Tuhan Selalu Baik (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 2 April 2023

Aku semakin jauh dari Tuhan. Ibadah tak pernah lagi kulakukan, kenakalan semakin merajalela dan ayah sering mendapatkan panggilan ke sekolah. Bahkan saat itu aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena masalah yang aku perbuat. Namun, akibat relasi ayah yang kuat, aku masih dapat bersekolah dan menikmati masa-masa terakhir di sekolah menengah pertamaku hingga aku lulus.

Semasa kelulusan, aku tidak begitu banyak menikmati masa-masa tersebut. Hanya sekedar mengikuti upacara perpisahan dan prosedur seperti biasa. Aku tidak ikut perayaan lain karena bagiku itu tidak penting. Padahal banyak sekali teman-temanku yang berharap Siswa Paling Kocak datang memeriahkan acara perpisahan untuk menyumbangkan lawakan di hari tersebut.

“Setelah tamat SMP … kau mau lanjut ke mana?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan tersebut. Saat menoleh, kudapati sosok Baron, pemuda timur yang sudah menjadi tetanggaku sejak kecil telah berdiri di ujung gerbang rumahku. Sore itu aku sedang menyiram bunga kesayangan mendiang ibuku.

Aku berdecak sebal. “Mungkin aku tidak akan sekolah,” jawabku tak acuh dan kembali melanjutkan aktivitas menyiram bunga.
Baron terkejut. “Kau serius?!” Gaya bicaranya yang khas orang timur itu memekakkan telingaku karena dia berteriak kaget. Segera dia berlari memasuki perkarangan rumahku dan menatapku dengan tajam.

“Heh kaka, apa kata ayahmu jika kau tidak mau sekolah lagi?” tanya Baron dengan wajah nyolotnya.
Kutatap pemuda berkulit gelap ini dengan jengah. “Dia tidak peduli.”
“Sangkara, kau harus sekolah!” Baron berucap tegas seraya memegang kedua pundakku.
“Kenapa harus kulakukan?”
Baron berdecak, barangkali muak samaku. “Ibumu pasti akan sedih.”

Aku tidak tahu sihir apa yang menyihirku sehingga kalimat tersebut berhasil menghantarku untuk tetap lanjut bersekolah. Kalimat Baron tersebut berhasil membuat aku bertahan dengan kehidupan sekolah menengah atas selama tiga tahun lamanya.

Sebelum masa kelulusan, ada berbagai macam kejadian yang menjadi tolak ukur dalam kehidupanku. Salah satunya adalah saat awal masuk Sekolah menengah atas. Kupikir aku tidak akan bertemu Arfa lagi, tetapi aku keliru. Aku kembali bertemu dengan Arfa dan kali ini kami sekelas.

Seperti Arfa yang kukenal saat SMP dulu, gaya rambutnya tetap terlihat jelek. Namun, siapa yang akan menduga jika aku bisa menjadi akrab dengan Arfa? Jangankan kalian, aku sendiri pun tidak akan menduga hal tersebut bisa terjadi.

Ini semua bermula saat kami mendapatkan tugas kelompok dan masing-masing kelompok harus memiliki 2 anggota. Saat itu aku tidak kenal siapa pun dan ditambah aku malas berkenalan dengan teman sekelasku. Hingga akhirnya aku menerima ajakan Arfa yang saat itu juga tidak memiliki teman.

Pemuda berambut jelek itu berkata tak masalah jika aku hanya sekedar menumpang nama, asalkan dia memiliki kelompok. Mungkin aku sedikit brengsek karena dengan senang hati menerima tawarannya. Namun, saat kerja kelompok tiba dan melihat Arfa mengerjakan tugas membuat peta dunia dengan wajah pucatnya, rasa empati dan simpatiku bangkit.

ADVERTISEMENT

Kondisi Arfa membuatku teringat dengan kondisi mendiang ibuku. Maka dari itu aku tidak tega membiarkan pemuda berambut jelek itu bekerja sendirian. Berakhirlah aku membantu mengerjakan.

“Apa kau gampang lelah?” Di tengah-tengah tanganku yang sedang menggaris di atas papan, sebuah pertanyaan terlontar untuk Arfa.
Pemuda itu mengangguk pelan. “Yeah, sejak kecil aku begini. Maka dari itu aku susah mendapatkan teman.”

Setelah pembicaraan tersebut aku tidak lagi berbicara kepada Arfa kecuali perihal tugas membuat peta dunia ini. Setelah berjam-jam bekerja sama akhirnya peta dunia dari bubur kertas siap. Saat menatap hasil tugas yang aku kerjakan membuat aku sedikit terenyuh. Selama aku mengerjakan pembuatan peta ini, aku melakukannya dengan serius dan tidak terpaksa sedikitpun. Rasanya sedikit menyenangkan dan menjadi Sangkara yang dulu.

“Terimakasih sudah mau bekerjasama, Sangkara.” Sebelum pulang dari rumah Arfa, pemuda berambut jelek itu berterimakasih padaku.
Keningku berkerut, bingung mengapa Arfa justru berterimakasih padaku. Seharusnya akulah yang berterimakasih, iya kan?
“Kau tidak perlu berterimakasih,” tegurku. Aku tidak pantas untuk ucapan tersebut.
Arfa bergeleng pelan. “Ibuku pernah berpesan, sekecil apa pun bantuan yang aku terima, aku harus tetap berterimakasih. Kau sudah membantuku untuk mendapatkan kelompok dan aku berterimakasih untuk itu.”

Kalimat Arfa membayangiku selama berhari-hari. Sekecil apapun bantuan yang diterima, dia tetap berterimakasih. Jika dipikir-pikir, aku sudah lama tidak mengucapkan terimakasih kepada siapa pun itu.

“Sangkara.” Sebelum bel pulang sekolah berbunyi, Arfa datang menghampiri mejaku yang berada di belakang.
Aku meliriknya tak acuh kemudian bergumam. “Apa?” Respon cuek kuberikan.
“Bagaimana kerja kelompok nanti di rumahmu saja?”
Keningku berkerut. Tidak biasanya Arfa meminta kerja kelompok dilaksanakan di rumahku. “Kenapa?”
“Di rumahku ada acara kerja ayahku, tak enak jika kita kerja kelompok di rumahku,” jelasnya.

Aku berpikir sejenak. Namun, tak ada salahnya aku menerima permintaan Arfa. Lagi pula tidak ada siapa-siapa di rumahku. Aku sudah tinggal sendiri selama beberapa tahun ini.

“Ya sudah.” Aku menerimanya dan dia kembali berucap terimakasih.

Waktu terus berputar hingga sore tiba. Aku dan Arfa sudah menyelesaikan tugas kami dan kini pemuda tersebut sedang menunggu ibunya datang menjemput. Aku yang berdiri di dapur menatap Arfa yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

Lantas kedua kakiku melangkah dan duduk tepat di hadapannya. “Apa ibumu lama lagi?” tanyaku. Aku tak suka ada orang asing berlama-lama di rumahku.
Arfa menatapku kemudian mengangkat kedua pundaknya. “Dia bilang otw,” jawabnya.
Nafas terhela jengah. “Cepatlah, aku tidak betah ada orang asing di sini.”

Kening Arfa berkerut. “Sangkara, apa kau tidak merasa kesepian jika terus begini?”
Kontan aku terdiam mendengar pertanyaan Arfa. “Maksudmu?” Tatapanku mulai menajam tak suka
“Saat kita SMP, semuanya mengenal kau sebagai siswa Paling Kocak. Lalu setelah ibumu meninggal, kau mulai membuat masalah. Apa kau betah terus menerus seperti ini?” tanya Arfa. Wajah pemuda berambut jelek ini tampak tenang ketika bertanya padaku.
Aku mendengkus. “Kau tidak berhak mencercaku dengan pertanyaan seperti itu.”

Hening.

“Hidup itu harus terus berproses, Sangkara. Tidak bisa jika hanya diam di satu kondisi saja,” ucapnya.
Cih, kata-kata Arfa membuatku muak.

Kepalaku menunduk dengan kedua tangan yang menyatu di atas paha. “Tuhan yang membuat aku begini.”
Arfa berdecak. “Jangan salahkan Tuhan untuk kondisimu.”
“Kenapa?”
“Tuhan memang menghadirkan ujian ke dalam hidup hambanya. Dan ujian-ujian tersebut sesuai dengan kemampuan hambanya. Memang ujian manusia itu berbeda, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk kau menyalahkan Tuhan. Ini semua tergantung pada bagaimana caramu menyelesaikan ujianmu. Sebab selama kita bernafas, ujian akan selalu kita terima.” Arfa menjeda ucapannya. “Aku selalu siap mendengar keluh kesahmu sebagai seorang teman, Sangkara.”

Kalimat Arfa sore itu benar-benar menghantamku. Membuat aku kembali berpikir dan terus berpikir mengenai kehidupanku. Malam-malam kuhabiskan hanya untuk merenung sehingga jam tidurku terganggu.

“Baron, apa kau pernah marah kepada Tuhan?” Siang hari di saat aku bolos sekolah dan Baron tidak sekolah karena sakit, kami berbicara di teras rumah Baron.
Tadi ibu Baron memanggilku untuk makan siang bersama. Sejak bibi berhenti bekerja, aku sering kali diajak makan bersama keluarga Baron.

“Tidak.”
“Bagaimana bisa?”
Baron menatap aneh kepadaku. “Itu dosa kaka! Lagi pula Tuhan sudah mengatur apa yang semestinya terjadi pada semesta.”
Aku terdiam. Semua percaya jika kehidupan ini sudah memiliki porsinya masing-masing. “Kenapa kaka bertanya seperti itu?”
Kutatap Baron sejenak kemudian ikut menatap langit siang yang cerah. “Kini aku sedang marah kepada Tuhan karena berada di posisi seperti ini. Hidup sendiri dan kesepian.”

Baron menoleh. “Kau tidak pantas marah kepada Tuhan, Sangkara. Tuhan itu selalu baik asal kaka tahu. Meski semua sudah memiliki garis takdirnya, tapi kaulah yang menentukan bagus atau tidaknya takdirmu.” Pemuda timur itu bangkit dari duduknya. “Aku tahu selama ini kaka kesepian tak ada keluarga kan? Padahal kau bisa menganggapku sebagai keluargamu! Aku sudah menganggap kaka sebagai abangku!”

Kalimat Baron kembali menyihirku dan aku kembali merenungi ucapan Baron. Dari ucapan Arfa dan Baron mengandung kebenaran mutlak. Aku semakin sendiri dan kesepian karena ulahku. Mungkin jika aku tidak suram, hidupku tidak akan seperti ini.

Maka dari itu aku memutuskan untuk mulai berdamai dengan setiap masalah yang ada di dalam hidupku.

Tuhan mengirimkanku berbagai masalah, tetapi dibalik masalah yang dikirim ada rencana lain yang sudah Tuhan persiapkan sebagai hadiah atas jerih payahku. Jerih payah sebab sudah bertahan atas masalah yang terjadi.

Tuhan menghadirkan Arfa di dalam hidupku sebagai sahabat yang bersedia berbagi keluh kesah, bahkan setelah kami lulus sekolah sekali pun dia tetap menjadi sahabat terbaikku. Lalu, Baron masih menjadi tetanggaku yang beranjak mulai kuanggap sebagai saudara beserta orangtua Baron yang kuanggap sebagai pengganti ayah dan ibuku. Aku mendapatkan pengganti kekosongan di dalam diriku dan itu semua nyata.

Tak lagi halusinasi semata. Tuhan menghadirkan mereka semua dalam kenyataan yang jelas. Dan sejak saat itu aku sadar jika aku tak pantas untuk marah kepada Tuhan. Baron dan Arfa benar jika sekalipun Tuhan sudah menggariskan takdir umatnya, yang menentukan baik atau buruknya takdir adalah umatnya sendiri.

Itu semua karena Tuhan selalu baik.

Cerpen Karangan: Rama Karsa
Blog / Facebook: Ej
Rama Karsa adalah nama pena yang saya gunakan dalam menulis. Karena melalui narasi, saya dapat menuturkan kehendak pribadi saya.

Cerpen Tuhan Selalu Baik (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Bukan Lagi Untukmu

Oleh:
Terkadang indahnya senja, memancarkan kebahagiaan. Sekejap menularkan rasa bahagia, layaknya virus yang menularkan penyakitnya. Hingga membuat seorang aku ini, yang telah menginjak umur 20 tahun ini, menduduki pasir nan

Rindu Seorang Ibu

Oleh:
Ibu tua itu sedang berjalan menelusuri setiap rumah yang berjajar rapi di suatu perumahan, dia memakai daster yang sederhana dibalut dengan kerudung yang biasa dan membawa sebuah tas seperti

Seorang Pria

Oleh:
“Heey!… kau mau kemana?” “Kau pikir aku mau kemana lagi? Aku akan cari uang lagi” “Disaat seperti ini? Sekarang sudah jam 11 malam. kenapa kau selalu seperti ini. Kau

Halte Angker

Oleh: ,
Pagi hari aku berangkat sekolah sesuai kebiasaanku. Aku berangkat naik bus karena jaraknya yang lumayan jauh. Aku tidak naik sepeda motor seperti temanku. Aku lebih suka naik bus. Terkadang

Tak Semudah Yang Dijalani

Oleh:
Ini adalah sebuah kisah dari seorang anak remaja yang beranjak dewasa. Ia hidup di sebuah keluarga kecil yang sederhana. Kehidupan yang dulunya ia rasakan sangat menyenangkan dan hampir tidak

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *