Istri Virtual

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 13 February 2016

“Sayur Jengkol sudah matang.”
Sheila menulis kalimat itu di dinding facebook suaminya di android pemberian mertuanya dua hari yang lalu.. Ia tidak menunggu jawaban tapi mengepak barang-barang berharganya di koper besar. Sheila ingin pergi besok dini hari. Dua tahun lalu Sheila menikah dengan Bambang. Mereka sudah setengah tahun pacaran, dengan setengah cinta. Bukan karena setengah cintanya yang lain ditujukan untuk laki-laki lain tapi karena memang Sheila hanya bisa memberi setengah. Sheila berpikir yang setengah akan tumbuh sedikit demi sedikit menjadi penuh seiring waktu.

Sheila mungkin baru agak jatuh cinta pada Bambang di pandangan ke sepuluh. Mereka kenalan di Internet. Seorang teman lama yang ditemuinya lagi mengenalkannya lewat salah satu aplikasi pesan. Sheila tidak jelek dan tidak bodoh, tapi ia terlalu pendiam, mungkin terlalu dingin untuk laki-laki. Mereka chatting hampir tiap hari tanpa bertemu. Sheila terlalu dididik bahwa perempuan tidak boleh mengajak bertemu duluan, bisa-bisa dicap jadi perempuan diskonan. Bambang pun tidak pernah mengajaknya bertemu padahal di chat mereka, Bambang kelihatan hangat dan sesekali memuji bahwa ia cantik. Akhirnya di bulan ketiga, sejak chatting pertama, Bambang mengajak bertemu untuk makan siang di sebuah restoran cepat saji.

Mereka janjian di tempat games online, di sebelahnya. Saat Sheila datang, Bambang sedang bermain di salah satu mesin. Dengan sabar Sheila menunggu Bambang game over sebelum akhirnya makan bersama. Sebenarnya Bambang tidak sehangat yang diperkirakan Sheila, Bambang tidak setampan yang ada di foto, dan bahkan lebih pendek dari yang diperkirakannya. Belum lagi bau badannya yang tentu saja tidak terlihat di foto dan tidak ada kesaksian kawan-kawannya untuk yang satu ini. Sheila menepis kekecewaan, dengan kata lain kesenjangan besar antara harapan dan realita. Tidak ada laki-laki yang sempurna, pangeran impian kleting kuning tidak pernah ada.

Lagi pula Bambang punya pekerjaan tetap, seagama, masih lajang, bukan buaya darat apalagi penjahat kelamin atau koruptor. Sheila bertekad untuk berusaha mencintai Bambang apa adanya. Masih berkaitan dengan kesenjangan, Sheila berharap, setelah bertemu di darat mereka akan lebih sering bertemu di darat lagi, bukan di dunia maya. Tapi tidak, mereka tetap hanya bertemu tiga minggu sekali. Bambang terlalu sibuk, tapi dari chatnya, ia meyakinkan hanya Sheila satu-satunya. Dan Sheila percaya. Bambang sibuk bekerja dan terlalu lelah untuk bertemu di akhir minggu.

Bambang melamarnya lewat email. Sheila mengiyakan karena bosan pada pertanyaan bapak, ibu, dan kakak-kakaknya, ‘Kapan menikah? Usiamu sudah tiga puluh, kalau sudah ketemu, kenapa tidak langsung saja.’ Sheila masih ingin berontak, ia hanya setengah mencintai Bambang. Satu lagi alasan yang tidak bisa disampaikannya pada keluarganya, ia tidak bisa membayangkan tidur dengan Bambang. Ia bisa membayangkan mencium Bradley Copper atau bahkan Kevin Costner masih mungkin, tapi bukan Bambang. Sheila memang tidak mengenal laki-laki tapi setidaknya ia mendengar cerita teman-temannya yang saling mencium atau setidaknya bergandengan tangan ketika pergi ke mall. Sheila tidak mengerti mengapa Bambang tidak seperti laki-aki lain tapi sebaliknya ia juga tidak menginginkannnya.

Mereka menikah dengan meriah. Sheila merasa orangtua merekalah yang berpesta. Bambang biasa saja, seperti tamu, ia hanya datang saat lamaran dan pernikahannya tanpa sibuk ikut memikirkan atau mengurus rencana pernikahan itu, apalagi memilih warna kertas undangan. Bambang selalu berkata, “Terserah kamu sayang, semua pilihanmu indah.” Dengan kata lain, ‘Aku tidak peduli, urus saja semua sendiri.’ Sheila sendiri lebih senang dengan kesibukan perencanaan itu sebagaimana ia selalu senang menyiapkan pesta tanpa rasa emosional bahwa yang dipersiapkan adalah pesta pernikahannya sendiri. Sheila berpikir sebaiknya dia berkarir sebagai penyelenggara pernikahan dan bukan menikah.

Sheila menyeret kursi ke dekat lemari supaya tangannya bisa meraih map di atas lemari: Ia turun dengan map berdebu. Ia mengelapnya, dan membuka isinya. Ijazahnya tersimpan di sana, sarjana biologi. Kesedihan masih terasa, ketika keluarganya memutuskan supaya ia berhenti bekerja di SD tempat dia mengajar. “Mungkin kamu kecapean, makanya belum hamil juga.” Begitu kata mereka. Padahal tanpa ijazah biologi pun semua orang juga tahu, tidak mungkin hamil lewat sms. Sekarang ia merasa beruntung karena tidak hamil. Ijazah SMA, SMP sampai TK. Ia masukkan di bagian tutup koper. Koper sudah hampir penuh dengan baju-baju pilihannya yang ia beli sendiri dulu, ketika masih punya gaji.

“Sambelnya di mana?” suara Bambang berteriak dari dapur.
“Di kulkas.” jawab Sheila berteriak juga.

Suara pintu kamar kerja menutup kembali. Bambang makan di depan komputer. Dan seperti biasanya, Sheila yang akan mengambil piring itu keesokan harinya saat Bambang sudah pergi ke kantor. Tapi tidak besok pagi. Sheila memikirkan apalagi yang harus dibawanya. Ia memandang foto pernikahan mereka di dinding atas tempat tidur. Di foto itu mereka serius, Sheila memang jarang tersenyum saat di foto. Kakak Bambang yang memaksa mereka pergi ke studio foto waktu itu.

“Kalian harus ke studio foto, biar punya foto pernikahan yang bagus.” Sheila ingat ia sudah lelah sekali, bangun jam lima pagi untuk mulai berdandan, karena akad nikah dimulai jam sembilan pagi. Lalu hak sepatu 12 senti yang seharian dipakainya sudah hampir membunuhnya. Belum lagi bersalaman dan pasang muka bahagia untuk tiga ribu tamu. Konon ayah Bambang menjual tanah mereka di Jogja untuk biaya pernikahan itu. Kalau saja tergantung orangtua Sheila, pernikahan itu hanya akan berlangsung sampai akad nikah saja tanpa pesta. Dua hari setelah pesta terbesar abad 21 itu, Sheila sadar betul penyakit suaminya. Bambang adalah pecandu games online, dan games yang tidak online.

ADVERTISEMENT

Sheila pergi ke kamar tamu, di laci kamar tamu, ia menyimpan foto-foto lamanya ketika ia masih bahagia, masih sendiri. Baru kali ini ia sadar betapa bahagianya ketika ia sendiri dulu. Ia melihat foto yang dibanggakannya. Fotonya di puncak gunung. Tiap akhir minggu ia bisa pergi ke mana saja, naik gunung, atau ikut acara sepeda. Pekerjaan rumah terasa ringan karena ia melakukan sesuka hatinya. Ia bertanya apakah ia menikah untuk jadi istri Bambang atau menjadi pembantu rumah tangga Bambang. Ia mengambil semua foto miliknya dan meninggalkan album pernikahan saja. Ia toh tidak punya foto dengan Bambang kecuali foto pernikahan.

Bulan-bulan pertama pernikahan mereka, Sheila masih melekat pada laptopnya, karena sejam sekali Bambang akan menulis pesan. “Sayang, kangen nggak? aku mau makan sushi siang ini. Nanti malam mau ku bawakan apa?” Atau “Si Boss punya sekretaris baru, masih muda, mejanya ditaruh di depanku, tapi kamu tetap paling cantik, dan aku hanya untukmu.” Begitu hangat, namun ketika Bambang pulang ke rumah, ia biasa saja. Sheila masih bersemangat dengan, “Cape ya sayang? Macet di mana tadi?” Bambang akan menjawab sekilas, memegang tangan sekilas, lalu kembali ke depan komputernya. Dua kalimat langsung, mungkin adalah percakapan maksimum di antara mereka berdua.

Laptop yang dibukanya di dapur untuk menjawab chat Bambang ‘masak apa’ kena tumpahan santan dan rusak. Bambang menawarinya membelikan laptop baru. Sheila menolaknya, lagi pula ia tidak begitu membutuhkannya lagi. Sheila lebih suka membaca. Masih ada sedikit tempat di koper. Sheila memandang koleksi novelnya yang sebenarnya tidak ingin ia tinggalkan. Sheila memang tidak mengikuti mode atau tergila-gila dengan sepatu. Uang sakunya hanya dipergunakan untuk membeli buku. Belakangan ia langganan taman bacaan dan perpustakaan kota, jadi ia tidak membeli buku lagi. Akhirnya Sheila memasukkan ke dalam koper, Novel bersampul tebal dan merah ‘The Selected Works of Virginia Woolf’ oleh-oleh sahabatnya dari Inggris.

Setahun lalu, penyakit Bambang makin parah, apalagi mereka sudah langganan internet di rumah untuk 24 jam. Ia bangun pagi, pergi ke kantor, dan ketika pulang, ia langsung berada di depan komputer sampai tertidur. Ketika itu Sheila masih berusaha mempercayai bahwa Bambang laki-laki waras. Ia akan membangunkannya, dan mengajaknya pindah tidur di kamar mereka. Lalu tentu saja tak ada persetubuhan, meskipun setelah merasakannya di malam pertama, Sheila sama sekali tidak merasa bahwa bercinta adalah kegiatan yang perlu diulang-ulang.

Pernah sekali, ketika ia dan Bambang naik mobil untuk pergi ke ulang tahun ayah Bambang, Sheila menegurnya, untuk lebih punya waktu dengannya. Bambang hanya diam. Lalu, “Aku kan nggak ke mana-mana sayang. Selalu pulang ke rumah jam tujuh, kalau telat pun itu karena macet saja. Kamu tahu sendiri kan, kawan kerjaku semua punya selingkuhan atau buang uang ke kafe?” Sheila tidak lagi bisa menjawab, apalagi mengeluh pada keluarga pasti langsung dituduh pengeluh dan tidak tahu diuntung. Bagi mereka, penderitaan dan kesepiannya itu dianggap mengada-ada.

Tiga hari yang lalu. Sheila ulang tahun. Bambang bangun seperti biasa, tidak ada ciuman, tidak ada ucapan. “Oh mungkin dia siapkan kejutan untuk nanti malam.” begitu pikir Sheila. Ia tidak sabar menunggu seharian. Ia menyiapkan sore ketika ia mungkin akan terkejut. Ia pergi ke salon, luluran dan creambath. Ia membersihkan seluruh rumah, bahkan membeli pot berbunga. Jam empat sore ia memutuskan untuk pergi membeli sprei baru. Mungkin mereka bercinta nanti malam, bukan karena Sheila bergairah tapi kalau ia hamil, mungkin Bambang akan lebih memperhatikannya.

Semuanya siap, jam enam sore. Telinganya waspada, jangan sampai ia tidak mendengar mobil Bambang datang. Akhirnya mobil itu datang jam tujuh lebih tujuh. Sheila membukakan pintu pagar seperti biasa dan langsung masuk. Ia memikirkan kadonya, mungkin perhiasan, mungkin tiket pesawat untuk bersama ke Bali, mungkin seekor anjing, mungkin voucher ke spa. Sheila berlagak biasa-biasa saja, memencet-mencet saluran televisi. Bambang datang membawa bungkusan besar. Waaah apa ini, aktingnya pura-pura kaget. Bambang mencium sekilas, “Met ulang tahun ya.”

Sheila kehilangan senyum di mukanya, bungkusan itu berisi Play Station. “Kamu tidak suka? Supaya kita bisa main game bersama: kamu bilang, kita harus lebih banyak bersama.” Sheila diam tidak tahu harus marah atau menangis. Ia membereskan bungkus kado tanpa kata. Bambang langsung sibuk memasang PS-nya, dan mulai bermain, seperti biasa. Saat itulah Sheila memilih pergi. Siapa lagi yang akan membahagiakannya kalau bukan dirinya sendiri.

Perpisahan atau perceraian bukanlah bencana namun solusi bagi hidupnya yang kalau diteruskan bisa berakibat pembunuhan entah pada dirinya atau pada Bambang. Sekarang koper sudah siap, ia meletakkan di bawah tempat tidur. Bambang sudah mendengkur di sofa di dekat komputernya. Bambang terbangun dengan suara alarm komputernya, dan menemukan Android merah istrinya di atas keyboard. Dan Ketika Facebooknya terbuka, Bambang membaca.

Sheilanya Bambang: “Aku pergi, jangan mencariku.”

Cerpen Karangan: Gracia Asriningsih
Facebook: Gracia Asriningsih

Cerpen Istri Virtual merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Selamat Ulang Tahun, Kanaya!

Oleh:
“Selamat ulang tahun, kami ucapkan!” “Selamat panjang umur, kita kan doakan!” “Selamat sejahtera, sehat sentosa!” “Selamat panjang umur dan bahagia!” Tepuk tangan meriah terdengar menyambut kata terakhir dari lagu

Kembali, Tapi Tak Sama (Part 2)

Oleh:
Apakah kenangan masa lalu akan sulit dilupakan? Apa sebegitu parahnya? Berbagai macam pertanyaan menghampiriku tiap saat. Kepalaku seakan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan ini. sungguh kondisi yang paling tak ku suka.

Terima Kasih, Ma

Oleh:
19 Desember. Sebentar lagi hari ibu. Apa yang akan aku berikan untuk Mama? Mungkin dalam kondisi seperti ini aku hanya bisa mengatakan ‘Selamat hari ibu’ ke Mama. Tapi aku

Berkelahi Dengan Naluri

Oleh:
Saat harap tidak sesuai dengan rencana yang dinginkan, menata hidup dengan rapi tapi kenyataan selalu berkata lain, ditambah lagi dua paham yang menghantui seakan memberi jalan dengan pandang yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *