Membeli Mimpi (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Mengharukan, Cerpen Perjuangan
Lolos moderasi pada: 2 May 2021

Dia terus memikirkan tentang idenya ini di kepalanya. Sampai-sampai ia malah menceritakan kepada teman-temannya tentang idenya yang boleh dibilang mustahil ini. Dengan harapan ia mendapat pujian dari temannya karena bertekad menabung untuk membeli mimpinya.
Alih-alih mendapatkan pujian, ia justru mendapatkan lebih banyak tertawaan dan olok-olokan. Bahkan Yogi, sudah tidak mau lagi duduk sebangku dengan Rafi karena ia dianggap terlalu aneh oleh temannya itu.

Teman-temannya masih tidak percaya bahwa Rafi benar-benar bersikap serius terhadap mimpinya itu. Lebih-lebih mimpinya itu sebatas mempunyai kantor semir sepatu yang mungkin belum pernah ada di negeri ini.

Sepulang sekolah Rafi kembali menjalani rutinitasnya di taman. Ketika kedua kakinya baru saja sampai di taman, Rafi ternyata sudah ditunggu oleh bapak yang kemarin menyemir sepatu. Rafi pun menghampiri bapak itu yang sedang mengayunkan pergelangan tangannya seakan meminta Rafi untuk menghampirinya.

“Loh tumben wajahmu lesu nak? Kenapa?” Tanya bapak itu penasaran.
“Ngga kok, Pak. Gapapa” jawab Rafi dengan langkah gontai.
Namun bapak itu tidak begitu saja menerima jawaban yang diberikan oleh Rafi, ia coba menanyakan lagi.
“Ah gapapa gimana, itu wajahmu ngga secerah kemarin. Pasti ada apa-apa kan?” Tanya bapak itu penasaran.
“Sebenarnya iya sih pak” jawab Rafi mulai membuka cerita.
“Nah! Kenapa? Cerita sama bapak aja gapapa. Hari ini bapak punya banyak waktu. Tapi sambil semir sepatu bapak ya! Hehe” ujar bapak itu sambil bersiap.

Rafi pun mulai bercerita tentang permasalahannya yang ingin membeli mimpinya dan tentang teman-temannya yang sering mengejek dia karena menganggap idenya untuk membeli mimpi terlalu aneh dan mustahil.

“Wah, kamu kecil-kecil rumit juga ya masalahnya!” Ujar si Bapak sambil menggaruk kepalanya.
“Kira-kira apa kita bisa membeli mimpi kita pak kalo kita punya banyak uang?” Tanya Rafi dengan wajah polos.
“Yaah. Mungkin saja bisa nak, apa sih yang ngga mungkin di dunia ini? Ya kan?” Jawab si Bapak singkat.

Mendengar perkataan si Bapak yang seakan mendukung idenya itu Rafi yang awalnya nampak murung pun kembali menunjukkan wajah bersemangat dan sedikit lebih keras menggosok sepatu si Bapak.
Si Bapak yang sedikit kebingungan mendengar cerita Rafi, tak tega mematahkan semangat anak itu, sehingga ia berkata bahwa mimpi mungkin saja dapat dibeli untuk sekedar menenangkan hati Rafi.

Setelah selesai menyemir, Rafi pun berdiri dan menggulung kain lapnya ke tangannya menyiratkan bahwa ia telah selesai menyemir sepatu si Bapak. Si Bapak yang menoleh dari balik koran yang dibacanya, langsung kembali mengeluarkan uang 10 ribu untuk membayar jasa Rafi.

“Nih ongkosnya. Terimakasih ya” ucap si bapak sambil berdiri.
“Kalo bapak boleh tau, uang itu untuk kamu belikan apa sih?” Tanya bapak itu menambahkan.
“Untuk bantu ibu beli bahan masakan dan sisanya saya tabung untuk membeli mimpi, Pak” jawab Rafi sedikit malu.
Bapak yang mendengar perkataan jujur dari Rafi itu hanya dapat tersenyum sambil menepuk pundak Rafi dan pergi berjalan menuju halte bus.

Si Bapak yang dalam perjalanannya menuju kembali ke kantornya, mulai memikirkan cerita dari Rafi, dalam diamnya bapak itu merenungkan bagaimana cara untuk membeli mimpi. Namun bapak itu masih belum menemukan caranya dan memilih untuk menyimpan cerita itu untuk nanti.

ADVERTISEMENT

Hari demi hari Rafi mulai menabung untuk membeli mimpinya. selembar demi selembar, koin demi koin ia sisipkan kedalam celengan ayam yang ia beli di pasar sepulang menyemir sepatu. Sebagian ia berikan pula untuk meringankan beban dapur ibunya. Walaupun kadang, ibunya menolak, karena merasa masih cukup dari hasil mencuci baju di rumah majikannya.

Karena hobinya yang menyimpan uang itu, tak jarang Rafi sampai tak bisa membeli jajanan yang terjejer di depan sekolahnya dan membuatnya makin dijauhi oleh teman-temannya yang selalu berkerumun mengelilingi tukang jajanan pada saat istirahat dan jam pulang sekolah. Namun Rafi coba untuk menabahkan hatinya dan tetap berkeyakinan bahwa ini semua ia lakukan agar ia dapat membeli mimpinya kelak.

8 tahun telah berlalu, Rafi, bocah 10 tahun yang dulu berniat membeli mimpinya kini telah duduk di kelas 12, niat Rafi masih sama yaitu membeli mimpinya, kegiatan sehari-harinya juga masih sama, yakni sepulang sekolah ia menjual jasa semir sepatunya di taman dekat SD-nya dulu. Dan pelanggannya pun tetap sama. Ya ! Si Bapak-bapak yang terlihat perlente namun sederhana itu.

Ratusan mungkin ribuan cerita telah dilalui selama 8 tahun belakangan ini oleh Rafi dan Bapak-bapak yang masih belum diketahui oleh Rafi siapa namanya. Ia terlalu takut menanyakan nama bapak itu karena dia khawatir itu adalah sikap kurang sopan.
Begitu juga si Bapak yang tidak mengetahui siapa nama penyemir sepatunya selama ini, ia memilih tetap memanggil Rafi dengan panggilan “Nak” karena ia sudah mengganggap Rafi sebagai anaknya sendiri. Padahal keakraban antara penjual jasa dan pelanggannya itu sudah terjalin 8 tahun lamanya.

Ditengah-tengah kegiatan menyemir sepatu, tiba-tiba si Bapak membuka obrolan
“Nak, apakah kamu sudah bisa membeli mimpimu? Bapak kok tiba-tiba teringat cerita masa kecilmu dulu yang ingin membeli mimpimu ya”.

Rafi yang sedari tadi menunduk sibuk mengarahkan tatapannya ke sepatu, tiba-tiba mendengakkan kepalanya kearah si Bapak.
“Hehe, bapak masih ingat aja. Belum pak, tapi saya masih menabung untuk itu” jawab Rafi.
“Oh ya?” si Bapak sedikit terkejut.
“Sudah berapa tabunganmu, Nak?” Sambung si Bapak.
Rafi sedikit terdiam dan menjawab “Tidak tau pak, saya ngga pernah hitung” jawab Rafi sambil melanjutkan gosokkannya.
“Pasti sudah banyak ya, apalagi kan sudah lama juga kamu menabung” saut si Bapak. Rafi hanya mengangguk sambil tersenyum.

Setelah selesai menyemir, bapak itu menawarkan Rafi sebuah penawaran.
“Nak, bagaimana kalau bapak kasih kamu pinjam uang untuk membeli mimpimu itu?” Ucap si Bapak menawarkan.
“Ah, jangan Pak. Saya ngga terbiasa pinjam dari orang lain” jawab Rafi sedikit malu.
“Oh! Kalau begitu bagaimana kalau bapak kasih kamu uang? Kamu ngga perlu mengembalikan uang itu ke bapak?” Tawar si Bapak lagi.
“Wah, apalagi dikasih pak. Siapa saya sampai terima uang banyak dari bapak? Lagipula, saya ngga terbiasa terima bantuan dari orang lain pak. Saya ngga mau dikasihani orang lain” jawab Rafi menolak.

Setelah berhari-hari berusaha menawarkan bantuan kepada Rafi dan jawaban yang si Bapak terima adalah tetap penolakkan dari Rafi, si Bapak pun akhirnya menyerah, dia melihat memang Rafi bukanlah anak sembarangan yang bisa begitu saja dibantu. Bapak itupun akhirnya kembali memberi 2 lembar uang 10 ribu sebagai ongkos semir sepatu yang kini telah naik harga jasanya.

Sepulangnya dari pertemuan hari itu, bapak itu terus memikirkan bagaimana cara untuk membantu Rafi, si Bapak nampaknya serius ingin membantu Rafi.
Si Bapak sadar, usianya sudah tak lagi muda, ia khawatir jikalau usianya tak sampai untuk membantu Rafi. Sampai tiba-tiba ia melihat sebuah ruko kosong dan seketika Bapak itupun seperti mendapatkan ide cemerlang.

Keesokan harinya, si Bapak kembali bertemu Rafi di taman untuk menyemir sepatu.
“Nak, sepulang dari sini kemarin, bapak melihat ada tempat yang menjual mimpimu!” Ucap si bapak membuka obrolan.

Mendengar ucapan si Bapak, Rafi terkejut bukan main. Ia yang kini mulai menyangka bahwa tak ada yang menjual mimpinya, tiba-tiba merasa seperti hidup kembali. Ia pun langsung bertanya kepada si Bapak
“Apa betul pak? Dimana? Berapa dia jual? Bapak yakin?” Ucapnya yang bertubi-tubi menanyakan kepada si Bapak sambil gemetaran.

Si bapak yang seperti melihat kembali semangat Rafi saat masih berusia 10 tahun itu merasa ikut bersemangat dan berkata
“Boleh bapak ke rumahmu? Kita hitung jumlah tabunganmu, bagaimana?” Tanya si Bapak.
Tanpa banyak basa-basi Rafi pun langsung menjawab “Boleh Pak, Ayo!” Sambil berjalan sedikit kencang menunjukkan arah rumahnya kepada si Bapak.

Setelah melakukan perjalanan singkat, si Bapak dan Rafi pun sampai di rumah sederhana yang berdindingkan triplek dan rotan, namun bersih tertata rapi.
Rafi yang sedari tadi seperti orang yang habis meminum minuman energi, sangat bersemangat berlari masuk ke rumahnya dan langsung menuju ke dalam kamarnya yang sudah tidak lagi sekamar bersama ibunya. Ia mondar-mandir mengambil beberapa celengan ayam yang dimilikinya untuk dibawa ke meja kecil tempat ibunya biasa menaruh makanan.
Bahkan si Bapak tetap menunggu diluar karena lupa diajak masuk oleh Rafi karena saking semangatnya. Namun, si Bapak hanya bisa tersenyum melihat semangat Rafi yang menggebu-gebu dan dapat segera membeli mimpinya itu.

Setelah sekitar 1 jam Rafi berada di dalam untuk menghitung uang tabungannya, dari kejauhan ibunya melangkah menuju ke rumahnya dan sedikit nampak kebingungan melihat dari kejauhan ada orang berpakaian sangat rapih duduk di bale-bale dari bambu yang sudah reot yang terletak di halaman rumahnya.
Bahkan Ia sempat berpikir bahwa itu adalah Mr. Money yang akan memberinya uang kaget seperti acara di TV yang ia sempat tonton di rumah majikannya.

Setelah ia sampai di halaman rumahnya ibu pun mengucap salam
“Assalamu’alaikum!” ucap ibunya terengah-engah.
si Bapak dan Rafi kompak menjawab “Wa’alaikumsalam!”.

Ibu yang masih kebingungan melihat siapa tamu yang ada di depan rumahnya itu hanya dapat tersenyum canggung dan berjalan melewati si Bapak dan masuk ke rumahnya.

“Fi, itu siapa di depan?” Tanya ibu.
“Kok celengan kamu dipecahkan? Kenapa?” Timpalnya.

Belum sempat menjawab pertanyaan Ibu, Rafi langsung menepuk jidatnya dan berkata
“Astaghfirullahal’adziim!” Dan bergegas keluar rumah

“Yaa Allah pak, maafkan saya pak. Saya lupa menyuruh bapak masuk ke rumah saya. Maaf ya pak, saya ngga sopan sama Bapak” ucap Rafi lirih sambil sedikit membungkukan badannya yang kurus tinggi.
“Hahaha, iya gapapa. Bapak maklum” ucap si Bapak yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Jadi bagaimana Nak? Berapa jumlah tabunganmu?” Sambung si Bapak.
“Sudah ada 15 juta Pak!” Jawab Rafi bersemangat.

Bu Eti yang masih kebingungan langsung menyela obrolan mereka
“Fi, ini siapa?” Tanya ibu.
“Oh, ini pelanggan aku yang sering aku ceritakan ke Ibu” jawab Rafi.
“Dasar kamu ini Fi, ga sopan! Masa ada tamu ngga disuruh masuk dan ngga dibuatkan minum sih!” Bu Eti sedikit mengomel sambil kembali tersenyum canggung kearah Bapak dan menunjukkan gestur untuk mengajak masuk.
“Ah gak papa Bu, namanya juga anak muda yang lagi bersemangat” ucap si Bapak.

Setelah sedikit berbincang dan menceritakan apa yang hendak dilakukan oleh Rafi dan si Bapak, Bu Eti pun akhirnya mengerti tapi masih sedikit merasa bingung, apakah memang benar-benar ada yang menjual mimpi anaknya itu.

Bu Eti pun memutuskan untuk menemani anaknya untuk membeli mimpi. si Bapak pun meminta Rafi untuk segera membereskan uang tabungannya untuk dibawa. Rafi pun bergegas mengambil kantong plastik kresek hitam yang ada di meja dapurnya dan memasukkan sejumlah uang lembaran dan koin yang ia telah tabung selama ini.

Cerpen Karangan: Sandy N. Lazuardi
Blog / Facebook: Sandy Nuramadhana Lazuardi

Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com

Cerpen Membeli Mimpi (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Destiny

Oleh:
Kehidupan yang kita jalani takkan selamanya tetap. Bisa berubah menjadi lebih baik ataupun sebaliknya. Kata kehidupan identik dengan sebuah takdir yang tertulis sebagai sebuah tangan nasib. Takdir seseorang itu

Bukan Orang Gila

Oleh:
Senja menjelang malam. Di punggung bukit ini mentari bersandar. Bias cahayanya lembut mewarnai langit barat. Sadar atau tidak sadar bias cahaya itu telah mengubah wajah bukit sandaran matahari ini

Momen Yang Tak Terlupakan

Oleh:
Tepat dua tahun lamanya sejak Covid-19 ini menampakan dirinya dan mulai mencari inang untuk berkembang. Aku masih ingat betul bagaimana suamiku kehilangan nyawanya karena virus mematikan ini. Memang virus

Kuihat Lirihan Suara

Oleh:
Diandra. Di tengah lesung pipit manismu yang teraba, mendamaikan setiap senyap yang merambati dinding-dinding hati. Di sisi maya aku bisa melihat, meski hanya mimpi yang takkan pernah menjadi nyata.

Pengangguran Masih Berkelana

Oleh:
Hari yang cerah tepatnya tanggal 27 September 2021, aku bersama rekanku melakukan perbincangan kecil di sebuah taman. Suasana lebih nyaman berkat sang penghasil oksigen tumbuh sepanjang jalan, angin berhembus

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *