Menembus Kelabu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 31 October 2015

Xenia hitam yang sedang ku tumpangi menerobos pagi buta bergelayut embun. Keadaan di sekitar jalan belum menampakkan hiruk pikuk aktivitas manusia atau deru mesin kendaraan yang memekakkan telinga. Mata sayu ku melirik jarum arloji yang tengah menopang angka 02.40. Meski kantuk menghajar, lelah menerjang, urung buatku mengatupkan mata barang melungkrah gundah bara batinku. Mata ini tetap terjaga bahkan mengomando seluruh perhatianku dalam kebungkaman yang melengkapi sunyi. Sesekali Pak Mirzudin yang tengah menyetir melempar tatap ke arah kaca di atasnya menatapku di belakang, heran mungkin dengan keterguguanku memangku bisu. Namun semoga batinnya mafhum akan sebab deru senduku.

Jarum jam menopang angka 04.00. Perjalanan ini masih berliku memeras lelah nan duka jiwaku. Namun sendu ini seolah memaksa untuk tetap melaju di antara lekuk jalan tanpa berpijak sampai tujuan. Biar. biarkan asa getir mengalun hampa bersama hembus angin lara. Tatkala mata mengatup, jari jemari tengah mengerat, puing kegetiran kembali menjuntai pikir. Perjalanan ini adalah ikhtiar melepas duka di kampung halaman. Beberapa waktu berlalu pikir ini tengah terukir mimpi bersama pemilik senyum ranum merekah. Ia tak ubah bak pemeluk untaian langkah mimpiku, karenanya himpitan kesengsaraan urung mengaram rajut asa semangatku.

Mungkin tepat saat ini ku mulai cerita kisah dukaku hingga mengharuskanku menopang perjalanan menuju ruang gapai mimpi ini. Aku adalah gadis kampung dengan kondisi nafkah hidup serba absurd, namun pemilik senyum penuh makna yakni Ibuku tak pelak membesarkan hati getirku. Tepatnya kelas 3 SD kenyataan memaksaku untuk mengakui bahwa keluargaku telah pincang sepeninggal Ayah. Kontan suasana keluargaku amat berbeda baik itu peran penafkahan atau kelengkapan suka cita.

Peran penafkahan itu pun beralih padaku dan Ibuku demi menopang lekuk hidup, sedang Mas Hadian abang tunggalku tak mampu menaruh bantu dengan kondisi lumpuh kakinya. Ibu bertutur sejak dilahirkan Mas Hadian normal seperti pada umumnya, namun menginjak usia 4 tahun ia terserang demam tinggi yang membuatnya kini hanya tergugu di atas tikar. Perih memang namun tak mungkin ku dapati jawab hidup jika rabb-ku menepis untai takdir ini.

Tapi ada hal lain yang jauh mengoyak jiwa, mengiris hati, yang tak mampu ku urai lekuk tuturnya, terlalu pahit hingga tanpa terasa mataku bergelayut embun yang kini tengah membuncah ruah. Sakit ini semakin meniti, bilakah ia terus menggerus pada siapa pula harus ku untai bait curahan hati barang melegakan rongga dada? Pada siapa? justru orang yang selalu jadi tumpuanku menghalau panggilan Tuhannya sejak beratus sekon berlalu. Tak cukup perihkah gundahku?

“Mbak Fahma sebentar lagi kita tiba di bandara, kita salat subuh dulu di sana.”
Seketika tanganku gelagapan menyibak butir butir embun di pelupuk mata tatkala Pak Mirzudin menghadap ke arahku.
“I.. iya pak. Kok berasa sangat lama sekali ya?” Ucapku kaku agak terbata.
“Ya iya toh, wong Mbak Fahma ngelamun saja. Padahal kalau tidur pasti seger pas nanti naik pesawat.” Ujar laki-laki keturunan jawa tulen ini.
Aku hanya tersenyum datar. Mulut ini seakan kaku melontar ucap. Pak Mirzudin pun ikut tersenyum seraya menjalankan kembali mobil yang kami tumpangi.

Tepat di luar Bandara Soekarno-Hatta Pak Hadian menghentikan mobilnya. Ia menoleh ke arahku seraya membuang tatap ke sebuah mesjid. Aku mengangguk seraya turun menenteng tas hitam berisi alat salat dan alat kecil lainnya. Kami melangkah menuju suara alunan adzan yang menggertakkanku segera memburu titah suci-Nya lalu menjerit di antara doa teragungku. Rakaat demi rakaat membuatku larut dalam kekhusuan teriringi isakan pinta pada-Nya.

Tak urung pula bayang renta Ibuku menikung kalbu hingga aku tergugu air mata dalam doaku. Usai salat Pak Mirzudin nampak menungguku di teras masjid seraya mengepulkan asap rok*knya, mungkin lelah telah menjarah ruah tenaganya hingga ia perlu rileks barang dengan sebatang dua batang rok*k. Ketika Aku tengah sibuk memakai kaus kaki dan sepatu, tiba-tiba seseorang menyapaku lembut.

“Baru beres salat ya mbak, boleh aku hibur mbak?” seorang anak kecil perempuan tengah memegang ukulele dengan mata paginya yang berbinar binar. Aku tak merespon apapun hanya memandangnya heran, masih pagi demi sesuap nasi anak sekecil ini rela kedinginan melengkingkan suaranya dan memapahkan kedua kakinya di antara orang-orang yang diharapkan menyisihkan selembar atau sekoin uang baginya. Ah, ibanya nuraniku, ia seharusnya masih berada di pangkuan hangat Ibunya.

ADVERTISEMENT

“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh lewati rintangan untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan walau telapak kaki penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih yang kau berikan tak mampu ku membalas.. Ibuu.. Ingin ku dekap dan menangis di pangkuanmu. Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu. Bantu doa doa lalui sekujur tubuh. Tak mampu ku membalas Ibu….”

Wajahnya yang berseri nampak kuyu usai menyanyikan bait lagu yang begitu mengundang ruah rinduku. Beberapa sekon mulutku terkatup rapat, bulir hangat deras mengguyur pipi, mataku lekat memandang anak mungil compang-camping itu, suaranya yang merdu melengking seolah ia tengah memanggil Ibunya penuh harap, lalu dimanakah Ibunya? dan entah mengapa pikirku berkelana, di mana pula sekarang Tuhan menempatkan Ibuku? Ah… Masya-Allah… Aku hampir mengabaikan merogoh beberapa lembar uang dari sakuku tatkala anak itu menatapku penuh harap, pinta. Namun tahukah, sesuatu meniti di antara kedua matanya, ia menangis! Membalas pandang ibaku. Kontan tangan ini merengkuh tubuhnya lalu ia semakin tersedu sedan di pelukanku.

“Di mana Ibumu sayang?” tanyaku spontan tergiris penasaran.
Anak itu menggeleng, lalu terburu-buru melepaskan pelukanku. Ia berlari kencang tanpa menghiraukanku memanggilnya seraya mengibas-ngibaskan lembaran uang. Sejenak pikirku menerka-nerka akan sikap anak itu yang malah mengabaikan pemberianku. Lalu tangisnya, oh… begitu mengiris hati, tak ada bedakah duka yang kini tengah menyeretnya dengan dukaku kala angin berhembus tentang Ibu? Dan bait lagu itu terus terngiang di benakku, membuat kaku sel sel tubuhku. Oh Ibu ingin ku menangis di pelukanmu.

Pak Mirzudin pengkoordinir visa dan perlengkapan beasiswaku di Jerman, kini tengah melambaikan tangannya tatkala kakiku menaiki tangga menuju pesawat. Sebuah lambaian semangat hidup untuk tetap berjuang merangkai mimpi menuju labirin perwujudan nyata. Mataku melirik nomor kursi yang akan ku duduki, nomor F8 mataku berpendar mencarinya. Beberapa saat kemudian kebisuan kembali berlaga. Aku termangu bisu menatap gumpalan awan beriringan. Ada getar haru yang menyusup halus tatkala ku sadari gerbang mimpi tengah menganga menyambutku. Tunggulah penaklukkanku demi gapai mimpi agungku.

Tahun lalu beasiswa Jerman fakultas Jurnalistik ini tak mampu ku rengkuh walau dinyatakan lulus. Tak tega jiwaku jika harus meninggalkan payah kondisi Ibu dirundung Gastropati. Hari harinya hanya penghujaman rasa sakit dan katupan mata yang sulit membeliak pun. Napasnya mengalun berjarak waktu agak lama, posisi tidurnya melingkar kecil dengan badan yang kurus kering. Hingga ungkap harap terakhirnya tak henti berdentum di antara pijakakan kakiku.
“Teruslah mengejar mimpi, jangan kamu hiraukan kondisi Ibu. Ibu sudah pasrah jika pun nanti atau besok Ibu tak memandangmu lagi, semoga kamu mampu mewujudkan mimpimu.” Dan semoga doa itu menjelma walau tanpa kehadirannya semangatku tetap membara, menyatakan pasti gapai citaku. Semoga.

Jerman megah di pelupuk mata, hamparan landscape eloknya membuatku tergugu menikmati penjelmaan ini. Dan ini bukan mimpi, gumamku seraya pelan mencubit pipi. Ah… dasar gadis kampung yang norak, tak usahlah kau mendramatisir penjelmaan ini namun hadapilah lekuk jalan nun di sana yang akan mengantarkanmu menuju gelar sarjana. Ibu, Abangku Hadian kakiku berpijak di atas Jerman siap menggapai mozaik cerita. Pintalah doa termakbul-Nya agar jalanku tak luput dimudahkan. Sebuah mobil merah berhenti di sampingku, ketika pintunya terbuka seorang perempuan tinggi bertubuh tegap ke luar dan menghampiriku.

“Hallo, its you? Fahma Sadila?” Sapanya seraya menata senyum ramah.
Aku mengangguk pelan. Lalu beberapa saat kami terlibat percakapan akan kedatanganku di jerman. Ia adalah salah satu mahasiswa Munchen yang ditugaskan untuk menjemputku menuju apartemen. Selama di perjalanan mataku lurus menatap jalan, Tuhan memang perangkai skenario terhebat. Aku gadis kampung dengan penghidupan yang sangat kekurangan ditakdirkan berjejal kaki di negeri teknologi dan industri ini. Semuanya tak luput dari bara semangat yang selalu ku tangguhkan dari kasih sayang Ibuku.

Hembus napas ini riang melenggang suka cita. Skripsi yang ku susun selesai dengan sidang yang cukup memuaskan, bahkan senyum ini berkali terukir tatkala status cumlaude dinyatakan untukku. Namun angan ini kembali membumbung andaikata ketika wisuda tiba senyum Ibu merekah di sampingku dan kami menikmati jawab nyata dari mimpi. Ah.. alangkah hebatnya getar haru yang menyesaki kalbu, namun rangkai tabah ini semakin mendekap getir ulu hatiku. Bahwa mungkin tanpa takdir perih itu nama Fahma Sadilla tak mungkin bertengger sebagai mahasiswa lulusan Munchen Jerman.

Kala wisuda itu tiba, batinku terhuyung kelu. Topi sarjana yang menempel di kepalaku kini tengah tak berdaya di pangkuanku. Aku hanya menatapnya kosong seolah simbol itu tak ada makna. Riuh mahasiswa lain bersuka cita menyambut hari istimewanya, berfoto dengan keluarga, merencanakan perayaan. Namun langkah kakiku beringsut ke arah taman belakang sejenak menanggalkan suasana riuh dalam ruangan, lalu di antara bulir air mataku pinta fiksi mengalun pada rabb-ku.

“Tuhan kehendakilah Ibu saat ini ada di sampingku, tengah mengelus lembut kepalaku meruahkan haru untuk gadis harapannya.”

Cerpen Karangan: Rohmah Nashruddin
Facebook: Rohmahshetea[-at-]yahoo.com
Nama Lengkap: Siti Rohmah Hidayah
Nama Pena: Rohmah Nashruddin
Tempat&tanggal Lahir: Garut 15-05-96
Alamat: Kp.kombongan Ds Pakenjeng Kec Pamulihan Kab Garut

Cerpen Menembus Kelabu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Entah Mengapa

Oleh:
Terakhir kali aku mendengar suaramu ibu kau bicara tentang dia yang sempurna. “Kau seharusnya bisa menjadi seperti dia!”. Ya kau membentakku seperti itu, kau menginginkan aku seperti dia. Anak

Penyesalan Seorang Ayah (Part 2)

Oleh:
Anton berjalan menuju tempat penyekapan. Sesampainya di sana, ia disambut teman-temannya yang sedang bermain kartu. “Kenapa kalian meminta uang dua kali lipat dari yang direncanakan?” tanya Anton menahan amarah.

Sampai Ku Menutup Mata

Oleh:
Tarian hujan di atas genting semakin meramaikan pementasan alam malam ini. Belum lagi nyanyian gerimis yang menjadi pembuka acaranya. Sempurna memang. Sesempurna Tuhan yang telah menciptakan sesosok bunda kepadaku.

Matahari Terakhir

Oleh:
Aku mengayuhnya dengan tergesa. Sudah berapa kali kayuhan ini membuat napasku mulai tersengal. Namun, aku tak bisa berhenti di pertengahan jalan seperti ini. Ada seseorang yang menunggu kehadiranku. Kehadiranku

Atap

Oleh:
Di atas sebuah atap, seorang wanita berdiri mengambil ancang-ancang untuk melompat. Hatinya bergetar penuh keraguan atas konsekuensi dari tindakannya. Sementara orang-orang di bawah sibuk sendiri-sendiri. Beberapa mengambil ponsel, mengarahkan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *