Seandainya Aku Tidak Dilahirkan (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 3 June 2016

Wajah gadis yang berusia 6 tahun itu tanpak tak pernah menyimpan kesedihan. Padahal anak seusianya pasti harus banyak membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Namun dia tidak seperti anak pada umumnya. Dia sudah kehilangan seorang wanita yang pernah melahirkannya. Ketika itu usianya baru memasuki sembilan bulan. Kala itu bibirnya belum lancar memanggil kalimat ibu seperti saat sekarang. Saat-saat di mana dirinya sering bertanya pada sang ayahnya, Hermawan.

“Wajah ibu itu seperti apa?”
“Apakah dia cantik sepertiku?”
“Apa benar wajahnya mirip bi Mina tetangga kita?”

Itulah pertanyaan yang selalu muncul dari bibir Niani. Hermawan hanya terdiam tanpa sebuah kalimat. Dia tidak ingin terlalu mengingatkan tentang Disnawati. Di mana kepergiannya sungguh memukul batin. Oleh karenanya pria itu tidak mau untuk bercerita kepada anaknya mengenai perempuan itu. Cukup yang mengetahuinya hanyalah dirinya sendiri. Hermawan tetap setia dengan kehidupannya yang sekarang dia jalani. Walaupun profesi pekerjaannya tidak menentu. Kadang-kadang dia menerima pesanan orderan untuk menjahit baju. Kalau orderan sedang kosong terpaksa dia harus membantu pak Andi untuk berjualan makanan.

Padahal dulunya dia bekerja di sebuah PT Bordir ternama. Penghasilannya lumayan besar sewaktu dia masih hidup bersama dengan Desnawati. Akibat utang yang melilit kehidupannya dia harus di PHK dari perusahaan tersebut. Pernah sekali dia kedatangan mertuanya. Kedatangan mereka kepada pria itu meminta Niani untuk mereka adopsikan. Mengingat menantunya mengalami kesulitan untuk membiayai kehidupan cucunya. Namun pria itu tetap bersikeras untuk memiliki anak perempuannya tersebut. Selain itu, gadis yang berusia 6 tahun itu juga menolak untuk tinggal di rumah sang kakek.

Dia merasa hidupnya lebih nyaman bersama dengan sang ayah. Niani tidak rewel dan tidak memiliki banyak permintaan seperti anak seusianya. Namun dia tidak akan nyaman selagi belum mendapatkan jawaban dari Hermawan. Bagaimana bentuk wajah ibunya, apakah wanita itu secantik dirinya? Bahkan dia tidak mengerti dengan kalimat ibu, sebagaimana yang selalu didengar dari anak-anak seusianya. Karenanya dia pernah bertanya kepada ayahnya. Apakah kasih seorang ibu itu sama dengan kasih sayang seorang ayah? Sejauh ini dia hanya bisa memahami cinta dari sang ayah yang telah membesarkannya.

Hermawan hanya menganggukkan kepalanya seolah mengiyakan apa yang sedang dipikirkan Niani. Selepas itu pasti ada saja pertanyaan susulan dari bibir gadis kecil itu. Kemudian membuatnya merasa tidak nyaman untuk menjelaskan kepada anaknya, seperti apa sebenarnya Disnawati. Jika pertanyaannya tidak digubris oleh sang ayah. Gadis kecil itu terlelap di pangkuannya sambil melepaskan lelah. Suara tangisan itu semakin dekat di telinga Hermawan. Kemudian dia coba berdiri dan memperhatikan sumber suara tersebut. Ternyata si kecil Niani sedang berlari menghampirinya sambil menangis. Tak tega melihat wajah sang anak yang penuh dengan semarak debu. Belum lagi beningan air matanya yang meluluh lantahkan kecantikan gadis kecil itu. Kemudian sang ayah mencoba menggendong buah hatinya dan menenangkan dalam pelukannya.

“Niani kenapa sayang? Ada yang mengusikmu Nak?”
Gadis itu mengiyakan sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian Hermawan mencoba memperbaiki rambutnya yang berantakan, “Lalu siapa yang mengganggumu?”
“Doni Papa, dia bilang Niani hidup gak punya Ibu. Terus mereka bilang Niani anak pungut,”

Kalimat itu ibarat panah yang sedang menusuk pikirannya. Dia sedikit pitam dengan ucapan anak-anak seusia Niani. Sekujur tubuhnya lemas kala mendengar bocah-bocah itu melukai sang buah. Apalagi ini menyangkut Disnawati. Ditenangkan pikirannya agar tidak terpancing dengan emosi. Kemudian dia menatap anak perempuannya yang sudah tidak menangis lagi. Sambil memberikan senyuman kepadanya. Sebagai isyarat apa yang dikatakan mereka itu tidaklah benar. Bukan kali ini saja Niani yang terluka akibat ulah teman sebayanya. Tapi dia pernah mengalami hal yang sama ketika bocah-bocah itu enggan bermain dengannya.

Alasannya karena gadis malang itu tidak memiliki ibu. Di antara mereka menganggap takut kalau mereka tertular dengan nasib gadis malang itu. Sebabnyalah bocah berusia 6 tahun itu penasaran siapa ibunya. Sosok wanita yang selalu dipertanyakan tak pernah dia temukan jawaban dari sang ayah. Seolah apa yang dikatakan teman-temannya itu benar. Karenanyalah tiada hari tanpa pertanyaan untuk mengetahui sosok wanita yang melahirkannya. Hermawan bukan tak ingin menjelaskan ataupun menceritakan siapa wanita yang telah melahirkan Niani. Pria itu paham betul karena ini bukan momen yang pas untuk berkisah. Lagian dia mengerti bagaimana perasaan sang anak ketika dikatakan tak memiliki ibu. Tapi benaknya berharap satu saat anaknya itu bisa mengerti. Sebab dia memiliki alasan tersendiri untuk tidak menceritakan.

Waktu berjalan terus tanpa menghentikan rotasi bumi. Begitu juga seiring dengan usia Niani yang bertambah dewasa. Gadis itu semakin cantik, wajahnya semakin mirip dengan sosok Desnawati. Bahkan selalu mengusik pikiran Hermawan tentang istrinya. Dia semakin merasakan bahwa hadirnya putri semata wayangnya itu, membuatnya semakin dekat dengan hadirnya sosok wanita yang pernah dia cintai. Malam itu dengan samar-samar lampu 5 watt. Hermawan terlihat serius menjahit sebuah kain berwarna merah. kemudian dia mengukur berkali-kali. Niani masih memperhatikan keseriusan sang ayah yang sedang menjahit. Gadis itu memperhatikan tikaman jarum jahit yang melaju. Ibarat peluru yang menghujam titik sasaran. Beberapa saat kemudian pria itu memotong dan merapikan sisa benang di bibir kain yang sudah dijahitnya.

ADVERTISEMENT

“Sekarang sudah siap! Niani boleh mengunakannya,” sahut Hermawan sambil menunjukan sebuah rok yang sudah selesai dijahitnya.
“Ini untuk Niani ya Pa? cantik sekali rok merahnya ini?” balas putrinya sambil memperhatikan bagian rok tersebut.
“Kali ini Papa akan ukur tubuh Niani untuk buat bajunya,” lanjut pria itu sambil meletakkan rok tersebut di atas meja. Lalu dia mencoba mengukur tubuh gadis itu. Sambil mencatat ukuran yang dibutuhkan sesuai besar tubuh anak semata wayangnya. Selesai mengukur diambilnya kain yang berwarna putih. Kemudian memotong menjadi beberapa bagian sesuai ukuran yang telah dicatatnya tadi. “Papa membuat bajunya ya?” Tanya Niani dengan lesung pipit yang menjadi ciri khasnya.

Hermawan menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Kemudian Niani terlihat begitu gembira di bawah cahaya lampu neon berkekuatan 5 watt itu. Dia berharap bisa memakai hasil karya ayahnya nanti. Hari ini merupakan hari pertama bagi Niani untuk masuk sekolah dasar. Dia tampak gembira mengenangkan seragam merah putih. Berkali-kali dia berputar badan sambil melihat setiap sisi suduh tubuhnya di balik cermin. Hermawan terlihat tersenyum. Pikirannya hanya terkenang dengan sosok Desnawati ketika melihat putrinya.

“Papa ini bagus sekali. Niani senang dengan pakaian buatan Papa,” teriaknya sambil memberi jempol kepada Hermawan. Ketika malam semakin larut. Di mana biasanya yang mendongeng adalah Hermawan. Kini Niani terlihat coleteh menceritakan pengelaman mengenai hari pertama masuk sekolah dasar. Banyak hal yang diceritakan. Hingga ayahnya terlihat semangat untuk mendengarkan kisah putrinya itu. Tapi tiba-tiba pria itu menjatuhkan titikan air mata. Ketika anak perempuannya itu menceritakan, saat sang guru meminta para murid untuk memperkenalkan masing-masing orangtua mereka.

Batin Hermawan terasa terpukul mendengar cerita dari Niani. Di mana putrinya tak bisa menceritakan sosok sang ibu. Dia hanya bercerita kalau selama ini yang membesarkannya adalah ayahnya. Tanpa seorang ibu berkat cinta ayahnya hidupnya sudah terasa sempurna. Walaupun dalam benaknya merasa ingin tahu sosok wanita yang melahirkannya. Hermawan terlihat berdosa kepada Niani. Kalau saja dia menceritakan siapa istrinya. Pasti anaknya akan mengetahui jelas siapa sosok Desnawati yang selalu disembunyikan indentitasnya. Memang selama ini pria itu tidak menunjukkan selembar foto untuk menjelaskan kepada putri semata wayangnya itu. Hingga membuat anak perempuannya bingung akan sosok ibu yang pernah menghadirkannya.

“Papa kenapa menangis? Apakah ini pengelaman Niani terlalu sedih buat Papa?” sahut anaknya itu ketika menatap sang ayang yang sedang berkaca-kaca.
“Oh tidak. Tidak kenapa Papa baik-baik saja. Namanya juga terharu sayang. Tidak semua air mata itu menyimbolkan bawa kita sedang bersedih, tapi seseorang menitikkan air mata bisa jadi karena dia bahagia,” Jelas ayahnya.

Niani hanya tersenyum ketika pengalamannya mampu membuat ayahnya menjatuhkan air mata bahagia. Padahal perasaan yang dimiliki pria itu justru sebaliknya. Pagi ini kondisi kesehatan Hermawan terganggu. Berkali-kali dia mencoba menahan dadanya saat kesulitan untuk bernapas. Kali ini kesehatan tubuhnya tidak mendukung untuk bekerja. Kelihatannya kondisi seperti ini membuatnya harus banyak istirahat. Dihempaskan saja tubuhnya di atas kasur yang warnanya sudah pudar. Sepulang sekolah Niani hanya mendapatkan Hermawan yang sudah tidak berdaya. Dipegang sekujur tubuh pria itu. Suhunya terlihat dingin. Air mata mulai mengurai di balik wajah anak perempuannya itu. Dia tidak ingin ada sesuatu yang terjadi kepada ayahnya.

Niani langsung pergi ke rumah bi Mina. Kebetulan rumahnya tidak begitu jauh. Hanya terletak sekitar 20 meter. Sesampai disana dia menceritakan kondisi Ayahnya. Dimana saat sepulang dari sekolah ayahnya tidak sadarkan diri lagi. Perempuan itu pun bergegas untuk melihat kondisi Hermawan. Sesampai disana. Memang benar sesuai apa yang diceritakan Niani. Kalau Hermawan sudah tidak sadarkan diri lagi. Wajahnya terlihat pucat pasi. Minarti pun langsung menghubungi Pak Wargito. Seorang dokter yang bertugas di sebuah puskesmas yang terletak tidak begitu jauh dari situ. Beberapa jam kemudian Hermawan berangsur pulih dari kondisinya tadi. Pak Wargito mengisyaratkan kalau pria itu harus banyak beristirahat. Karena dia mengalami gangguan pada pernapasan. Jika tubuhnya terlalu lelah. Penyakit itu akan kambuh kembali. Bahkan bisa mengakibatkan fatal.

Hermawan tidak bisa berbuat banyak. Pria itu hanya bisa pasrah dengan keadannya yang dimilikinya. Dalam benaknya dia hanya bisa berpikir untuk mencari cara sesuap nasi. Tentu saja dalam kondisi ini membuat dia tidak bisa bekerja. Dan, memperoleh uang untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak mungkin mengutang di warung Bu Asmina. Wanita yang terkenal cerewet itu tidak akan sembarangan memberi orang untuk mengutang. Sepulang sekolah Niani hanya melihat ayahnya sedang tertidur. Kemudian dia berjalan ke sudut dapur. Di sana terdapat sebuah tong. Tong itu biasanya digunakan oleh Hermawan untuk menyimpan beras. Ketika dibuka tutupannya. Hanya secanting ukuran beras itu. Kalau dimasak pun bisa dicicipi hanya untuk satu orang. Gadis itu memutar akalnya.

Benaknya mulai bicara pasti hari ini sang ayah belum makan siang. Kemudian dimasakanlah beras itu menjadi bubur dan dicampur sedikit garam. Jika hendak dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Niani sungguh jauh berbeda dengan mereka. Dia belajar untuk melakukan sesuatu yang selayaknya dilakukan seseorang anak perempuan. Salah satunya cara memasak. Bahkan waktu bermainnya pun digunakan untuk membereskan pekerjaan rumah. Sehingga ketika ayahnya sedang terbaring dalam keadaan sakit. Hermawan tidak perlu khawatir akan pekerjaan rumah. Langkah kakinya mendekati pintu kamar. Kedua tangannya membawa semangkuk bubur panas. Diletakkan di atas meja kecil yang tidak jauh dari tempat tidur ayahnya. Kemudian dia mendekati sang ayah.

“Pa bangun, makan dulu Niani udah siapkan makan untuk Papa,” sahutnya dengan nada lembut sambil mengusap keringat yang membasahi dahi Hermawan.
Sesaat kemudian pria itu pun bangun dan menyandarkan tubuhnya di dinding kamar. Matanya terbuka dan menatap semangkuk bubur yang masih hangat.
“Niani udah makan siang Nak?” Tanya Hermawan dengan datar.
“Papa jangan menghiraukan Niani, yang penting Papa makan bubur ini. Kemudian Papa harus makan obat,” pintanya.

Niani sungguh mengerti dan memahami apa yang harus dilakukan orang sakit. Ketika mengisi perut yang sedang kosong. Ya, tentunya memakan obat. Dia sangat berharap kondisi ayahnya lekas sembuh. Dan, bisa mendongeng saat-saat dia ingin melelapkan matanya. Selain itu bisa menemani hari-harinya juga. Ketika selesai menemani sang ayah hampir 30 menit. Niani ke luar dari kamarnya. Dia tidak ingin mengganggu sang ayah yang sedang istirahat. Gadis kecil itu kemudian duduk di perkarangan rumahnya. Berpikir bak seorang dewasa sambil menopang dagu dengan lutut kanannya. Terpikir bagaimana esok nanti ada beras untuk bisa dimasak. Dan, makanan apa yang harus bisa mengalas perutnya siang ini. Tanpa pikir panjang Niani beranjak dari lamunannya. Kemudian gadis itu pun pergi ke rumah pak Andi. Dimana biasanya sang ayah selalu ke sana. Tentunya untuk membantu pemilik warung berjualan makanan.

Bersambung

Cerpen Karangan: Yohanes Tuba Matarau
Facebook: Yohanes Tuba Matarau
Nama saya Yohanes Tuba Matarau. Saya senang menulis dan mengarang tulisan pendek. Saya berdomosili di Batu Aji, Batam.

Cerpen Seandainya Aku Tidak Dilahirkan (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Pelukan Pertama Ibu di Akhir Hidupku

Oleh:
Pagi telah menyambut. Sinar kehangatannya memancar ke seluruh penjuru dunia. Kicauan burung menambah cerahnya pagi ini. Semakin membuktikan kebesaran dari sang pencipta. Hari ini hari Minggu. Saatnya untuk memberikan

Seminggu Bersama Ibu (Part 1)

Oleh:
Saya bernama sidiq kayana, sebuah nama yang bersumber dari dua bahasa yang berbeda yang memiliki makna yang berbeda juga, sidiq diambil dari bahasa arab yang artinya benar, sedangkan kayana

Gadget

Oleh:
Suasana bandara sore ini sepi seperti pertokoan yang sudah mau bangkrut. Laki-laki dengan wajah penuh penantian sedang duduk di kursi panjang ruang tunggu. Kepalanya mengintip lagi jam tangan sambil

Nggak Jadi Main Timezone

Oleh:
krinnnggg…. krinngg….krinnngg bunyi alarm ku. Dengan sangat berat aku pun bengun. Lalu aku segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat menuju sekolah tercinta. sebelum berangkat terlebih dahulu aku meminta izin

Pelangi Di Mata Ayahku

Oleh:
Pukul 14.16 hujan menjebakku di halte bus. Derasnya hujan mengiringi gerak jarum jam di dinding halte yang terasa kian cepat. Semakin gelisah aku menunggu bus nomor 04 yang biasa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *