Mama Untuk Pras

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 22 November 2013

Papa ingin menikah lagi. Om Dhana, adik kandung papa baru saja menyodorkan sederet foto teman-temannya, calon kandidat mama baru kami. Ini gawat! Bisa kiamat jadinya rumah ini. Aku berjalan mondar-mandir di lantai kamarku kebingungan. Tak tahu harus berbuat apa. Adikku yang baru duduk di bangku kelas 5 SD, Prasetyo, duduk di atas tempat tidurku sambil keheranan, “Kan bagus Mbak, kalau Papa menikah lagi. Papa nggak akan kesepian, lagipula kita juga enak karena ada yang gantiin Mama.” Aku melotot medengar ucapan polos Pras.
“Heh!” Bentakku galak, “Emangnya lo kira ada berapa ibu tiri di dunia ini yang baik?” Tanyaku kasar. Aku lalu duduk kelelahan di kasurku karena sudah setengah jam-an mondar-mandir nggak jelas. Kuraih berbagai jenis camilan dalam stoples yang berjejer di meja belajarku dan mulai memakannya dengan rakus. Aku nggak lapar, apalagi doyan. Tapi memang itulah caraku melampiaskan kekesalan hati.

“Lo tau nggak, barusan ada berita di TV, seorang anak dipukuli ibu tirinya sampai masuk rumah sakit!” Kataku dengan mulut penuh. Aku memang sedang berusaha mencuci otak Pras supaya ia sehati denganku. Tapi rupanya bocah 10 tahun itu lebih dewasa dibanding aku yang sudah 16 tahun.
“Tapi Mbak, orang yang dipilih Papa untuk gantiin mama itu pasti orang baik,” Kata Pras lagi.
“Dari mana lo tau? Emangnya lo udah kenal?” Sergahku masih kesal.
“Pras pernah dengar ustad di TV bilang, orang baik akan berjodoh dengan orang baik juga. Papa kan orang baik Mbak, jadi nggak mungkin Papa milih ibu tiri yang jahat buat kita. Lagipula Pras kesepian Mbak sejak nggak ada Mama. Nggak ada yang bacain dongeng lagi.” Hmmmpf… Aku langsung diam sambil menelan semua omongan Pras beserta cemilan di mulutku. Iya sih, Pras bener, tapi kan…?! Seandainya saja Mama nggak meninggal 2 tahun lalu… seandainya saja Mama nggak sakit kanker… Ah. Aku lelah berandai-andai. Semuanya sudah terjadi. Mama nggak mungkin hidup lagi. Dan Papa tentu butuh pendamping hidup. Tapi tetap saja aku masih sulit menerima kehadiran seorang Ibu tiri. Bagaimana kalau ibu tiri itu kejam? Suka menyiksa? Pasti Pras yang masih kecil itu akan jadi sasaran empuknya. Hidupku dan Pras pasti merana…

Malam ini mataku benar-benar tak bisa terpejam. Tanganku mendekap erat foto Mama yang cantik dalam balutan jilbab pink sedang tersenyum. Air mataku menetes-netes. Teringat ucapan Mama sesaat sebelum meninggalkan kami.
“Kamu harus rajin sholat sama ngaji ya Nak, ajari Pras sholat dan ngaji juga. Kamu anak yang paling tua. Kamu harus jagain Papa sama Pras.” Ah Mama, Seandainya Mama tahu aku sangat merindukan Mama..

Pulang sekolah. Tapi aku enggan pulang. Aku ingin curhat tapi bingung dengan siapa. Kalau curhat sama Dira atau Sarah, paling-paling pikiran mereka tak jauh beda dengan pikiranku sebelumnya. Dan satu nama muncul di kepalaku. Kenapa aku nggak coba curhat sama Bu Laras? Guru sejarahku itu sangat sabar dan bijaksana. Beliaulah yang sering menjadi tempat curhat teman-temanku.

Langkah kakiku agak berat. Jantungku berdegup kencang. Bu Laras ada di ruang guru sedang mencatat sesuatu. Hanya tinggal 3 orang guru yang masih ada di sana.
“Permisi Bu,” Sapaku sambil mencium punggung tangannya. Bu Laras tersenyum menyambutku, “Ada apa Rani?”
“Ehm… Ibu lagi sibuk nggak?”
“Nggak. Ibu malah sudah mau pulang. Kenapa memangnya?” Tanya Bu Laras lembut.
“Ee.. saya mau curhat Bu,” Kataku jujur. Bu Laras mengangguk mengerti dan segera mengajakku ke ruang kelas yang sudah kosong supaya aku leluasa menceritakan masalahku.

Akhirnya, semuanya kutumpahkan. Segala uneg-uneg yang menggunung lengkap dengan lelehan air mata. Tentang Mama yang sudah meninggal 2 tahun lalu, hingga Papa yang ingin menikah lagi. Kuceritakan pula rasa takutku memiliki Ibu tiri. Takut ditelantarkan, takut dianiaya.

Bu Laras memelukku erat dengan haru. Saat itu pula aku seperti merasakan itu adalah pelukan Mama. Bukan pelukan Bu laras. Aku membalas memeluknya erat. Air mataku membasahi jilbanya. Aku kangen pelukan Mama.. Aku kangen senyuman Mama.
“Rani, Ibu mengerti perasaan kamu. Nggak mudah untuk menerima kehadiran ibu tiri. Tapi tidak semua ibu tiri itu seperti yang ada dalam bayangan kamu.” Bu Laras berkata menyejukkan tanpa melepas pelukannya.
“Papa Rani pasti adalah orang yang baik. Tentu orang yang akan dipilihnya untuk menggantikan Mama adalah orang yang nggak kalah baiknya dari Mama kamu.” Aku mengangguk. Ini seperti ucapan Pras.
“Sudah 2 tahun lebih kan Mama meninggal? Artinya sudah 2 tahun lebih juga Papa kesepian, tidak ada yang mengurusi. Rani sudah hampir dewasa. Tapi Pras, umurnya baru 10 tahun, Pras butuh sosok seorang Ibu, Ran. Ketika Mama meninggal, usia Rani 14 tahun. Tapi Pras baru berusia 8 tahun. Pasti berat untuk anak sekecil itu harus kehilangan ibu.” Air mataku berjatuhan lagi. Tapi aku bisa menerima penjelasan Bu Laras.
“Karena itu, kehadiran Mama baru pasti akan sangat dibutuhkan Pras. Papa juga butuh pendamping hidup setelah lama sendiri. Rani berdoa saja sama Allah, semoga Allah mempertemukan Papa dengan pendamping hidup yang baik seperti Mama Rani sama Pras.”

Aku mengerti. Aku tidak boleh egois. Aku harus memikirkan Papa dan Pras juga. Langkah kakiku mulai ringan saat aku berjalan menuju rumah. Ketika sampai di rumah, Adikku Pras langsung menghampiriku, “Mbak Rani, sini temenin Pras makan!” Aku tersenyum dan segera mengikuti langkahnya. Adikku yang manis dan pintar. Ia lebih dewasa dari aku. Baru kusadari bila ia adalah harta yang paling berharga untukku selain Papa. Aku rela punya ibu tiri, asal Papa dan Pras bahagia.

10 bulan kemudian…
Kami berempat makan malam bersama di meja makan. Papa dan Pras asyik bercanda. Sedangkan Mama dan aku juga asyik bercerita sendiri. Suasana sangat hangat. Sebulan sudah Papa menikah dengan Mama baru kami. Ia sama sekali berbeda dengan ibu tiri dalam bayanganku. Terbukti kehidupan kami yang jauh lebih bahagia dibanding saat Papa masih sendiri. Mama baruku sangat menyayangi aku dan Pras. Yah, tentu saja, Bu Laras adalah orang yang sangat pantas menggantikan Mama. Sayangnya saja aku baru tahu kalau ia masih lajang tak lama setelah aku curhat dengannya 10 bulan lalu. Jadi aku terlambat menjodohkan Bu Laras dengan Papa. Ah, seandainya saja aku tahu dari dulu, Papa sama Pras kan nggak usah lama-lama kesepian! Haha, lagi-lagi aku berandai-andai.

Cerpen Karangan: Dayu Swasti Kharisma
Facebook: Dayu Swasti Kharisma

ADVERTISEMENT

Cerpen Mama Untuk Pras merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Harapan Untuk Ibu

Oleh:
Fyuh! Nilai, nilai, nilai. Kenapa kau terus membuatku dimarahi orangtuaku? Hasil ulangan MTK-ku yang di bawah 6 membuatku tidak diberi uang saku selama 3 hari. Sudah biasa sebenarnya, tapi

25 November

Oleh:
Sore ini kembali aku rasakan sakitnya. Lukanya terlalu dalam. Malam nanti, bersama gerimis aku akan pergi tinggalkan kota ini. Terlalu banyak kenangan di sini. Aku rapuh jika tak segera

Uang Banyak Hati Kenyang

Oleh:
Bintang begitu indah di dalam bentangan langit malam. Kemerlap dalam ribuan lampu kota. Ramainya jalanan membuat sesak dalam dada meskipun, deru AC mobil mendominasi. “Arus mudik!,” gumam Riska. “Ya..

Alone

Oleh:
Selama dalam perjalanan, kejadian tadi selalu terulang dalam pikiranku. Entah apa yang aku mimpikan tadi malam sehingga ini harus terjadi padaku. Perasaan bersalah selalu bernaung dan menghantuiku. Untuk yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *