Orangtua Orangtua Pembohong

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 11 January 2017

Siapakah panutan utama anak-anak?
Awal dari pelajaran seorang manusia bermula dalam lingkungan keluarganya. Dalam pertumbuhannya, manusia merupakan jenis sapiens yang sangat bergantung sekali dengan hubungan interpersonal. Anak manusia harus mendapatkan asuhan dari manusia dewasa, mengurus mereka, memberikan kasih sayang hangat, agar mereka bisa bertumbuh dengan normal.
Namun untuk beberapa kasus, ada juga yang bisa hidup tanpa adanya bantuan manusia dewasa —Tarzan.

Perkembangan manusia adalah suatu proses yang panjang secara masa, tapi singkat dalam ingatan.
Pernahkah kalian ingat siapa yang pertama kali mengangkat kalian setelah lahir. Bidan atau dukun beranak? Ya, tidak bisa, kan. Karena apa yang kita lihat waktu itu hanya bisa tersimpan dalam waktu yang sangat singkat. Sehebat-hebatnya Superman, pasti juga mengalami masalah ini.

Namun, ketika sudah tumbuh cukup besar, dalam kurun usia 5-6 tahun, kemampuan seorang anak manusia mulai meningkat pada tahap-tahap tertentu. Dari sini, kemampuan motorik kita mulai merangkak perlahan untuk mempelajari banyak hal dengan lebih efisien. Termasuk, mengembangkan sifat kita.
Jadi, siapa panutan utama seorang anak dalam pertumbuhannya menjadi dewasa…?
Eh, apa masih belum ada yang mau menjawab? Ah, ya, aku mendengarnya. Tapi itu salah.
Um? Ah… bisa lebih keras lagi jawabnya?
Ya, benar. Orangtua. Ayah dan ibu. Merekalah panutan utama kita. Bagi mereka yang tidak punya orangtua, biasanya akan berkembang di luar naturalnya manusia —berkembang secara primitif, dengan pemikiran individual. Kebanyakan dari anak-anak ini —apalagi yang tidak diajari— akan jadi manusia-manusia dengan gangguan kapibilitas untuk bersosialisasi. Ya, walau tidak semuanya, tentu saja.

Aku, syukurnya punya orangtua. Orangtua yang sangat kusayang, dan menyayangiku. Orangtua yang bangga padaku —kuharap. Walau kami jarang ngobrol —karena, aku tidak suka bicara banyak. Sifat itu datang dari ayahku. Beliau tidak suka mengeluarkan suaranya jika tak punya tujuan yang ingin disampaikan. Ia adalah pria tenang dengan tubuh tegap, bermata lebar, wajah tenang, dan berhati sabar —walau jika marah akan sangat menyeramkan.
Ayahku memiliki banyak sekali kelebihan dari segi perilaku. Aku ingin membanggakannya, karena itu aku menirunya. Sifat yang selalu menghormati orang lain, taat pada kewajiban, menjauhi diri dari maksiat apa pun jenisnya, memperlihatkan diri seperti apa adanya, memperlakukan orang lain dengan layak, tidak bicara kasar, paham dengan kemampuan dan ingin terus berkembang.

Apa sifat-sifat itu tidak terlalu hebat?
Ah, ya. Tentu saja tidak. Banyak orang yang memilikinya, kan. Aku bisa mengerti situasi itu.
Namun, untuk alasan tertentu, kita akan lebih merasa bangga jika orangtua kita memilikinya. Pernahkah, saat kalian SD, kalian membicarakan soal seperti apa pekerjaan orangtua kalian…?
“Bapakku polisi. Kalo macam-macam, ditangkap kalian.”
“Ayahku pilot. Sudah pergi keliling dunia, dibayar lagi.”
“Papaku anggota DPR. Pengamat negara ini.”
“Babe gua juragan tanah. Orang paling ditakutin di Jakarta.”
“Papi aku pemilik perusahaan mega. Punya banyak proyek yang diperebutkan.”
Yang tidak banyak omong cuma anak presiden saja.
Apa ada yang pernah bicara begitu tentang orangtuanya? Pasti pernah, kan. Tentu saja pernah. Sering juga —bagi mereka yang tumbuh satu kampung— akan saling ejek nama orangtua karena ingin memenangkan kekerenan orangtua mereka. Bagi yang berayah polisi, kebanggan yang mereka miliki akan sangat besar, sampai-sampai membuat kepala mereka jadi sekeras batu —sombong. Padahal bapaknya tukang palak warga miskin dan penyelamat kriminal kaya. Sampah bersih. Jenis manusia-manusia robot yang merespons dengan jumlah uang yang diberikan. Sungguh miris…

Begitulah anak. Mereka merupakan makhluk sombong yang suka sekali memamerkan orangtuanya. Luar biasanya kebanggan seorang anak, tidak ada yang tahu seberapa lebarnya.
Begitu anak, begitu pun bapak.
Ungkapan tersebut membuat persamaan terhadap anak dan orangtuanya.
Kebanggaan juga terletak pada orangtua terhadap anak-anak mereka.
“Anakku juara 1 lagi semester ini.”
“Anakku dapat beasiswa ke Singapura.”
“Anakku dapat kerja di perusahaan besar.”
“Anakku nikah dengan puteri pengusaha kaya.”
“Anakku jago main bola.”
Dan, bla bla bla bla bla…
Berlanjut sepanjang jalan.
Ya, mereka —para orangtua— memiliki sikap seperti itu juga. Kebanggaan terhadap anak yang mereka lahirkan, besarkan, dan sekolahkan, hingga menjadi seorang manusia saat ini akan tampak sangat mengesankan di mata mereka. Bagi tiap orangtua, tak ada hal yang paling indah selain kebahagiaan anak-anak mereka.

Hanya saja…
Terkadang sifat penyayang tersebut bisa terbentuk sangat berlawanan dengan pemikiran yang seharusnya. Yang semula kasih sayang dengan kebaikan, malah beralih jadi keegoisan tak berujung.
Tahu istilah, bela anak?
Ya. Membela anak mereka dalam situasi di mana mereka sedang mengalami masalah.
Dari sisi itu, kita bisa lihat apa efek yang terkandung di dalamnya. Yaitu, keinginan untuk tetap membanggakan anak mereka, dalam urusan atau tindakan apa pun yang mereka lakukan.
Berbeda dengan soal kebanggaan positif seperti sebelumnya, konsep bela anak ini lebih mengacu kepada sebuah sikap konservatif yang hanya memenangkan diri sendiri. Mereka tidak peduli apa sebab-musabab yang mengakibatkan pergaduhan situasi yang terjadi karena anak mereka. Yang jelas, mereka ingin anak mereka tetap terlihat benar di mata siapa pun, bahkan Tuhan.
Orangtua yang luar biasa… Saking sayangnya dengan anak, sampai-sampai sanggup membenarkan kesalahan anak-anak mereka di mata semua orang, bahkan rela mengorbankan keselamatannya menghadapi Tuhan. Sistem bela anak ini, bahkan lebih luar biasa dari Rodi atau Rhomusa.
Sangat tidak beradab dan merugikan.

Bukankah sama saja dengan berbohong jika mereka memperlakukan anak-anak mereka seperti itu: membela mereka tak peduli salah atau benar. Jika mereka ingin menunjukkan kasih sayangnya pada anak-anak mereka, harusnya mereka paham di mana letak kesalahan dan kebenaran tentang perilaku anaknya. Arahkan mereka untuk keluar dari kebatilan. Didik mereka dengan sungguh-sungguh. Jangan pernah membenarkan kesilapan mereka, tapi buat mereka sadar jika mereka itu salah. Dengan melakukannya, maka kasih sayang yang sebenarnya akan terlihat dengan jelas.
Tanpa adanya sedikit pun kebohongan.

Kita ambil dua contoh tentang fenomena ini dari dua orangtua beda profesi dan beda anak.
Yang pertama terjadi saat aku kelas 1 SMA.
Ada seorang anak, salah satu murid kelas 1, yang pernah ketangkap saat sedang bermesraan dengan seorang siswi kelas 2 di tengah hutan waktu jam istirahat. Seharusnya mereka pergi sholat dzuhur, tapi malah berzina. Ya, mereka pacaran.
Seorang warga kampung yang baru pulang dari kebun melihat perbuatan tidak senonoh keduanya, lalu merekam kejadian tersebut dengan ponselnya. Kemudian keesokan harinya, kedua pelajar tersebut pun dipanggil ke ruang kepala sekolah, bersama dengan kedua ibu mereka.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di sana. Namun, salah satu dari siswa di kelasku menyelinap di dekat jendela, mendengarkan. Dia me-minutes semua pembicaraan yang terjadi dalam ruangan itu, kemudian diceritakan pada kami.
“Aku dengar, mak dia marah-marah, bilang, ‘anak aku tak salah, anak kau yang salah!’.” ujarnya sambil makan keripik kentang bayaran hasil kerja kerasnya yang begitu beresiko tersebut.
“Habis. Apa kata mak si jantan?” tanyaku.
Kami semua melongok padanya, menunggu-nunggu informasi lanjutan.
“Dia kata, ‘kau jangan nak salahkan anak aku. Anak kau yang gatal, goda-godakan anak aku. Jangan kau nak salahkan anak jantan aku’ katanya.”
Seperti orang-orang zaman 80-an yang kurang ilmu, kami pun mengangguk berjamaah, menggumamkan “Oooh…” yang begitu panjang.
“Kau tahu, tak ada satu pun yang mau kalah. Dua-dua tak mau salahkan anak mereka, cuma bela anak masing-masing. Budak bedua itu entah apa jadi di dalam kantor itu, aku tidak tahu. Kurasa muka mereka merah padam karena malu,” lanjut si agen pencuri informasi tersebut.
Pada akhir cerita, kami pun mendengar pengakuan mengejutkan dari si agen.
Dia berkata, “Mak aku, jangan kata kasus pacaran. Aku ulangan dapat 0 sebab tak belajar, omelannya bisa merentet sepanjang hari. Tak ada kisahnya aku pernah dibela kalau salah. Ini, sudah jelas anaknya menodai kesucian anak orang lain dan membiarkan anak orang lain yang bukan suaminya menodainya, malah dibela mati-matian pulak.
Begitu indah, atau mungkin lebih cocok, menyedihkan sekali perkataannya itu. Kami sampai menggeleng-gelengkan kepala, takjub pada nasibnya.
Berbeda sekali dengan dua orangtua yang penuh kebohongan itu. Tidak heran. Mereka pasti shock setelah mendapati bahwa anak mereka, kebanggaan mereka, cinta mereka terkena masalah. Bagi tiap orangtua, tentu mereka ingin mengeluarkan anak mereka dari kesulitan seperti apa pun, menolong mereka.
Ada yang mengetengahkan konflik dengan minta maaf, lalu berniat untuk mengganti kerugian yang sudah disebabkannya. Ada juga yang minta damai tanpa menawarkan kompensasi apa pun, karena mereka menganggap semua masalah yang dibuat anak-anak mereka merupakan bumbu-bumbu dari tumbuh dewasa. Dan, ada juga yang bersikap seperti tadi. Tidak mau kalah, tidak mau mengaku salah. Jauh dari kata damai ataupun penanganan. Orang-orang keras kepala yang selalu saja menyuarakan kebohongan—bahwasanya anak mereka tidak salah.
Walau anak orang sudah hamil tiga bulan, tetap juga tidak salah. Meski anak orang sudah tewas di WC sekolah, tetap juga tidak salah. Biarpun harta orang telah lesap tetap juga tidak salah.
“Bukan anak aku yang buat!” kata mereka.
Kalimat legendaris orang Melayu.

Jadi, bagi kalian, apa kalian masih bisa berbangga dengan orangtua seperti itu…?
Kurasa kita sependapat. Mereka tak patut berada di posisi sebagai orangtua. Jika mereka sungguh bisa jadi orangtua, pastinya mereka paham benar, mana yang baik dan mana yang salah. Mana yang harus dibela dan mana yang harus diakui salah. Dengan mengutarakan kejujuran seperti itu, anak-anak akan belajar, bahwa sesungguhnya di dunia ini, berani untuk mengaku adalah ciri kebesaran hati manusia.
Itu adalah salah satu bentuk didikan yang benar, dan patut untuk diajarkan pada semua anak di generasi mana pun. Bukan malah bersikap egois dengan membenarkan kesalahan mereka. Mereka berbohong soal sayang pada anaknya. Dengan sikap seperti itu, mereka sudah menjerumuskan anak-anak mereka untuk menjadi manusia pengecut yang tidak berani menerima tanggung jawab. Anak-anak yang harusnya diajari sikap teguh dan berani maju untuk mengaku salah dituturkan kekecewaan oleh ibu ayah mereka sendiri—dengan terus-terusan dibela.
Jika sungguh sayang pada anak, harusnya mereka tahu bagaimana caranya mendidik mereka dengan benar. Harusnya mereka paham, bahwa di dunia kontemporer ini, sebuah kebenaran mahal harganya. Jika tidak pernah membuat anak-anak mereka mengerti dengan konsep, mengaku, lantas akan jadi apa mereka nanti. Hanya keturunan pengecut yang tidak tahu diri. Sebuah produksi gagal lainnya, dari produksi gagal veteran…

ADVERTISEMENT

Cerpen Karangan: Faz Bar
I’m just an ordinary guy, with no talent or awesomeness. I like to write, especially a light novel. My dream is to write a light novel that then being adapted into an anime series (I’m serious about this). I like anime and J-Pop music, and all about Japan. My favourite protagonist is Hikigaya Hachiman, whether the heroine is Yukinoshita Yukino from Oregairu. I’m still an amature. But, I sure can be one of like those great writer whom had made history with their works. I want to be one like that. A famous writer (once again, I’m serious about this).

Cerpen Orangtua Orangtua Pembohong merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Happy With Family

Oleh:
Hai, namaku Rayna Andrea Stewart, Aku bisa dibilang hidup berkecukupan, ayahku bernama Edward Stewart, ibuku bernama Elishabet Victoria Stewart, Aku juga mempunyai dua kakak yang pertama SMA kelas 3

Purnama Rengganis

Oleh:
Ini sudah lebih dari setengah jam tetapi laki-laki itu masih saja berdiam diri. Ia tersenyum sesekali atau sekedar berkedip. Memandangku dari ujung rambut hingga kaki. Aku sudah terbiasa dengan

Bingkisan Untuk Mang Diran

Oleh:
DUA potong sarung dan dua stel baju sejenis kampret putih itu, terlepas dari genggaman tangan Narti. Jatuh begitu saja di atas tanah merah, tepat di depan rumah kontrakan yang

Je T’aime (Part 2)

Oleh:
“Hai Chika… Dari tadi lo diem aja? Kenapa? Ada masalah ya? Cerita dong.. Gak biasanya lo kaya gini.. Hmm, lo lagi jatuh cinta ya? Cieeee.. buru cerita!!” .. Chika

Sablo

Oleh:
Ini tentang kucing kesayangan keluarga kami. kucing kesayangan Ayah & Adikku. Semua berawal dari keunikan yang diberikannya dengan bulu halus berwarna hitam berkilau ditambah dengan bulu berwarna putih yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

4 responses to “Orangtua Orangtua Pembohong”

  1. aditya dwi says:

    ditunggu cerpen-cerpen kiriman terbaru kk y

  2. Faz Bar says:

    Terima kasih buat komentarnya :3

  3. indah says:

    bener tuh kata kak faz bar! sebel banget deh waktu orangtuanya temen aku marahin aku padahal anaknya yang salah.. *eh malah curhat 🙂

  4. ayunovita says:

    ini lebih ke article of education yaa. Wkwk
    bermanfaat, karena yang namanya nulis tidak hanya mengandung unsur entertain (baca: hiburan) tapi juga nilai moral. Biar tulisan itu bermanfaat. Keep fight yaa! Semoga mimpi buat novelnya tercapai 😀

Leave a Reply to ayunovita Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *