Wanita Yang Terjebak Dalam Galeri

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 7 October 2017

Delisa tak menyangka! Hanya karena ia telah mengunggah beberapa fotonya dalam setiap akun media sosialnya, maka malam malamnya berubah dan menjelma menjadi malam yang garang baginya.

Di senja itu, di bawah pohon mangga di belakang rumahnya, yang ditanam untuk memperteguh kekuatan tanah di tepi empang, Ia duduk berdanguk, memandang kosong -segala hampa. Di bola matanya yang hitam itu memang tercermin apa yang ada di hadapannya, tapi tak ada yang tau apa yang tersimpan di dalam kepalanya dari pandangnya itu, selain daripada dirinya sendiri. Adalah beberapa lelaki yang dari mereka hampir semua telah lama bergumul dengan kegelapan. Mereka juga telah lama bersatu dengan sepi -suatu keadaan yang membuat fikiran mereka selalu aktif untuk bertanya-tanya kepada entah siapa atau berbicara sendiri. Mata mereka buas ketika malam datang, sedang disiang hari mereka seringkali mengeluh-ngeluhkan kehidupan.

Mereka -laki laki itu- akan membuatnya dadanya berdegup begitu kencang sebentar lagi -ketika malam rembang datang. Mula mula mereka akan menyalakan sebuah televisi, atau layar handphone mereka. untuk membangkitkan gairah Maka film yang berisi mininalnya dua orang yang sedang memperagakan adegan er*tis Harus diputar. Setelah itu barulah kejadian yang sesungguhnya dimulai. Ia tak dapat membayangkan ketika malam nanti itu benar-benar terjadi. Laki Laki itu akan menciumnya paksa, membelai-belai rambutnya paksa, mengerayangi tubuhnya paksa, dan lebih kotornya lagi adalah Menelanjanginya paksa -semua serba paksa karena antara mereka dan dirinya sama sekali tak ada ikatan yang menunjukkan keabsahan sebuah hubungan.

Di bawah rindangnya pohon mangga itu Delisa mengucap doa yang juga tak akan bisa didengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri, dan Tuhan, dan Waktu jika punya telinga.

“Kepada waktu kumohon, jangan engkau beralih pada malam.
Ketahuilah petang selalu menyiksaku.
Memberiku kehangatan ganjil yang tak pernah kupinta.
Dan Tuhan, yang berkuasa atas segala apa yang ada,
yang sekarang ada di dekatku -mendengarku.
Jika malam itu tetap datang jua. Terangkanlah sinar rembulan seperti mentari.”

Air matanya menitik pada rerumputan, menjadi embun yang datang tanpa adanya angin malam yang dingin. Ia tahu harapannya itu mustahil menjadi nyata, karena Bagaimanapun juga malam itu akan datang bersama gelapnya. Sebagaimana hari-hari yang terjadi. Dan Tuhan juga tak akan perbuat sesuatu hanya untuk satu orang saja tanpa mengindahkan yang lainnya.

Dimasa lampaunya -sebelum temannya memperkenalkannya pada dunia baru- ia tak pernah merasakan keanehan yang seperti sekarang dideritanya. Malam itu telah datang dari tadi. Dan ia tau doanya sia sia saja. Seseorang berambut gondrong, dengan mata yang merah seperti belum tidur sama sekali selama tiga hari, dan wajahnya yang muram seakan telah tinggal penyerahan saja dalam hatinya Itu adalah temannya kini.

Lampu kamar itu sudah pada mati. kamar itu terlalu besar untuk tidur barang dua orang saja. Namun jika untuk bermain-main atau melakukan sesuatu yang banyak membutuhkan pergerakan, mungkin seukuran itu akan dirasai cukup. Sebagai pengganti cahaya, lilin-lilin itu ditaruh mengisari ruangan.

Lilin adalah bentuk yang jamak diumpamakan sebagai tanda keromatisan -ia tahu itu. Tapi ia baru tau bahwa keadaan dapat mengubah apapun yang telah menjadi aspek dalam diri manusia jika ia berkehendak. Termasuk bila mengubah rasa cinta menjadi benci. Ia tertarik pada keromantisan, tapi dalam keadaan seperti ini ia malah membencinya. Delisa tak dapat bergerak bebas, meski tak ada tali atau apa yang menyebabkan tubuhnya bisa jadi demikian. Seolah semua geraknya hanya ditentukan oleh lelaki seranjangnya itu. Tiba-tiba saja tangannya bergerak, mencekam bantal, lantas melemparkannya ke sembarang lilin. Gerakan itu dilakukannya berkali-kali. Ia tak dapat mengendalikan tubuhnya, sampai pada akhirnya bantal itu habis di sisinya barulah ia berhenti. dan cahaya lilin sebanyak itu -karena terlalu banyak yang mati akibat tertumbuk bantal- hanya tinggal tak kurang dari barang empat biji.

Kehilangan banyak cahaya lilin membuat ruang tempat tidur itu bertambah gelap. Ia yang duduk di tengah-tengah ranjang itu, entah kenapa tersenyum-senyum sendiri. Tangannya meraba kepalanya, melucut ikat rambut, dan rambutnya yang hitam dan tampak berkilau itu menjadi tergerai. Ia juga tak tau mengapa setelah itu ia tersenyum, padahal semua itu dirasainya menyesakkan. Pandangnya, dengan sendirinya telah menguraikan banyak kupu-kupu pada lelaki gondrong yang masih berada di tepi ranjang. Ia benci menjadi cantik dalam keadaan seperti ini. Lalu datanglah tragedi yang membuat seolah Tuhan tak pernah memberi seseorang sepotong hati. Betapa malunya ia di hadapan Tuhannya.

ADVERTISEMENT

Suara bel lonceng sekolah itu telah mematahkan percakapan mereka.
“Sudahlah… Biarkan, aku malah mengekspose fotoku lebih banyak, sepuluh kali lipat dari foto yang telah kau unggah!” Delisa tercengang. Adakah temannya itu tidak merasa malu pada dirinya sendiri? Barangkali memang tidak karena semakin banyak foto yang ditebarnya, maka semakin banyak pula kemungkinan baginya diperlakukan sewenang-wenang. Tentu ia juga pasti tau itu. dan ia sebagai orang yang tak berdaya di dalam foto itu, tidak akan ada sesuatu yang bisa diperbuat untuk mengelak dan berlari dari tindak sewenang-wenang itu sendiri.

kedua gadis itu berpisah menuju kelasnya masing-masing. Sementara Delisa belum tau bagaimana cara mengakhiri malam yang mengerikan itu. Bel sekolah tadi secara tak langsung telah membuatnya harus bertahan dari sesak selama beberapa malam kedepan. Hingga ia punya waktu bersama lagi dengan temannya, seperti waktu yang mana temannya memperkenalkannya dunia baru itu. Dan itu hanya akan terjadi di tanggal merah selain minggu saja. Sewaktu jam istirahat tiba temannya itu selalu bergaul dengan teman sekelasnya, terlebih lagi selalu saja hadir laki-laki di kelilingnya yang membuat ia merasa canggung menghampiri. Pulang sekolah juga tak senantiasa berbarengan, sedang di hari minggu, tentulah temannya itu pergi berlibur.

Delisa membuka kembali beberapa akun media sosialnya satu demi satu setelah cukup lama ia tak berani membukanya. Lantaran Merekalah yang telah mendatangkan malam-malam menyesakkan itu. Di hampir setiap akunnya -yang tidak diselenggarakannya sendiri, melainkan dengan seseorang yang telah memperkenalkannya pada dunia baru itu- terdapat notifikasi. Dan semua itu bertambah mengejutkannya.

“Hai cantik…, ” tulis seseorang di kolom komentar yang menyangkut fotonya.
“Boleh minta nope nya tak?” tambah seorang lagi.
“Udah punya belum?” tambah seorang lagi.
“Sesak neng…” tambah seorang lagi.
Dan ada Seseorang yang sama menuliskan dua kali:
“Aku sayang kamu”
“Aku sayang kamu.” Ia tak pernah mengenal orang itu.
Dan ada juga teman sekelasnya sendiri menuliskan: “Ciee udah narsis.”
Komentar pada hari lampau dari seorang yang tidak dikenalnya dan nampak dari foto profilnya ia seperti pemabuk juga masih nampak di ujung sendiri dan hampir hilang dilanda lain komentar:
“Senyumnya manis banget, matanya juga cantik, coba rambutnya digerai pasti perfect.”

Delisa semakin ketakutan, jiwanya meriut, bahkan sebelum malam itu tiba untuk kesekian kalinya. Ia lemparkan handphone ke sembarang tempat. Beruntung tak ada bagian yang cacat dari handphone itu sewaktu diambilnya kembali.

Buru-buru Delisah rebah di ranjang. Menelungkupkan muka di bantal. Namun Sebongkah keinginan juga ikut merenggut ketenangannya. -Ia harus menyelesaikan semua ini. Tak boleh ada lagi malam malam yang menyesakkan itu. Yang telah membuatnya merasa malu terhadap mereka yang berhubunngan dengan kelahirannya.

Di bawah terik mentari yang menyengat buru-buru Delisah mengkayuh sepeda kayuhnya. Ia hiraukan semua fenomena yang terjadi di sekeliling. Di sisi jalan Beberapa ekor kucing bersama inangnya itu bahkan tidak menarik perhatiannya sedikitpun. Ada beberapa perasan di dalam dirinya yang bisa dikatakan menghuni seluruh jiwanya. Sehingga ia bisa hirau pada kucing-kucing itu. Dari sebelumnya jika ada kucing ia pasti mehampiri, oleh ketertarikannya lantas menjaili kucing-kucing itu meski hanya beberapa saat. Agar dirinya bisa normal semula ia harus mengusir perasaan-perasaan itu.

Sesampainya di rumah temannya Delisah menggencarkan mengetuk pintu yang tertutup itu.
“Ellen… Ellen..” panggilnya juga tergesah-gesah. Selain itu Mengkayuh sepeda terlalu cepat telah membuat dinamika nafasnya juga menjadi terburu-buru.

“Ellen tak ada, barangkali berkebun,” kata seseorang yang keluar dari balik pintu tak lama setelah Delisa mengetuk dan menyeru-nyerukan nama anaknya.

Delisah tak punya waktu lama untuk berbincang dan menuruti Kata Ibu Ellen yang menyuruhnya masuk sebagai tamu sembari menunggu kepulangan Ellen. Ia harus segera selesaikan masalahnya. Sebagai penghormatan kepada Ibu Ellen ia berjanji dalam hati ketika nanti masalahnya sudah selesai, ia akan kembali lagi untuk menemuinya.

Ditengah-tengah hamparan hijau daun sawi itu Ellen bersama Neneknya berada. Di punggung mereka masing-masing tersandang sebuah wadah dari anyaman bambu. Nampaknya mereka sedang berpanen.

“Ellen…” pekik Delisah keras. Namun angin yang berhalauan dengan tujuan suaranya itu telah membuat suaranya perlahan hilang sebelum sampai di telinga Ellen. Maka untuk sampai ia harus berada lebih dekat.

“Ellen ada yang ingin aku bicarakan padamu…”
Ellen terheran mengapa temannya itu harus menemuinya sampai di kebun hanya untuk masalah yang sepele. Tapi bagaimanapun juga bagi Delisah masalah itu malah jauh sebaliknya.
“Hanya untuk ini?”
Delisah mengangguk. Untuk berbicara lebih banyak ia juga butuh nafas. nafasnya sulit diaturnya.
“Hanya untuk menghapus Foto ini?” kembali Ellen menyakinkan.
“Yas…”
“Maaf, aku lupa mengajarimu cara menghapus foto, jangan jangan kau juga tak bisa cara menghapus komentar?” Delisah menghela nafas panjang. Mengembuskannya kembali. Memberikan tanda bahwa ia juga tak bisa.

Di bawah rindangnya pohon kapuk berdua mereka berbincang-bincang. Dalam perbincangan itu tawa selalu menyertai. betapa lucunya Delisah di mata Ellen, dan Delisah -melihat Ellen tertawa- ia ikut tertawa.

Delisah telah diajarkan bagaimana cara menghapus foto. Dan semua fotonya dari media sosialnya telah dihapusnya. Masalahnya mungkin tidak tertuntaskan sepenuhnya. Karena beberapa bagian dari dirinya yang sudah tersimpan di galeri Tak dapat direngkuhnya kembali.

Tapi dengan melakukan semua itu. malam-malam yang menyesakkan itu tak akan selalu datang seperti sebelumnya -sebelum foto itu dihapusnya.

End

Cerpen Karangan: Riekha Dee
Facebook: m.facebook.com/syahrul.irfan.

Cerpen Wanita Yang Terjebak Dalam Galeri merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Imbalan Termewah

Oleh:
Malam mengapa kau tidak kunjung berlalu, apa kau tidak merasa kasihan melihatku sendirian dan kesepian menyelimuti diriku ini. Rumahku hanyanya beralas bumi dan beratap langit, ya dari ujung ke

Cinta Harta Sang Perawan Tua

Oleh:
Mentari dipagi itu mulai bersinar. Cahaya indahnya menerobos setiap celah rerimbunan daun. Sepertinya, alam sangat mengerti dengan kegirangan hati Merry. Semalam, ia baru saja ditembak oleh seorang cowok yang

Andai Kita Tau Hari Esok (Part 2)

Oleh:
Siang itu semua telah berkumpul di kediaman Bu Lasmi dan Pak Darto, banyak, sangat banyak yang hadir disitu. Mulai dari Seorang Ibu yang hadir lebih dulu Bu Zami namanya,

Perjalanan Hidupku

Oleh:
Waktu begitu sederhana, mengapa karena hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit hingga detik pun kulalui selama ini. Begitu banyak rintangan, pengalaman yang aku lalui untuk sebuah

Siti Nurhaliza dari Rantau Panjang

Oleh:
Sopir bus masih asyik ngobrol dengan kernetnya meski sudah memasuki pemberhentian terakhir. Pemberhentian terakhir di Sungai Kolok. Sungai Kolok merupakan daerah perbatasan antara Thailand dengan Sungai Golok, Malaysia. Saking

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *