Mutiara Yang Suci Dan Ibu Kupu-Kupu Malamnya

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Kehidupan, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 20 June 2013

Aliyyah dan Shofiyah kini merasa tenang. Walau masih lemah, Mutiara telah melewati masa kritisnya, sekarang gadis kecil itu sedang tertidur lelap walau kadang masih terdengar mengigau. Gadis yang kerap di panggil Ara itu terkena tifus. Sore tadi Aliyyah dan Shofiyah bermaksud menjenguk Ara yang sudah satu minggu tidak mengaji dikarenakan sakit. Betapa terkejutnya mereka mendapati Ara tak sadarkan diri, suhu badannya begitu panas. Saat itu tak ada seorangpun di rumah kecil itu. Akhirnya mereka segera melarikan Ara ke Rumah Sakit setelah berkompromi dengan para tetangga.

“aku akan memberitahu ibunya, kamu jaga Ara ya!” kata Aliyyah pada sahabatnya itu. Ara terus mengigau memanggil ibunya. Aliyyah merasa Ara butuh ibunya untuk menemaninya.

“Tapi Al, kamu akan ke tempat itu?” tanya Shofiyah heran.

Aliyyah mengerutkan dahi lalu mengangguk.

Taman Rotan, salah satu tempat pr*stit*si. Aliyyah akan kesana, menjemput Mba Emi, ibunya Ara yang bekerja sebagai salah satu P*K di Taman Rotan.

Aliyyah cukup terkejut juga mengetahui hal ini, tetangga Ara yang mengatakannya tadi sore. Mba Emi yang ia kenal selama sebulan belakangan ini memang pendiam dan jarang bergaul dengan tetangga sekitar. Ia tak menyangka Mba Emi memilih pekerjaan haram ini untuk hidupnya.

Taman Rotan adalah kawasan tanah lapang yang cukup luas, dipenuhi semak dan pohon Rotan. Letaknya strategis, tepat di badan jalan. Beberapa warung kecil terlihat sebagai penerang. Selebihnya kawasan itu gelap. Para P*K melambaikan tangan pada mobil atau motor yang lewat. Jika si pengendara tergoda, terjadilah “transaksi”, tawar-menawar, dan kompromi tempat mes*m mereka, ada yang sewa hotel, di dalam mobil, atau bahkan di balik semak-semak Taman Rotan. Na’udzubillah.

“kiri bang!” kata Aliyyah sambil bersiap turun di kawasan itu. Sopir dan Penumpang lain memandang aneh padanya. Kira-kira apa yang akan dikerjakan gadis berjilbab lebar di tempat prostitusi ini.

Malam terasa dingin, terkadang hembusan angin beraroma minuman keras menusuk hidung. Kaki Aliyyah bergetar, badannya menggigil melihat pemandangan tak sedap di depannya. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya. Tapi begitu teringat Ara yang memanggil ibunya dalam tidurnya, rasanya tak tega. Lagipula, setidaknya malam ini ia mempunyai alasan untuk mencegah Mba Emi melaksanakan pekerjaan haramnya.

Para wanita dengan rok mini dan sepatu hak tinggi sedang beroperasi, mereka melambai-lambaikan tangan pada setiap kendaraan yang lewat. Di sebagian sisi beberapa laki-laki dan perempuan mengobrol di warung-warung yang ada di sekitar Taman Rotan, sesekali terdengar gelak tawa mereka. Rokok dan minuman menjadi sahabat yang menyemarakkan.

ADVERTISEMENT

“Woy! Mau ngaji? Salah alamat neng!” kata salah satu wanita kepada ‘aliyyah. Teman-teman wanita itu tertawa terbahak-bahak. Kontan, seluruh mata saat itu tertuju kepada ‘Aliyyah.
“ada ustadzah, ada ustadzah. Ngapain malaikat ke kandang iblis?” ketus wanita lainnya.

‘Aliyyah hanya terdiam menahan malu, ia merasa seolah-olah terdakwa dalam gelapnya taman rotan. Oh, seandainya ia tahu nomor ponsel mba emi tentunya ia tak usah tersiksa di tempat maksiat ini. Yang ia tuju adalah Bu Karmin, salah satu pemilik warung di kawasan ini. Itulah informasi yang ia dapat dari tetangga Ara. Katanya Bu Karmin bisa membantunya menemukan Mba Emi.

“Assalamu’alaikum, bu karmin?” agak aneh rasanya mengucapkan salam di tempat ini. Beberapa pria dan wanita yang ada di sana menatap aneh kepada Aliyyah.

“iya. Ada apa ya neng?” jawab ibu itu heran. Apa gerangan yang membuat gadis berjilbab itu mencarinya.

“Alhamdulillah, jadi Ibu benar Bu Karmin? Soalnya tadi tetangga Mba Emi kurang jelas memberi keterangan tentang Ibu”

“ada apa ya neng?”

“begini bu, saya guru ngaji anaknya Mba Emi. Saat ini anaknya masuk rumah sakit, saya bermaksud menjemputnya. Mohon kiranya ibu membantu saya”

“oh si Emi, tadi dia udah di boking. Tunggu deh, gua cariin orang buat nyari dia”

Darah ‘Aliyyah terasa berhenti mengalir. “di boking?”. Apa maksudnya? Apakah ia tengah mengerjakan perbuatan maksiat itu? Oh Mba Emi…

Aliyyah duduk membisu di sudut warung itu. Ia tak berani menatap keluar, karena semuanya gelap oleh kemaksiatan.

“kaget ya ngeliat beginian?” tanya Bu Karmin sambil menyerahkan segelas minuman kemasan kepada ‘Aliyyah.

‘aliyyah hanya terdiam. Bukan kaget tapi sedih yang ia rasakan. Sedih karena tak mampu menghentikan kemaksiatan di depan matanya.

“beginilah neng, nyari duit halal susah, jadinya yang haram di sabet, daripada ga makan”

“Alloh akan menolong hamba-Nya yang berusaha menjemput rizki-Nya dengan cara halal”

“sudah lama gua kaga inget Tuhan, makanya Tuhan kaga inget gua, jadi gimana Tuhan mau nolong gua?”

“Alloh Maha Melihat, Bu. Penglihatannya tak terbatas. Ia tak pernah luput menyaksikan apa yang kita perbuat, sekecil apapun. Ia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Ampunan-Nya luas, Kasih sayang-Nya tak terhingga”

Ibu Karmin membisu. Nampaknya ia sedang mencerna kata-kata ‘Aliyyah.

“ada apa cari saya bu?” tiba-tiba seorang wanita masuk ke warung Bu Karmin. Wajahnya cantik, badannya tinggi semampai. Pakaian dan rambutnya agak berantakan. Nampaknya baru saja ia melayani tamunya.

“Mba Emi?” Aliyyah menangis. Menangisi atas apa yang dilakukan ibu dari salah seorang muridnya.

“Aliyyah?” mba Emi pun menangis. Ia terkejut melihat aliyyah di sini. Ia merasa malu, sangat malu.

“Ara sakit mba, tadi kami membawanya ke Rumah Sakit”

belum sampai Mba Emi menjawab, tiba-tiba ada yang berteriak.

“LARI ADA POLISI”

“LARI…”
“ADA PENGGREBEKAN”

Tiba-tiba suara ricuh memecah heningnya langit Taman Rotan. Para wanita tuna susila berlari kesana kemari, kocar kacir seperti mangsa di kejar pemburu. Suara sirine polisi menambah kepanikan, mobil besar telah disiapkan untuk memboyong para kupu-kupu malam.

“sialan! Kenapa masih di grebek? Perasaan gua udah bayar mahal sama mereka” gerutu Bu Karmin sambil pasrah meninggalkan warungnya.

Emi kemudian menarik tangan Aliyyah, mengajak berlari, mencari tempat sembunyi dari kejaran para petugas.

Malam itu ternyata ada operasi gabungan, selain polisi, Ormas Islam juga membantu. Wartawanpun turut serta mengambil dan mengabadikan peristiwa malam itu untuk ditunjukkan kepada khalayak ramai.

“Ya Alloh, apa yang terjadi padaku? Apakah aku bermimpi? Aku berlari bersama para pekerja se*s komersial dari kejaran petugas. Aku bukan mereka, aku hanya… Aku hanya… Oh Alloh… Janganlah Kau murka padaku, mungkin inilah yang di maksud pepatah ‘satu orang yang melubangi kapal, namun yang akan tenggelam adalah seluruh awak’. Apalagi aku, aku berada di kapal yang para awaknya menghancurkan kapalnya sendiri” kata Aliyyah pada dirinya sendiri.

Mba Emi kemudian terjatuh, sepatu hak tingginya mencelakakannya. Ia meringis kesakitan.

“astagfirulloh, mba? Aduh sakit ya? Kita istirahat saja ya!”

“tidak Al, Mutiaraku menungguku di Rumah Sakit. Aku harus segera ke sana. Aku tak mau tertangkap mereka” Mba Emi kemudian mencopot sepatu hak tingginya dan kembali berlari walau harus menderita karena terkilir.

Beberapa kawan seprofesi Mba Emi telah banyak tertangkap. Siapa yang akan lolos dari pemburu yang memang terlatih untuk berlari. Aliyyah dan Emi berlari ke tengah kegelapan masuk ke wilayah kebun Rotan, entahlah arah mana yang mereka tuju, mereka hanya berharap akan menemukan tempat bersembunyi.

“ASTAGHFIRULLOH! ALIYYAH HANIFAH ABDILLAH, apa yang kamu lakukan malam-malam di tempat ini?” tiba-tiba seorang pria berbaju koko putih berhasil mengejar mereka. Pria itu salah seorang anggota dari Ormas Islam yang ikut melakukan penggrebekan. Pria itu senior Aliyyah di kampus, rekan sesama organisasi dan liqo.

“Ka Fikri… Aku jelaskan di kampus besok. Insya Alloh. Sekarang tolong biarkan kami. Lepaskan kami. Percayalah padaku!” kata Aliyyah memberanikan diri, padahal hatinya begitu malu dan terkejut, kepergok senior yang begitu ia hormati.

“hmm.. Baiklah, kunanti pertanggungjawabanmu di kampus esok hari” Fikri kemudian berlalu meninggalkan mereka.

“Alhamdulillah” desah Aliyyah sambil menatap Emi, kemudian mereka kembali berlari.

Satu jam kemudian mereka berhasil lolos dari kejaran, mereka segera memberhentikan sebuah angkutan umum.

“Mba, minumlah!” Aliyyah mengeluarkan segelas minuman kemasan yang tadi diberikan Ibu Karmin.

“maaf ya Al, kamu jadi mengalami hal seperti ini”

“tidak apa-apa mba, pengalaman yang luar biasa” kata Aliyyah sambil tertawa menghibur diri.

“Bagaimana Mutiaraku?”

“Alhamdulillah, Ara sudah melewati masa kritisnya. Sekarang Shofiyah dan beberapa tetangga sedang menjaganya”

“semua salahku. Aku tak mampu menjadi ibu yang baik, bahkan menafkahinya dengan rizki yang halal aku tidak bisa” Emi kemudian menangis. Aliyyah segera memeluknya.

“beberapa hari ini Ara ga mau makan, katanya ia ga mau makan makanan yang di dapat dengan cara haram. Mba tersinggung padanya. Mbapun memukulinya” tangis Emi makin terisak.

“Mba nggak nyangka ia akan sakit parah”

“Mba, apa mba ga sebaiknya mencoba pekerjaan yang lain saja?” kata Aliyyah

“zaman sekarang di negeri ini susah Al, apalagi mba, SMP aja ga lulus. Ga lulus bukan karena malas tapi karena orangtua di kampung tidak mampu membiayai. Katanya wajib belajar 9 tahun, kita di suruh pintar tapi biayanya selangit bagi masyarakat kelas bawah. Lapangan pekerjaan sempit, harga kebutuhan hidup selangit, mau hidup dari mana kalau ga melac*r?” jawab Mba Emi polos, sepolos rakyat jelata yang sedang memprotes para pemimpin negaranya.

“kita punya Alloh yang tidak pernah tidur, Mba. Jika sistem di negeri ini membuat rakyat jelata menderita, tapi ada Alloh tempat kita meminta” kata Aliyyah dengan lembut.

Mba Emi menatap Aliyyah, ia kemudian kembali menangis. Ia teringat puterinya, pastilah Aliyyah yang mengajarinya banyak hal, sehingga buah hatinya yang berusia 6 tahun itu selalu menasehatinya dan mengingatkannya kepada Alloh.

Rumah Sakit telah sepi, pasien terlihat telah tertidur. Para perawat sedang berkeliling mengontrol keadaan sekitar.

“mama…” seru Mutiara kepada ibunya ketika mereka tiba di kamar rawatnya. Emi segera memeluk putrinya dan menangis.

“mama jangan bekerja seperti ini. Ara takut Alloh marah sama mama. Ara takut mama di siksa di neraka. Ara kasihan sama mama. Ara sayang mama” kata-kata itu keluar dari bibir mungilnya.

Emi hanya menangis, menangis dan menangis. Menangisnya sejuta makna, sejuta rasa dan sejuta harap. Entah berapa ribu Emi di luar sana. Aliyyah dan Shofiyyah hanya saling berpandangan, rasa haru menyelimuti mereka. Semoga kata-kata polos Mutiara dapat menyadarkan ibunya, dapat menjadi cahaya dalam kehidupanya yang gulita.

Cerpen Karangan: Pohon Berbuah
Facebook: https://www.facebook.com/pasir.debu

Cerpen Mutiara Yang Suci Dan Ibu Kupu-Kupu Malamnya merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Ajal Penyesalan

Oleh:
Suatu ketika salah seorang sahabat hendak menemui ajalnya. Ia berkata pada seluruh orang yang berada di rumahnya sekaligus memberi wasiat yang bermanfaat agar para sahabat yang lain bisa memetik

Kaca Mata Kuda

Oleh:
Angin sepoi menghidangkan asa baru di tengah hiruk pikuk suatu pola. Orang perorangan memperjuangkan kehendak melangkahi karma. Kejengkelan membludak mendesak keluar di tengah sesakan kios toko di pasar seni

Kenangan Hidup

Oleh:
Tangan yang biasa menggenggam erat tanganku serasa masih hinggap dan siap untuk memelukku , kata kata lembutmu masih terdengar oleh telingaku , bahkan wajah amarahmu katakata itu yang membuat

Jali

Oleh:
Bocah laki-laki kecil itu tertatih-tatih mencoba mengejar beberapa anak ayam yang sedang berkeliaran di bawah pohon jambu air. Sesekali ayam-ayam itu berkeciap merasa terusik, namun mereka tetap saja tak

Surat Pertama

Oleh:
Rasa lelah setelah beraktifitas seharian, ingin rasanya beristirahat sejenak. Di petilasan adalah tempat yang paling pas untuk bersantai melepas lelah. Sambil membawa buku yang baru dibelinya cakil menuju petilasan,

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Mutiara Yang Suci Dan Ibu Kupu-Kupu Malamnya”

  1. faris says:

    jempol untuk cerpen ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *