Lika Liku Mika

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 17 March 2017

Seorang pemudi terduduk di tengah ruangan kecil dikelilingi oleh udara dingin malam hari yang menusuk; dihiasi dengan suara tokek yang bergema di dalam ruangan, terpantulkan antar dinding. Suara angin yang berhembus merdu di antara dahan dan ranting juga turut menghiasi malam pemudi tersebut.

Pemudi itu berada di atas kasurnya seperti tersungkur. Strap gantungan yang berkilauan di tangannya, mendominasi pikirannya, dan membuatnya merasa buruk. Pemudi itu berkaca-kaca dan seperti hendak akan menangis, tetapi tidak ada air mata yang menetes sedikit pun, melainkan hanya terduduk, terdiam di depan televisi yang menyala di depannya.
“Apa yang harus saya lakukan kedepan nanti…” adalah satu-satunya hal yang terpampang di pikirannya, mengingat apanya yang ditinggalkan kedua orangtuanya tak mungkin menghidupinya beberapa bulan kedepan.

Pagi sebelumnnya yang hangat dan cerah; sekolah hendak memulai pelajarannya, guru hendak mengabsen anak-anak di kelas X mipa D di suatu SMA Negeri di Jakarta barat, satu per satu siswa siswi mulai bergantian mengangkat tangan sebagai tanda kehadiran.

“Mikaila Putri Anastasya.” Panggil guru jam pertama sembari men ceklist absensi.
Pemudi tersebut mengangkat tangannya, menandakan bahwa pemilik nama tersebut menghadiri kelas. Kelas berlangsung tenang sebagaimana hari biasanya.

Bel istirahat berdering, sebagian besar dari isi kelas mulai berhamburan keluar, tetapi tidaklah bagi Mika yang hanya merenung sendiri di sudut kelas. Sambil memutari pulpennya, Mikail berpikir, layaknya seorang yang terjepit masalah berpikir keras mencari jalan keluar. Teman-teman sebayanya pun terkadang ragu untuk mendekati Mika, sebagaimana seperti ada perisai anti-gravitasi yang menghalangi orang-orang untuk lebih mendekat ke Mika.
“Ada apa dengan dia?” Tanya siswa yang sedang berkunjung ke kelas tersebut.
“Biarkanlah dia sendiri.”
“Mengapa?”
“Dua bulan lalu, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil, saya yakin Mika sendiri masih syok dengan itu.”
“Oh, maaf sekali… saya tidak tahu tentang itu.”
Pembicaraan orang di sekitar Mika terkadang kerap membuat Mika meringis mendengarnya. Terpampang suatu gambar di pikiran Mika tentang kejadian di keluarganya dahulu, tetapi tanpa identitas muka yang sebenarnya melainkan bercampur aduknya warna seperti sensor televisi. Tidak banyak kenangan bersama yang dibawanya.

Mika awalnya tinggal di keluarga serba berkecukupan, orangtua Mika juga merupakan orang yang serba sibuk, pulang selalu malam, pagi pun terkadang walaupun orangtuanya berangkat agak siang, tetapi masih terlalu lelah untuk bangun yang oleh karena itu tidak mempertemukan Mika dengan kedua orangtuanya, hanya sekedar pamit mereka bertemu kemudian berpisah mengurus kesibukan harian masing-masing, tak jarang juga mereka berkomunikasi hanya melalui kertas dan magnet di kulkas.

Sekarang dengan meninggalnya kedua orangtua Mika di malam yang sama, tanpa sanak keluarga dan saudara yang dekat di sekitar pulau Jawa, belum lagi tentang warisan kedua orangtuanya. Sebagian besar warisan dari keluarganya sudah habis dibawa oleh rentenir dimana kedua orangtuanya pernah meminjam dan terpaksa Mika harus tinggal di kost-kosan yang tak jauh dari sekolah dimana Mika belajar.

Dengan keadaan finansial yang semakin menipis, tentu saja Mika tak bisa hanya terdiam menunggu warisan dari kedua orangtuanya habis begitu saja. Mika sekarang bekerja menjadi penjaga di bar billiard berjarak dua kilometer dari tempat Mika bersekolah demi menutupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi hal yang ditutupi dari sekolah mengenai Mika tinggal dengan saudara.

“Mika, ini lks ente” seseorang dari kelas membagikan lks fotokopi matematika.
Mika tiba-tiba seperti tersentak keluar dari dunia pikirannya.
“Ah iya, terima kasih…” jawab Mika sambil menundukkan kepala.

Bel kembali berdering menandakan masuk jam ke lima enam akan segera dimulai. Sudah saatnya tiba pelajaran Biologi yang dibimbing oleh pak Eka Samalagi. Hari itu, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, Mika satu kelompok dengan lima orang lainnya dengan tema membuat model virus bakteriofag. Tugas projek akan dilaksanakan disalah satu rumah teman satu kelompoknya.

ADVERTISEMENT

Terik matahari yang membakar kulit mulai mengurangi intensitasnya, kepadatan lalu lintas mulai bertambah seiring waktu mendekati jam pulang kerja. Mika melangkah membawa kawat yang dibelinya dari Toserba yang tak begitu jauh dari situ sebagai bahan projek biologi. Diantara daun yang berguguran, Mika bertemu dengan salah satu teman sekelompoknya yang bernama Naya.

“Assalamualaikum Mikaa, udah bawa jatah bahan belum?”
“Walaikumusalam, ya… sudah…” sambil menunjukkan kantung plastik yang berisi kawat dan lem yang dibawanya.

Mereka berdua lalu pergi bersama menuju rumah salah satu teman sekelompoknya yang lain sebagain tempat berkumpul.
Udara mulai kembali segar dan keramaian mulai berkurang dengan memasuki kawasan kompleks perumahan, cahaya matahari mulai terhalang dengan rimbunnya pohon di jalan-jalan perkomplekan, terlihat anak berlari-lari kesana kemari bermain bentengan di jalan utama komplek, setelah sekian lama berjalan Mika dan Naya sampai ditempat tujuan. Terlihat rumah yang rimbun tertutupi sulur tanaman merambat dan pohon besar. Naya tampak kebingungan mencari tombol bel yang membaur dengan sulur tanaman di dinding pagar. Naya mulai menyalakan ponselnya mencoba menelepon teman kami, Ahmad yang tinggal di rumah tersebut.

Tak lama kemudian, Ahmad datang membukakan pintu,
“Assalamualaikum.” salam Naya dan Mika.
“Wa’alaikumussalam, mat datang Mika, Naya ayo masuk, yang lain sudah menunggu.” Jawab Ahmad.

Di pintu masuk, dua anak tersebut disambut oleh ibu dari Ahmad lalu kami menyaliminya. Kemudian, kami naik ke lantai atas dan berkumpul di balkon atas rumah Ahmad. Angin berhembus bukan dari luar melainkan dari kipas angin yang dipasang di samping salah satu anggota kelompok yang lainnya yang bernama Aiman. Di sudut lainnya terlihat salah satu anggota lainnya bernama Farah yang sedang menyiapkan alat untuk mendokumentasi projek sebagai bukti pekerjaan kepada pak Eka.

Sekelompok anak tersebut lalu memulai tugas projek biologinya, tak lama kemudian muncul sahutan dari lantai bawah.
“Ahmaaad.” Panggil ibunya Ahmad.
“Segera bu! maap nih guys, mas ama mba lanjutin dulu ya, sebentar dipanggil emak ke bawah.” Jawab dan izin Ahmad.
“Sip, slow mad” jawab Aiman.

Keempat anak mulai melanjutkan projek rekaman, tetapi tidak untuk Mika, yang sedang menunggu giliran direkam sambil memperhatikan tingkah laku ibunya Ahmad yang terlihat di carport lantai bawah rumah lantas berimajinasi jika memiliki ibu seperti ibunya Ahmad.

Selesai sudah tugas, angin malam mulai menusuk, adzan mulai berkumandang menandakan waktu masuknya Isya. Mika pulang bersama dengan Aiman bersangkutan dengan searahnya jalan pulang dengan rute M24 mikrolet jaya.
Monoton suasana dan lamanya perjalanan karena sering ngetem di jalan mendorong pemuda tersebut untuk mengobrol dengan pemudi yang satu perahu dengannya.

“Weh, Mika murung aja dari tadi.”
“…”
“Ayolah, mangecek sedikit.”
“…”
“Eh nanti kan ada bulan bahasa itu, udah ada rencana mau ikut apa ga Mika?”
“… sepertinya tidak, saya tidak berminat…”
“ooh okelah maap, gak jelas gua ahaha”

Aiman mencoba mengalihkan topik yang lain, kemudian Aiman melihat strap tali gantungan di tas yang Mika bawa.
“Wah, strap itu dapet darimana kau? rancak sekali” Tanya Aiman.
“Mmm… itu dari ibu saya…” Mika mulai berbicara.
“Wah, pasti ibu kau sangat sayang ke Mika”
“Siapa bilang.”
Pemuda tersebut lalu bingung dengan perkataan Mika.
“Jangan gitulah ka, jangan suudzon gitu lah, ibu kau pasti menyayangimu, mana ada ibu yang tidak sayang kepada anaknya.”
Mika lalu mengalihkan pandangan ke arah lain seraya tidak menerima apa kata per kata yang disampaikan Aiman, suasana ramai pun terbelah menjadi sunyi yang dihiasi oleh suara getaran mesin mikrolet.

Tak lama kemudian, Mika turun duluan dari Aiman, membayar supir tanpa meminta kembaliannya kembali kemudian berlari menuju tempat kosannya dimana ia tinggal sekarang, mengunci dirinya dan duduk di tengah ruangan sembari merenungkan apa yang dikatakan Aiman, kejadian hari ini, dan emosi mewarnai malam harinya.

Angin malam berhembus di tengah keramaian disalah satu sudut kota, daerah tersebut selalu ramai dikunjungi berhubung dengan banyak pedagang spare part komputer dan Warnet; warung dan Alfa/Indomart bertebaran di daerah tersebut terutama pada malam minggu belum lagi dengan dekatnya salah satu universitas yang berdiri dekat pusat keramaian juga turut meramaikan sudut kota yang bernama Jalan Syahan tersebut. Malam sabtu, Mika hendak bekerja sebagaimana biasanya menjaga tempat bar billiard yang dipercayakan oleh salah satu kenalannya.

Saat hendak bekerja, salah satu temannya Naya yang sedang berkunjung ke Jalan Syahan untuk berbelanja alat tulis kebetulan melihat Mika dan karena penasaran dengan melihat tingkah laku Mika yang berlawanan dengan sifatnya yang selalu pulang lebih dulu saat sekolah, Naya mencoba mengikuti kemana Mika pergi.

Mika lalu berbelok memasuki gedung dimana tempat Mika hendak bekerja, Naya menggeleng kepala kebingungan dan penasaran dengan alasan Mika masuk ke dalam tempat dimana notabenenya hanya bapak-bapak kantoran, dan mahasiswa yang boleh masuk. Kurang lebih lima menit berdiri, Naya melihat salah satu guru olahraganya, pak Jarwo memasuki tempat tersebut. Terjadi bentrokan yang cukup membingungkan tejadi di kepala Naya dan mengambil kesimpulan tanpa mengetahui isi tempat yang bernama 6-pool tersebut.

Di hari senin yang cerah, Naya mendiskusikan hal ini ke Farah, Ahmad dan Aiman; menjadikan mereka penasaran dengan hal itu. Tanpa menunggu, Farah mencoba melakukan testimoni langsung ke subjek.
“Siang Mika!” sapa Farah
“Ya, ada apa rah?” jawab Mika dengan lemas
“ah enggak apa-apa kok, eh pernah dengar tentang 6-pool nggak?”
Mika terkejut dengan pertanyaan Farah, lalu mencoba sebaik mungkin menutupinya
“Aaa… aaa.. ngg… nggak, tempat di mana itu… memang mengapa rah?”
“Oooh, enggak kok, cuma nanya, Jaa nee~”
Farah kembali menghadap ke Naya, Naya langsung mengacungkan jempol, sisanya yang laki-laki hanya menggelengkan kepala dan facepalm.
“Wah, positif nih” komentar Farah.

Malam sabtunya, keempat orang penasaran ini mulai mencoba membuktikan hal tersebut dengan mencoba kembali membuntuti Mika. Tak berapa lama, Mika muncul berjalan dengan tenang, keempat orang ini mencoba mengikutinya, merasa diikuti, Mika sempat menoleh merasakan hal yang ganjil menghadapkan pandangannya salah satu tempat dimana temannya mencoba membaur dengan lingkungan.
“Hadeh, gawat ini ketauan” teriak Naya dalam hati.
Mika mulai mendekat ke arah Naya, tetapi lalu mulai mengarahkan pandangannya ke bawah, dilihatnya kucing kecil lalu mengangkatnya, Mika membantu kucing kecil tersebut keluar dari kerumunan orang lalu lalang. Naya menarik nafas lega. Mereka tetap membuntuti Mika hingga tempat yang dituju. Mika lalu memasuki gedung tersebut.
“Nah, bagaimana benerkan ada yang aneh di sini” kata Naya.
“Walaupun begitu kita harus konfirmasi lebih lanjut” jawab Farah
“Etdah tunggu dulu Far, tunggu dulu” ketiga orang lainnya mencoba menghentikan Farah masuk ke dalam.
Farah tanpa segan memasuki bar tersebut diikuti ketiga temannya di belakang
“Selamat da…” Mika menyambut lalu terkejut.
“Nah loh Mika, apa yang kau lakukan di sini?!” tanya Farah.
“ngg… siapa Mika? Maaf kaum minoritas tidak boleh masuk dek farah.” jawab Mika mencoba tenang dan menyangkal pertanyaan Farah.
“Kalau begitu, sejak kapan kau tahu nama saya padahal saya tidak mengenakan seragam saya hah?” Farah mencoba melawan argumen Mika.
“…”
Sesaat kemudian, pak Jarwo dan temannya datang dan terkejut melihat murid-muridnya di pintu masuk,
“walah, tumben ini ada anak-anak mau main biliar juga nih? Eh kenalin itu mba Misa, mirip banget ya ama temen sekelas kamu pada kan?” kata pak Jarwo.
Keempat murid terbengong melihat tingkah laku pak Jarwo, mengubah suasana mencekam menjadi lawakan. Mika hanya bisa sedikit meringis, sementara manajer bar yang sedang melihat dari ruang kerjanya tertawa.

Jam istirahat adalah jam ramai kantin dimana para siswa siswi membeli makanan mengisi energinya kembali sembari mengobrol dengan temannya, melepaskan penatnya belajar, mengurangi stress. Tetapi, tidak bagi Mika yang dipanggil ke ruang BK. Di depannya duduk dua orang dewasa: guru wali kelas, dan guru BK mempertanyakan tentang testimoni pak Jarwo mengenai kebiasaan Mika.
“Jadi, apa yang sebenarnya kamu lakukan pada setiap malam sabtu nak?”
“Saya bekerja bu.”
“Mengapa bekerja, apakah bahkan nenekmu mengetahui hal ini?”
“…”
“Ayolah jawab, kami tidak akan tahu jika kau hanya membisu, kamu juga akhir-akhir ini nilainya hanya semakin menurun seiring waktu.” Gertak wali kelas.
“Hush-hush, biarkanlah pak, jangan buat anaknya tertekan” tegur guru BK.

Suasana makin menegang, membuat Mika kesulitan dalam menjawab pertanyaan. Walaupun begitu, Mika akhirnya memilih untuk menjelaskan kebenaran yang sedang terjadi di sekelilingnya. Mendengar hal ini, guru BKnya memberikan suatu solusi. Salah satu kerabatnya yang berkeluarga yang membuka usaha kuliner tak jauh dari sekolah ingin mengadopsi anak berhubung keluarga tersebut mandul. Mika diberi kesempatan dengan diberinya naungan dari kerabat guru BK tersebut.
Mika lalu menyetujui hal tersebut dan berpindah tempat dari kosan lama tempat ia tinggal sebelumnya. Mika juga keluar dari pekerjaannya sebagai penjaga biliar dan ikut membantu orangtua tirinya dalam menjalani restoran sepulang sekolah.

Malam minggu dimana Mika mengatur letak barang-barang bawaannya di kamar barunya dikeluarga barunya, Mika menemukan safebox yang telah lama ia lupakan tersimpan dibawah lemari kosannya, Mika tahu kalau barang tersebut ia temukan saat dia terpaksa pindah ke kosan tetapi masih belum menemukan cara membuka safebox tersebut, terdapat enam kode digit untuk membukanya. Tak kunjung tahu, Mika hanya menyimpannya sebagai salah satu memento dari orangtuanya selain strap gantungan yang Mika pakai untuk tas sekolahnya.

Kehidupan Mika di keluarga barunya berlangsung sangat baik, nilai sekolah Mika kembali naik. Mika juga kembali ceria di sekolahnya.

Tepat pada suatu malam makan malam yang sunyi, tepat saat Mika membereskan cucian saat jam tutup rumah makan, ibu angkatnya menanyakan beberapa hal.
“Bagaimana menurutmu tinggal bersama kami nak?”
“Sangat menyenangkan.”
“Senang mendengarnya, walaupun begitu, pasti masih kalah asik dengan bapak ibumu ya kan?
“… tidak, saya lebih senang di sini”
“Ayolah, nak mana mungkin orangtua kandungmu tidak lebih baik dari ini? Ah ya sebelumnnya saat mencuci tasmu saya coba menyelamatkan gantungan ini, takut rusak kerendem.”
Secara sekilas Mika tersadari dengan keberadaan enam nomor yang berada di strap gantungan tasnya. Mika langsung mengambil gantungan tersebut.
“woah, mau ke mana nak?”
“Sebentar bu, nanti saya kembali.”

Mika berlari menuju kamarnya, kegaduhan hentakan kakinya cukup membuat bapak tirinya bangun dari kursinya heran melihat tingkah Mika. Mika lalu menyadari bahwa kode yang selama ini terpahat di tali gantungan tasnya merupakan kode tanggal lahirnya selama ini, dan mencoba menggunakannya untuk membuka safebox peninggalan kedua orangtuanya.
X92041 – Mika mencoba memasukkan kode tersebut. Suara lentikkan putaran kode turut menegangkan suasana hati Mika. Tetapi Mika gagal membukanya, ia tetap tak dapat membuka safebox tersebut karena salah kode. Hilang sudah harapan Mika tentang isi safebox tersebut…

Tetapi Mika tidaklah mudah menyerah begitu saja, mencoba memutar balikkan kode tanggal lahirnya tersebut, muncul suara decitan sendi safebox yang menandakan telah dapat dibuka safebox tersebut.
Di dalamnya tak lain hanyalah sebuah perangko dan Flash Disk.
Mika lalu bermaksud meminjam komputer kasir untuk melihat isi dari Flash Disk tersebut. Isinya adalah ratusan surat dalam bentuk .docx dan tipe 97-2003 sekalipun mengenai perasaan kedua orangtuanya Mika selama mengasuh Mika, bahkan sejak bayi sekalipun. Mika tidak dapat memberhentikan air matanya, dunia seperti tersentak berhenti sejenak.

Setelah itu Mika membaca pesan terakhir dari dokumen tersebut.
“Berikut terdapat perangko di dalam kotak. mudah-mudahan dapat dipergunakan sebaiknya untuk keperluan kuliah anak kita nanti ya”
Kurang mengerti maksud dengan perangko bergambar Raja Willem III, Mika lalu hendak mencari tentang perangko tersebut di gugel.
Suara tangisan memecah sunyi malam, Mika hanya menangis dalam malunya karena selalu beranggapan buruk terhadap orangtua kandungnya yang senantiasa bekerja keras setiap malam, di pangkuan orangtua tirinya dimana Mika hanya bisa berpeluh sekarang, kedua orangtua tirinya hanya bisa tersenyum.
“Benar kan nak, keluargamu sangatlah istimewa, janganlah engkau mengecewakan hasil jerih payah mereka berdua” kata ibu tiri.
“Saya berjanji, saya akan memanfaatkan sebaik-baiknya demi membahagiakan ibu dari alam barzakh” sambil mengusap air mata.

Selesai

Cerpen Karangan: Anggito Zhafranny
Penulis noob asal Jakarta yang sedang belajar menulis cerita.

Cerpen Lika Liku Mika merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


After Five Last Year

Oleh:
“Dia satu sekolah sama gue lho Rel”, ucap Adel saat kami bertemu di acara reuni SD, yup! Adel adalah sahabatku sejak kami duduk di kelas satu SD, hm… entah

Pelangi Biru

Oleh:
“Pelangi.. katanya ada murid baru lho” “Emang apa urusannya sama aku?” “Katanya dia ganteng, kaya, pokoknya kece abis” Dita mulai lebay. “Terus apa urusannya?” Pelangi mengulang pertanyaannya. “Aduhh!! astaga

The Quirky Life Of Beang

Oleh:
Namaku Beang. Tadinya aku suka namaku. Lalu secara kebetulan kemarin aku nonton sebuah anime. Di dalamnya ada karakter Lalat bermuka penguin yang suka makan kotoran. Mungkin karenanya akhir-akhir ini

The Love Interest

Oleh:
Angin berhembus lembut menerbangkan dedaunan kering dari rantingnya, jatuh dan menari sampai akhirnya hinggap di sebuah buku yang sedang dibaca oleh seorang cowok. Sendari tadi dia terus menatap serius

Misteri Sebuah Peti

Oleh:
Malam telah semakin larut, Hendra belum bisa tidur. Di dalam kamar kost, hanya ada dia dan dua temannya. Bayu dan Davis. “Dra, ayo tidur. Udah larut malam ini.” ajak

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *