Persembahan Buat Mama (Part 1)
Cerpen Karangan: Rita LestariKategori: Cerpen Cinta, Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 26 December 2013
Sejak usia belum genap satu tahun, Ara hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Ayahnya pergi meninggalkannya dan ibu yang sangat dicintai serta mencintainya. Melihat teman-temannya yang tumbuh dengan orangtua yang lengkap, ia merasa tak seberuntung mereka. Ara yang saat itu masih kanak-kanak begitu sangat lugu dan mempercayai perkataan ibunya bahwa sang ayah telah meninggal dunia. Tapi tampaknya rasa penasaran Ara terhadap sosok ayah mulai menggedor-gedor hatinya untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi setelah usianya beranjak remaja. “Ma, Ara pengen tahu kuburan Papa. Ara pengen banget ziarah ke makamnya. Kasihan Papa, pasti kangen sama kita. Bahkan sekali pun kita gak pernah mengunjunginya. Kenapa Ma?” tanya Ara.
“Kan Mama sudah bilang, kuburuan Papamu tuh jauh. Kita gak punya cukup uang buat ongkos ke sana!” jawab Mama.
“Ara kangen Papa. Ara gak punya kesempatan buat ketemu Papa, masa Ara harus gak punya kesempatan juga buat sekedar berziarah ke makamnya. Ayo Ma, kita ke makam Papa! Ayo Ma!” Ara terus merengak kepada ibunya sambil menangis. Melihat Ara menangis, tampaknya membuat hati ibunya terenyuh. Dengan tangis yang juga merajainya, akhirnya ibu pun berkata yang sebenarnya.
“Papamu masih hidup. Tapi jangan pernah kamu menaruh harapan lebih sama Papamu, karena dia sudah punya kehidupan sendiri” kata Mama, lirih.
Mendengar pernyataan ibunya, Ara sangat behagia karena ternyata ia masih memiliki seorang ayah. Di sisi lain hati Ara sangat terpukul, kenapa ibunya tega berbohong tentang ayahnya. Ara ingin sekali menanyakan tentang perihal itu, tentang kebohongan yang selama ini dibuat oleh ibunya. Tapi hati kecil Ara berkata, “Mama pasti punya alasan yang kuat kenapa ia sampai berbohong tentang kebenaran ini.”
Lambat hari Ara mengerti tentang apa yang terjadi dengan orangtuanya. Ara mengerti dan mengetahui bahwa orangtuanya telah bercerai sejak 12 tahun yang lalu. Kerinduannya terhadap sosok ayah yang selama 12 tahun ia tak pernah merasakan sama sekali sentuhan dan kasih sayang seorang ayah membuat ia ingin sekali berjumpa dengannya. Suatu hari ia pergi ke kota Metropolitan untuk menemui ayahnya. Ara tidak sendiri, tentu saja. Ia ditemani paman yang selama ini telah ia anggap sebagai sosok ayah dalam kegalauannya.
“Om, Ara senang deh ternyata Papa masih hidup. Dan sebentar lagi Ara bakal ketemu Papa. Hehe, jadi gak sabar. Kira-kira Papa kenal Ara gak ya Om?” ujarnya penuh semangat.
“Ya pasti Papamu kenal. Lah wong kamu ini anaknya!” jawab Om.
“Iya ya Om, Ara kan anaknya Papa. Pasti Papa kenal Ara. Pasti Papa juga kangen banget ya Om sama Ara? Gak kebayang gimana nanti Papa meluk Ara. Pasti meluknya erat banget terus gak lepas-lepas, saking kangennya. Hehe” ucap Ara. Sementara sang paman membalas dengan senyuman.
Ara dan Om pun tiba di Jakarta.
“Loh Om, Kok ke rumah Tante Mia? Bukannya kita mau ketemu Papa?” tanyanya, heran.
“Iya sayang, kita ketemu Papanya di sini” jawab Om.
“Kenapa Om? Kata Om, Papa punya rumah di Jakarta. Kenapa kita gak ke rumah Papa aja, langsung? Kan Ara pengen tahu rumah Papa, biar Ara bisa sering-sering main ke rumah Papa.”
“Ara, Papa kamu kan sudah punya kehidupan sendiri. Di rumahnya, bukan cuma Papa kamu aja yang tinggal. Tapi ada orang lain juga. Kamu gak mau kan mengganggu mereka”
“Tapi Ara kan anaknya Papa. Ara juga gak akan ganggu orang lain kok.”
“Ya sudah nanti lain waktu ya sayang. Sementara, sekarang kita ketemu Papanya di sini dulu. Sebentar lagi Papamu datang, cuci muka dulu gih! Biar gak kucel tuh mukanya. Masa mau ketemu Papa kok kucel gitu!”
“Iya Om”
Setelah selesai mencuci muka, Ara kembali duduk di teras rumah tantenya. Ia begitu tak sabar menunggu kedatangan ayahnya. Beberapa saat kemudian tampak sosok laki-laki gagah mengenakan jaket kulit warna hitam, turun dari sepeda motornya. Laki-laki itu semakin mendekat ke arah Ara. Dalam hati Ara bergumam, “Gak salah lagi, itu Papa. Ya Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Papaku yang selama ini ku anggap mati, ternyata sekarang ada di hadapanku. Bahkan ia tampak lebih gemuk dibandingkan dengan yang aku lihat di foto.”
“Asalamualaikum” ucap sang Papa.
“Waalaikumsalam” jawab Ara dan Om.
Saat itu juga Ara berharap apa yang dibayangkannya menjadi kenyataan. Ia selalu membayangkan pertemuan pertama itu adalah hari yang paling indah. Dimana ayahnya akan memeluknya erat-erat, membelainya, dan mencurahkan segenap kerinduan layaknya sosok ayah yang merindukan anaknya. Tapi ternyata semua jauh dari apa yang ia bayangkan. Sang ayah hanya menyodorkan tangan kanannya untuk kemudian ia cium.
“Ini Ara ya?” Tanya Papa.
“Iya Pa, ini Ara” jawab Ara.
“Kamu masih sekolah?”
“Masih Pa.”
“Kelas berapa?”
“Kelas enam”
“Yang rajin sekolahnya, biar pintar!”
“Iya Pa.”
“Mama kamu sehat?”
“Sehat Pa, Papa sehat?”
“Iya, Papa sehat.”
Tak ada perbincangan yang berarti di antara mereka. Bahkan Ara yang sebelumnya membayangkan pertemuan itu adalah awal yang baik untuk ia mencurahkan rindunya terhadap sang ayah, ternyata pupus. Yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia merasa asing di mata sang ayah juga menganggap ayahnya asing di matanya. Ara justru tampak canggung untuk bermanja-manja kepada ayahnya, karena nyatanya sang ayah tak memberikan kehangatan sama sekali untuknya. Penantian Ara selama 12 tahun, terbayar dengan pertemuan yang hanya setengah jam saja. Hati Ara menangis, ia masih ingin memandang wajah ayahnya.
“Pa, kenapa buru-buru? Ara masih kangen” ucap Ara.
“Papa ada kerjaan. Nanti lain waktu kita ketemu lagi ya!”
Ara tertunduk lesuh. Saat sang ayah akan beranjak, seketika itu juga Ara menahan ayahnya sejenak.
“Tunggu Pa!” serunya.
“Iya Ra, ada apa? Papa buru-buru.”
“Ara minta nomor telepon Papa, boleh?”
“Iya, boleh. Kebetulan Om mu tadi sudah mencatat nomor telepon Papa, nanti kamu minta aja sama dia ya!”
“Baik Pa.”
“Ya sudah, Papa pamit. Asalmualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Ara hanya diam. Air mata yang ingin ia keluarkan, tertahan. Teriakan serta tangisan yang ingin ia pecahkan, menggumpal jadi satu dalam hati yang kini mengiba. Ya, sebenarnya ia mengiba. Mengiba kasih sayang serta sentuhan seorang ayah. Hari telah berlalu, kehidupan masih terus berjalan. Sekalipun Ara tak bisa membawa ayahnya ikut bersamanya pulang, tapi itulah yang harus Ara jalani. Ia tak pernah merasa sendiri, karena masih ada sang ibu yang begitu luar biasa menyayanginya.
—
“Ra, bulan depan sekolahmu sudah mulai ujian ya?” tanya Mama kepada Ara.
“Iya Ma. Tenang aja, Ara sudah mulai siap-siap kok Ma. Ara sudah belajar rajin dari biasanya. Kan biar lulus, terus bisa masuk SMP favorit. Hehe!”
“Mama senang lihat kamu semangat. Tapi kali ini Mama gak bisa sendirian Ra.”
“Maksud Mama?”
“Kamu harus lanjut sekolah, tapi Mama gak bisa sendirian membiayai kamu. Order jahitan lagi sepi. Mau gak mau kita harus minta tolong Papamu.”
“Ya udah Ma, ayo kita telepon Papa! Ara masih nyimpen nomor teleponnya kok.”
“Udah malam Ra, besok aja ya!”
“Iya Ma.”
Keesokkan harinya setelah pulang sekolah, Ara pergi ke Wartel. Sang ibu tidak bisa menemaninya karena harus menyelesaikan jahitan.
“Halo!” Ara mendengar suara wanita mengangkat teleponnya.
“Halo!” sahut Ara, “Bisa bicara dengan Bapak Wilyo?”
“Ini siapa ya?”
Saat ditanya seperti itu, Ara bingung harus jawab apa. Ara yakin suara wanita itu adalah suara istri ayahnya. Ara gugup tiba-tiba. Ia langsung menutup teleponnya. Tapi mengingat dia harus bicara dengan ayahnya, ia putuskan untuk menelepon lagi.
“Halo!” kembali terdengar suara perempuan itu.
“Bisa bicara dengan Bapak Wilyo?”
“Kamu yang tadi telepon kan?”
“Iya Bu.”
“Kamu siapa?”
“Aku Ara”
“Ara? Tunggu, tunggu kayaknya aku pernah dengar nama itu.”
“Aku Ara, anaknya Papa Wilyo.”
“Ohh jadi kamu! Ada apa kamu nyariin Papa kamu? Papa kamu gak ada. Udah, jangan telepon-telepon lagi!”
Wanita itu langsung menutup teleponnya. Ara semakin terguncang. Ia bingung apa yang harus ia katakan kepada ibunya.
Berkali-kali ia mencoba menghubungi nomor itu kembali. Tapi berkali-kali juga wanita itu yang mengangkat teleponnya. Bukan jawaban dari sang ayah yang ia dapat, melainkan cacian dari ibu tirinya, istri ayahnya.
“Gimana Ra? Apa kata Papamu?” tanya Mama sesampainya Ara di rumah.
“Papa lagi gak ada di rumah Ma. Kayaknya di rumahnya gak ada siapa-siapa deh. Soalnya Ara coba hubungin berkali-kali tapi gak ada yang angkat telepon Ara.”
“Oh… ya sudah, besok kita hubungin lagi!”
Ara tak sanggup menceritakan kepada ibunya tentang kejadian saat ia menghubungi ayahnya. Sekali lagi air mata Ara tertahan, tapi saat ini ia menahan air matanya karena ia tak mau sang ibu mengetahui bahwa betapa sakit hatinya.
Hari berikutnya Ara kembali ke Wartel. Kali ini sang ibu menemaninya.
“Biar Mama aja yang ngomong sama Papamu.”
“Iya Ma.”
Ara yang menunggu di luar Wartel, melihat wajah sang ibu di dalam Wartel yang kacanya tembus pandang tampak kesal. Entah apa yang sedang terjadi dengan pembicaraan antara mama dan papanya. Ibunya tampak sedang berdebat dengan ayahnya. Entah apa yang sedang diperdebatkan. Saat itu Ara hanya bisa melihat tanpa mendengar. Beberapa saat kemudian sang ibu keluar dari dalam Wartel.
“Gimana Ma?” tanya Ara, penasaran.
“Papamu bersedia membantu. Walaupun tadi harus Mama paksa dulu. Mama berhak memaksa, karena ini kan demi kepentingan kamu, anaknya. Kamu berhak mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapatkan dari seorang ayah.”
Satu bulan kemudian Ara masuk SMP. Belum lama ia menjadi siswa SMP, sang ibu memutuskan menikah lagi. Ara tak bisa melarangnya. Ara berharap lelaki pilihan ibunya akan bisa meringankan beban mereka, terutama membantu perekonomian mereka juga bisa menjadi sosok ayah yang ia dambakan. Tapi keadaan tidak berubah. Pekerjaan ayah tirinya yang menjadi buruh serabutan tak membuat perubahan berarti dalam perekonomian mereka. Bukan hanya itu, Ara juga tidak pernah bisa merasa nyaman dekat dengan ayah tirinya. Sekalipun tahun sudah berganti tahun ia hidup satu atap dengan ayah tirinya, ia masih menganggap ayah tirinya asing. Entah apa yang menyebabkan Ara tak bisa dekat dengan ayah tirinya.
Ujian Nasional sudah di depan mata. Di saat yang lain sibuk memikirkan harus melanjutkan ke SMA mana setelah lulus SMP nanti, tapi Ara tidak. Ia menyadari perekonomian keluarganya tak seberuntung teman-temannya. Ia tak berani menghubungi ayahnya lagi untuk meminta tolong.
“Ra, Mama udah menghubungi Papamu berkali-kali tapi gak ada jawaban” ujar Mama.
“Mama telepon Papa? Kenapa Ma? Gak biasanya Mama telepon Papa.”
“Mama gak mau kamu putus sekolah. Mama pengen kamu sekolah setinggi-tingginya. Mama pengen lihat kamu jadi guru.”
“Ara pengen bantuin Mama aja. Ara gak mau nyusahin Mama lagi. Ara gak apa-apa kok Ma sampai SMP aja sekolahnya.”
“Tapi masa depan kamu yang kenapa-kenapa kalau kamu putus sekolah. Ijazah SMP bisa buat apa? Pokoknya gimanapun caranya kamu harus lanjut ke SMA. Mama akan usaha sebisa Mama.”
“Tapi masuk SMA itu butuh banyak uang Ma.”
“Kalau Papamu gak mau bantu, Mama bisa jual motor Mama.”
“Jangan Ma! Itu kan buat nganter-nganterin jahitan. Mama bakalan repot kalau gak ada motor itu.”
“Udah, kamu jangan mikirin masalah itu! Yang penting kamu bisa tetap sekolah.”
Sang ibu pun menjual motornya untuk bisa membiayai Ara masuk SMA. Motor yang selama ini berperan penting dalam pekerjaannya. Motor yang baru lunas satu bulan yang lalu itu kini terpaksa ia jual demi menyekolahkan anaknya. Terlebih lagi Ara adalah anak satu-satunya. Hanya Ara lah yang nantinya bisa mengangkat derajatnya.
Setelah lulus SMP, Ara pun akhirnya melanjutkan SMA. Hari itu adalah hari pertama Ara masuk sekolah di SMA.
“Hei, aku Shita” ajaknya berkenalan.
“Aku Ara” sambil melontarkan senyuman, “Duduk sama aku aja!” ujar Ara.
“Boleh?”
“Ya boleh dong.”
“Makasih ya.”
“Sama-sama.”
Hari-hari berikutnya Ara pun berteman dekat dengan Shita. Bahkan mereka menjadi bersahabat. Ara menilai Shita adalah sosok yang menyenangkan dan berbeda dengan teman-teman lainnya. Begitu pun sebaliknya. Tak jarang mereka saling mencurahkan isi hati satu sama lain. Di kelas XI, Ara dan Shita di tempatkan satu kelas lagi.
“Ara, kita satu kelas lagi!” teriak Shita.
“Iya Ta? Yee… akhirnya doaku terkabul bisa sekelas sama kamu lagi.”
Tampak kebahagiaan di wajah mereka. Ara merasa beruntung memiliki sahabat seperti Shita, begitu pun Shita.
Di kelas XI, gadis yang polos itu mulai mengenal cinta. Ya, Ara telah tumbuh beranjak dewasa. Usianya kini tidak lagi 12 tahun. Usianya sudah hampir 17 tahun.
“Ra, kok ngelamun! Ngelamunin apa sih?” tegur Shita.
“Ah gak, gak ngelamun kok!” sangkal Ara.
“Bohong, orang dari tadi bengong gitu. Ngelamunin Ferdi ya? Hayo ngaku! Ciyee…!” sindir Shita.
“Ah apaan sih kamu Ta!” ucap Ara, tersipu malu.
“Eh.. eh.. eh.. tuh lihat! Ferdi nyamperin kita. Ehem, aku pergi aja deh. Biasa aja ya Ra, jangan salting! Hahaha..!” ledek Shita.
Shita pun pergi, sementara Ferdi menghampiri Ara.
“Ra, kok gak ke kantin?” tegur Ferdi.
“Iya Fer, lagi males aja.” Jawab Ara.
Ara memang kerapkali tidak ke kantin, lantaran ia harus berhemat. Selain itu juga karena uang sakunya tak jarang hanya cukup untuk ongkos kendaraan (angkot).
“Aku mau tanya serius Ra sama kamu” ujar Ferdi.
“Tanya apa Fer?” ucap Ara.
“Tanya… em… aduh aku bingung nih ngomongnya” Ferdi tampak gelisah, begitu juga Ara.
“Kok bingung? Ngomong aja!” desak Ara.
“Perasaan kamu ke aku, gimana?”
“M… maksud kamu?” Ara kaget.
“Aku sayang sama kamu, Ra. Boleh aku jadi pacar kamu?”
Saat itu Ara bingung harus jawab apa. Ara juga menyayangi Ferdi, tapi ini kali pertama ia mengenal cinta sehingga ia tak cukup tahu apa yang seharusnya ia lakukan, dan harus seperti apa ia menyikapi perasaannya sendiri. Ara takut menjadi egois karena cinta, sehingga ia akan mengacewakan ibunya.
“Ra, kok diem?” tegur Ferdi.
“Oh.. em, maaf. Aku kaget aja kamu ngomong gitu.”
“Gimana Ra, boleh?” tanya Ferdi sekali lagi.
“Jujur aku bingung Fer. Aku gak bisa jawab sekarang. Kasih aku waktu ya!” pinta Ara.
“Baiklah. Aku akan terima apa pun jawabannya Ra. Makasih ya sebelumnya.”
“Sama-sama Fer. Besok jam istirahat kamu temui aku lagi ya, aku akan kasih jawaban ke kamu.”
“Oh iya Ra, pasti, pasti aku akan temui kamu besok.”
Sepanjang malam itu Ara tak bisa dengan segera terlelap tidur. Hatinya masih berkutat dengan kebimbangan. “Tuhan, perasaan ini sungguh tulus menyayangi Ferdi. Dia baik, dia berbeda. Aku jatuh cinta padanya. Tapi adil kah ini, Tuhan? Adil kah ini untuk Mama? Jika saja akhirnya aku mengecewakan Mama, aku akan sangat menyesal.” Hati Ara berdesir penuh bimbang. Tapi keesokkan harinya,
“Fer, aku udah janji bakal kasih jawaban ke kamu hari ini” ucap Ara kepada Ferdi.
“Iya Ra, jawaban kamu apa?” tanya Ferdi, cemas.
“Aku juga sayang kamu.”
“Itu artinya…?
“Ya, kamu boleh jadi pacar aku.”
“Sungguh Ra? Makasih Ra, aku seneng banget. Makasih sayang, makasih. Upst keceplosan. Hehe, jadi malu.”
“Hehe, iya gak apa-apa kok.”
Sejak saat itu Ara dan Ferdi resmi berpacaran. Hampir setiap hari mereka pulang sekolah bersama. Kebetulan mereka satu arah. Gaya pacaran mereka tak seperti remaja nakal yang haus akan cinta. Ara dan Ferdi memang mesra, tapi mesra mereka dalam bentuk saling menasihati, mengingatkan, bertukar pikiran dan hal-hal positif lainnya. Bentuk kasih sayang mereka, mereka curahkan dengan perhatian. Ferdi selalu memanjakan Ara dengan kata-katanya, bukan dengan pelukan, ciuman dan sebagainya.
Suatu ketika Ferdi mengirimkan pesan melauin ponselnya (SMS).
Ku merasa bahagia saat aku di sisimu
Bahkan dirimu berikan aku sebuah arti
Arti yang tak akan bisa kupungkiri
Cinta yang kau beri
Kasih sayangmu kepadaku
Kan menyatu dalam hatiku
Sungguh…
Rasa cintaku padamu
Rasa sayangku kepada dirimu
Akan selamanya bersatu dalam hatimu
Kita berdua akan selalu bersama
Tuk selama-lamanya.
Kata-kata Ferdi selalu bisa membuat Ara membumbung, mengawang. Saat Ferdi bersyair untuk dirinya walaupun melalui SMS, sudah cukup membuat hatinya merekah. Ia bahagia, Ferdi telah membuatnya tak merasa layu lagi.
Cerpen Karangan: Rita Lestari
Facebook: Rita Lestari
Cerpen Persembahan Buat Mama (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Rita Lestari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Apakah Dia Alvin?
Oleh: Bagja PutraSiang itu, Alvin, Nandin, Yusi, Yuli, dan Aku baru saja pulang dari acara perkemahan tahunan sekolah, Kami duduk di bangku kelas 12 IPA SMA. dan, kami tinggal di kampung
Maling Bertobat
Oleh: Tutut Setyorinie“Sauurr! Sauur!” teriak Gentong sambil memukul-mukul kentongan yang besarnya hanya sepersepuluh dari bobot tubuhnya. Salah seorang menimpuknya dengan roti kecil yang langsung mendarat tepat di pipi kanan Gentong. Tanpa
Please Come Back Again, Onee Chan (Part 2)
Oleh: Luluah NurwijayaCahaya mentari menelusup masuk melalui celah pintu dan jendela. Rupanya kami tertidur gara-gara semalam mabuk. Aku coba membangunkan mereka yang sedang tertidur lelap dan menyuruh mereka pulang. Setelah mereka
Antipodes
Oleh: Pratiwi Nur Zamzani“Kalian yakin, bakalan nunjuk Arka untuk memimpin rapat bareng itu kapten band?,” tanya Rio di tenah musyawarah seluruh anggota basket. “Dia kan kaptennya!,” jawab Rendy sebagai asisten Arka. “Kenapa
Scratch Teens (Part 2)
Oleh: Aam QoerniashyInikah akhir kisah persahabatanku? Berakhir dengan luka kebohongan Persahabatan yang kami rajut sejak lama Dengan mudah rusak karena kebohongan Haruskah aku menyalah kan Diny? Atau kah Vina? Kurasa tidak
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
cerpen cukup bagus dengan gaya bahasa yang enak untuk dibaca.
trimakasih telah membuat karya seni tulis yang bagus.