Dusun Maling

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 21 December 2013

Gemericik suara air tak henti-henti mengisi kolam. Mengalir deras melalui pancuran yang terbuat dari bambu. Di kanan kiri kolam itu dipenuhi dengan pagar bambu yang masih hijau. Rerimbunan pohon bambu menghalangi sinar matahari menembus atap rumah kayu di dalam pagar. Perlahan kakiku mulai memanjat anyaman bambu yang tingginya satu meter. Lalu melangkah pelan. Melewati bibir kolam. Ikan-ikan mujahir di kolam itu seakan mengawasi setiap jengkal langkahku.

Rumah kayu ini terletak di ujung paling barat dusunku. Menyatu dengan sawah yang terhampar luas di belakangnya. Atap rumahnya dipayungi rumpun bambu. Daun-daunnya berguguran menyelimuti genting yang mulai menghitam. Sudah dua hari penghuni rumah ini berada di rumah sakit yang jaraknya dua puluh km dari dusunku. Menunggu anggota keluarganya yang sedang menjalani operasi kanker payudara.

Krek! Jemari tanganku menarik daun pintu yang terbuat dari kayu akasia. Pintu dapur itu telah terbuka. Kuedarkan pandang di sekelilingku. Seekor clurut melintas di depanku. Menjerit-jerit seperti bayi merindukan asi ibunya. Hanya ada tabung gas dan dandang yang berdiri di atas tungku api. Kakiku terus melangkah. Sebuah toples berisi krupuk berdiri di atas meja ruang tamu. Aku membuka pintu di belakang meja itu. Memporak-porandakan tumpukan pakaian di dalam almari. Mengangkat kasur di atas dipan kayu di hadapanku. Brengs*k! Aku tidak menemukan sepeser uang pun di tempat tidur ini. Keringat dingin perlahan mulai membanjiri tubuhku. Aku mulai kehilangan akal.

“Tek tek tek”. Suara alunan pohon bambu yang dipukul dengan sebatang kayu menari-nari di telingaku. Isyarat dari temanku yang berjaga di luar pagar. Aku harus segera mengambil sesuatu dari rumah ini. Aku harus mendapatkan barang yang bisa ditukar dengan uang dari rumah orang miskin ini. Oh ya, dandang dan tabung gas itu, bisikku dalam hati. Tanpa berpikir panjang, aku kembali lagi ke ruang dapur. Aku sambar dandang dan tabung gas yang berdiri di samping tungku api itu.

Jantungku berdetak semakin kencang. Memburu udara yang keluar masuk di lubang hidungku. Aku angkat dandang itu ke atas pagar bambu dan disambut dengan dua belah tangan temanku. Setelah tabung gas seberat sepuluh kilo itu aku angkat, kakiku memanjat pagar bambu lagi. Bluk! Aku jatuhkan tubuhku di semak-semak belukar persis di samping tempat temanku berdiri.

Aku menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Seutas senyum simpul muncul dari raut muka temanku. Denyut jantungku terus memburu. Memacu kedua kakiku untuk melangkah lebih cepat lagi. Temanku membuntutiku dengan menenteng tabung gas di tangan kanannya. Kami menyusuri jalan setapak di tengah rimbunan pohon bambu. Sesekali suara kokokan ayam alas dan kicauan burung pleci menembus telingaku. Kami berhenti sejenak di tengah sawah yang ditumbuhi rumput alang-alang yang tingginya sepundak. Melepaskan nafas yang terus memburu. Aku berpikir keras mencari jalan keluar agar kedua benda itu segera menjadi rupiah.

Sayup-sayup terdengar suara kaset yang melantunkan bacaan al-Quran dari dusun sebelah. Kami terdiam membisu. Sesaat kemudian dengan suara pelan aku berkata,
“Baiklah, kalau begitu, sekarang kamu pulang ambil motor, nanti aku yang bawa kedua benda ini sampai dekat jalan raya,” tuturku meyakinkan. Temanku langsung mengangkat tubuhnya. Memutar badan dan hilang di antara rimbunan alang-alang.

Aku masih berdiam diri. memandangi dua benda di hadapanku. Merenungi roda nasib yang tidak berpihak ini. Menengok kembali rajutan mozaik masa laluku. Masa lalu yang selalu mengusik batinku…

Dulu, lima tahun yang lalu, aku masih tinggal di sebuah pondok pesantren yang tidak jauh dari dusunku. Tapi, aku hanya bertahan selama dua tahun sampai kelas dua Madrasah Aliyah. Suatu masa yang sangat berharga dalam hidupku. Masa yang menjanjikan indahnya masa depanku. Namun, tidak ada angin maupun hujan, tiba-tiba tembakau yang menjadi sumber ekonomi keluargaku dan hampir seluruh penduduk dusunku harganya mendadak anjlok. Ayah dan ibuku bagai disambar petir di siang hari. Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. yang penting bagiku saat itu adalah sekolah dan mencari ilmu.
Ayah sering mengeluh dengan keadaan itu. pernah suatu ketika aku melihat ayah marah-marah di depan tv. Dia mengutuk berita di salah satu channel tv yang menyiarkan berita tentang fatwa yang menyatakan haram merok*k. Spontan ayah membanting gelas yang ada di hadapannya. Ayah mencaci maki seorang kiai yang berbicara di layar tv itu.

Akhirnya, lahan seluas satu hektar milik keluargaku ditanami ketela pohon. Itulah pilihan terakhir ayah. Tidak mungkin ayah menanam lombok atau padi mengingat harga pupuk yang sudah tidak bisa dijangkau keuangan keluargaku. Tahukah berapa harga ketela pohon itu? satu kilonya hanya dihargai delapan ratus rupiah dengan penantian satu tahun untuk bisa memanennya. Begitu pahit dan getir kenyataan hidup ini.

ADVERTISEMENT

Aku akhirnya menanggalkan seragam sekolahku dan keluar dari pesantren. Beberapa temanku juga mengalami nasib yang sama denganku. Termasuk teman seprofesiku ini. Aku marah kepada ayah dan ibu yang tidak bisa membiayai pendidikanku. Aku juga marah kepada Tuhan yang tidak adil kepadaku. Bukankah kemiskinan itu mendekatkan seseorang kepada kekafiran atau kesesatan? Tanyaku padaNya.

Aku mengambil keputusan untuk pergi ke Solo tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Menjadi seorang pelayan di sebuah warung masakan padang di area pasar Klewer. Aku mulai menjalani lembaran baru kehidupanku. Aku mulai belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Juru parkir dan tukang becak di belakang Pasar itu menjadi bagian dalam diriku. Menjadi sahabat baruku. Aku juga berkenalan dengan beraneka merk minuman keras. Khususnya T*pi Miring dan V*dka. Dua merk itulah yang aku kenal, yang bisa dijangkau oleh gajiku yang pas-pasan. Aku tahu itu dilarang dalam agamaku. Tapi tidak mungkin aku hidup sendirian di kota besar ini. Aku butuh tempat berkumpul seperti kehidupanku di pesantren dulu.

Satu tahun aku bertahan di kota itu. Aku keluar dengan tidak hormat dari warung itu. Aku menggunakan uang harian yang disisihkan majikanku di warung untuk memenuhi kebutuhanku. Aku pulang ke kampung halaman melalui Stasiun Balapan. Di sepanjang perjalanan pulang pikiranku melayang ke sebuah bilik kecil di kampungku. Bayangan ibu menari-nari dalam benakku. Ibu duduk di ruang tamu dengan segelas teh dan satu piring ketela rebus. Sejurus kemudian, wajah keriput ayah menari-nari di depanku. Lelaki tua itu mulai kewalahan mencabut ketela pohon di sawah. Keringatnya mengucur deras di bawah terik matahari yang membakar tubuhnya.

Ah, aku tersadar dari lamunanku. Suara berisik motor temanku seperti memanggil-manggil namaku. Aku beranjak dan menyusuri jalan setapak itu. Sinar matahari persis berada di atas ubun-ubun kepalaku. Butiran-butiran peluh membasahi pakaianku. Kumandang suara adzan bertalu-talu memanggil manusia untuk melaksanakan sholat Jumat. Motor tua Honda CB 100 milik temanku sudah berada di pinggir jalan raya. Dengan langkah seribu aku membawa dandang dan tabung gas itu. Membawanya ke rumah tukang pembeli rongsok yang letaknya sekitar tujuh kilometer dari jalan raya depan dusunku. Kedua benda itu diganti dengan uang seratus lima puluh ribu. Ah, nyawaku hari ini seharga seratus lima puluh ribu rupiah. Bisikku dalam hati.

Matahari kini berada di langit bagian barat. Sebentar kemudian terbenam di balik cakrawala. Terbersit perasaan bangga dalam hatiku dalam petualangan hari ini. Paling tidak, hari ini aku terhindar dari maut yang siap menerkamku setiap saat. Bagiku maut adalah sahabat sekaligus musuh yang paling dekat. Bersamaan dengan senja yang mulai merambat itu, dalam perjalanan pulang itu kami berhenti di warung langgananku. Membeli rok*k, dua botol V*dka, dan dua bungkus kacang kulit. Tidak lupa aku mengundang teman-teman seprofesiku untuk menikmati hasil kerja keras kami hari ini. Mereka terbahak-bahak menyimak penuturanku,
“Baru kali ini, aku masuk rumah yang isinya Cuma dandang dan tabung gas… kere… kere!” ucapku sambil meneguk satu gelas kecil minuman di hadapanku. Sampai larut malam aku bersama kawan-kawanku. Menikmati pesta kecil ini dan menuggu rejeki apa lagi yang entah akan di dapat esok hari.

Mataku terasa begitu berat untuk dibuka. Sinar matahari yang menembus ruangan itu menyilaukan pandanganku. Aku tersentak oleh suara pintu yang digedor-gedor diiringi suara lantang yang memekakan telinga. Aku bangkit dari tidurku.
“Ayo keluar, bangs*t!”

Aku digiring ke rumah kepada dusun. Orang tua, muda-mudi, dan anak-anak melihatku seperti melihat celeng yang ditangkap massa karena memakan jagung di sawah. Aku duduk di kursi ruang tamu kadus itu. Menunggu kadus yang tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Terlihat mata anak-anak mengintipku dari kaca jendela.
“Dimana ini Kadusnya?” tanya Anton ketua pemuda dusun itu. Kepala Dusun itu tidak juga datang.
Sudah hampir satu minggu kadus itu tidak di rumah. Kata istrinya, dia kalah ju*i dan pergi membawa motor temannya. Semenjak gaji kadus yang dulunya mendapatkan bengkok sawah diganti menjadi uang sebesar delapan ratus ribu rupiah, dia sering keluar rumah. Berju*i di terminal kota.
“Ya sudah, bawa saja Ambon ke rumahku, kita sidang dia disana”, Kata Anton berapi-api.
Aku kembali digiring. Anak-anak dusun berlarian membuntututiku. Riang gembira. Seperti mengikuti seorang artis ibukota.

Aku duduk bersila di ruang tamu berbentuk lesehan itu. Ayah dan ibuku duduk di samping kananku. Di hadapanku sang pemilik rumah yang aku ambil dandang dan tabung gas itu duduk dengan sorot mata tajam mengarah ke wajahku. Seperti ingin menikam seluruh tubuhku. Setelah suasana hening tanpa suara, Anton membuka persidangan itu. Dia menunjukkan sebuah benda kecil sebagai bukti kesalahanku. Sebuah kartu hp yang ditemukan di tengah sawah. Aku tertunduk lesu. Kartu hp itu jatuh ketika aku duduk di tengah sawah itu. Aku mengakui perbuatanku,
“Ya, aku memang mengambil dandang dan tabung gas milik pak Rohim itu. Demi Allah aku mengambilnya sendirian.,” tuturku pelan.
Aku melihat wajah ibu seperti bunga yang sudah layu. Dia tertunduk lesu. Sambil menyeka butiran-butiran bening yang melintas di pipinya, kata-kata meluncur dari kedua bibirnya dengan terbata-bata,
“Mas Anton… dan… semua yang hadir disini… maafkan… maafkan perbuatan anak saya,”. Ibu berhenti berkata. Seakan berton-ton tumpukan batu memenuhi rongga dadanya. Ibu menghela nafas panjang. Kemudian melanjutkan perkataannya, “Saya… Saya memang belum bisa… mengurus anakku ini…, saya belum bisa mendidik anakku ini…,” butiran-butiran bening itu kini mengalir semakin deras. Seperti mata air di musim hujan. Tangan kiri ayahku memegangi pundak ibu. Dan ibu menjatukan kepalanya di dada ayah. Suasana menjadi semakin hening. Seakan hanya suara lirih dan sesenggukan yang keluar dari dada ibu yang memenuhi ruangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang dari arah depan. Seorang pemuda berteriak lantang agar aku diarak dari rumah ketua pemuda sampai ke rumah pak Rohim.
“Arak maling itu! ayo kita arak dari sini sampai rumah pak Rohim,”
“Setuju!” suara kor pemuda lainnya.
Aku tertunduk lesu. Teringat Suratman yang diarak satu tahun yang lalu. Temanku itu mencuri rumput dan satu tundun pisang. Dia diarak mengelilingi desa. Di atas kepalanya terdapat satu tumpukan rumput hijau dan tangannya membawa satu tundun pisang. Pemuda dan anak-anak dusun mengikuti di belakangnya bersorak-sorai. Orang tuanya sangat terpukul hatinya menyaksikan anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi apa daya. Setelah tragedi itu ayah Suratman tidak pernah keluar rumah. Tidak pernah mengikuti kegiatan gotong royong setiap minggu pagi. Sholat Jumat pun sudah tidak lagi. Dia merasa kewirangan sebagai orang tua.
“Jangan diarak! Aku tidak setuju dengan cara itu,” teriak seorang pemuda lainnya. Setelah aku angkat mukaku pemuda itu adalah temanku.
Akhirnya terjadi pro dan kontra di antara pemuda. Ada yang menginginkan agar aku diarak seperti Suratman. Sebagian lagi tidak menginginkan hal itu terjadi. Anton menengahi perdebatan itu.
“Sudah cukup, jangan diteruskan disini perdebatan itu!” teriak Anton.
“Nanti saya bicarakan bersama pak kadus dan perangkat desa lainnya mengenai hukuman yang pantas untuk Afat Nur,” lanjutnya.

Aku diberi waktu dua hari untuk mencari dandang dan tabung gas sebagai ganti rugi. Aku harus menyerahkan kedua barang itu kepada ketua pemuda dan menjalani sidang satu kali lagi.

Hari yang dijanjikan itu pun tiba. Aku membawa dandang dan tabung gas di ruang dapurku. Para pemuda, sesepuh desa, dan anak-anak kembali berkumpul menjadi satu di halaman rumah ketua pemuda. Pak Kadus juga hadir disana. Aku menyerahkan barang pengganti hasil curianku. Pak Kadus membuka acara itu,
“Hadirin semua, agar dusun kita menjadi aman dan tidak ada pencurian seperti ini lagi, maka berdasarkan keputusan para perangkat desa, Afat Nur alias Ambon akan kita arak dari sini sampai rumah pak Rohim”. Anak-anak bergemuruh mendengarkan keputusan itu. Mereka sudah tidak sabar ingin melihatku seperti kambing kurban yang sedang dikuliti. Aku berteriak lantang,
“Ini tidak adil! Aku tidak terima keputusan ini!” Semua mata tertuju kepadaku. Ini adalah peristiwa pertama di dusun ini. Seorang maling berani melakukan perlawanan.
“Kenapa hukuman ini hanya diberikan kepada orang seperti aku, Suratman, dan wong cilik lainnya? Kenapa pak Kadus yang tidak becus mengurusi masyarakat kita biarkan saja? yang tiap malam pergi ju*i di terminal tidak diturunkan dari jabatannya? Aku siap diarak asal dia tidak menjadi Kadus lagi”, Ucapku lantang sambil mengacungkan telunjukku ke arah muka Kepala Dusun itu.

Plak! Sebuah Kepalan tangan mendarat di wajahku. Disusul kemudian kepalan tangan lainnya. Aku merasakan ada cairan merah yang keluar dari keningku. Tapi, sebagian besar warga warga justru bersimpati kepadaku dan melindungi tubuhku dari beberapa pemuda yang ingin memangsaku. Sedikitpun aku tidak merasa kesakitan meski meski cairan-cairan merah itu membasahi rambut ikalku. Mataku menatap bagai elang yang siap mencengkeram mangsanya. Menatap wajah beberapa pemuda yang mendaratkan kepalan tangannya di wajahku.

Akhirnya aku pulang ke rumah. Mereka yang memukuliku mulai berdatangan untuk minta maaf. Tidak lama kemudian Kadus itu mundur dari jabatannya.

Mulai saat itu aku menjalankan profesiku di luar daerah. Aku anjurkan kepada semua saja yang ingin mengikuti jejakku agar tidak melakukannya di dusun ini. Aku sudah memiliki banyak anak buah di berbagai daerah. Jika salah satu anak buahku ditangkap polisi maka aku akan menebusnya. Jika anak buahku dihajar massa akan aku kerahkan orang-orangku untuk menghabisi siapa pun yang melakukan itu. Aku bisa membeli rok*k dan beberapa botol minuman tanpa harus memanjat pagar bambu lagi. Aku sibuk memikirkan dusun kecil ini. Melayani warga yang ingin bertemu denganku. Mengutarakan persoalan yang menjadi beban hidup mereka. Atau, mengundangku untuk memberikan sambutan di hari pernikahan anaknya. Hari senin sampai jumat aku pergi ke kantor kelurahan. Mengenakan baju yang sudah disetrika oleh istriku. Di atas saku baju itu rajutan benang melukis namaku. Afat Nur.

Ah, di dusun ini. Maling seperti aku pun bisa menjadi seorang Kadus.

Pleret, Bantul, 14 Januari 2013.

Cerpen Karangan: Azis
Facebook: Azis Ahmad
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Aktif di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta

Cerpen Dusun Maling merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Janji Ku Sebagai Penulis

Oleh:
Memandang langit begitu gelap. Semilir angin yang menebar pesona bahwa alam ini masih mampu menyejukkan. Rintik hujan yang turun dengan gembiranya. Mengingatkan aku pada masa kecil yang begitu manis.

Sangkar Emas

Oleh:
Suara tamparan keras itu terdengar nyaring di telinga. Siapa itu? Tak perlu aku tebak. Selain kedua orangtua, rumah ini hanya berisi aku dan Mara. Kencana Asmara, ia kakakku. Mahasiswi

Adakah Kebahagiaan Untukku?

Oleh:
Malam ini ku merenungi malam yang sunyi, kutatap bintang di langit dengan cahaya rembulan yang selalu membuat hati ini tenang sambil ku berbisik, Apakah bintang-bintang selalu bahagia? Semakin lama,

Hari Ibu

Oleh:
Aku bingung. Kalimat pertama yang cocok untuk puisiku. Besok hari ibu. Madrasahku mengadakan berbagai macam lomba. Ada lomba membaca puisi dengan tema ibu, menyanyi lagu tentang ibu, membuat gambar

Jangan Menyerah

Oleh:
Walau dunia tak seindah surga tapi inilah duniaku, tak tau harus senang atau sedih, semua yang kualami adalah pelajaran berharga sepanjang hidup. Manusia tak bisa memilih dari rahim siapa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Dusun Maling”

  1. Fendy Malaikat Kecil says:

    Gue suka skali dngan cerita-nya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *