Hello Mossi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 19 November 2014

Selamat pagi dunia.
Hari ini adalah hari pertama aku sekolah di SMA Cahaya Abadi. Dimana sekolah ini adalah salah satu sekolah bagus se Jogjakarta. Aku senang bisa sekolah lagi, apalagi di sekolah se bersih ini. Tamannya tertata rapi, bunga-bunganya tumbuh subur. Penjaga tamananya yang baik dan ramah. Guru-guru yang bersahaja. Serta teman-teman yang cerdas dan berprestasi.

Aku suka di sekolah. Sekolah begitu menyenangkan untukku, sampai aku hampir lupa bagaimana rasanya menyenangkannya bersekolah, tapi dengan sekolah disini, aku merasa sangat bahagia.

Tapi, satu yang tak ku suka dengan sekolah baruku, yaitu bersekolah bersama saudaraku, saudara tiriku. Dia tak begitu suka aku. Ia kejam dan tidak bersahabat. Ia suka menyiksaku, di rumah dan juga di sekolah. Padahal ayah dan ibu begitu aku memanggil orangtua saudara tiriku itu, mereka sangat baik dan ramah kepadaku. Mungkin ia iri padaku atau mungkin memang dia tak suka aku. Entahlah.

Sejak aku diizinkan sekolah oleh orangtua angkatku, hatiku melayang terbang. Jelas aku bahagia dan bersyukur. Terakhir aku sekolah adalah 1 tahun yang lalu, setelah terima ijasah kelulusan SMP. Dan setelah itu, tak ada yang bisa membiayai aku sekolah lagi. Ibu pengasuh pun tak sanggup membiayai ku. Padahal aku termasuk murid berprestasi.
Setelah itu, ternyata ada orangtua baik hati yang mau mengadopsiku. Katanya karena aku cerdas dan berprestasi. Jadi aku pantas untuk mendapat biaya untuk bersekolah. Tapi, dengan syarat. Aku mau untuk diadopsi oleh mereka.

3 bulan setelah di adopsi, barulah aku bisa masuk sekolah. Selain penjajakan dengan suasana baru dan pengnalan dengan saudaraku yang baru, namanya febi, aku juga harus menunggu pendaftaran baru sekolah menengah atas di buka. Dan saat itu Febi tengah serius mengahadapi ujian kelulusan SMP-nya. dan saat liburan sekolah, barulah aku tau, bahwa saudara baruku itu, tidak menyukaiku.

Dan disinilah aku sekarang, aku akan menghabiskan separuh usia remajaku di sekolah ini. Sekolah dengan segudang ilmu. Aku berjanji demi nama kedua orangtuaku yang telah lama pergi. Aku akan belajar dan berprestasi. Seperti yang mereka inginkan.

Oiya, perkenalkan, namaku Lucina Septiani, anak dari pasangan papa Burhan (alm) dan mama Sekar (almh). Kedua orangtuaku, dan seluruh anggota keluargaku meninggal karena gempa bumi di bantul beberapa tahun yang lalu. Aku dulunya tinggal di bantul, tapi, karena kejadian gempa bumi itu dan Alhamdulillah aku selamat jadilah aku sekarang, sebatang kara, dan tak punya sanak keluarga yang tersisa, akhirnya, aku ditampung di panti asuhan.
Dan di adopsi oleh ayah Moko dan ibu Amy yang senang dengan prestasi belajarku. Meski mereka sudah memiliki anak yang cantik, seusiaku pula yaitu Febi. Tapi, mereka tampak tidak ragu untuk mengadopsi ku. Menjadi salah satu bagian dari keluarga mereka. Dan menjadi saudara dari putri semata watang mereka, Febi.

Dari awal Febi memang tak suka aku. Dilihat dari caranya menatapku dan bahasa tubuhnya yang menolak kehadiranku. Tapi, aku tak akan pantang arang. Suatu hari nanti, aku yakin kami bisa menjadi saudara yang saling mmbutuhkan satu sama lain. Dan kita juga bisa bersahabat. Layaknya ayah dan ibu harapkan.

Pagi ini di sekolah baru..
Aku dengan tas di punggungku dan tas selempang ku tautkan di bahu kiriku. Sekarang aku membawa dua tas turun dari mobil. Sedangkan Febi berjalan berlenggok dengan kipas di tangan kanannya dan kaca mata hitam melekat di atas kepalanya. Pagi ini aku merasa seperti kacung yang mengawal tuan putri turun dari singgasananya. Tapi, tak apa, bisa sekolah lagi saja sudah bisa bersyukur, yach, itung-itung untuk membalas kebaikan kedua orangtuanya Febi.
Semangat Lusi!

“Hai, Febi!”
“Febi, kasian tuh kacung lu!”
“Febi, minta nomer telphonnya dong!”
Heran, baru masuk sekolah aja udah banyak fansnya. Banyak banget yang kenal dengan Febi? Gumamku dalam hati
“Kacung lu cantik juga, Feb. buat gue ya?”
Febi, berhenti, aku pun mengikutinya. Sedikit kaget, tapi, aku memilih menundukkan kepalaku lebih dalam lagi. Tapi ku lihat, Febi hanya tersenyum sinis dan berlalu meninggalkan orang yang sudah berkata kurang ajar itu.
Siapa dia? Kurang ajar sekali. Gumamku sekali lagi

ADVERTISEMENT

Hari pertama sekolah sudah punya lebel menjadi kacung tuan putri Febi. Oke?! Ini akan menjadi hari yang berat dalam hidup ku.
“Lus, bersihin sepatu gue dong. Kotor nih!” hardik Febi tiba-tiba. Tapi, aku tak mau bergeming. Pandanganku tertuju pada satu titik.
“Hello!!!” Febi membuyarkan lamunanku. “ngeliatin apaan sih lu?” muka Febi terlihat condong, mencari-cari apa yang sedang aku lamunkan. Dan lihatlah ia di titik yang sama denganku. Aku hanya diam tak menepis. “oh, lomba karya tulis ilmiah? Lu mau?”
Aku diam. Tak menjawab. “Kok diem? Mau gak?” tanyanya lagi. Aku mengangguk sedikit. “oke, kita sekelompok buat lomba karya tulis ilmiah ini. Gue pikir-pikir gak ada salahnya ikut beginian. Biar ortu gak Cuma mandang lu doang yang pinter.”
Aku terkadang lupa, kalau Febi punya sisi baik dari perlakuannya yang kejam kepadaku. Wajahku sumringah luar biasa. Ternyata dibalik hari yang buruk dari sekolah pertamaku, gak selamanya menjadi buruk. Setidaknya ada setitik harapan dari setiap do’aku pagi ini. Ya, aku bahagia dengan harapan ini.

Febi menyebalkan bagiku, tapi, di dalam hatinya ada jiwa kebaikan yang memancar. Kadang aku benci dekat dengan dia, tapi, terkadang aku rindu jika ia tak terlihat sekalipun. Apalagi setelah ia punya pacar baru.
Aku akui dia cantik, menarik dan juga pintar. Sangat kontras denganku yang cupu, dekil dan aneh. Tak jarang ada yang tak percaya jika aku adalah saudara dari putri cantik, Febia Salvina. Tapi, satu yang aku suka dari saudara tiriku ini. Ia selalu mengenalkan aku sebagai saudaraya, bukan kacungnya. Meskipun perlakuannya kepadaku bagaikan kacung.

Ia selalu iri kepadaku karena aku berprestasi. Tapi, sebenanya aku lebih iri kepadanya dengan segala kesempurnaan yang ia miliki. Kadang ia lupa bahwa hidup itu harus disyukuri. Dan dari situ aku tau, aku harus selalu bersyukur atas nasib baik menjadi keluarganya yang sempurna.

Hari ini hari minggu, seharusnya Febi dan aku pergi ke toko buku untuk mencari makalah yang berhubungan dengan global warming karena itu adalah buku yang berkaitan dengan tema yang akan kami angkat untuk membuat karya ilmiah. Sudah 2 bulan kami mengerjakan ini bersama. Kadang ia yang paling semangat, tapi, juga kadang ia lah yang paling males untuk meneruskan karya ilmiah ini. Sesuai dengan moodnya dia. aku hanya menurut saja.
Tapi, seminggu belakangan ini, ia sudah seperti ingin meninggalkan apa yang menjadi pekerjaan kami selama ini. Ia lebih asik dengan pacar barunya. Bahkan hari ini ia lebih memilih nonton di bioskop dengan pacarnya dari pada pergi ke toko buku denganku, membatalkan janji-janjinya seperti kemarin, atau kemarinnya, atau juga kemarinnya. Entahlah, udah berapa kali ia membatalkan janji. Tapi, kali ini aku harus ke toko buku sendiri lagi. Mencari bahan untuk karya ilmiah kami.

Berjalan di atas trotoar panas. Siang ini terik matahari sangat menyiksa. Kalau tidak dengan Febi, aku lebih memilih naik bis dan berjalan kaki. rasanya masih canggung jika harus menggunakan fasilitas rumah. Aku masih merasa menumpang. padahal sudah hampir 6 bulan aku tinggal di rumah mewah itu.

Turun dari bis kota aku langsung masuk ke toko buku. rasanya dingin karena suhu AC yang telah disesuaikan. Kontras dengan suasana di luar yang begitu panas mencekam. Aku langsung pergi ke rak yang aku butuhkan. Disana ada beberapa macam buku yang bisa aku gunakan. Tapi, aku harus pilih salah satu yang benar-benar aku butuhkan.

Setelah mendapatkan apa yang aku cari. Aku melangkah ke arah rak novel. Sengaja aku menabung beberapa hari ini untuk ku jajakan sebuah buku novel. Salah satu impianku adalah menjadi penulis novel terkenal. Aku melihat sebuah novel yang apik dan covernya juga lucu dengan gambar boneka beruang warna biru. Judulnya “Hello Mossi”. Harganya juga pas di kantong. Aku suka. Aku memutuskan untuk membelinya.

Setelah terbayar semuanya. Tiba-tiba terdengar suara petir yang mencekam dari arah luar. Perlahan gerimis mulai turun disusul dengan air hujan yang semakin deras. Untung saja di toko buku ini menyediakan coffe break. Tempat untuk bersantai dan minum kopi. Jadi aku memutuskan untuk minum kopi sambil membaca novel yang aku beli tadi dan tentunya sambil menunggu hujan reda.

Novel yang menurutku lumayan bagus. Meskipun aku tak pernah meraskan apa itu jatuh cinta, tapi aku bisa merasakannya dan mengikuti semua alur ceritanya. Hingga tak terasa satu tetes air mata turun membasahi pipiku. Menurutku, tidak rugi membaca novel ini. Novel yang bagus.

2 jam tak terasa aku menuntaskan semua isi bacaan, aku hampir lupa menghabiskan secangkir kopi milikku. Aku memutuskan untuk cepat-cepat mengakhiri novel itu lalu beranjak pulang. Ini sudah terlalu sore.

Ketika aku tutup buku ini, tiba-tiba, ada boneka beruang kecil warna biru di depannya tertulis MOSSI. Apa maksudnya? aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari pemilik boneka beruang Mossi yang lucu ini. Tapi, tak satu pun orang terlihat memilikinya. Di dekat boneka Mossi itu ada catatan kecil yang langsung aku ambil dan ku baca. Disana tertulis:

Terimakasih telah membaca buku Mossi. Dan boneka ini sekarang milikmu.
Dear, Gee

Baca buku ini berhadiah boneka? Sempat juga Aku berfikir kalau boneka ini keluar dari cover novel. Akhirnya aku mencoba mencari tau, “Benarkah jika kita membeli buku “Hello Mossi” ini berhadiah boneka Mossi?” tanyaku pada salah satu kayawan di toko buku tersebut. Tapi, ia menggeleng. Lalu aku bertanya pada cleaning servis disana, mungkin saja jika ia melihat siapa yang meletakkan boneka itu disana. Ia juga menggeleng tak tau.
Tak mau menyerah, sekali lagi aku melihat catatan itu, tertulis disana nama pengirimnya Gee. Siapa ia? Dan aku kembali membuka novel yang tadi aku beli yang juga telah tuntas ku baca. Astaga! Gee adalah nama pena penulis ini. Apa dia kesini tadi? Kalau iya, ia harus menandatangani bukuku. Tapi, dimana ia? Di novel ini juga tidak tertera fotonya, atau alamat lengkapnya. Ah, sia-sia. Akhirnya aku memilih pulang sebelum gelap datang.

“Dari mana aja kamu Lus?” kali ini Ibu Amy yang bertanya. Beliau duduk di atas sofa sambil membaca majalah, karena tidak enak aku menjawab sedikit gugup. “Emm, dari, toko buku bu..” Ibu Amy hanya ber-ohh saja kemudian aku berlalu masuk ke dalam kamaar. Sekilas ku lihat ke arah kamar Febi, ternyata Febi belum pulang. Kemana saja dia? Pikirku.

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Dan seharian ini, aku tak melihat Febi. bisaanya ia akan menyuruhku membuat minuman coklat panas. Untuk temani sorenya yang riang. Atau, kalau ada petir seperti ini. Dia akan berlarian ke kamarku dan memintaku untuk melindunginya. Seperti bocah kecil yang takut akan diterkam oleh monster jahat.

Tiba-tiba, Ibu Amy mendatangi kamarku. Beliau tampak gusar dan gelisah. “Lusi,” katanya. Suaranya tampak bergetar. wajahnya terlihat khawatir. “apa kau melihat Febi seharian ini?”
Sebenarnya aku lihat tadi pagi Febi pergi dengan Rino, pacarnya. Tapi tadi aku sudah diancam Febi untuk tidak di adukan ke Ibu. Ia menyuruhku diam saja dan seolah tidak tau apa-apa. Dan akhirnya aku menggeleng. Membuat Ibu terlihat kecewa. Hm, maafkan aku Bu,
“Ibu khawatir, hari sudah mau gelap. Tapi, ia tak jua pulang.”
Selang tak berapa lama, seseorang menutup pintu depan sedikit pelan. Aku dan ibu segera menoleh. Benar saja prasangka kami, itu Febi.
Ibu membentak Febi, Ibu sangat marah melihat kelakuan Febi seharian gak pulang dan Ibu berbicara seolah aku jauh lebih baik dari anak kandungnya sendiri. Aku menunduk dalam hati aku bersumpah aku tidak mengadukan apa-apa sama ibu. Tapi, mata tajam Febi berkata lain, ia seperti menyalahkanku atas apa yang ia lakukan hari ini.

Hari berikutnya, Febi menjadi sangat pendiam, ia bahakan tak memarahiku, dan ia membawa tas nya sendiri tanpa menyuruh-nyuruhku lagi.
Ada perasaan senang karena aku merasa bebas. Tapi, hati kecilku tak bisa berbohong. Aku khawatir dengan saudara tiriku itu. Ada apa dengan Febi? karena terlalu khawatir aku menyempatkan untuk membawakan tas Febi. Tapi, ia berkelit dan berusaha membawa sendiri. Sebenarnya ada apa? Pikirku.

“Rino, bisakah aku bicara padamu sebentar?” tanyaku pada kekasihnya Febi.
“oh ya, kenapa?” Tanya Rio yang berpeluh kringat karena ia baru saja bermain Basket.
“kamu bawa Febi kemana kemarin? Kenapa ia terlihat berbeda sekarang?”
“hanya nonton. Berbeda gimana? Malah bagus kan kamu gak dikerjain terus sama dia?”
Iya juga sih. Pikirku. Tapi…
“kamu ngomong apa sama dia? Sampai aku merasa tidak mengenalinya lagi?”
“aku? Ngomong apa? Kamu benar mau tau?”
Aku mengangguk ragu.
“aku bilang, kalau aku suka sama kamu, Lusi. dan bukan dia. Masih ada yang ditanyakan? Aku mau main basket lagi”
Aku diam tak bergerak. Apa maksudnya Rino? Kenapa aku?

Aku berlari mencari Febi segera. Kemanapun. aku tau ini salah paham. Dan Rino gak mungkin suka sama anak panti kayak aku. Aku harus mencari Febi secepatnya. Sebisa nya. Aku gak mau merasa asing di dekat saudara tiriku itu.
Kutemukan Febi di koridor sekolah. Dia menangis sendiri. Terlihat sunyi. Aku mendekat. Dia belum menyadari ada aku disana. Dalam hati aku masih bersumpah untuk berprestasi di sekolah demi nama almarhum Mama dan Papaku. Dan kali ini aku bersumpah tidak akan buat saudara tiriku itu salah paham atau menangis karena aku. Meski aku tau dia sering jahat padaku. Aku tau di balik keusilan nya. Hatinya jauh lebih baik.
Dua langkah lagi aku bisa menggapai pundaknya.
“Feb?”
“ya? kenapa Lus?”
“aku benar-benar gak tau kalau kamu marah sama aku.”
Febi menarik garis senyum di wajahnya. “kamu gak salah. Rino lah yang kurang ajar. Aku harap kamu gak percaya dia ya?”
“maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Lus, kemarin aku dan Rino ribut hebat. Dan aku memilih turun di jalan yang keadaan sedang hujan aku gak tau itu di mana. Tapi, aku jalan sendiri. Tak ada angkutan umum. Tak ada apa-apa. Dan masalah dia bilang suka ma kamu. Dia Cuma cari kambing hitam. Agar aku semakin tak punya teman. Maafin aku ya Lus, selama ini aku jahat ma kamu. Aku mau kita jadi sahabat sekaligus saudara yang baik. Kamu mau kan?”
Tanpa ditanya dua kali aku jelas menjawab mau. Ini yang aku tunggu selama ini. Bersahabat dengan Febi. Aku bercerita banyak hal tentang novel dan boneka mossi padanya. Dia menanggapi serius. Berbeda dengan kemarin. Dia sangat antusias mendengarku. Dia sering mengucapkan tolong dari pada memerintah. Hidup ku sempurna indah.

Hari itu tiba.
Ketika karya ilmiah kami harus di presentasikan di depan dewan juri. Aku membawa boneka mossi itu ke acara lomba. Boneka itulah yang mebuat semuanya menjadi sangat indah. Aku sebut itu dengan mossi keberuntungan.
Aku dan Febi masuk ke dalam ruang tertutup. Disana ada 3 dewan juri yang akan menilai presentasi kami. Ketiganya mendengarkan dan menatap serius. Dan aku terperanjat pada pertanyaan juri terakhir.
“darimana kamu dapat boneka itu?”
Aku tergeragap. Aku menjelaskan kronologi peristiwa boneka mossi. dan aku baru tau, Jadi nama Gee itu dari penulis terkenal Giovani Ramadhan. sekaligus, dewan juri di lomba karya ilmiah. Seusai lomba aku dan Febi bertanya banyak hal kepada penulis itu. Aku sangat senang. Novel pertama ku di tanda tangani oleh penulis aslinya yang menjadi dewan juri di karya ilmiah.

Seminggu kemudian lomba itu di umumkan. Kami berhasil mendapat juara 3 terbaik. Aku dan Febi merasa sangat senang. Dalam hati ku ucapkan syukur yang sangat dalam. Ma, pa, ini untuk mu. Batinku.

Orangtua Febi tak mengaggap Febi menjadi anak manja yang tidak berprestasi lagi. Febi dan aku mendapat hadiah jalan-jalan dan makan pizza oleh Ayah dan Ibu. Kami sempurna menjadi keluarga yang bahagia.

Cerpen Karangan: Ezzah Nuranisa
Facebook: Ezzah Siipengkhayal

Cerpen Hello Mossi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Duri Duri Tumpul

Oleh:
Bulan sabit muncul dan langit tidak terlalu bercahaya. Berjalan tergopoh, berpakaian lusuh dan ada goresan benda tajam melukai badannya, sehingga terlihat jelas darah mengalir dan membasahi lengan baju kirinya.

Pelangi terakhir

Oleh:
“Ariiiinnn!” teriak mamah membangunkanku, “Ayo, bangun nanti kamu terlambat,” dengan malas ku angkat tubuhku dan berjalan menuju kamar mandi. Aku putri kedua dari tiga bersaudara, kakak pertamaku bernama Indra,

Namanya Juga Sahabat

Oleh:
Velinia Azahra itulah namaku, aku adalah siswi kelas 8 SMP. Kata teman temanku aku itu cewek yang heboh, cerewet, agak bawel, riweuh tapi baik hehe. Suatu hari di taman

Kebahagiaan Ayah

Oleh:
Aku melihat kesedihan yang dalam dari matanya. Matanya yang dulu tegar kini seakan rapuh. Serapuh pelepah kurma yang sudah berumur puluhan tahun. Aku mendekapnya guna menyampaikan bahwa ia tidak

Kakak Kelas Menyebalkan

Oleh:
Sayup sayup terdengar suara adzan subuh. Aku pun menghentikan kegiatanku berkutat dengan angka angka. Jadwal pertama UAS yang sangat menakjubkan ini membuatku tak bisa tidur semalaman. Entahlah apa yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *