Lombok Hijau

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 6 March 2021

Harga lombok melonjak tinggi. Meskipun Lebaran masih jauh, kurang 4 bulan, harga lombok sudah menyesuaikan dengan banyaknya permintaan. Mungkin juga karena pandemi. Mungkin juga karena musim hujan yang datang terlambat. Mungkin juga permainan pengepul dan pedagang di pasar.

“Wah, Pak Bedjo betul-betul bejo nih,” kata Kang Yadi, sesama petani waktu ketemu di sawah.
“Bejo apa Kang Yadi?”
“Lombok naik. Sekarang sudah 90 ribu per kilo.”
“Alhamdulilah. Tapi Kang Yono kok tetap kasih harga sepuluh ribu?”
“Ya, tengkulak ya begitu. Di pasar harga melonjak, di sawah harga landai saja.”

Esoknya, Kang Bedjo ingin membuktikan omongan Kang Yadi. Selepas subuh dengan sepeda pancal kesayangannya ia pergi ke pasar. Jarak sebelas kilometer terasa dekat saja. Ia langsung menuju pasar besar di pusat kota kabupaten. Di sana tentu tak banyak orang mengenalinya.

“Lombok sekilo berapa?” kata Bedjo pada seorang pedagang bumbu dapur di pasar besar itu.
“Sembilan puluh,” jawab pedagang.
“Lo? Mahal amat?”
“Sudah tiga hari ini segitu Pak. Kulaknya saja 85.”
“Oh… mahal ya?”
“Iya. Sampean jual apa?”
“Bakso,” jawab Pak Bedjo berpura-pura.
“Oh, sambalnya tak bisa ditinggal ya.”
“Jadi beli berapa nih lomboknya?” tanya pedagang.
“Waduh, uangnya ini tak cukup. Lain waktu saja ya saya mampir lagi ke sini? Dagingnya belum beli,” kata Kang Bedjo.
“Oh iya, gak apa-apa,” jawab pedagang itu.

Pulang dari pasar, hati Kang Bedjo begitu riang. Omongan Kang Yadi benar adanya bahwa harga lombok melambung tinggi. Terbayang dua petak sawahnya yang sekarang sedang ditanami lombok akan menghasilkan rupiah yang melimpah. Ini rejekinya petani yang nanam lombok.

“Bu ayo kita panen lomboknya mumpung harganya mahal,” kata Kang Bedjo pada istrinya.
“Kata siapa?” tanya istrinya.
“Kang Yadi dan aku sudah ngecek ke pasar besar,” jawab Kang Bedjo.
“Cari pembeli sajalah Pak. Kalau kita panen sendiri nanti jualnya gimana?”
“Iya, maksudku juga begitu, kita jual ke Pengepul seperti Kang Yono itu?”

Sedang asyik berbincang dengan istrinya di dapur, anaknya memberitahu ada tamu.
“Assalamualaikum,” kata Kang Yono.
“Waalaikumussalam. Wah, panjang umur Kang sampeyan tak rasani, la kok sudah nongol di sini,” jawab Kang Bedjo.
“Amin. Iya ta?”
“Njanur gunung sampean ke sini. Ada apa Kang?”
“Ya, kemarin aku lewat sawahmu. Kelihatannya kok sudah siap panen lomboknya? Apa tidak seperti biasanya biar saya tebas?”
“Boleh Kang. Tapi lombok mahal lo sekarang?”
“Kata siapa?”
“Ya, kataku sendiri. Aku sudah ngecek ke pasar besar tadi pagi. Sekarang per kilo 90 ribu. Benar kan?”
“Iya, tapi ya rezekinya dibagi-bagi Kang. Masak saya belinya dari sampean segitu?”
“Ya, enggaklah. Tapi yang pantaslah. Biar sama-sama untung. Biar bisa untuk melunasi hutang.”
“Segini?”
“Tambah dikitlah”
“Segini ya?”
“Oke. Sepakat.”

Harga sudah disepakati oleh pemilik dan pembeli, antara Kang Bedjo dan Kang Yono. Bahkan, Kang Yono sudah memberi uang muka.

“Ayo kita ke sawah,” ajak Kang Yono.
“Monggo,” jawab Kang Bedjo.
Mereka berboncengan motor Kang Yono menuju sawah Kang Bedjo yang jauh dari rumahnya.

Namun sesampai di sawah, mereka berdua dibuat terkejut bukan main. Lombok di sawah mereka sudah habis tak tersisa dipanen orang. Maling sudah mendahuluinya membabat habis lombok itu.
“Bangsat,” umpat Kang Bedjo kesal.

ADVERTISEMENT

Cerpen Karangan: Suwarsono
Blog / Facebook: Suwarsono S.

Cerpen Lombok Hijau merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Mbah Min

Oleh:
Kami biasa memanggilnya Mbah Min, dia tinggal di sebelah rumahku yang berbatasan dengan sungai kecil. Dia tinggal sendirian di rumah yang berdindingkan bilik dan beratapkan rumbia. Sampai sekarang saya

Surgaku

Oleh:
PLAK!! Tamparan laki-laki itu tepat mendarat di pipi kirinya. Isak tangis di pendamnya. Digosok-gosoknya pipinya yang terasa panas. Ditatapnya wajah laki-laki itu dengan segumpal rasa jengkel. Wajahnya merah padam.

Reset

Oleh:
Perkembangan dunia berjalan dengan sangat pesat bahkan diluar kendali banyak orang. Perkembangan itu telah memunculkan wajah baru dan menenggelamkan wajah lama. Dalam beberapa kasus, hal ini menyebabkan munculnya rasa

Alasan

Oleh:
Pahit begitu terasa di pengkal tenggorokannya setiap kali ia menelan air ludah. Suara bergemuruh selalu muncul dari arah perutnya memprotes kepada sang pemilik yang tidak kunjung memberikan haknya. Entah

Kabut di Desa Ketingal

Oleh:
Meruyaknya kabut di desa Ketingal menimbulkan kepanikan. Tidak biasanya. Padahal dulu keberadaan kabut dianggap biasa. Ada yang berbeda dengan kabut ini. Kumpulan tetesan air berukuran kecil ini melayang-layang berwarna

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *