Surat Untuk Idaman
Cerpen Karangan: Randy SyahrizalKategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Kisah Nyata, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 1 February 2015
Sengaja aku buat surat ini untuk kenang-kenangan kepada keluargaku kelak. Siapa tahu, ya siapa yang bisa tahu persis jumlah umurku ini? Aku bisa baca tulis, dan tentu harus kupergunakan sebaik-baiknya. Saat mulutku tak mampu lagi meneruskan cerita turun temurun ini, aku harap tulisan sederhana ini bisa menggantikan tugas mulutku, dan cerita ini harus pula sampai kepada generasi yang aku lahirkan.
Namaku Tjuram. Lahir di sebuah desa kecil bernama Kandibata, sekarang menjadi daerah ibukota Tanah Karo, Kabanjahe. Aku lahir bulan September tahun 1945, tanggal berapa aku kurang tahu persis. Orangtuaku tak pernah mengingatnya. Demi kepentingan admisnitratif sekolah, Bapaku menuliskan tanggal 1 September 1945.
Keluargaku adalah keluarga pergerakkan. Tak ada satu orangpun di antara kami yang tidak berorganisasi. Bapaku sudah mengenal organisasi di tahun 1920-an, dan ikut memikul senjata melawan Belanda, saat Sarekat Rakyat mengambil tindakan perlawanan bersenjata di tahun 1926. Karena itu, Bapaku dibuang ke Binjai untuk menjadi pekerja perkebunan Belanda. Dia mengalami masa hukuman tiga tahun, dan setelah masa hukumannya habis, beliau kembali ke Kandibata bersama kami. Saat dia kembali, aku masih belum lahir.
Banyak cerita kepahlawanan yang kudengar sejak kecil. Cerita itu secara turun-temurun dikisahkan kepada kami, dan generasiku juga mengenalnya secara baik. Pak Garamata adalah yang paling kukenal. Matanya selalu merah menyala, penuh amarah, dan selalu kurang tidur karena terlibat pertempuran demi pertempuran melawan Belanda. Begitulah cerita yang kudengar.
Di Kandibata ini adalah benteng pertahanan pasukannya yang paling depan, dari lintasan Kandibata–Kacaribu. Di tanah kelahiran dan di tempat aku dibesarkan ini, banyak darah pejuang Karo yang tertumpah demi melawan niat Belanda, niat keserakahannya yang ingin memperluas perkebunan kolonial.
Sunggal, Binjai dan Langkat telah jatuh ke tangan Belanda, setelah Perang Sunggal dimenangkan oleh Kolonial. Ya, perang ini memang dimenangkan oleh Belanda, tapi perang ini juga yang membawa nilai-nilai solidaritas, persaudaraan antara kami, rakyat Karo dengan rakyat Aceh dan rakyat Melayu.
Aku hafal betul cerita kepahlawanan Pasukan Simbisa, pasukan yang dipimpin Pak Garamata. Pasukan berpedang, tombak, parang, dan piso kecil ini dikenal sadis terhadap musuh, pantang mundur, dan tak henti-henti mengorganisir rakyat Karo, lelaki maupun wanita, untuk mengangkat Sumpah setia melawan Belanda. Karena sumpah setia itu, pasukan Simbisa bertambah banyak. Namun sangat sulit bagi mereka menang melawan serdadu Marsose Belanda yang berjumlah ratusan ribu dengan persenjataan lengkap. Pasukan Simbisa di Kandibata akhirnya mampu bertahan setelah mendapat bantuan dari Pasukan Gayo dari Kesultanan Aceh. Dan siapa pun bisa meramalkan, bahwa senjata mesin pastilah bisa mengalahkan senjata tradisionil.
Cerita turun temurun ini juga yang kusadari membentuk kepribadianku. Abangku telah lebih dahulu berorganisasi. Dia lima tahun diatasku. Sejak berusia 15 tahun, dia telah bergabung dengan Pemuda Rakyat (PR). Dan aku tentu saja masih pelajar tingkat akhir di Sekolah Rakyat Kabanjahe. Aku sering melihat baris-berbaris, dan di antara barisan tersebut terdapat abangku. Mereka berseragam, mungkin seragam organisasinya. Mereka membawa panji-panji organisasi, berjalan tegap menuju Jambur (seperti Pendopo dalam Jawa). Dan banyak sekali orang-orang yang aku lihat, mereka meneriakkan kata-kata yang belum aku ketahui artinya.
Saat itu aku berumur 10 tahun, dan disini aku menemani Bi Malem berjualan jagung bakar, dan baru aku tahu sekarang, acara itu adalah acara konferensi Partai, dan abangku mungkin telah menjadi anggota Partai seperti Bapakku. Lalu acara-acara serupa juga aku lihat dua tahun kemudian, dan itu adalah acara kampanye partai untuk pemilihan umum.
Pemandangan itu aku jadikan kenang-kenangan yang luar biasa, dan kebanggaanku menjadi-jadi saat kuketahui diri ini berasal dari keluarga pejuang. Dan aku adalah generasi baru, generasi yang bisa baca tulis, generasi yang diharapkan Bung Karno sebagai generasi pengisi kemerdekaan.
Saat usiaku 13 tahun, aku mulai aktif berorganisasi. Aku adalah pelajar, aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) cabang Tanah Karo. Di usia lima belas tahun, posisiku menjadi penting di IPPI. Aku menjabat sebagai wakil ketua cabang. Dua tahun kemudian, aku diutus menjadi peserta Kongres ke VII yang dibuka oleh Presiden Soekarno di Jakarta. Aku mendapat beasiswa melanjut ke perguruan tinggi di Uni Sovyet, dan tentunya aku senang sekali.
Saat itu aku sudah menaruh hati pada seorang penari, Bru Sembiring, yang juga anggota Lekra. Aku memang berniat melamarnya, dan sudah pernah ku utarakan niat itu kepadanya. Kami memang menaruh perasaan yang sama. Dia sangat cantik, dan bagiku tidak ada alasan untuk tidak menyukainya.
“Masihkah kamu menungguku, jika aku merantau ke negeri orang barang lima tahun?”
“Aku sudah mendengar ceritanya dari teman ndu. Kapan kamu berangkat?”
“Tahun depan, setelah kelulusan. Mengapa belum kamu jawab pertanyaanku?”
“Kalau memang kamu jodohku, pasti ada jalan dan kesabaran buat menunggu kamu kembali.” Jawabnya.
“Terimakasih. Aku akan jaga kepercayaan ndu ini.”
Kabanjahe 196
Aku lulus. Dan saatnya tinggal menunggu undangan beasiswa dan tiket keberangkatan ke Jakarta. Rasa takut menghampiriku. Akan bagaimana nantinya Bru Sembiring saat aku tinggalkan? Apakah dia tidak terlalu tua untuk menungguku? Apa kata orang jika dia belum juga menikah? Aku tak yakin dia sanggup melewatinya. Sementara abangku sudah lima tahun menikah, dan sudah dua orang anak ada padanya.
Dan hanya tinggal abangku, hanya dia waliku nanti di perkawinan. Masyarakat kampung ini tahu kalau aku menjalin perasaan dengan Bru Sembiring. “Lebih baik nikahi dia sekarang, itu akan membuatnya tenang dan menghindari prasangka buruk orang-orang.” Saran abang.
Selama dua hari aku pertimbangkan, baik buruknya, dan aku putuskan juga, aku akan menikahinya jika dia setuju menikah dalam waktu dekat ini. Jika dia tidak bersedia, maka akan aku jauhi dia, dan memutuskan hubungan ini, dan aku akan fokus pada studiku di luar negeri.
“Ya, aku setuju. Betapa senang hati ini mendapat lamaran dari kamu. Bicaralah kepada Bapa ras Nande (ibu), aku tunggu di rumah nanti malam.” Kata Bru Sembiring.
Begitulah ceritanya, sampai aku lamar dia di hadapan orangtuanya, dan abangku turut juga hadir sebagai wali, dan kami membicarakan acara peradatannya. Dan menikahlah kami secara Islam dan juga upacara adat, di Jambur Kandibata.
Empat bulan kemudian, istriku sudah mengandung. Saat itu alamat pos untuk surat menyurat masih ku alamatkan di rumah abangku. Pagi itu juga abangku memberikan surat kepadaku, dia menemuiku di warung kopi tempat biasa aku membaca koran, di Kabanjahe. Surat dari seorang sahabat di Jawa. Aku buka, dan aku baca isinya.
“Kepada kawanku tercinta, Tjuram. Hari ini, saat aku menulis surat ini kepadamu, adalah hari terkutuk buatku. Aku dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat melalui sebuah surat, bahwa aku turut terlibat dalam Gerakan 30 September. Aku tak tahu harus kepada siapa membela diri. Penyangkalan atas tuduhan itu sudah aku berikan kepada pimpinan sekolah, tapi tidak mendapat balasan. Aku berniat pergi ke Jakarta untuk menemui kawan ketua umum, untuk mendapat keterangan darinya. Tapi niat itu sia-sia. Segera aku mendapat larangan untuk bepergian meninggalkan kota Semarang. Aku ditahan, dan sudah sampai pula surat penahanan ini di rumahku. Sementara ini aku berstatus wajib lapor. Aku kirimkan surat ini kepadamu dan kepada kawan-kawan lainnya yang aku tahu persis alamatnya dengan tujuan agar kalian bisa bersikap. Dan sejujurnya aku membutuhkan solidaritas kalian atas kondisi yang menimpaku saat ini. Ketidakadilan harus dilawan. Demikian surat singkatku ini, dan semoga kau senantiasa sehat dan bersemangat. Aku harap surat ini bisa sampai di tanganmu. Aku harap, kau cukup kenal dengan tulisan ini, meski aku memakai nama samaran. Ini demi keselamatan kita.”
“Dua minggu yang lalu, ada kejadian hebat di Jakarta. Pertentangan Dewan Jendral dan Dewan Revolusi yang dikomandoi Letkol Untung telah mencapai puncaknya, dan klimaksnya adalah terbunuhnya 6 Jendral dan 1 orang perwira menengah, di malam 1 Oktober. Pihak militer menuduh partai kita sebagai otak dari tindakan Letkol Untung. Lupakan beasiswamu, dan segera pergi dari sini. Dimana-mana, kita sudah diserang dan dipukul. Kita kehilangan arahan. Dan belum ada perintah untuk merespon keadaan ini.” Kata Abangku.
“Lalu istriku?” tanyaku.
“Istrimu masih beruntung. Dia lahir dari seorang Ayah yang Masyumi. Suruh dia bersembunyi di rumah mertuamu, dan dia akan aman. Militer mungkin hanya akan menghabisi Partai dan pengikut-pengikutnya. Dan kau, kau adalah kader partai, tingkatkan kewaspadaanmu, dan bersembunyilah. Bicaralah kepada istrimu dengan sangat sederhana, agar ia mengerti dan memakluminya.”
“Baiklah. Jaga juga keselamatan kamu, abangku.”
Buru-buru aku pulang ke Kandibata. Kudapati istriku sedang membaca surat.
“Apa yang sedang kam baca?”
“Surat dari Kodim, tak jelas siapa yang mengantarnya, aku temui surat ini di bawah pintu, saat aku baru pulang dari ladang. Kam dipanggil Kodim untuk diperiksa.”
“Sialan, secepat itu?”
“Apa yang terjadi?” tanya istriku.
“Sekarang kam pergi ke rumah Bapak ndu, dan jangan pernah keluar dari rumah itu. Ambil barang-barang berharga dari rumah ini, dan sekarang juga kita tinggalkan rumah ini.” Kataku.
“Kam mau kemana?” tanya istriku.
“Aku janji, akan kembali lagi bersama kam setelah situasi ini aman.”
Istriku menurutinya. Dia pergi setelah memelukku dan menangis. Tapi tak lama tangisan ini berlangsung. Aku segera menyuruhnya cepat pergi. Aku amati dia dari jauh untuk memastikan keselamatannya. Dia menaiki bendi, dan pergi menuju Kabanjahe.
Aku sendiri masih bingung hendak pergi kemana. Aku keluar dari pintu belakang rumah, dan aku dapati pemandangan gunung Sinabung yang tinggi berselimut kabut. Tidak mungkin aku kesana. Apa yang hendak aku makan disitu?
Aku kembali ke dapur, dan duduk sambil memanaskan air di tungku. Pintu rumah digedor, dan aku hampiri perlahan sambil mengintip. Aku akan ingat pesan abang agar mempertinggi kewaspadaan. Yang aku lihat adalah Pak Tengah, saudara kandung Bapak ku. Aku buka pintu.
“Abang ndu ditangkap tentara saat hendak pulang ke rumah. Pergilah kau sekarang. Cari tempat yang paling aman. Aku tak bisa lama-lama. Jaga dirimu nak.”
Aku menangis. Abangku telah tertangkap. Dia tidak hanya abangku, tapi juga pimpinanku. Saran dan nasehatnya juga harus berarti instruksi buatku sebagai bawahannya di partai. Aku kembali menatap pemandangan pintu belakang rumah. Gunung Sinabung lagi yang kulihat. Baiklah, hanya tempat itu yang paling aman,
Aku menunggu hari gelap. Tidak ada yang boleh tahu kepergianku. Tetangga pun tak seorang pun boleh tahu. Kandibata belum lagi mengenal listrik sebagai penerangan. Lampu-lampu hanya aku lihat di Kabanjahe, tapi tidak disini. Aku tak tahu persisnya sekarang pukul berapa. Tapi hari sudah sangat gelap, dan dingin sudah terasa menusuk tulang. Aku ambil jaket hitam tebal, dan aku bawa bekal secukupnya, beras dan kentang, juga korek api sebanyak mungkin.
Di tanganku hanya ada senter kecil, kudapat dari pedagang alat elektrik di pasar Berastagi. Aku pakai sepatu boot, sepatu yang biasa aku pakai ke ladang. Sepatu ini akan melindungiku dari gigitan ular berbisa. Aku berjalan menyisiri hutan yang lebat, hutan yang lembab. Ketakutan pada hewan berbisa sudah terkalahkan, dan aku sudah berjanji pada istriku, untuk kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang sedikitpun.
Sudah enam jam aku berjalan. Kabut semakin tebal, dan jarak pandangku hanya tinggal setengah meter saja. Rasa haus dan lapar menyerangku. Tapi aku tak tahu hendak dimana aku meletakkan tubuh yang telah lelah ini. Aku duduk di bawah pohon besar, dan bersandar pada batangnya. Baru kusadari aku sudah berjalan mendaki ke atas gunung. Baru ini aku tempuh perjalanan kesini. Astaga, mengapa jalan ini begitu mudah? Apakah sudah ada yang membuat jalan menuju puncak gunung?
Dinginnya pagi membangunkanku. Aku lihat kembali, tempat ini terlalu terbuka. Aku harus naik lagi, mencari tempat tertutup dan akan kuperiksa keamanannya, aman dari manusia dan juga aman dari binatang buas.
Aku bertemu sebuah tenda kecil, tapi tak menemukan orang-orang di sekelilingnya. Tenda siapakah ini? Aku memperhatikannya dari jarak yang lumayan jauh. Aku dekati, dan telah aku timbang masak-masak, tidak mungkin tentara berada disini. Apalagi, tenda itu bukan tenda tentara. Aku semakin mendekati lagi, dan aku lihat ada seorang pria, mungkin lebih tua dariku 10 tahun, sedang tertidur. Aku perhatikan lagi dari dekat. Ya, kau Bapa Ginting.
Aku beranikan untuk duduk di sampingnya, dan kini aku berada di dalam tendanya. Dia terbangun, dan terkejut melihat kehadiranku.
“Kam itu Tjuram?”
“Ya, Pak.” jawabku.
Bapa Ginting langsung mengintip keluar melalui lubang-lubang kecil yang terdapat pada kain tenda.
“Tidak ada siapa-siapa Pak, hanya aku seorang.”
Kami berdua terlibat percakapan, dan saling bertanya alasan masing-masing hingga sampai disini. Rupanya kami sama-sama mendapat pesan untuk menyelamatkan diri. Darinya aku ketahui banyak juga yang lari hingga ke Gayo (Aceh), ke Dairi, ke Tanah Pakpak, dan ada juga yang menyusuri hutan belantara untuk tiba di Pancur Batu dan Medan. Dan mungkin saat ini masih hanya kami berdua yang memilih tempat yang paling dekat, namun paling aman.
“Kita bisa bergantian kembali ke rumah masing-masing untuk melihat istri dan jika mungkin, untuk membawa kawan-kawan yang bisa kita selamatkan disini.”
“Baik Pak.” jawabku menyepakatinya.
Begitulah akhirnya, selama beberapa bulan kami disini, memakan apa saja yang bisa kami makan, dari buah-buahan hingga berburu Monyet dan Ayam hutan, dan juga burung-burung. Pendeknya apa saja yang terlihat akan kami makan.
Hingga genaplah 4 bulan aku dan Bapa Ginting berada di tengah hutan, Gunung Sinabung. Sekarang aku mengutarakan niatku untuk turun gunung, dan dia menyetujuinya. “Ingat pesanku, bawalah kawan-kawan yang bisa kau selamatkan.” Katanya.
Aku berjalan menuruni badan gunung ini. Perjalanan menurun ini memakan waktu kurang lebih 4 jam. Dan sudah terlihat dari kejauhan pintu belakang rumahku. Pelan-pelan aku masuk, dan belum ada yang berubah di dalamnya. Tidak ada yang berserakan. Aku mengambil baju putih dan kopiah haji di dalam lemari pakaian. Aku pakai semuanya demi penyamaran. Kumis dan janggut sudah tak terawat dan tumbuh sesukanya. Sebelumnya, setiap tiga hari sekali pasti aku cukur. Sekarang jika aku berjalan di malam hari, orang-orang akan mengiraku sebagai Masyumi, apalagi aku hendak pergi menuju rumah seorang Masyumi, mertuaku sendiri.
Aku masuk ke dalam rumah mertuaku yang tak terkunci, dan aku disambut oleh istriku yang sedang duduk di ruang tamu. Lalu Bapa mertua keluar kamar.
“Kau kah itu Tjuram?”
“Ya Pa.” jawabku.
Lalu dengan pelan dia berbicara dihadapanku, juga istriku.
“Sudah pernah aku minta kau untuk meninggalkan aktifitasmu di partai itu. Beginilah jadinya kalau tidak menurut pada nasehat orangtua. Kau juga nak, menari bisa dimana saja, asal jangan di Lekra.”
Aku diam saja. Sudah kupikir-pikir dalam hati, memang tak penting berdebat dengannya. Aku hanya butuh perlindungannya dalam beberapa hari ini. Biarlah aku dengarkan saja petuah-petuahnya. Besok pagi aku akan jumpai beberapa kawan.
Aku berencana pergi ke Kabanjahe pagi ini, tetap dalam pakaian penyamaran, hendak mencari tahu keberadaan abangku. Aku tiba di dekat warung kopi biasa tempat aku membaca koran. Keadaannya sepi. Tapi warung tetap buka seperti biasa. Aku beranikan masuk. Aku jumpai pemilik kopi dan bertanya perihal abangku kepadanya.
Menurut keterangan darinya, dan kabar yang beredar, beberapa pimpinan partai yang ditangkap akan segera dieksekusi di Lau Gerbong. Dan tentu termasuk abangku di dalam daftar eksekusi. Aku tak tahu pasti apa dia sudah meninggal atau belum. Tapi aku sudah merasa berpisah dengannya, untuk selamanya.
Aku segera keluar dari warung, dan dua orang berpakaian militer menangkapku. Rupanya, namaku sudah beredar di masing-masing papan pengumuman di kantor-kantor kelurahan, dan kantor-kantor kepala desa. Dan seorang dari tentara itu adalah teman sekolahku di SR. Dan seorang lagi, mungkin Dari nama yang tertera di seragamnya bisa kutebak dia bukan orang Karo.
Lalu aku berkata dengan bahasa Karo kepada tentara yang juga kawanku di SR. aku Beginilah percakapanku dengannya:
“Haruskah kau tangkap aku? Tak pandaikah kau bersetia kawan?” tanyaku.
“Tidak hanya aku yang tahu kau sedang berada disini, jadi lebih baik aku yang menangkap kamu dari pada tentara lain. Inilah caraku bersetia kawan. Harap kamu juga bisa bersetia kawan kepadaku.” Jawabnya.
Tentu aku tak punya pilihan selain percaya pada kesetiakawanannya. Memang dari keterangannya, dia hanya menyatakan bahwa aku adalah pengurus di IPPI Tanah Karo, dan tak mempunyai persinggungan langsung dengan PKI. Dan aku hanya diam saja saat diperiksa di kantor militer. Setelah pemeriksaan, aku ditahan tanpa sidang, dan tanpa putusan pengadilan, dan entah berapa lama. Dan mungkin kisah hidupku akan berakhir disini. Untuk melanjutkan cerita ini, aku tak tahu lagi harus bicara tentang apa. Dan aku sudahi cerita ini.
Di dalam penjara ini, aku masih harus bersyukur masih diberikan pena dan kertas. Dan istriku juga diperbolehkan mengantarkan makanan. Dan perut istriku sudah terlihat membesar.
Dari kertas dan pena itu aku menulis. Dan tulisan itu sudah aku rampungkan. Sudah beberapa kali aku baca, dan sudah aku tuliskan secara jujur. Aku berikan beberapa lembar tulisan ini kepada istriku.
“Jika aku mati sebelum bisa kusaksikan kau melahirkan anak kita, aku harap tulisan ini bisa kau bacakan kepada anak kita kelak, agar dia mengenal siapa Ayahnya. Dan sudah beberapa hari ini aku pikirkan, jika dia lahir, berikanlah nama “Idaman” kepadanya. Karena dia sangat aku idam-idamkan.
Istriku menangis.
“Apa kau akan dibunuh?” tanyanya dengan suara tertahan, dan terisak tangis.
“Siapa yang akan tahu. Nyawaku tergantung maunya mereka. Baru aku rasakan kekalahan itu tiada indahnya. Berdoalah kau agar aku masih bisa berkumpul lagi dengan kamu dan anak kita. Kelak akan aku jadikan kekalahan ini sebagai pelajaran berharga.”
“Dan kamu, istriku, teruslah belajar, jangan berhenti. Kehidupan ini lahir dari golonganmu, juga peradaban ini. Ibu yang baik, akan melahirkan peradaban yang baik pula.” Mataku basah, dan meneteslah air mata.
Jam besuk sudah habis. Istriku diminta pulang, dan aku masih tertunduk sedih.
Cerpen Karangan: Randy Syahrizal
Blog: http://randy-prd.blogspot.com
Biodata Singkat
Nama: Randy Syahrizal
Alamat: Jl. Perwira II, Gang Bersama No. 135, Medan.
Nomor rekening: Bank Syariah Mandiri, KC. Gajah Mada 7052073116 an. Randy Syahrizal
No hp: 085299577640
E-book pertama berjudul “Barjo Sang Ketua Kelas” merupakan kumpulan cerita pendek.
Cerpen Surat Untuk Idaman merupakan cerita pendek karangan Randy Syahrizal, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Tentang Aku dan Ketetapan Hati
Oleh: Surya MaulanaRio masih terdiam kaku menyadari kenyataan baru yang harus diterimanya. Perpisahan itu benar-benar harus menjadi sebuah saksi akhir dari kebersamaannya bersama seseorang yang selama ini lebih-lebih disayanginya, dan sampai
Akhir Hayatku
Oleh: Ajeng Novriann PutriDiwaktu senggangnya, Annira gadis remaja berusia 17 tahun senang menyanyikan lagu-lagu KPOP, yaaa, Annira adalah seorang fangirl KPOP, dia adalah seorang yang berkepribadian introvert plegmatis, dia sangat slow, bahkan
Sorry Daddy
Oleh: Widya Wati SyukurAku menjalani hariku seperti anak yang lain tetapi pada waktu itu semuanya berubah… Hari ini, aku pergi ke sekolah dengan suasana hati yang kurang menyenangkan sebab aku sedang marah
Disaat Aku Haus Penghargaan
Oleh: Mega ResianaSuara gemercik air dari sudut rumah telah membangunkan ALUYSIUS SENO AJI dari tidurnya. Pagi itu cuaca terlihat sangat bersahabat, semangat yang menggebu gebu dan perasaan yang tenang selalu ENO
Balas Budi Seekor Anjing
Oleh: Yacinta Artha Prasanti“Ma, Shelin jogging dulu ya!” ujar Shelin sembari mencium telapak tangan ibunya. “Iya, hati hati ya” jawab ibunya. Di taman kota, Shelin berolahraga dan jogging di sana. Setelah 90
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply