharuskan untuk secepatnya mengutarakan pilihan itu, sehingga pada akhirnya kita sering kali menjatuhkan pilihan yang salah, yang pada akhirnya

Andai Ada Anggaran Buat Dangdut

Oleh:
Ruang dan waktu selalu dicatat oleh sejarah bukan karena kelelahan mengikuti trendnya biar begitu orang-orang selalu antusias setiap updatenya mang Otot setiap hari nemuin suara-suara itu di meja tamunya

Tak Ada Arti

Oleh:
Bodoh di dalam kebodohan. Merasa paling benar di dalam kesalahan. Berteriak lantang demi suatu kebohongan. Berlaku sombong di dalam ketidakberdayaan. Malas dalam kebaikan. Rajin kepada yang membuaikan. Berfilsafat dalam

Danau Biru Tua

Oleh:
Bawalah aku ke danau biru tua, atau setidaknya kau meberiku setetes air dari sana. Waktu, kau tau, waktu tak pernah bisa kau kendalikan. Pernahkah kau pergi ke masa lalumu?

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *