Lorong Kampus (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Motivasi
Lolos moderasi pada: 17 August 2022

Aku masih bingung kenapa aku harus berada di kampus ini. Namaku Caca. Kedua orangtuaku menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seusai lulus SMA. Namun sayangnya, aku sama sekali tidak berniat. Aku ingin menjadi seorang penulis. Mamaku ingin aku menjadi seorang sarjana agar setelah wisuda bisa melamar di salah satu perusahaan asing seperti jejak abang dan kakak kandungku. Jelas keinginan itu bertolak belakang dengan keinginanku yang suka membaca buku, menonton film dan menulis. Aku ingin menjadi seniman, namun sayang impian itu ditentang oleh Mamaku yang mencemaskan hidupku di masa depan yang akan tidak mapan secara finansial jika aku menjadi seorang penulis.

Aku mengalah demi untuk menyenangkan hati Mama. Lalu akhirnya aku pun kuliah di jurusan yang bukan pilihanku. Aku mendaftarkan diriku di salah satu universitas swasta yang terkenal di kotaku. Entahlah, aku merasa sedang bermimpi buruk.

Hari pertama aku masuk kuliah biasa-biasa saja tidak ada yang menyenangkan. Begitu pula seterusnya selama seminggu. Setiap aku berada di kampus, aku selalu menunggu jam pulang ke rumah karna aku tidak sabar untuk membaca buku-buku yang sudah aku beli kemarin. Aku menghabiskan banyak waktu untuk menonton film. Aku hidup di dalam dunia imajinasiku sendiri. Setiap hari aku menuliskan apa saja yang ada di dalam kepalaku ini. Tak peduli seberapa marah Mamaku saat melihat kamarku berantakan dengan kertas-kertas yang penuh dengan tulisanku. Namun Mama cuek dengan semua kertas itu hampir tidak pernah membaca tulisanku.

Setelah sebulan menjalani perkuliahan baru aku mendapatkan teman baru. Awalnya mereka bertanya padaku mengenai tugas yang pada akhirnya berujung pada keakraban, kami saling berkenalan. Mereka masing-masing bernama Lilis dan Erikson. Semenjak itulah kami mulai akrab jadi mulai sering ketemu dan main bersama. Kebetulan kami sekelas jadi hampir setiap hari Erikson selalu menawarkan pulang berdua denganku.

“Pulang bareng aku, yuk!” ujar Erikson.
“Boleh. Tapi gak ngerepotin nih?” tanyaku dengan sopan.
“Santai aja,” sahut Erikson.
Iya, aku memang tidak dikasih mengendarai motor karna kedua orangtuaku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan padaku.

Aku dan Erikson semakin akrab, kami jadi sering pulang berdua. Dia tidak keberatan mengantarkanku pulang. Malahan dia menawarkanku untuk pergi ke kampus berdua juga namun aku menolaknya. Bukan sombong sih tapi memang aku anaknya pecicilan yang setiap pagi masih dibangunin dan suka telat. Ketahuan deh setiap pagi selalu Lilis dan Erikson yang duluan sampai di kampus.

Pagi itu Erikson mendatangiku.
“Kenapa sih gak mau pergi ke kampus bareng aku?” tanya Erikson dengan nada penasaran.
“Aku anaknya pecicilan banget lho nanti pas kamu udah di depan rumah, eh akunya belum beres-beres, Son!”
“Kan aku bisa tungguin,” balas Erikson dengan nada lembut.

Kini aku sadar ternyata niat Erikson itu baik sekali, dia sengaja ingin menjemputku agar pergi ke kampus berdua biar aku berubah tidak pecicilan lagi.

Erikson memang anaknya baik dan ramah tapi sayang dia perok*k aktif. Aku tidak terlalu suka dengan pria yang merokok. Lagi pula memang Papaku tidak merok*k sehingga aku mengidamkan seorang laki-laki yang sama seperti Papaku.

Saat makan di kantin bersama Lilis dan Erikson, aku tidak sengaja melihat seorang perempuan yang jaraknya tidak jauh dari meja kami yang ternyata juga melihat ke arah kami. Dia melihat ke arahku dengan tatapan sinis.

ADVERTISEMENT

“Liatin siapa sih?” tanya Erikson dengan nada penasaran.
“Rok*kmu bisa dimatiin gak sih, Son?” tanya Lilis dengan sedikit kesal dengan asap rok*knya Erikson.
“Merok*k itu apa sih enaknya, Son? Asapnya gak sehat dan berbahaya buat kami yang ada disekitarmu. Toh juga buat kamu sendiri merok*k itu dampaknya jauh lebih berbahaya, gak mau hidup sehat? Kamu ini membuat polusi udara aja, Son!” ujarku.
“Maaf deh, lain kali aku gak ngerokok di depan kalian,” sahut Erikson dengan ekspresi sedih.

Buat apa sih merok*k? Udah tahu itu berbahaya buat kesehatan. Pasti yang menciptakan rok*k pun tidak merok*k karna dia tahu kandungan yang ada di dalam rok*k itu berbahaya. Di kemasannya juga sudah diperingatkan, tapi kenapa masih banyak juga orang yang mau mengisap rok*k?

Saat perempuan yang tadi memandangku dengan sinis itu berdiri dan meninggalkan mejanya, aku memberi sinyal agar temanku mengetahui perempuan yang aku maksud tadi.

Tak terasa aku sudah semester 5 kini aku tidak lagi sekelas dengan teman baikku karna mata kuliah pilihan yang kami pilih berbeda. Ditambah Erikson yang harus rela belajar satu kelas dengan juniornya untuk mengulang beberapa mata kuliahnya yang gagal di semester lalu. Dia memang anaknya tidak terlalu pintar, kerjanya nongkrong sampai lupa mengerjakan tugas kuliahnya. Dia aktif berorganisasi pula sehingga banyak yang mengenal dia di kampus. Tidak usah heran setiap aku jalan dengan dia, selalu ada saja yang menyapanya. Kadang juga kami disangka pacaran kalau jalan berdua begitu.

Meski kami tidak sekelas lagi namun kami masih sering bertemu seusai jam perkuliahan. Kami biasa makan dan ngobrol di kantin. Saat kulihat Lilis sibuk dengan gawainya, aku sudah menduga pasti dia sedang mendownload film drama Korea. Dia memang begitu anaknya, pencinta film drama Korea. Kami punya dunia masing-masing namun kami tetap bisa nyambung kok kalau ngobrol.

Ada satu mata kuliah yang mengharuskan aku untuk masuk ke kelas lain yang juga merupakan teman satu stambukku. Jadi aku belajar dengan teman satu stambukku namun berbeda kelas dari yang biasanya. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan seorang perempuan yang kemarin di kantin menatapku dengan sinis.
“Ternyata dia satu stambuk dengan aku,” ucapku dalam hati.

Aku sengaja duduk di belakang. Tapi sayang, dosen tersebut malah menyuruhku untuk berpindah duduk ke depan. Tanpa aku sadari ternyata aku duduk bersebelahan dengan perempuan yang menatapku dengan sinis kemarin.

“Astaga!” jantungku berdebar.

Perempuan itu memperhatikanku dan ekspresi wajahnya seperti orang sedang marah. Aku tersenyum saja dan mencoba untuk tetap santai meski sebenarnya sudah merasa sangat takut berada disebelahnya.

Saat itu dosen sedang menjelaskan materi, lalu dosen melemparkan sebuah pertanyaan kepada kami. Semua hanya diam dan membisu, hampir tidak ada yang bisa menjawab. Bagaimana dengan aku? Aku bisa menjawab namun malu. Tapi kuberanikan diriku saat itu udah mengangkat tanganku dan menjawab pertanyaan dosen itu.

Ternyata jawabanku benar, perempuan sinis itu melihat ke arahku dengan tatapan yang mengisyaratkan kalau dirinya tidak suka dengan keberadaanku. Entahlah, aku heran. Apa yang salah dari aku? Aku hanya ingin belajar saja di kelas itu. Lagi pula mata kuliah ini sangat penting sehingga mengharuskan aku untuk mengambilnya meski belajar dengan teman-teman yang bukan merupakan teman sekelasku dulu.

Seusai perkuliahan tanpa disengaja ternyata aku bertemu dengan perempuan sinis itu lagi di dekat tangga saat aku berniat turun menuju lantai bawah. Aku tersenyum padanya. Saat di kantin aku coba curhat soal kejadian tadi kepada sahabatku.

“Siapa sih emangnya perempuan itu?” tanya Erikson dengan nada penasaran.
“Coba nanti aku tanya dulu sama teman aku yang lain ya,” Lilis menjawab dengan spontan.

Aku masih bertanya-tanya, kejadian tadi bersarang terus di dalam kepalaku ini. Bahkan aku merasa aneh dengan tatapan sinis dari perempuan itu setelah aku menjawab pertanyaan dari dosen tadi.

Cerpen Karangan: Acha Hallatu
medium.com/@achahallatu
Nama Acha Hallatu. Panggil aja “Acha”. Seorang penulis yang mengidap gangguan obsesif kompulsif.

Cerpen Lorong Kampus (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Cita-Cita Sang Boneka

Oleh:
Cita-cita adalah sebuah subtansi yang merupakan perwujudan dari apa yang seseorang inginkan di masa yang akan datang. Cita-cita datang dari hati nurani seseorang, mereka yang merasakan, mereka pula yang

Sebuah Mimpi Sebelum Tidur

Oleh:
“Good Bye my last years, welcome New Year, happy time, happy day, everywhere”, ku lihat lagi sebuah catatan kecil yang sempat ku tulis beberapa waktu yang lalu di tanggal

Emas Dibalik Lumpur

Oleh:
Suatu hari ketika terik matahari tepat di atas kepala, datanglah seorang pengemis dengan pakaian lusuhnya berjalan mendekati Fahmi dan Ibunya yang baru turun dari mobil. “Permisi, Bu. Saya dengan

Onta

Oleh:
Cahaya bulan malam ini tampak ragu membasuh bumi. Mungkin bulan takut pada gumpalan awan yang berbaris di langit. Mungkin juga bulan sudah jenuh melihat bumi yang telah menua dan

Banyak Yang Jauh Lebih Baik

Oleh:
Ossy dikenal sebagai gitaris di sekolahanya karena ia punya bakat bermain gitar dengan mahir. Ossy merasa bahwa dia tidak pintar bermain gitar masih ada beberapa teknik yang belum bisa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *