Hingga Akhir Waktu (Part 3)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Keluarga, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 20 January 2016

“Assalamualaikum Kak Ramly.” ujarku membuka suasana saat itu. Aku masih lemah dan berusaha memulai keceriaan di depannya. Kak Ramly diam sejenak menatap raut wajahku yang polos dan masih lemah. Seakan dia tidak tega menerima senyumannku yang terpaksa ku ukir. Dia langsung menyambarku dengan pelukannya. Saat itu pula tangisnya tertumpah melihatku lagi di kursi roda.

“waalaikumussalam gadis kecilku hiks, hiks. Kenapa kau memakai kursi roda lagi? Bukankah kau sudah sembuh haa?! Hiks, hiks. Kenapa kau tak jaga kesehatanmu? Kenapa kau jengkel lagi? Kapan kau menjadi wanita yang tangguh dan mandiri?” Air mataku tumpah lagi dalam pelukan Kak Ramly. Aku terpejam tak bisa apa-apa, tenagaku sudah terkuras habis. Kak Ramly melepas pelukannya. “kau semakin kurus dan lihatlah wajahmu Lin? Apa kau sangat terpuruk saat kepergian Kakak?” tandas Kak Ramly dengan sedikit isak tangis yang masih menemaninya.

Aku tertunduk lemas dengan pertanyaan Kak Ramly. Ku lihat Lina memalingkan badan padaku, ia tak tega melihatku seperti ini. Sebelum menjawab pertanyaan Kak Ramly, wanita itu berlari menjauh dan Kak Ramly memanggil namun dia tak kunjung berhenti. Aku semakin merasa bersalah. “jawab Linn…” ujar Kak Ramly dengan sedikit membentakku.

Aku tetap merunduk hingga Kak Ramly tak bersua lagi dan tangisnya mulai reda. Aku berpikir sekaranglah waktunya untuk jujur. Bahwa aku sangat mencintai Kak Ramly. Dengan penuh kekuatan ku nyanyikan bait lagu yang selalu di dendangkannya dulu. “Ku cobaaa, untuk melawan hati, tapi hampa terasa di sini tanpamu. Bagiku semua sangat berarti lagi, ku ingin kau di sini tepiskan sepiku, bersamamu. Hingga akhir waktu.”

Kak Ramly memelukku dan tanpa sepatah kata lagi dia pergi meninggalkanku. Batinku semakin memberontak. “bodohnya kamu Lin. Bodoh, bodoh, bodooooh. Kau ini hanya gadis biasa yang bisanya hanya merepotkan orang lain.”
“kenapa kau ucapkan itu Olin? Kau sudah tahu dia punya istri kenapa kau katakan seakan kau masih mengharapkannya.” bentak Lina. “selama aku masih hidup, aku tak pernah putus harapan Na.” ujarku membalas dengan mantap.

Akhirnya aku dibolehkan pulang dari rumah sakit, kesehatanku sudah pulih dan aku sudah bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Kini Bibiku sudah berada dalam jeruji besi. Aku memikirkan nasib Nenek yang sendirian di rumahnya. Aku meminta pada Lina untuk menemaniku langsung ke rumah Nenek. Nenek akan ku ajak tinggal di rumah untuk menemani kehidupanku, dan rencanaku juga mengajak Lina untuk tinggal di sana sembari melanjutkan kuliahnya.

Semuanya sekarang ku jadikan sebuah pelajaran. Aku teringat kata Marcus Aurelius dalam rimbunan sajaknya yang tak pernah membuatku terpejam. “Bukan kematian yang harus ditakuti orang, tetapi takutlah jika tidak pernah mulai untuk hidup.” hmm pasti setiap orang yang membaca kata ini bingung. Namun aku mengartikan memang benar kita tidak perlu menakuti mati, tapi kita harus takut jika kita tidak pernah berubah menuju kebaikan dalam kehidupan ini.

“okeee Naaa. Sekarang kita harus berubah. Tidak ada pohon jika tidak ada bijinya yang kita tanam betulkan?” ujarku penuh semangat saat di depan gerbang rumah sakit. Hari ini aku merasa sangat bahagia dan bisa memulai untuk melupakan semua yang telah terjadi. Yang sudah membuatku bersedih bersama sahabatku Lina.
“hehe benar Olin, percuma kita ingat semunya. Semangaaaat!!!” balas Lina dengan semangat.

Namun terdengar suara ambulans segera mendekat ke arah kami berdua berdiri. Aku dan Lina segera menyampingkan diri dari gerbang masuk Rumah Sakit. Ku lihat dua orang dikeluarkan dari ambulans tersebut. Satu wanita dan satu laki-laki, namun yang laki-laki itu aku sepertinya kenal. Namun semuanya ku tepis dan ku hilangkan rasa penasaranku yang berlebihan. “Ayoo Naa kita berangkat cari angkot untuk ke rumah Nenek.”

ADVERTISEMENT

Ku lihat nenek sedang sendiri di kursi goyangnya yang telah lama menemani masa tuanya. Ia hanya sendiri dengan Bik Inah. Namun nenek merasa lebih baik seperti itu daripada ditemani dengan Bibi Sinta yang sangat pemboros dan keras kepala. Aku sangat bersyukur Bibi Sinta kini ada dalam jeruji besi. Jika masih bersama nenek, pasti harta nenek dan milikku diembat habis-habis untuk berhura-hura. Oh tidaaak! aku segera berlari untuk memeluk nenek.

“Neneekk!! Aku sangat merindukan Nenek.”
Nenek memberiku senyum dan membalas plukanku lagi. “Nenek juga kangeeen Na..”
“loh kok Na sih Lin.” ujar Lina yang lagi-lagi keluargaku memanggilku dengan panggilannya. Dia baru pertama kali bertemu nenek. Jadi wajar saja Lina kaget. “aku merasa bersalah padamu Lina. Na itu panggilan kesayangan Nenekku, jadi kita sama-sama punya panggilan kesayangan Na. Berarti kita berdua disayangkan sama Nenek?” ujarku dengan membawa Lina mendekat di kursi goyang Nenek.

“Iya kalian semuanya Nenek sayang selamanya.” balas Nenek.
“Na buatkan jus ya Nek, jus alpukat kesukaan Nenek sama Na..”
“yee Na kembarannya gak diajak nih.”
“hehe tenang Na, Na itu udah maksudnya Nama Na kamu juga. Haha.”
“hehe bisa aja Olin.”

Handphone-ku tiba-tiba berdering dan aku sedang berada di dapur bersama Bik Inah. Aku tak khawatir karena Lina ada di dekat tasku dan pasti dia yang mengangkatnya.
“siapa Na?” tanyaku teriak dari dapur. Lina langsung berlari dan menyeretku ke luar dapur.
“hanya salah sambung Na.” jawabnya.

Sudah dua tahun silam aku kini semester 4 untuk masa kuliah. Tinggal sebentar lagi aku sudah menyusun skripsi dan bisa menyelesaikan S1-ku dengan Lina. Kini Bibi Santi juga akan bebas dari jeruji besi. Memang belum waktunya namun aku berusaha agar Bibi ke luar dan hasilnya berhasil. Walaupun Bibi telah melukaiku, namun bukankah aku sudah mengatakan pada semua orang kalau kebaikan yang kecil harus kita ingat. Namun kejelekan orang lain yang sekecil pun, bahkan besar harus kita lupakan. Bibi juga sudah berjanji dan bertaubat agar ia tidak berhura-hura lagi.

“Na. Nenek pasti senang dengan berubahnya Bibi Santi jadi baik.”
“Yaaa. Pasti Na.”

Dalam perjalanan menjemput Bibi, kami tetap setia mendengar lagu Hingga Akhir Waktu. Aku tidak tahu entah kenapa, tapi aku yakin. Harapan yang kuat akan menghilangkan rasa takut untuk kehilangannya jika kita percaya. Ya. Dalam hati kecilku masih mengharapkan Kak Ramly walau semua orang tak menyangka aku masih memendamnya.
“Astagfirullahalazhim Naaaa.”
“Kenapa Naaa?” ujarku.
“Lihat siapa yang duduk di kursi panjang pinggir taman ituuu?”

Aku segera melihatnya dan ternyata itu tampaknya seperti Kak Ramly.
“iya aku tahu Naa. Kita harus ke sana.” balasku dengan segera membelokkan arah mobilnya.
“jangan Naa.. mungkin dia sudah gilaaa.”
Aku kaget dengan ucapan Lina. “apa Na bilang, gilaaaa? tidak. Tidaak dia tidak gila. Kita harus ke sana. Aku harus membayar hutangku.”
“terserah kamu saja.” ketus Lina.

Dan ternyata Lina benar. Dia Kak Ramly tak seperti Kak Ramly yang dulu, dia gila.
“Ya Allah, Kak Ramlyy.” aku tak menyangka dan perlahan mendekat dengan deraian air mata yang tumpah lagi. Aku cepat-cepat teringat dengan lagu itu. Ya aku segera mengambil handphone-ku kemudian mendengarkannya di telinga Kak Ramly.

Ku lihat Kak Ramly yang tadinya senyum-senyum tidak jelas berubah menjadi murung dan merunduk. Ya, dia menangis dan menikmati lagu itu. Aku turut menangis juga. Kak Ramly berbalik menatapku. “kaukah itu Olin?” tanyanya datar dengan isak tangis. Sebisa mungkin suaraku ku keluarkan dengan isak tangis yang masih juga membalutku.
“hiks, hiks, iyaa Kak, ini Olin gadis kecilmu duluuu. Sekarang Kakak ikut aku.”

Aku menuntunnya ke dalam mobil. Dan membawanya ikut menuju Ruang Tahanan untuk menjemput Bibi Sinta. Kak Ramly duduk di depan bersamaku untuk menenyetir mobil dan Lina ku minta duduk di belakang. Rupanya Lina tak terima jika Kak Ramly kembali lagi. “kenapa dia tak terima?” tanyaku dalam hati. Dan sepanjang perjalanan. Lantunan lagu Hingga Akhir Waktu dari Grup band Nine Ball terus mendayung-dayung pikiranku dan Kak Ramly. Dan sepertinya Kak Ramly tak henti-hentinya memandangiku dengan senyum simpul yang ia berikan padaku.

Selama dua bulan Kak Ramly tak kunjung sadar dari kegilaannya. Dia hanya akan merunduk dan menangis mendengar lagu itu. Aku mencoba untuk membawanya ke dokter tapi selalu ia tolak jika aku membawanya ke luar. Hingga akhirnya sekarang ini aku akan lakukan obat bius padanya untuk membawanya ke dokter agar tahu sebab apa dia menjadi gila seperti ini. Dan ternyata berhasil. Tanpa disadari Dokter yang menangani Kak Ramly sangat kenal dengan Kak Ramly.

“Astaga ini kan pasien yang dua tahun silam gagal operasi karena tak ada biaya, kalian keluarganya?” Tanya pak dokter. “iya.. kami keluarganya Dokter.” jawabku dengan lantang.
“aduuuh, Na kenapa kamu bilang kita ini keluarganya, bagaimana jika dokter ini akan melakukan operasi pada Kak Ramly? Bisa jadi kamu yang menanggung biayanya.” bisik Lina padaku.
“biarkan saja Na, ini demi kesembuhan Kak Ramly.”

“oke, sekarang kita akan melakukan operasi pada otaknya. Kalian datang tepat waktu sebelum penyakitnya genap berumur tiga tahun. Dia masih bisa sembuh.”
“oke Dok, lakukan yang terbaik untuk calon suamiku. Uuppps salah dok, Kakakku.”
“kamu ini apa-apaan sih Na.”
“maaf Na, aku sangat bahagia karena harapanku akan terwujud..”
“silahkan mbak urus dulu registrasi pembayarannya.” Akhirnya Kak Ramly dioperasi dan sambil menunggu jalannya operasi selesai, aku berbincang dengan Dokter yang dulu menangani Kak Ramly.

“Kakak anda dulu mengalami kecelakaan bersama istrinya. Mereka berdua tertabrak oleh bus, istrinya meninggal dan ia mengalami luka sangat parah pada bagian otak, kami membuka dompetnya. Siapa tahu bisa memberitahu keluarganya agar kami dapat melakukan operasi. Kami hanya menemukan sebuah foto yang mirip dengan anda. Dan kami juga mendapatkan nomor ponsel seseorang. Akhirnya nomor itu kami hubungi dan ternyata tersambung. Tapi sayangnya nomor yang kami hubungi segera dimatikan oleh pemiliknya. Kami tidak bisa melakukan banyak hal padanya. Hingga akhirnya kami tak jadi melakukan operasi dan merawatnya hanya sekedar saja.”

“kenapa dokter seperti itu? kenapa dia bisa sadar?”
“kami hanya mengobati luarnya saja dan tidak sampai memperbaiki syaraf otaknya yang rusak..”
Aku tiba-tiba menjadi bingung. Kenapa dokter itu menemukan foto mirip denganku. Kemudian aku sangat penasaran hingga aku beranikan diri melihat nomor ponsel yang dihubungi oleh dokter itu.

“semoga saja masih ada Mbak.” ujarnya sambil mencari sesuatu. “syukurlah buktinya masih ada Mbak.” sambil menyerahkanku sebuah map. “itu sengaja kami ambil sebagai tanda bukti dan jaminan kalau dia masih dalam naungan pihak rumah sakit. Tapi akhirnya dia mengalami gangguan pada otaknya lagi dan kabur dari rumah sakit.”

Aku terperanjat saat membuka dompetnya. Isinya hanya KTP dan sebuah fotoku serta lembaran nomor ponselku. Ya aku ingat ini tulisanku saat aku pertama kali dibelikan handphone oleh Kak Ramly ketika tanganku sudah bisa bergerak. Air mataku menyeruak kembali. “yaa ini memang benar saya Dok, saya yang ada dalam foto ini. Dan ini nomor ponsel saya. Tapi setahu saya, saya tidak pernah mematikan panggilan orang.”
“mungkin saja teman anda atau keluarga anda yang lain. Kakak anda mengalami lupa ingatan dan jika dalam tiga tahun tidak dioperasi akibatnya ingatan Kakak anda tidak akan kembali lagi..” Terang pak Dokter.

Aku baru ingat saat dua tahun yang lalu. Ya saat mobil ambulans yang datang di depan kami. Para perawat mengeluarkan seorang laki-laki dan perempuan dari mobil itu. Dan ternyata itu Kak Ramly. “berarti feelingku benar bahwa dia adalah Kak Ramly.” ujarku tanpa sadar di samping Lina setelah ke luar dari ruangan Dokter. “jawab dengan jujur Na.” bentakku pada Lina.
“apaan sih Kamu Lin, menbentak-bentak aja. Gak lucu tahu.”
“aku serius Na. Kamu kan yang matikan panggilan seseorang saat aku berada di dapur untuk membuat just alpukat dua tahun yang lalu.”
“memangnya kenapa?” ujar Lina dengan membalas bentakanku. Emosiku mulai naik.
“Plaaaakk!!” tamparan tanganku mengenai pipi Lina.

“kenapa kau matikan Naaa. Kak Ramly waktu itu dalam keadaan kritis dan membutuhkan bantuanku. Kenapa kau matikan panggilannya? Seandainya Kak Ramly meninggal itu karena kamuu. Aku tak menyangka kamu setega itu. Kenapa kau lakukan? Kau tegaa.” bentakku hingga Lina menangis.
“aku mengakui kesalahanku. Aku melakukannya tapi sumpah aku tidak tahu kalau itu dari dokter. Aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu waktu itu hanya gara-gara jika kau menerima panggilan ini.”

“kenapa pikiranmu seperti itu Na, jika nanti sebenarnya panggilan itu dari pihak yang memberikan kabar gembira? Kau mau bilang apaa haa?! Setidaknya kau jawab dan tanyakan dari siapa. Kau kejam sekali.” Lina menangis dan meminta maaf padaku. “maaf Lin, lain kali aku tidak mengulanginya lagi..”
“jika operasinya gagal kau yang aku benci pertama kali.” tandasku dengan geram.
“semuanya sudah terjadi Na, maafkan aku.”

“karena dia telah terjadi aku sampai marah padamu. Ini pelajaran untukmu. Jangan kau pentingkan egoismu itu walau sifatnya sangat baik. Kita tidak tahu Na apa yang terjadi di luar sana.
Walaupun aku menderita lagi tapi nyawa orang dapat tertolong, itu lebih baik dan lebih utama daripada kesedihanku yang tak ada gunanya ini.” Aku diam sejenak mendengar isak tangis Lina. Entah itu tangis menyesala atau karena yang lain. “asal kau tahu saja Na. walaupun Kak Ramly sudah punya istri, namun aku tetap berharap bisa memilkinya lagi karena aku percaya harapan akan dapat menghilangkan rasa takut. Ya rasa takut untuk tidak bisa membayar hutangku akan budi baiknya..”

Sekarang Kak Ramly sudah siuman semenjak dua hari ada di rumah sakit. Ini sudah menjadi kewajibanku sebagai balas budi padanya.

“Olin.”
“iya Kak. Apa kau sekarang sudah baikan?”
“sungguh baik.”
“syukurlah Kakak selamat.”

“Kakak minta maaf, atas semua kesalahan Kakak.”
“kau tak pernah salah Kak. Semua yang kau lakukan benar dan sudah menjadi tugasku untuk mencernanya dengan baik dan menjadikannya pelajaran.”
“kau memang gadis pintar, apakah kau mau mendampingi Kakak?”
Aku tak menyangka Kak Ramly akan secepat ini menyatakannya. Aku sungguh bahagia karena ketakutanku akan kehilangan Kak Ramly sudah berakhir. Setidaknya jika takdir tak ku tahu namun aku bisa menjalani hidup bersama Kak Ramly hingga akhir waktu.

Cerpen Karangan: Shollina
Facebook: Sholli Wasallim

Cerpen Hingga Akhir Waktu (Part 3) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Bukan Masa Laluku (Part 3)

Oleh:
Rencananya aku akan pergi ke Bunkyodo Books Ningyocho, salah satu toko buku di Sumida, bersama Ryo mencari-cari buku terbaru, akhirnya tidak jadi. Sekarang aku hanya ingin pulang dan tidur.

Ji Chang Wook dan Penggemar Kelas Berat

Oleh:
“Yeoboseyo. Halo.” “Lisa lagi sibuk, ya?” “Biasa, lagi nyeterika tiap minggu pagi.” “Jam sepuluh ke rumahku, ya. Aku punya film Korea baru.” “Film apa? Apa judulnya?” Tut… tut… tut….

Bersama Kita Menuju Surga

Oleh:
Ayu terdiam. Angin sore itu berhembus dengan lembut membuat dedaunan pohon di sekitar taman pondok bergoyang-goyang sehingga, siapapun yang merasakannya akan langsung ingin terlelap. Ayu yang sedang duduk di

Pacar Bukan Untuk Slamanya

Oleh:
Aku sekolah di SMP 9 Pekanbaru. Kami awali hari dengan canda tawa, dan sukacita. Dimarahin guru sudah menjadi sarapan kami setiap hari. Kami gak egois sesama teman, walaupun kami

Segi Empat

Oleh:
Suhu kotaku yang sejuk di pagi hari membuatku beranggapan lebih baik jadi cacing di kasur daripada harus menggerakan gayung berisi air. Namun kewajiban berkata lain sebagai seorang siswa sekolah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *