Punk’s Not Dead

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Perjuangan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 30 May 2019

Megan membuka matanya pelan ketika mendengar ketukan keras di pintu kamarnya. Alih alih beranjak dari ranjangnya, ia tetap berdiam di balik selimut patchwork buatan tantenya sambil melirik weker bergambar Micky Mouse yang tengah tertawa.

Jarum jam telah berada di angka 8 tepat, Megan mengucek matanya yang masih terasa berat untuk di buka. Kini ketukan di pintu pun telah berganti dengan teriakan lantang yang keluar dari bibir mamanya yang berbalut gincu warna nude. Megan menguap dan bergegas turun dari ranjangnya yang nyaman, memutar gagang pintu dengan asal tanpa menghiraukan wanita yang masih berdiri di ambang pintu.

“Ada yang nyari kamu…” Wanita paruh baya itu mengikuti kemana Megan pergi.
“Iya, aku tahu, Mam. Aku lupa hari ini ada janji sama dia.” potong Megan cepat.
“Kamu kenal dia dimana? Sepertinya mama belum pernah lihat yang model begitu.” Wanita paruh baya itu berhenti di depan pintu kamar mandi yang baru saja di tutup oleh putri semata wayangnya.
“Memangnya Mama gak mengenali dia?” Megan berteriak dari dalam kamar mandi.
“Itu Daniel, Mam.” Lanjut Megan sambil menjulurkan kepalanya yang penuh shampoo.
“Daniel teman SMA kamu yang dulu sering bawain mama majalah itu?”
“Iya.”
“Ah masa, kok dia…”
“Hmm, makanya Mama tu harus sering ada di rumah, jadi tahu segala perubahan yang terjadi. Ganti tuh tagline bisnis Mama, jangan kerja di rumah lagi.” Megan keluar dari kamar mandi dengan wajah segar.
“Mama keluar rumah kan demi kamu, sayang.”
“Iya, aku tahu mam, aku ngerti.”
“Kamu gak bakalan dandan kayak dia kan?”
“Kalau aku dandan kayak dia, keren gak Mam?” Megan menyerigai.
“Aduh jangan, Mama gak mau lihat kamu jadi manusia aneh.”
“Aneh kan kata Mama.” Gadis berambut cepak itu mencium pipi Mamanya dan berlalu.

Daniel duduk di kursi teras, ia tengah serius membaca majalah yang selalu ada di atas meja berplitur coklat itu. Itulah kebiasaan Daniel, ia tidak pernah melewatkan berbagai macam bacaan yang terlihat di depan matanya. Bahkan Megan pernah memergoki Daniel membaca potongan tulisan di kertas pembungkus gorengan yang baru saja ia beli.
Kesukaan Daniel akan bahan bacaan cukup banyak mempengaruhi cara berfikirnya. Oleh sebab itu Daniel tidak pernah kering dengan ide segar dan kreatifitas. Sebagai ketua dari komunitas yang ia dirikan bersama temannya Bayu, Daniel tidak pernah menyerah dengan segala tantangan yang dihadapinya dalam membesarkan komunitasnya.

Daniel tidak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti jalannya. Begitupun halnya kepada Megan. Daniel tidak pernah menyinggung tentang gaya berpakaian Megan yang tidak sesuai dengan ciri khas komunitasnya. Identitas diri memang penting, tapi tidak ada yang lebih penting dari sebuah kebebasan memilih atas dasar hati nurani, begitu katanya.
Daniel cukup senang dengan keberadaan Megan di sana sebagai satu satunya perempuan yang memberi rona lain di kumpulan itu.

Megan menatap Daniel yang tengah serius dengan bacaannya. Mamanya bolehlah aneh melihat penampilan pemuda berambut serupa kumpulan jarum itu. Tapi dirinya tidak. Megan tahu di balik dandanan aneh mereka ada hal tersembunyi yang sarat akan makna. Bahkan eyeliner yang kerap Daniel sapukan di sekitar matanya ketika ia berada di atas panggung-panggung pertunjukan mempunyai makna pula.

Ia masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan Daniel kepadanya mengenai semua outfit yang pemuda itu kenakan saat pertama kali dirinya ikut sebuah kegiatan di komunitas pemuda jangkung itu.
“Celana jeans ketat yang berlubang di lututku ini adalah representasi dari kebebasan bergerak, berpendapat, dan mengeluarkan ide diantara segala himpitan yang menyerang kehidupan kami.” Daniel tersenyum.
“Spike ini.” Daniel memperlihatkan sebuah gelang kulit penuh duri dari logam, yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Ini simbol perlawanan atas segala hal yang kami anggap gak sesuai dengan apa yang ada di kepala kami.”
“Kalau rantai itu, yang kayak bling blingnya rapper?” Megan menunjuk Rantai yang menjuntai di celana jeans Daniel.
“Ini melambangkan solidaritas yang kuat Meg,”
“Dan sepatu boots ini adalah sebagai ciri bahwa kami dapat bertahan dalam situasi apa pun.” Daniel menggerak gerakan kakinya yang berbalut boots hitam.
Megan manggut manggut. “Kalau rambutnya Bayu?”
“Rambut Mohawk merupakan lambang kebebasan dan anti penindasan. Kamu tahu, gaya rambut itu diadaptasi dari mana?”
“Hmm suku Indian?”
“Indian Mohican yang dulu pernah tinggal di Mohawk Valley yang sekarang dikenal dengan New York.” “Semua itu ditunjukan oleh faham ini bahwa kami adalah kaum yang bebas, bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.” lanjut Daniel berapi-api.
“Tapi citra buruk telah melekat erat pada diri kalian. Hidup di jalanan, tawuran, anarki, ngelem, bahkan dandanan kalian yang gak biasa itu telah banyak membuat orang merasa terintimidasi.”
“Maka dari itu, kami ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa kami tidak seburuk apa yang mereka pikirkan. Disamping itu jaman telah berubah Meg, yang setidaknya berpengaruh terhadap cara kami berjuang.” Daniel menjelaskan dengan penuh semangat.
“Kami ingin komunitas ini dikenal dalam hal hal positif bukan kenegatifannya. Mungkin dandanan kami terlihat mengancam tapi hati kami selembut sutra kok.” Daniel tertawa. Tawa yang sama seperti yang ia pamerkan di depan Megan dan Mamanya saat ini karena membaca kolom humor di majalah bersampul artis Ibu kota itu.

“Meg, pulang nanti kamu gak akan berubah kayak dia kan?” Senggol mamanya.
“Ya ampun Mama, Megan itu sudah beberapa bulan ini ikut kegiatannya Daniel. Mama lihat aku kayak dia gak?” Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu menggeleng dan tersenyum.
“Mungkin belum.” Mama mencubit pipi Megan lembut, yang dibalas dengan cibiran oleh gadis berusia awal 20 an itu.

Paviliun yang terpisah dari rumah utama milik keluarga Bayu terlihat ramai. Orang orang dengan dandanan nyaris serupa nampak tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing. Besok, Daniel dan teman temannya akan mengikuti pameran karya seni daur ulang dan fotografi yang diadakan fakultas seni rupa dan desain, dimana ia dan Bayu berkuliah.

Beberapa bulan ini, banyak wajah baru yang muncul di Komunitas ini. Usia mereka beragam, dari yang masih duduk di bangku SMA sampai yang sedikit lebih tua. Banyak dari mereka yang berasal dari kelompok lain yang sejenis. Biasanya mereka datang sendiri karena tertarik dengan apa yang Daniel dan Bayu buat. Ada pula beberapa anak yang memang “diselamatkan” oleh mereka berdua. Anak anak putus sekolah yang awalnya hanya ikut-ikutan tanpa mengetahui faham yang mereka anut. Daniel dan Bayu menarik anak-anak ini ke dalam pelukan mereka. “Mengobati” mereka dengan sentuhan kekeluargaan yang tidak mereka dapatkan dari kelompoknya bahkan dari keluarga riilnya.

ADVERTISEMENT

Megan tengah membantu Bayu memasang beberapa lembar foto hasil jepretan Daniel, ketika ada sebuah suara dengan intonasi tinggi bergema di gendang telinganya.
“Daniel…” pemuda berambut liberty spikes dengan tatto ramai di lengannya itu berteriak memanggil Daniel dengan suara yang kasar. Megan terkejut setengah mati. Selain karena suara itu pun karena ada beberapa orang yang terlihat sangar mengikuti pemuda yang hidungnya dipasangi anting bak kerbau milik kakeknya di kampung.
“Apa yang kamu lakukan hah? Kamu sudah merasa jadi jagoan? Kamu tidak ingat, dulu dibesarkan oleh siapa?”
“Apa maksud abang? Aku selalu ingat bila abang lah yang dulu telah memperkenalkan aku atas semua hal ini.”
“Nah terus sekarang, ngapain kamu ajak anggotaku untuk bergabung dengan kamu? Kamu gak menghargai aku lagi hah?”
“Aku gak maksa mereka untuk gabung dengan kami Bang, mereka kesini atas keinginan mereka sendiri.” “Cih, aku gak percaya. Rory, Megi, Sena, memangnya benar apa yang dikatakan anak ingusan ini?” Ketiga anak SMA yang ditanya itu terlihat ketakutan dan hanya diam membisu.
“Kamu keluar dari kelompokku, oke aku terima. Tapi mengambil orang-orangku adalah perbuatan yang gak bisa aku tolerir.”
“Kalian tahu, kalian itu telah menginjak injak faham ini,” Pemuda yang bernama Rayda itu mengarahkahkan telunjuknya yang penuh dengan cincin perak bakar ke wajah Daniel dan Bayu secara bergantian.
“Kita itu gak kenal sekolah atau kuliah di universitas ternama, kita gak mengenal sponsor untuk menghidupkan kegiatan kita. Mana semangat “do it yourself” kalian, hah?”
“Bang, tolong dengarkan dulu …” Daniel gusar tapi ia berusaha untuk berbicara setenang mungkin.
“Kita gak mengenal rumah mewah seperti ini untuk bernaung,” lanjut Rayda dengan gaya petantang petenteng.
“Kalian lupa bahwa kita itu kelompok yang anti kemapanan, melawan penguasa, bukannya bekerjasama dengan penguasa untuk terlibat aksi sadar bahaya narkoba.” Rayda tertawa sinis, jarinya menunjuk banner yang terpampang di dinding.
“Maaf bang, tapi inilah jalanku, jalan kami. Kami ingin hidup kami lebih bermakna untuk orang lain. Kami ingin melepaskan hal hal buruk yang tidak bermanfaat seperti tawuran dan melakukan tindakan yang bersifat anarki. Kami ingin menjauhkan semua anak anak yang mengikuti faham ini untuk tidak menjadi gluesniffer lagi.”
“Kami lebih memilih bertempur di ajang kreatif seperti ini. Semangat “do it yourself” kami masih ada dalam jiwa kami. Kami membuat proyek daur ulang untuk keperluan fashion dan aksesoris, merilis album, jasa fotografi, haircut, dan masih banyak lagi. Dan kami melakukannya secara mandiri. Kami menjadi marketer untuk diri kami sendiri.”
Rayda melayangkan pandangannya ke berbagai sudut ruangan yang di penuhi oleh banyak barang barang daur ulang yang sedang dalam proses finishing.
“Sudah ceramahnya? Aku kesini bukan buat mendengar ceramah kamu Niel. Aku kesini mau bawa tiga orang itu pulang.” Rayda menghampiri ketiga anak muda yang tengah diam kaku di pojokan. Dengan kasar, ia menarik vest jeans Rory untuk pergi bersamanya.
“Bang, kenapa abang gak tanya dulu apa yang mereka inginkan?”
“Tanya? Mereka itu kayak kerbau dicocok hidung, gak perlu pertanyaan dan aku gak perlu jawaban.” Rayda berteriak dengan penuh percaya diri.
“Ini rumah kami Bang, kami akan tetap di sini.” Tiba tiba Rory berteriak dengan suara bergetar yang membuat Rayda spontan melepaskan cengkramannya.
“Ooh, sekarang kamu berani ngebantah abang? Kalian harus ikut abang sekarang juga.”
“Maaf Bang, Kami sadar, di sini kami bisa bertumbuh, kami akan tinggal.” Sena menimpali. Rayda menatap tiga anak muda itu dengan tak sabar, dan mulai melayangkan lengannya ke udara.
“Bang, aku gak suka dengan kekerasan. Abang tahu sendiri kan, kenapa aku pergi dari kelompok abang? Kekerasan tidak akan pernah menghasilkan apapun selain rasa sakit.” Daniel menangkis tangan Rayda yang beberapa senti lagi mengenai wajah Sena. Rayda mendengus kesal, wajahnya memerah karena marah.
“Dengar ya Niel, suatu saat kamu akan mendapatkan akibatnya. Aku gak suka dengan apa yang kamu lakukan kepadaku.” Rayda pergi diikuti dengan teman temannya sambil memporak-porandakan barang barang yang ada di sekitar mereka. Semua yang ada di ruangan itu hanya bisa terdiam dan menahan amarah, karena Daniel dan Bayu melarang mereka untuk melakukan apapun.

Jantung Megan terasa akan copot ketika sebuah suara menyampaikan sebuah berita yang mengejutkan melalui saluran telepon rumahnya. Tanpa pikir panjang, Ia pun berkemas dan bergegas pergi.
“Bay, gimana Daniel?” Megan duduk di samping Daniel yang tengah memejamkan mata dan menyandarkan punggung lelahnya di tembok rumah sakit yang dingin.
“Kritis, masih gak sadarkan diri, Meg, kita doakan saja dia lekas siuman ya.”
Megan menggigit bibirnya dan mengangguk lemah. Dari sudut matanya Megan menangkap seseorang yang tengah duduk dengan kepala tertunduk lemas di lantai rumah sakit.

“Ini semua perbuatan dia kan?” Megan menunjuk Rayda. Ada kilatan marah di kedua matanya.
“Iya kan Bay, aku harus bicara dengan dia.” Megan mulai tersulut emosi dan melangkahkan kakinya untuk menuju ke arah dimana Rayda duduk. Tapi Bayu menghalangi langkahnya dan menggeleng.
“Sst, enggak Meg, tenang dulu, bukan dia.”
“Bukan dia? Aaah dia pasti bohongin kamu, dia datang ke sini agar bebas dari tuduhan, iya kan?”
“Beneran Meg, bukan dia, tapi Baim.”
“Baim itu anak buah dia kan? Ini pasti suruhan dia.”
Bayu menggeleng lagi. “Bang Ray gak tahu apa apa, Baim bertindak atas inisiatif sendiri. Awalnya Baim dengan Tony ingin memperingatkan Daniel karena membuat Bang Ray marah. Mereka mencari waktu saat Daniel tengah berjalan sendirian. Kata Tony mereka sempat adu mulut, Baim emosi, lalu menyerang Daniel dengan pisau belatinya yang selalu ia bawa. Daniel langsung terkapar. Tony ketakutan, ia lari tunggang langgang ke markasnya untuk melapor ke Bang Ray.”
Bayu menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Bang Ray yang bawa Daniel ke sini. Dia telepon aku sambil nangis Meg. Bang Ray sangat terpukul sekali. Tadi dia sudah diperiksa polisi, Baim sedang dalam pengejaran, Tony telah menyerahkan diri.”
Megan menatap Rayda yang sedang menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Dia ketua, kenapa dia gak bisa kasih contoh yang baik ke anggotanya.” Gumam Megan lirih.
“Om Indra dan Tante Sara sudah dikabari, Bay?”
Bayu mengangguk. “Om Indra sedang ada di Papua, Tante Sara ada seminar di Malaysia, mungkin baru nanti malam atau besok pagi mereka tiba.”

Malam itu Megan tak henti hentinya berdoa untuk sahabatnya. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Daniel. Tapi tak ada seorang pun yang dapat menghindar dari takdir Tuhan. Tepat pukul 8 malam, Daniel menghembuskan nafasnya yang terakhir. Daniel yang selalu mencoba untuk menjauhi segala macam kekerasan, akhirnya harus pergi karena kekerasan itu sendiri. Megan, Bayu, beberapa anak komunitas mereka serta Rayda, malam itu menumpahkan tangis duka dan beribu doa di depan tubuh kaku Daniel yang jiwanya telah dipanggil pulang oleh pemiliknya.

Sore itu langit seakan ikut menangis, menurunkan butiran bening yang jatuh satu persatu di atas payung-payung hitam yang mulai dikembangkan. Air mata membanjiri tanah merah dan rerumputan yang meranggas. Kedua orangtua Daniel yang telah lama berpisah kini terlihat saling menguatkan satu sama lain. Sementara itu terlihat banyak sekali orang yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Daniel, termasuk Rayda dan kelompoknya.

“Ini bukan akhir Meg, tapi ini adalah sebuah awal. Daniel memang telah pergi. Tapi segala sesuatu tentangnya akan selalu berada di sekitar kita. Dia meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk kita.” Megan mengangguk, bulir bening turun satu persatu dari matanya yang sembab.
“Lihatlah mereka.” Bayu menunjuk barisan anak-anak muda yang berdandan tak biasa.
“Mereka ada untuk kita Meg.”
“Kita harus tetap menyalakan semangat yang telah Daniel hidupkan. Apakah kamu siap?” Bayu mengulurkan spike milik Daniel kepada Megan.
Megan memandangi gelang penuh duri itu dan memakainya, menatap Bayu lalu mengangguk.
“Dia memang telah pergi, tapi seperti yang selalu dia bilang bahwa apapun yang terjadi, punk’s not dead. Aku Siap.” Megan berkata lirih.

Cerpen Karangan: Ika Septi
Facebook: Ika Septi

Cerpen Punk’s Not Dead merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


60 Menit Sosial Media

Oleh:
Namaku Aulia. Saat ini umurku 14 tahun. Aku tinggal bersama orangtua. Dengan segala aturan rumah yang ketat, aku hidup dengan 4 anggota keluarga. Cukup harmonis, tapi kebebasan bergaul dengan

Cinta Pertama Anak Polos

Oleh:
Nama saya Imam Safarudin, ini kisah nyata perjalanan cinta saya yang lucu. Waktu pertama masuk smp gue tidak mengenal apa itu cinta, apa itu pacar, yang gue tahu hanyalah

Kisah Cinta dan Hidupku

Oleh:
Sore itu langit berubah menjadi gelap, petir menyambar dimana-mana, air menetes satu persatu ke muka bumi. Hati Tasya sangat hancur saat dia terima sms dari sbastian. “Sya aku minta

Di Balik Tembang Nenek Rose

Oleh:
Setelah kepergiannya, bagiku Jakarta tidak lebih dari kota sempit yang mencekik. Setiap sudut jalan memiliki cerita yang dapat menoreh luka. Bahkan kini, tempat tinggalku bagai neraka yang tak ada

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “Punk’s Not Dead”

  1. moderator says:

    Ide cerita yang fresh!, makasih buat ceritanya ika ^_^

    ~ Mod N

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *