Senja Yang Terlukis (Part 1)
Cerpen Karangan: Risya NurcholisKategori: Cerpen Inspiratif, Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 4 August 2022
“Kring.. Kring.. Kring..” Dering alarm terdengar nyaring di tengah suasana pagi yang masih sunyi. Selama beberapa menit, deringan tersebut terus terdengar dan menyebabkan suara bising bagi penghuni sebuah kamar minimalis berdinding hijau yang merupakan orang yang menyetel alarm itu. Tak tahan dengan suara bising dari alarm tersebut, sang penghuni kamar pun terbangun dari tidurnya dan segera melompat dari tempat tidur untuk mematikan alarm itu.
“Udah jam berapa nih? Gue harus ngapain dulu nih?” Sang penghuni kamar yang merupakan seorang gadis itu terlihat gelagapan.
Jarum jam menunjukkan pukul empat lewat sepuluh menit. Zalina, nama si gadis itu, yang biasanya bangun pukul setengah lima pagi, kini harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sendiri karena Ibunya sedang menginap di rumah Tantenya. Setengah jam kemudian, seporsi nasi goreng dengan potongan sawi yang melimpah sudah siap dihidangkan di atas meja makan. Jangan lupakan aroma smoky yang menguar dari nasi goreng itu. Bukan disengaja, tapi aroma smoky itu adalah hasil dari proses penggorengan yang berlebihan karena ia memasaknya sembari menyiapkan buku-buku kuliahnya.
Pukul tujuh lewat 25 menit, ia sudah berdiri di depan pintu rumahnya untuk berangkat ke kampus. Hari ini ia menggunakan kaus lengan panjang berwarna merah muda dipadukan dengan rok kodok panjang dan kerudung krem. Sebenarnya, perjalanan ke kampusnya hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit menggunakan transportasi umum angkot. Namun, hari ini ia harus pergi ke bank dekat kampusnya untuk mengurus penggantian PIN ATM sebelum kelas pertamanya dimulai pukul sepuluh. Oleh karena itu, ia memilih untuk berangkat lebih awal agar mendapatkan nomor antrian awal pula dan bisa segera menyelesaikan urusannya sebelum kelas dimulai.
Zalina berhasil. Ia tiba di depan bank tersebut pukul delapan kurang lima menit setelah berlari tergopoh-gopoh karena takut akan ada orang lain yang sevisi dengannya, yaitu datang lebih awal untuk mendapat nomor antrian awal. Di depan pintu kaca bank itu, tergantung tulisan “Tutup”.
“Ah, gapapa kepagian. Paling jam delapan juga udah buka.” Ujarnya sambil mengelap peluh di kening dan pipinya.
Bedak tabur yang dipoles tipis di mukanya telah tersapu peluh yang terus menetes. Benar saja. Tak lama kemudian, seorang security bank membuka pintu kaca itu dan memutar tulisan yang tergantung disana menjadi “Buka” lalu menyambutnya dengan ramah,
“Silakan, Mbak.” Ujar security itu kepada Zalina.
Ia pun melangkah masuk ke dalam bank itu dengan wajah sumringah karena ia berhasil mendapatkan antrian awal untuk menyelesaikan urusannya hari itu.
Saat ini ia sedang duduk di sofa panjang dekat pintu masuk dan mengisi sebuah formulir yang sebelumnya diberikan oleh security bank. Sesampainya di kolom alamat, ia bingung harus mengisinya dengan alamat yang tertera di KTPnya atau alamat domisilinya sekarang ini. Kedua alamat tersebut berbeda karena ia dan Ibunya pindah rumah setelah KTPnya tercetak sedangkan KTP tersebut masih menerangkan alamat rumah lamanya. Ia pun berinisiatif untuk menanyakan hal itu kepada security yang sedang bertugas di dekat pintu masuk itu.
“Maaf, Pak, ini alamatnya alamat domisili atau sesuai KTP ya?” Tanyanya sambil menunjukkan formulir itu kepada security.
Security itu pun memindai formulir yang dipegang Zalina kemudian berkata, “Sesuai KTP saja, Mbak.”
Namun, beberapa detik kemudian, sepasang mata security itu belum terlepas dari formulir Zalina. Security itu masih terlihat memindai formulir itu lalu terpaku pada satu kolom.
“Zalina Adya Narata?” Ujar security itu dengan nada seperti orang bertanya.
Ia menjawab dengan jawaban yang nadanya pun seperti orang bertanya karena ia bingung dengan tingkah security itu, “Iya, Pak?”
Akhirnya security itu melepaskan pandangannya dari formulir Zalina dan berkata, “Nama yang bagus.”
Kebingungannya pun bertambah. Baru kali ini ada security bank yang memerhatikan nama yang tertulis di formulir seorang customer dan bahkan memuji nama itu. Dengan salah tingkah, ia membalas pujian itu lalu ia segera kembali ke sofa panjang itu untuk melengkapi formulirnya.
“Serius lo, Zal? Aneh banget. Gue belum pernah tuh digituin sama security bank. Ya mereka jawab seperlunya sesuai pertanyaan gue. Jangan-jangan… itu security suka sama lo!”
Tanggapan Mitha setelah mendengar cerita Zalina tentang kejadian antara ia dan security bank pagi tadi membuat Zalina tertawa. Sekarang sedang jam istirahat. Usai kelas pertama, ia dan Mitha, teman akrabnya, pergi ke kantin untuk makan siang. Di kantin itu lah Zalina menceritakan kejadian yang menurutnya aneh pagi tadi ke Mitha untuk menanyakan pendapat teman akrabnya itu. Puas tertawa, Zalina menimpali tanggapan Mitha,
“Itu security udah bapak-bapak banget kali. Ngaco, lo!”
“Ya kali aja. Walau pun lo gak cantik, tapi lo manis. Kali aja dia suka.”
“Jujur banget sih, lo. Iya deh gue emang gak secantik lo yang abis masa orientasi langsung diuber-uber banyak kakak tingkat.” Zalina pun sengaja memasang wajah memelas dan menundukkan kepalanya.
“Dih baper. Kan gue bilang lo gak cantik tapi manis. Gue serius. Coba senyum deh senyum.” Ujar Mitha yang lalu menarik kedua ujung sudut bibir Zalina dengan kedua tangannya agar Zalina tersenyum.
“Tuh walau pun senyum terpaksa aja udah manis.” Zalina segera menyingkirkan kedua tangan Mitha dari wajahnya.
“Gombal banget lo, ya.” Ujar Zalina sambil menusuk sepotong cumi goreng di piring makan Mitha menggunakan garpunya lalu langsung melahapnya. Mitha yang melihat kejadian barusan itu pun protes,
“Asal telen aja lo. Punya gue tuh.”
Hari berikutnya berjalan seperti biasa. Ibu Zalina sudah kembali dari rumah Tantenya. Jadi, ia tidak lagi kelabakan pagi-pagi seperti kemarin. Lagi pula hari ini ia hanya mengikuti satu mata kuliah dan itu pun pukul setengah tiga sore. Biasanya, jika ia kuliah sore seperti ini, pagi hari akan ia manfaatkan untuk melukis. Ia gemar sekali melukis sejak kecil. Kamarnya selalu penuh dengan tempelan-tempelan hasil lukisannya yang setiap dua bulan sekali tempelan-tempelan itu terus diganti agar tidak bosan. Lukisannya pun sangat detil dan rapi. Setiap orang yang melihat hasil lukisannya pasti akan terpana dibuatnya.
Meskipun begitu, ia belum pernah berniat mempublikasikan lukisan-lukisannya baik dalam perlombaan atau pameran. Baginya, melukis adalah caranya mengekspresikan segala hal yang ia rasakan dan pikirkan. Jadi cukup lah baginya untuk mengekspresikan segala hal itu lewat lukisan tanpa perlu repot-repot mempublikasikannya. Meski pun sedari dulu sudah banyak sekali tawaran yang datang menghampirinya, baik itu untuk mengikut sertakan lukisan-lukisannya pada berbagai perlombaan dan pameran atau bahkan untuk menjual lukisan-lukisan itu dengan harga yang cukup tinggi. Namun, ia tetap berpegang pada prinsipnya itu untuk tidak mempublikasikan lukisan-lukisannya.
Awan kelabu bergerak perlahan menutupi gumpalan-gumpalan awan putih yang sejak siang menaungi kampus Zalina. Sudah 15 menit lamanya ia mengamati awan kelabu itu dari jendela kelasnya yang berada di lantai delapan hingga mengabaikan dosennya yang sedang menjelaskan materi kuliah di depan kelas. Ia gelisah karena hari ini ia memakai tas yang berbeda dari hari kemarin dan di dalam tas yang dipakainya itu tidak terdapat payung. Dengan pandangan yang bergantian dari jendela kelas ke dosen di depan sana, ia berharap dapat segera pulang sebelum hujan turun.
Sore menjelang petang, ia masih berdiri termenung mengamati hujan yang sudah satu jam lebih mengguyur wilayah tempatnya berpijak. Harapan untuk dapat pulang sebelum hujan turun itu sirna karena hujan sudah turun saat ia berlari ke halte tempat pemberhentian angkot yang biasa mengantarnya pulang. Ia pun tak dapat memaksakan diri untuk menerobos rintikan-rintikan air hujan itu karena beberapa detik setelah rintikan-rintikan pertama itu jatuh langsung disusul dengan hujan yang deras, sedangkan halte yang ia tuju pun masih jauh. Akhirnya ia memutuskan untuk berteduh di depan bank tempat ia mengurus PIN ATM-nya kemarin. Saat ia sampai, bank itu sudah tutup karena sudah lewat dari jam operasional hariannya. Namun, disana sudah ada lima orang yang juga ingin berteduh dan sekarang menjadi enam orang ditambah dengan dirinya.
Sudah hampir pukul setengah enam petang namun hujan belum juga reda. Semakin petang, semakin sedikit pula jumlah orang yang bertahan menunggu. Dari yang awalnya ada enam orang di depan bank itu, kini tersisa tiga orang termasuk Zalina. Dua dari tiga orang itu yang merupakan sepasang suami istri sepertinya sudah tidak bisa bersabar lagi. Sesekali kepala mereka menengadah ke langit lalu menengok ke arah kiri dan kanan. Tak lama kemudian, mereka akhirnya memutuskan untuk menerobos hujan yang masih turun dengan derasnya itu. Dengan mengandalkan tas ransel sebagai pelindung kepala yang mereka pun sebenarnya tahu bahwa itu tidak bisa melindungi mereka dari air hujan yang mengguyur, sepasang suami istri itu pun berhamburan ke trotoar dan menerjang hujan. Benar saja, mereka sudah terlihat basah kuyup bahkan belum sampai sepuluh langkah dari tempat mereka berteduh sebelumnya.
Lama kelamaan, ia pun lelah menunggu. Perutnya terasa lapar dan kini ia sendirian di depan bank yang sudah tutup itu. Hawa dingin mulai menusuk-nusuk tubuhnya yang berbalut kemeja biru, rok panjang abu-abu, dan kerudung hitam. Tiba-tiba, seseorang muncul dari belakang gedung bank itu. Samar-samar terlihat olehnya karena terhalang hujan deras petang itu, namun seseorang itu tampak seperti seorang bapak. Ia memakai setelan kemeja hitam dan celana coklat dan menenteng sebuah payung ditangannya. Bapak itu terus melangkah hingga mendekati tempatnya berteduh. Sesampainya disana, bapak itu memberikan payung yang dipegangnya kepadanya.
“Pakai payung ini, Dek. Cepat pulang, nanti Ibu kamu khawatir.” Ujar bapak itu yang lalu menengadahkan kepalanya yang tadi agak menunduk untuk melihat Zalina.
Ia sedikit terkejut melihat wajah bapak itu. “Bapak security?” Ujarnya dalam hati. “Eh, jangan, Pak. Nanti Bapak gimana pulangnya?” Ia berkata setengah gugup karena mengenali wajah bapak itu.
“Saya nginap disini, Dek. Ayo cepat pulang.” Bapak itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Ini buat nanti beli makan sama Ibu kamu.”
“Jangan, Pak, makasih banyak. Iya, saya pinjam payungnya, tapi uang itu…” Belum selesai ia bicara, bapak itu memotong,
“Gak baik menolak rizki. Ambil payung dan uang ini. Cepat pulang. Ibu kamu nunggu di rumah.” Bapak itu langsung menyerahkan payung dan uang itu ke tangannya.
“Makasih banyak, Pak. Saya pulang dulu.” Bapak itu hanya membalas dengan senyuman.
Ia pun membuka payung pemberian bapak itu dan berjalan pulang. Ia sangat bersyukur dapat pulang ke rumah setelah kakinya hampir kram karena berdiri sekian lama di depan bank itu. Namun, ternyata berteduh di depan bank itu memberikannya berkah berupa bantuan dari bapak security yang sudah berbaik hati meminjamkannya sebuah payung dan bahkan beberapa lembar uang 50 ribuan. “Ya Allah, Pak. Uang sebanyak ini sih bisa buat makan aku sama Ibu seminggu lebih.” Ujarnya dalam hati saat melihat jumlah uang yang ia genggam.
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis
Facebook: Risya Nurcholis
Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.
Cerpen Senja Yang Terlukis (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Risya Nurcholis, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Adinda dan Pada Akhirnya
Oleh: Maya SharmaGadis itu tak berdaya setelah menerima kenyataan yang begitu pahit dan menyakitkan. Adinda dinyatakan hamil dua bulan oleh dokter kandungan. Awalnya ia tidak percaya saat melihat hasil tespeknya bergaris
Ujian Nasional, Dilema Sang Guru
Oleh: MarineDi luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan akan
Ke Tidak Abadian
Oleh: Ymir“Ayah tolong, ikutlah dengan diriku dan hidup selamanya” “Anakku, diriku sudah hidup cukup lama. Aku mensyukuri 200 tahun hidupku ini” “Tapi mengapa ayah harus pergi?” “Karena kematian memang tidak
Jalan Tengah
Oleh: ZoelkondoiMalam itu seperti malam-malam sebelumnya. Abdul Rahim, yang dikampungnya kurang begitu popular sedang berbincang dengan seorang temannya, di kampung mereka teman abdul Rahim ini kurang begitu di suka. Abdul
Dik Anah
Oleh: Muhammad Sofyan ArifSore itu madrasah dipenuhi dengan adik-adik yang mau mengaji. Semuanya sekitar 500an anak, yang laki-laki memakai baju koko seperti yang dipakai ngaji pada umumnya. Dik anah merupakan murid kelas
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply