Laksana Pengembara yang Tersesat
Cerpen Karangan: Nurul HidayatKategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 24 April 2017
Semilir angin menampar wajahku. Rerimbunan pohon akasia dan sepasang merpati dara menatapku lekat seolah ingin bertanya, siapakah anak itu? Mengapa anak lugu seperti dia tiap senja selalu di sini, duduk termenung seorang diri di taman akasia? Mengapa anak itu terlihat memiliki beban besar tidak pada usianya? Bukankah seharusnya ia bermain dengan riang bersama teman seumurannya? mengapa ia terlihat tidak bahagia?. Aah… Mereka benar, aku tidak bahagia dan tidak pernah bahagia. Bahkan aku tidak tahu apa itu bahagia.
Sedari kecil aku hidup dengan ibu, tepatnya seorang wanita tua yang kerjanya hanya memunguti kardus-kardus bekas tiap hari, tinggal bersamanya dalam gubuk sempit tak berjendela. Sejak wanita itu memisahkanku dengan ayah dan kakak kembarku, sejak itu pula aku tidak pernah merasakan apa itu bahagia. Aku sangat iri dengan kembaranku, kudengar kabar kalau ayah dan saudaraku sudah menjadi orang kaya raya di negeri seberang dengan usaha tambang dimana-dimana. Sedangkan aku di sini, jangankan hidup sederhana, dikatakan miskin pun bahkan lebih baik. Ini semua karena ibu. Mengapa wanita itu selalu merampas kesenangan dariku?
“Aaawwww, sakitt!!!” aku mengaduh keras karena batu kerikil tepat mendarat di kepalaku.
“Hei bocah, bagaimana seragam sekolahku? Bagus kan? Aaaahhhhhh, akhirnya kita masuk sekolah di Sekolah Dasar elit, iya kan ren?” Tanya anak itu pada teman di sebelahnya yang juga memakai seragam baru.
“Ah, kau benar ditto. Hei bocah, kita memang keren kan?”
Aku hanya membisu melihat seragam mereka yang sungguh indah. Bagaimana bisa mereka terlihat begitu bahagia hanya dengan masuk sekolah dan seragam bagus? Seandainya aku juga sekolah apakah aku bisa sebahagia dan sesenang mereka? Aaaah, benar. Aku harus sekolah di sana segera. Harus!! Dengan itu, aku akan bahagia.
Sepulang ke rumah aku pun meminta sekolah pada ibu.
“Apa nak? Kau ingin sekolah di Sekolah Dasar elit itu? Bagaimana bisa ibu membayar uang sekolahmu? Sekolah Dasar itu sangat terkenal dan biayanya pun tidak sedikit nak…”
“Aku tidak mau tau, bu. Pokoknya aku mau sekolah di sana!!” kataku bersikeras.
“Bagaimana jika di sekolah lain?” kata ibu tidak mau kalah.
“Tidak!! Ibu harus mengusahakan agar aku bisa sekolah di sana!!!.”
Wanita itu hanya diam, tak ingin berdebat denganku lagi. Sejak itu ibu selalu pulang malam, dengan butir-butir keringat di wajahnya. Aku tahu, ia sedang berusaha keras untukku. Aaaah, toh itu memang tugasnya sebagai kepala rumah tangga kan? Untuk apa aku kasihan.
Satu minggu kemudian aku telah terdaftar sebagai murid di Sekolah Dasar elit itu. Aku sangat senang dan berharap menemukan setitik kebahagiaan di sekolahku tercinta. Tapi aku salah, ternyata teman-temanku hanya memanfaatkanku. Mereka sangat senang menyuruhku melakukan hal ini itu, menganggapku babu mereka. Dan ketika aku meminta pertolongan kepada mereka, mereka hanya menjawab, “Maaf, kamu bukanlah teman kami. Kami tidak bisa membantumu. Mungkin kamu bisa meminta bantuan pada yang lain?”
Aku tercengang, bagaimana bisa aku sebodoh ini menjadi pesuruh mereka. Ternyata kebahagiaan tidak dapat kutemukan di sekolah. Hari itu juga aku memutuskan untuk berhenti sekolah.
Kulangkahkan kaki melewati gang-gang sempit menuju gubukku. Motor dan becak berlalu lalang. Aku tekejut, melihat seorang remaja perempuan berpakaian modis sedang duduk menyendiri di taman akasia. Wanita itu terlihat sangat menikmati semilir angin yang menyentuh kulit beningnya. Dengan rasa penasaran, aku menghampiiri wanita itu.
“Hei, siapa kau?” tanyaku.
“Kamu sendiri siapa mengagetkanku.” Jawabnya polos.
“Aku Ahmad. Boleh aku duduk?”
“Aku Asma. Tentu saja, bangkunya panjang dan aku hanya seorang diri. Kecuali jika matamu melihatku banyak”. Jawabnya.
“Aaah, yang terlihat cuma sebiji”
Wanita itu hanya tersenyum. Kami pun berbincang-bincang setelahnya, bahkan kami sudah seperti teman lama yang baru bertemu.
Hari berganti hari dan kami sering membuat janji untuk bertemu di taman akasia. Hingga tanpa sadar, aku menyukainya, bahkan mencintainya, mungkin ia pun demikian. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan isi hatiku padanya. Namun, jawaban yang kuterima sangat diluar dugaan.
“Maafkan aku. Sebenarnya aku menyukaimu, tapi hanya sebatas teman. Aku juga sudah dijodohkan oleh orangtuaku jauh hari sebelum kita bertemu di taman akasia ini.”
Dunia seolah berhenti berputar. Aku marah, kesal dan tidak bias menerimanya. Ah, apakah ia menolakku karena aku hanyalah seseorang yang tak berpunya? Lelaki miskin?. Ini karena ibu, karena wanita tua itu. Untuk kesekian kalinya aku kehilangan kebahagiaanku lagi, lagi dan lagi. Aku beranjak dari bangku itu dan meninggalkan Asma seorang diri.
Keesokan harinya, ibu memintaku menemaninya memungut kardus-kardus bekas.
“Anakku, maukah kau temani ibu memungut kardus-kardus bekas di jalanan?”
“Ahh, aku malu buu.. oh iya, minta uang ibu dong, buat jajan” pintaku.
“bantu ibu dulu, nak”.
“Tidak… Ayo cepat, bu.. uang.. uang…”
Dengan berat hati ibu memberiku semua uangnya.
Kuambil langkah seribu dan menelusuri jalan setapak di depanku. Tiba-tiba seorang wanita menabrakku dari belakang dengan keras.
“Heiii!! Bisakah kau berjalan pelan saja. Aku hampir jatuh karenamu!!”
Perempuan itu menengok sekilas dan berbalik badan menatapku lekat-lekat.
“Ah maaf. Heeiii, bukankah kaauu…”
Aku sangat terkejut. Benar, ia memang saudaraku. Saudara kembarku.
“Kau… Yaa benar, kau saudaraku. Saudara kembarku. Heii, bagaimana kabarmu, kabar ibu?” kata Dinda, saudara kembarku.
“Emmm, akuuuu… akuu baik-baik saja. Bagaimana dengan Ayah?” kataku.
“Ayah baik-baik saja. Beliau sangat merindukanmu. Ayoo, kita ke kantor ayah…”
Aku seketika bisu. Ayaaahhh… benarkah merindukanku?. Dinda menarikku dan menuntunku ke kantor ayah.
Beberapa jam kemudian di kantor ayah…
“Hei anakku sayang, ayah sangat merindukanmu. Maukah kau tinggal dengan ayah?” Tanya ayah kepadaku.
“Yaa ayah, aku mau. Tapi bagaimana dengan i..”
“Ah, dan jangan lupa nak, jangan berhubungan lagi dengan ibumu.” Aku seketika bisu, bagaimana bisa ibu hidup sendiri, akuu… akuuu… aaahhh, sudahlah, aku pasti hidup bahagia dengan ayah, ayah punya segalanya, ayah kaya raya.. hidupku pasti terjamin, dan tentunya BAHAGIA. Aku yakin itu.
Hari berganti hari, dan aku tinggal dengan ayah, juga Dinda saudara kembarku. Hidupku senang, tapi entah apakah bisa dibilang bahagia atau tidak. Ada sesuatu yang hilang, tidak lengkap. Ah iya, Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan ibu. Pasti ibu sibuk mencariku. Bagaimana kalau aku pulang sebentar saja, berpamitan pada ibu. Aku pun beranjak pergi dan menuju ke gubuk lamaku.
Di pertengahan jalan, aku melihat dua orang yang tidak asing. Benar, itu ayah dan ibuku. Mengapa mereka berbincang di tengah jalan seperti ini? Aku mendekat dan terkejut mendengar percakapan mereka.
“Tolonglah… kembalikan anakku, setidaknya jika engkau mengambil salah satu anakku, berikan padaku satunya lagi. Kumohon, aku adalah ibunya. Kumohon, Pras…” kata Ibuku.
“Apa katamu? Tidak. Mereka berdua adalah anakku. Ketika Dandi kecil aku sengaja menyerahkannya padamu karena aku lebih menyayangi Dinda dan tidak menganggap Dandi sebagai anakku, karena sejak kecil Dandi penyakitan. Tapi ketika tiba-tiba Dinda membawa Dandi ke hadapanku, yang kulihat adalah Dandi yang dewasa, berbadan kekar, dan yang penting ia sehat. Jadi aku berfikir untuk menjadikannya pewarisku. Orang yang akan melanjutkan bisnisku. Kau dengar, Nadia?” kata Ayah.
Aku semakin terkejut mendengar pengakuan ayah.. Oh ibu, kulihat ibu tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak menyangka, seorang ibu yang sedari dulu kulupakan, malah beliau yang tak pernah melewatkan waktunya untuk tidak mengingatku. Kebahagiaan yang kucari di luar sana membuatku melupakan kebahagiaan yang ternyata selama ini selalu tersedia untukku, menemaniku, dan menungguku menggapainya. Sekian lama aku mengembara mencarinya, malah aku tersesat.
Aku berlari memeluk ibu, tak menghiraukan ayah yang memanggilku. Tidak, tidak untuk saat ini. Aku hanya ingin bersama ibu, bersama sumber kebahagiaann yang telah kulupakan.
“Ibu, maafkan Dandi. Maafkan aku, bu. Aku sangat menyesal.”
“Tak apa, nak.. Yang penting engkau sekarang di sini, Bersama ibu…” kata ibuku.
“Bu, mari kita pulang ke gubuk kita.. Gubuk yang sebenarnya lebih banyak menyediakan kebahagiaan untukku. Gubuk yang menjadi tujuan pengembaraanku, bersamamu ibu.”
Cerpen Karangan: Nurul Hidayat
Facebook: Nurul Hidayat Nunu
Cerpen Laksana Pengembara yang Tersesat merupakan cerita pendek karangan Nurul Hidayat, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Je T’aime (Part 1)
Oleh: Chintya Widanti“Dek, kakak hari ini gak bisa jemput kamu. Tapi kakak udah minta tolong kok sama temen kakak untuk jemput kamu. Kamu tunggu aja ya” Chika menghela nafas mengingat ucapan
Sedikit Kisah Sri
Oleh: Nehemia RenataBelum selesai buku “Tentang Kamu” Tere Liye kubaca, aku sudah terinspirasi dengan Sri Ningsih, dia salah satu tokoh yang membuatku terinspirasi dengannya. Dia gadis kecil, hitam, dan gempal. Saat
Seandainya Aku Tidak Dilahirkan (Part 1)
Oleh: Yohanes Tuba MatarauWajah gadis yang berusia 6 tahun itu tanpak tak pernah menyimpan kesedihan. Padahal anak seusianya pasti harus banyak membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Namun dia tidak seperti anak pada
Tuan, Lala Rindu
Oleh: PleiadesBerteriak kearah langit, masih tak terima dengan takdir Tuhan. Mengacak rambut yang nampak kusut, menatap kosong kedepan. Tatapan gadis itu tampak nanar kearah sebuah nisan. Membayangkan wajah sosok yang
Gadis Kecilmu
Oleh: Lailatul QomariahMama aku rindu. Perasaan itu aku rasakan seumur hidup aku, allah lebih sayang mama sehingga beliau dipanggil begitu cepat, meninggalkan aku dan ayahku. Sejak aku berumur 5 bulan mama
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply