Mak Ijah dan Perempuan Malam

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 6 August 2012

Mak Ijah menghela nafas lagi, dan selalu saja, desah itu kian gelisah dari yang sudah-sudah. Kini kekhawatirannya menumpuk dan mulai menyesakkan dadanya dengan bongkahan rasa sedih. Dia mendongak ke langit dan mengeluhkan betapa cepatnya waktu berlalu. Hari telah jatuh senja. Ketika dia menatap kembali ke ujung jalan dengan hati bertanya dan penuh harap, getir dia sadari bahwa yang dia peroleh tak lebih dari kesunyian yang sama, jalan yang lengang, dan sudut-sudut yang ditanaki kelam. Perasaannya pun kembali dihantam kekecewaan menyakitkan. Anak-anaknya tak akan datang lagi kali ini. Ah, mungkin mereka akan datang besok, atau besoknya lagi. Bukankah langit telah kelam? Dan malam selalu mengingatkan orang akan lelahnya hari-hari? Barangkali anak-anaknya telah terlalu capek bekerja dan mengurus suami, atau istri, atau anak-anak mereka, hingga lupa kalau ibunya sudah menunggu di sini sejak pagi tadi, setiap hari.

Menyadari bahwa anak-anaknya batal lagi menjemputnya hari ini, meskipun pilu, Mak Ijah masih belum melepas harapan. Saat bersandar pada salah satu tiang lampu di tepi jalan, Mak Ijah melorotkan tubuh, kemudian terduduk lemah di trotoar penuh debu. Tatapannya berenang ke dalam kabut malam, menenggelamkan pikirannya ke dasar kenangan beberapa waktu silam. Mak Ijah tersenyum ketika layar-layar masa lalu di benaknya mewujudkan harapannya untuk kembali pulang, berkumpul penuh tawa, dan dilimpahi air mata sukacita. Namun secepat datangnya, kenangan itu pun berakhir dengan perih yang menyerang tiba-tiba; dirinya sekarang berada di sini, dalam penantian.

”Ibu ditinggal di sini dulu ya!” kata salah seorang anak perempuan Mak Ijah pada senja kelabu waktu itu. ”Nanti kami ke sini lagi ya Bu, setelah Sischa dijemput dari sekolahnya dulu.” Mak Ijah hanya menangguk setuju dan sepenuhnya yakin anaknya akan kembali menjemputnya.

Betapa kenangan itu masih tertoreh jelas dalam benaknya, dan ketika dirinya turun dari mobil mewah anaknya, saat itulah perasaan tak menyenangkan menyergapnya, tepat saat mobil hitam mengkilap itu melaju kencang meninggalkannya. Pahit Mak Ijah sadari, mobil itu tak pernah kembali dan Mak Ijah, sejak saat itu, selalu saja menunggu di tempat yang sama, kalau-kalau melihat moncong mobil itu muncul dari ujung jalan, kemudian menjemputnya sesuai harapan. Namun segera dia sadari dia hanya berputih mata pada langit yang kelabu.

Ada penyesalan mendalam di hati Mak Ijah saat kilasan-kilasan bayangan silam itu bermunculan. Terlalu lama dirinya ada di dunia ini, dan kebosanan akan hidup, sepertinya sudah sedemikian mencakar-cakar jiwanya. Menghirup udara yang sama dan menyaksikan zaman yang melesat meninggalkannya selama lebih dari tiga perempat abad, telah menyadarkannya akan dirinya yang membebani. Namun anak-anak yang dibesarkannya dengan penuh cinta dan pengorbanan yang tak lekang oleh terik hari, ternyata kini, membalas semua yang telah dilimpahkannya dengan cara paling menyakitkan – bukan dengan cara ini dia ingin menghabiskan sisa umurnya.

Bulir-bulir air mata, yang sekeras mungkin dibendungnya, ternyata tumpah juga bersamaan menyelesaknya perasaan getir menyayat. Walau tak mau diakuinya, fakta bahwa dirinya telah dicampakkan begitu saja saat usia menjelang senja, bahkan dengan tubuh yang kini telah tak berdaya, semakin menderanya. Meskipun demikian, Mak Ijah tak akan pernah tak memaafkan, cintanya tak akan pernah berkurang pada mereka, pada anak-anaknya yang tercinta, meski pun mereka telah sepakat, bahkan sejak jauh – jauh hari, tak ingin direpotkan oleh wanita setua dirinya.

Mak Ijah meraih bungkusan plastik kumal penuh barang rongsokan di dekatnya, yang dia peroleh selama hidup di jalan – yang dia pikir bisa sedikit membantunya untuk bertahan hidup – dan dengan tangan gemetar, entah karena kedinginan atau mungkin karena lapar, dia mengorek-ngoreknya dengan penuh harap, kalau-kalau menemukan sesuatu yang bisa mengganjal perutnya yang selalu lapar.

Kemudian malam semakin larut dan dingin. Jalanan pun mulai diselimuti kesunyian pekat. Hanya satu atau dua wanita berpakaian minim saja sesekali muncul dari kegelapan, kemudian berkeliaran di pinggir jalan remang-remang tersiram cahaya pucat lampu jalan dengan asap rokok mengepul-ngepul. Ketika sebuah mobil sedan meluncur dari kejauhan dan berhenti berdecit tepat di depan mereka, dengan cepat dan penuh hasrat, mereka masuk ke dalam mobil kemudian melaju bersama angin malam, menuju negeri liar.

Kemudian seorang wanita lagi muncul belakangan dari kegelapan yang sama sambil memandangi ekor sedan yang telah melesat pergi, dengan wajah tampak suram meski telah ditutup bedak tebal dan lipstik sewarna merah darah. Batang rokok bermain genit di sela-sela jemarinya dan ketika dia menghirupnya dalam-dalam, pipinya jadi luar biasa cekung, nyaris menghapus setengah kecantikannya yang memudar, tercalar usia yang memasuki paruh baya. Ketidakpuasannya terhadap tubuhnya yang menua tampak jelas dari raut mukanya yang masam, tapi dengan cepat berganti dengan wajah mengabut sedih, tersaput rona kekalahan. Sementara, Mak Ijah yang terduduk diam di seberang jalan, sambil mengunyah remahan roti yang baru ditemukannya dari balik paling bawah bungkusannya, menyaksikan wanita itu dengan perasaan sama sedihnya.

Wanita itu menghampiri Mak Ijah, dan tampak enggan memulai pembicaraan di tengah malam yang sunyi itu, namun jelas ada keinginan kuat di hatinya untuk menumpahkan paling tidak sedikit dari rasa kecewa akan kekalahannya. Mak Ijah menyambutnya dengan tersenyum, jelas senang dengan kehadiran wanita itu, berharap bisa bercakap-cakap, atau barangkali bisa menghiburnya, maka dengan begitu Mak Ijah bisa melewati malam ini dengan seorang teman ngobrol dan merasa tidak terlalu tersiksa menghabiskan malamnya dalam kesunyian yang sama membosankannya dengan malam-malam lalu.

ADVERTISEMENT

”Sudah berapa lama Mak di jalan?” tanya wanita itu agak ketus, tak peduli, seraya terus menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskan ke langit malam dengan perasaan hampa, sementara tubuhnya bersandar pada tiang listrik yang tak berapa jauh dari Mak Ijah, memamerkan di luar kesadarannya, tubuh kurusnya yang melengkung dan nyaris tak tertutup.

”Mak tak ingat lagi, Nak!” jawab Mak Ijah agak sedih dan menghentikan sejenak kunyahannya. ”Tapi, menurut Mak, itu sudah lama sekali.”
”Apa Mak nggak punya keluarga, anak-anak begitu?” tanya wanita itu lagi, kali ini dengan nada sedikit peduli. ”Mak kan nggak gila, kenapa ada di jalan? Seorang diri pula.”

Mak Ijah tak menjawab. Hening mengisi jeda percakapan mereka beberapa saat lamanya. Sementara angin malam bertiup semakin dingin – yang memudahkan siapa saja menenggelamkan diri pada kenangan paling menyakitkan di sepanjang hidupnya – wanita itu terus menghisap rokoknya hingga isapan terakhir, tanpa mengalihkan matanya dari langit malam yang meski berkabut, masih tampak bertabur bintang.
Barangkali, baik Mak Ijah atau pun wanita itu, sibuk menepis kesedihan masing-masing dalam bayangan masa lalu mereka yang muncul begitu saja dan tak diinginkan.

”Maafkan jika Mak lancang,” kata Mak Ijah kemudian, ”Mengapa memilih hidup seperti ini, Nak?”
Wanita itu membuang rokoknya dengan kasar seraya tersenyum mencibir. ”Setiap orang punya cara berbeda untuk hidup, bukan begitu Mak? Aku, barangkali dengan cara seperti ini harus mencari makan, dan dengan uang ini aku sedikit berbakti pada ibuku yang telah renta di rumah. Apa menurut Mak, jalan hidupku ini hina dan terkutuk?”
Mak Ijah tak menjawab. Ada getar haru di dadanya. Dia memandangi wajah wanita itu lekat-lekat, seolah berusaha mencari sisi paling mulia dari kepribadiannya, kemudian memandang ke kejauhan langit malam dengan pilu, dan akhirnya berkata, ”Mak tak yakin mana yang lebih hina antara dirimu dan anak-anak Mak.”

Wanita itu menoleh dengan wajah yang digelayuti kebingungan, tercabik antara perasaan tersanjung dan terhina. ”Maksud Mak?”
Lama sekali Mak Ijah baru menjawab, setelah beberapa bulir air mata merembes di kedua belah pipinya yang cekung dan keriput, kemudian dengan terisak, Mak Ijah berkata lirih, ”Barangkali mereka kini sedang nyenyak terlelap di kasur mewah mereka, setelah menidurkan anak-anaknya, dan tak pernah berpikir, atau membuang sejauh mungkin pikiran bahwa ibunya yang telah renta kini terlunta-lunta di jalan.”
”Semoga anak-anak Mak membusuk di neraka!” dengus wanita itu penuh benci, diikuti semburan ludah ke aspal. Namun ketika melihat Mak Ijah menangis, wanita itu pun ikut rapuh lalu menunduk dalam hening seraya memandang kosong ke aspal yang menguning tersiram cahaya pucat lampu jalan, dengan perasaan tercabik.

”Tapi, entah mengapa, Mak tak pernah ingin membenci mereka,” kata Mak Ijah gemetar. ”Mak selalu cinta mereka dan akan memaafkannya sampai kapanpun.”

Tangis Mak Ijah pecah lagi. Air mata berkejaran di pipinya yang kempot. Mak Ijah terisak semakin dalam, tubuhnya pun berguncang hebat, meski demikian, walau tertatih, dia tetap saja mengeja suatu lafaz, terus-menerus dan berulang-ulang, bahwa sampai kapanpun dirinya akan tetap mencintai anak-anaknya.

”Barangkali mereka akan lebih nyaman hidup tanpa Mak di dekat mereka,” Mak Ijah meneruskan dengan masih terisak.

”Tapi itu jahat, Mak!” tukas wanita itu tak sabar. ”Itu dosa besar. Menelantarkan ibu dan ayah yang telah tua pasti akan mendapatkan kehidupan terkutuk dan ter…,”

Merasa malu dengan kata-katanya sendiri, wanita itu berhenti begitu saja. Tahu apa dirinya soal kehidupan terkutuk dan penuh dosa? Mungkin, dosa-dosanya tak lebih sedikit dari apa yang telah dilakukan anak-anak Mak Ijah. Namun ada pembelaan terpendam di kedalaman jiwanya, paling tidak dia tidak menelantarkan ibu kandungnya sendiri di jalanan seorang diri. Namun demikian, dia tetap tak merasa lebih baik dan mulia.

”Itulah mengapa Mak akan selalu memaafkannya,” kata Mak Ijah akhirnya, seolah memberikan jawaban untuk semua pertanyaan akan luasnya cinta seorang ibu pada anak-anaknya. Wanita itu menatap Mak Ijah sesaat, kemudian mulai menyadari dalam hati, betapa besar cinta seorang ibu hingga sanggup memaafkan segalanya, bahkan sikap paling jahat sekalipun.

Maka begitulah sampai kapan pun, Mak Ijah akan terus menyimpan harapan bahwa pada suatu hari, jika usianya masih dibilangan hari-hari esok, anak-anaknya akan menyadari bahwa mereka masih punya ibu yang masih hidup, dan sudi membawanya pulang, membawanya pada kebahagian yang dirindukannya di penghujung usia. Namun kini, Mak Ijah akan menunggu di sini, di tempat yang sama, sampai pada suatu saat dimana dirinya tak lagi sanggup membuka mata, untuk selamanya. Dan pada saat itu, tak akan ada lagi penantian panjang dan membosankan.

Profil Penulis:
Nama Penulis: seprianus
Saat ini penulis sedang melanjutkan studinya di Program Pasca Sarjana Matematika ITB. Penulis memulai rutinitas menulis sejak di bangku kuliah S1, yang dipicu karena pernah menjadi sutradara drama sebuah pegelaran kesenian kala itu. . Penulis menyukai cerita yang bertema kehidupan, reliji, persahabatan, cinta, dan fantasi . Sampai saat ini sudah banyak koleksi cerpen yang sudah ditulis, tapi belum pernah dirilis (sedih). Untungnya, cerpenmu.com memberikan fasilitas itu. Penulis senang sekali!

Cerpen Mak Ijah dan Perempuan Malam merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Seharap Namun Tak Sejalan

Oleh:
Deru riang rerintikan hujan terjun bebas menghantam permukaan bumi. Aku menikmati raungan atap yang diserbu cucuran air hujan. Begitu menenangkan. Tabuhan orkestra dari mulut katak pun menambah indah suasana.

Sahabat Tapi Kembar

Oleh:
Teettt… Teettt… Teettt… Bel tanda masuk SDS Terpadu Cahaya Nur berbunyi, Murid-murid pun segera masuk ke kelas masing-masing, termasuk Lista Andani atau yang biasa dipanggil Lista. Lista segera masuk

Si Kecil Yang Hebat

Oleh:
Perkenalkan, namanya Adinda Syifa Atsaniyah, umurnya baru berusia lima tahun waktu itu. Cerita dimulai dari Syifa saat masuk sekolah Sd. Syifa tinggal bersama neneknya dari mulai usianya dua tahun,

My Daughter’s Father

Oleh:
Tangan kecil dan halus itu menggapai jari-jariku, mata kecilnya membuka perlahan menatap ke arahku. Aku tak tahu apa yang kurasakan ketika melihat bayi kecil di hadapanku ini, bayi ini

Meretas Mimpi di Usia Muda

Oleh:
Udara begitu panas. Sang surya tak henti-hentinya mengeluarkan cahayanya yang begitu membara. Bulir peluh yang membanjiri para pekerja tak membuat mereka putus semangat. Begitu juga dengan bocah berusia lima

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *