Izinkan Aku Berbakti
Cerpen Karangan: Ulfa KurniawatiKategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 12 July 2016
“Kamu yakin sayang? yakin tidak akan terluka?” Tanya wanita paruh baya itu.
“Tenang Ma, jika hati ini belum siap, aku tidak akan seberani dan seyakin ini untuk melakukannya.” Jawab lelaki muda itu dengan tegas.
Wanita itu pun tersenyum dan mencium kening putranya.
“Hati-hati sayang, pesawat jam berapa tadi Arfan bilang?” tanyanya kembali.
“Jam 4 Ma. Arfan pergi dulu Ma. Jangan khawatir. Kalo memang usaha Arfan tidak berhasil, mungkin ini adalah usaha Arfan yang terakhir. Arfan akan langsung pulang.” Ucapnya sambil tersenyum.
Lelaki muda itu pun masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan ibunya.
—
Ia menapakkan kakinya di bandara Soekarno – Hatta setelah 3 tahun lamanya dia meninggalkan kota Jakarta. Arfan tersenyum dan menghela nafas panjang. Tak disangka ia masih punya keberanian untuk menginjakkan kaki di kota ini setelah kejadian 3 tahun lalu.
“Fan…” tepuk seorang lelaki.
“Hei, Dimas, udah nunggu lama kamu?” tanya Arfan.
“Weei, logat ngomong lo sudah berubah gini ya. Padahal baru 3 tahun lo ninggalin Jakarta.” Candanya.
“Hahaha. Bisa aja kamu.”
“Canda lah gua. Sudah siap? Hati sudah ditata dengan rapi? Atau mau saya antarkan dulu ke Gedung FKUI? Sekalian kita kuliah lagi?” Canda lelaki itu.
Tawa mereka pun pecah. Sembari menggeret kopernya, mereka pun berjalan melewati lorong kedatangan di Bandara Soekarno – Hatta.
—
“Jadi loe mau tinggal dimana Fan? Yakin gak mau tinggal di apartemen gue?” Tanya Dimas sambil kembali mengarahkan fokusnya ke arah jalan.
“Aku sudah nyewa kamar hotel kok Dim, aku gak mau ngerepotin kamu.”
“Gile, lu bener-bener yak, dari dulu gak berubah, kayak baru kenal gua kemaren aja. Kita ni sahabatan udah lama kali, cuma pisah 3 tahun dong, itu pun gua udah sering main ke Balikapapan nengokin elu.”
“Yah, bukannya gitu, saya orangnya gak enakan, ah kamu, kayak baru kenal saya kemaren aja”.
“Hahaha, iya dah iya, terserah lu dah.” Jawab Dimas sambil tertawa.
Mereka berhenti di sebuah hotel mewah, Arfan turun dari mobil yang Dimas kendarai. Arfan memutuskan untuk menginap di hotel, menolak tawaran Dimas.
“Sms gue besok, kasih tau lu pengen ke Kemayoran jam berapa.” Pesan Dimas.
“Oke sip.” Jawab Arfan sambil tersenyum.
“Duh pret. Fan, senyum loe manis banget, gila, bikin kencing manis. Hahahaha.” Ucap Dimas sambil membunyikan klakson mobilnya.
“Jangan jadi homoo Diiim…. hahaha.” Triak Arfan sambil tertawa.
Sudah 7 tahun lebih Arfan dan Dimas bersahabat. Awal mereka bersahabat adalah ketika mereka berdua berada di fakultas yang sama saat kuliah, FKUI, Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia. Fakultas yang mempertemukan mereka. Ya, mereka berdua sekarang adalah seorang dokter. Walaupun kini mereka tidak berada pada rumah sakit dan tempat yang sama, namun persahabatan mereka tidaklah menjauh seperti jarak mereka saat ini.
Mereka berdua bukan berasal dari golongan menegah ke bawah, mereka berdua memiliki latar belakang keluarga mampu. Ayah Dimas adalah pengusaha sukses di Jakarta. Sedangkan Arfan adalah anak dari Control Engineer PT. Pertamina di Balikpapan. Mereka dipertemukan karena memiliki satu ambisi yang sama. Ingin menjadi seorang dokter hebat.
—
Arfan duduk di balkon kamar hotelnya. Pikirannya kembali ke masa 3 tahun lalu, tepatnya di tahun 2012. Ketika ia dan Dimas berada dalam acara wisuda dokter umum.
Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan untuk Arfan, dan teman-teman seangkatannya. Karena hari itu adalah hari dimana mereka resmi menyandang gelar dr. di depan nama mereka.
“dr. Arfan Wismaji Sadewo, putra dari Bapak Wismaji Sadewo, M.T. dan Ibu Sinta Prawindani”
Arfan tersenyum begitu lebar, namanya disebut untuk menerima toga. Ia maju ke podioum dengan langkah pasti. Kedua orangtua Arfan melihat dengan tatapan bangga sekaligus haru. Akhirnya putra semata wayang mereka resmi menjadi seorang dokter.
Namun, tak berapa lama setelah acara wisuda itu selesai, Ibu Arfan menceritakan satu kenyataan yang benar-benar membuat Arfan tak habis pikir. Mereka berempat ada dalam mobil yang dikendarai ayah Arfan. Arfan, ibu dan ayahnya, serta Dimas. Sang ibu berkata bahwa Arfan sebenarnya bukanlah anak kandung mereka.
Pada November 1991, kedua orangtua angkat Arfan akan pergi ke bandara untuk kembali ke Balikpapan, setelah berlibur selama seminggu di Jakarta. Ayah angkat Arfan berhenti di sebuah POM bensin di daerah Kebayoran untuk mengisi bahan bakar. Ibu angkatnya memutuskan untuk membeli beberapa makanan ringan di warung kecil yang berada dekat dengan POM bensin tersebut. Saat ingin kembali dari warung, sang ibu ditarik tangannya oleh seorang wanita paruh baya. Rambutnya berantakan, pakaiannya lusuh, dan wajahnya kotor.
“Bu, tolong saya bu.” Ucap wanita itu mengiba.
“Bu saya minta tolong, ibu tolong beli anak saya ini. Saya butuh uang bu, untuk berobat, kakaknya habis ditabrak orang, orangnya nda mau tanggung jawab.” Ucap wanita itu kembali, kali ini sambil menangis.
“Astaghfirullahaladzim, bu, ibu sadar, ini anak ibu, bukan barang dagangan.” Jawab ibu angkat Arfan.
“Saya gak tau harus minta tolong siapa bu, anak ini harapan saya. Ini akte kelahirannya sudah lengkap bu, usianya 8 bulan. Namanya Galang. Ibu ada uang 1 juta? Ibu bawa saja anak ini. Tolong saya bu tolong saya. Anak saya sekarat bu.” Mohonnya.
Tanpa pikir panjang Ibu Arfan mengembil dompet dari dalam tasnya. “Ini bu saya kasih uang 1,5 juta. Ibu bawa uangnya, ibu bawa bayi ini juga. Saya tidak tega memisahkan seorang bayi dari ibunya.” Ucap ibu angkat Arfan.
“Enggak bu, kalo saya merawat Galang, saya dapat duit dari mana lagi. Saya minta tolong ringankan beban saya dari anak ini bu.” Tiba-tiba ibu lusuh itu meletakkan sang bayi di aspal, di samping tas yang dia bawa. Dan ibu itu pun lari begitu saja membawa uang yang diberikan ibu angkat Arfan.
Ibu angkat Arfan berteriak memanggil ibu tersebut, namun apa daya, ibu lusuh itu telah pergi. Betapa terkejutnya ayah angkat Arfan, melihat istrinya kembali dengan membawa tas besar dan seorang bayi. Ibu angkat Arfan menceritakan semua kejadian yang baru dia alami kepada suaminya.
“Sudah, bawa saja pulang anak ini, sampai di Balikpapan kita urus semua surat-surat kelahirannya. Kita ganti nama dan aktenya, bilang saja ini anak dari keluargamu yang tinggal di Jakarta.” Ucap sang suami.
Arfan hanya diam mendengar semua yang ibunya ceritakan. Dia tak bisa bicara, tak bisa menangis, sedang sang ibu sudah menumpahkan semua air matanya. Dia tak habis pikir, orangtua yang merawat dan membiayainya dari kecil hingga sekarang bukanlah orangtua kandungnya.
Ibu angkat Arfan meminta maaf padanya karena baru menceritakan semua kejadian ini setelah ia wisuda. Ibunya pun memohon agar Arfan tidak marah dan benci pada mereka.
“Sayang jangan marah ya, mama gak bermaksud menutupi semua kebenaran ini, mama hanya menunggu waktu yang tepat. Mama juga sudah cari tau semua tentang ibu kandung kamu. Bagaimana status sosialnya, bagaimana keadaan ekonomi keluarga kamu, dan dimana mereka tinggal. Jika kamu memang memutuskan untuk kembali kepada keluarga kandungmu, mama dan papa juga sudah rela.” Ucap sang ibu sambil menahan tangis.
Arfan meminta pada ayah angkatnya untuk menghentikan mobil yang ia kendarai, serta meminta mereka untuk keluar dari dalam mobil. Mereka pun menuruti permintaan Arfan. Tanpa diduga, Arfan bersujud di hadapan mereka berdua.
“Terimakasih mama, papa. Terimakasih Bapak Wismaji dan Ibu Sinta. Terimakasih atas semua biaya dan kasih sayang yang telah kalian berikan kepada saya. Demi Allah, setelah mendengarkan cerita mama tadi saya tidak ada niat sedikitpun untuk meninggalkan kalian, apalagi sampai marah dan benci kepada kalian ma, pa. Saya akan berbakti pada kalian sampai akhir hayat saya.” Ucap Arfan sambil berdiri dan memeluk kedua orangtua angkatnya.
Tangis pun pecah, mereka tak peduli banyak orang yang melihat.
“Ma, Pa, Arfan ingin minta satu hal lagi, Arfan pengen ketemu sama Ibu. Boleh antar Arfan ke rumah keluarga Arfan?” Pintanya.
“Iya sayang iya, kami antar.” Jawab sang ibu.
Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan sang ayah kembali mengambil kemudi. Suasanya sepanjang jalan hening. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Arfan, Dimas, maupun orangtua angkatnya.
Tanpa terasa mobil mereka berhenti di sebuah perkampungan kumuh di daerah Kebayoran Jakarta. Dari dalam mobil, ibu Arfan menunjuk sebuah gubug kecil.
“Itu sayang, rumah orangtua kandung kamu. Lihat itu ibumu, iya mama yakin. Dan lihat, di belakangnya adalah ayahmu. Mama bahkan sudah melakukan test DNA untuk meyakinkan diri mama sendiri bahwa mereka benar-benar orangtua kandungmu. Dan hasilnya adalah 100% mereka adalah orangtua biologismu.” Tutur sang Ibu.
Arfan menangis, menangis sejadi-jadinya di dalam mobil, dan dalam tangisannya ia berkata “Aku masih gak habis fikir Ma, alasan ibu ngebuang aku cuma gara-gara dia gak punya biaya buat ngerawat aku. Tapi sekarang dia tinggal di rumah seperti itu, tinggal di perkampungan kumuh. Seharusnya tanpa aku di hidup bahagia, hidup sejahtera. Gak seperti ini kondisinya.”
Arfan memeluk ibu angkatnya sambil tenggelam dalam tangisnya.
“dok, dok, dok”
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Ia terkejut, pintu kamarnya di ketuk.
“Siapa?” Triaknya sambil mengusap air matanya yang menetes.
“Pelayanan hotel. Bapak, ini kopi yang anda pesan.” Triak suara di balik pintu.
—
“Siap ketemu Ibu?” Tanya Dimas.
Arfan hanya tersenyum.
“Gue tampar loe Fan. Jangan senyum. Anjir senyum lo, gue gak tahan. Hahaha.”
“Hahaha, nanti aku kenalkan kamu sama temenku, dokter bedah syaraf, asli Balikpapan, cantiknya gak usah ditanya. Soalnya kalo aku perhatikan kamu jadi makin menjrumus ke h*mo gara-gara kelaamaan jomblo.”
“Kampreeet. hahaha. Tapi kalo dokter bedah syaraf itu boleh lah kita coba. Ah udahan ah. Ni kita udah di Kebayoran. Gang rumah ibu lo di depan situ kan? Yakin loe, kalo orangnya belum pindah?”
“Iya Dim disitu. Mama udah melakukan banyak investigasi, aku yakin kalo ibu sama bapak belum pindah.”
“Gile juga tante Sinta ya. Rela banget ngelakuin ini semua demi lo. Ya udah gue masuk gang ya. Gue anter sampe depan rumahnya. Tapi kalo udah di rumahnya, gua dalem mobil aja ya.” Ucap Dimas sambil menyalakan kembali mesin mobilnya.
Beberapa menit kemudian sampailah mereka di depan gubuk kecil itu. Arfan melihat tak ada perubahan sama sekali pada tempat ini sejak pertama kali Arfan datang ke tempat kumuh ini 3 tahun yang lalu.
“Assalamualaikum….” ucap Arfan.
“Iyaaaa..” Saut suara lelaki dari dalam gubug.
Keluarlah seorang lelaki yang berumur sekitar 27 tahun, bajunya sangat kumuh, wajahnya tampak kusam. Ia berjalan dengan bantuan kedua tongkat di kanan dan kirinya, kakinya hanya satu. Penampilannya 180 derajat jauh berbeda dengan Arfan, yang saat itu mengenakan kemeja biru muda, dengan dasi hitam panjang, wajahnya yang putih bersih, serta rambutnya yang disisir begitu rapi.
“Cari siapa mas?” Tanya lelaki itu.
“Maaf ibu Halimahnya ada?” Tanya Arfan.
“Cari ibu? Sebentar mas saya panggilkan” Ucap lelaki itu.
Keluarlah seorang wanita tua. Kulitnya hitam, wajahnya keriput, mengenakan pakaian daster sederhana berwarna hijau gelap.
“Iya?” tanya wanita itu.
Air mata Arfan berlinang, tak bisa ia tahan ketika melihat sosok ibu yang melahirkannya berpenampilan seperti itu. Dipeluknya wanita tua itu. Diciumnya pipinya, keningnya, dan bersujudlah Arfan mencium kedua kaki ibunya.
“Ibu ini Galang…” Ucap Arfan sambil terisak.
Wanita tua itu pun menangis, ia kemudian berlari masuk ke dalam gubuk tuanya.
“Pergi kamu, siapa kamu? Saya tak kenal.” Triaknya sambil terisak.
“Ibu ini Galang anak ibu. Lama rasanya tak bertemu ibu. Sekarang Galang sudah kerja jadi dokter bu. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 3 tahun yang lalu. Tidak kah ibu bangga? Tidakkah ibu bisa menerima Galang menjadi anak ibu lagi?” Ucap Arfan sambil menahan tangis.
“Pergi, pergi…!! Saya tidak mengenalmu. Anakku hanya satu. Aku tidak punya anak lain.” Triaknya tanpa menghentikan tangisannya.
Arfan hanya berdiri terpaku di depan gubuk tua itu. Masih dalam keadaan menangis ia berkata “Ikutlah denganku bu. Tinggalah bersamaku. Sekarang aku sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang tinggi. Akan kubiayai semua kebutuhanmu dan kakak. Akan kubangunkan rumah besar dan indah. Ikutlah denganku bu…”
Tak ada jawaban sedikitpun dari sang ibu.
Arfan menuliskan sesuatu di secarik kertas yang ia ambil dari saku celananya. Ia tinggalkan kertas itu di depan pintu gubuk. Arfan pun kembali masuk ke dalam mobil milik Dimas. Mobil itu pun pergi meninggalkan gubuk tua itu.
Keluarlah sang ibu tua dan anak lelakinya. Sang ibupun mengambi kertas yang ditinggalkan oleh Arfan dan membacanya
‘Bu, se keras apapun ibu menolakku sebagai anak. Aku tetaplah anakmu, darah dagingmu, lahir dari rahimmu. Terimakasih atas semua jasamu membawa ku mengenal dunia. Izikan aku berbakti padamu. Ku tinggalkan alamat dan no telponku agar ketika ibu membutuhkan sesuatu, ibu tau siapa yang harus ibu hubungi. Tenang bu, aku pun akan berbakti pada ibu angkat yang telah membesarkanku. Tau kah kau bu, akulah anak paling beruntung di dunia. Ketika anak-anak lain hanya memiliki satu ibu, bahkan tidak memiliki ibu, aku memiliki dua ibu sekaligus, dua ibu yang luar biasa, dua ibu yang hebat, yang anak-anak lain tak akan miliki.
Salam sayang dari anakmu
Galang.’
Cerpen Karangan: Ulfa Kurniawati
Facebook: https://web.facebook.com/ulfakurnia47
Cuma anak kost yang baru belajar nulis
Cerpen Izinkan Aku Berbakti merupakan cerita pendek karangan Ulfa Kurniawati, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Kak Alex, I Miss You
Oleh: Adhi05anggrainiAku harus melawan rasa ini dalam hatiku. Rasa yang bertolak belakang dengan pikiranku. Rasa rinduku hilang seketika setelah aku pulang ke daerah asalku. Aku bertemu dengan orangtua dan kedua
Abah (Ngeles Versi Abah)
Oleh: Sri AyuniAbah adalah seorang pria yang masih berumur 30 tahun. Tubuhnya semakin lama semakin kurus dan mengecil setiap tahunnya bersamaan dengan bertambahnya usia. Kini ia terlihat seperti berumur 40 tahunan
Toleransi
Oleh: Jaka AhmadSeorang wanita bernama Ria, marah-marah pada adiknya yang bernama Anna. Kemarahan ini diakibatkan karena Anna meneguk segelas es teh di siang hari pada bulan puasa. Ria marah, lantaran walaupun
Senyum Terakhir Ibu
Oleh: Ayu GitaPagi ini, di saat matahari belum terlihat jelas, seorang pemuda telah sibuk menyiapkan kotak semir yang akan dibawanya untuk mengais rezeki. Pemuda itu bernama Ardit. Umurnya baru 16 tahun,
Jeritan Hati Seorang Anak yang Tak Dianggap
Oleh: Rizky Monica Aprilya Hulu“Anhar…!! Kemari kau anak tolol” teriak Bapakku. “Iya pak” jawabku dengan nada ketakutan. “Cepat kau cuci mobil di depan, sebentar lagi aku akan pergi dengan mobil itu bersama Dodi.
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply