Pelangi di Langit Magenta

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 25 July 2014

Salahkah jika pelangi mencintai magenta?!

Hari ini langit sore masih tetap sama seperti hari kemaren. Senyumnya masih tampak, menyambut insan-insan yang telah letih dan gusar menghabiskan waktu bersama siang. Ingin ku uraikan kisah demi kisah yang terabadikan menjadi puzzle-puzzle kehidupan yang berserakkan. Waktu yang telah usai itu, ingin ku rangkai kembali menjadi sekotak masa penuh cinta. Tatkala itu, ketika takdir mempertemukan pelangi dan magenta di hamparan langit senja.

– Sore hari ini, Taman Grevida
Sejak dulu aku terbiasa menghabiskan waktu soreku dengan langit magenta yang indah. Aku yakin tak hanya aku. Seseorang di seberang sana pasti juga sedang menyaksikan pertunjukan magenta. Seseorang, siapapun itu.
“Atha..” suara itu membuatku merasakan sesuatu yang aneh. Aku menoleh dan memperhatikan wajahnya yang sedang tersenyum. Senyum itu… Ahh, kubiarkan senyum itu masuk ke hatiku. Suatu hari, entah pada masa yang mana aku pasti akan teringat senyum itu lagi.
“Aggie.” aku membalas perkenalannya.
“Suka magenta juga?” dia menengadahkan kepalanya menghadap langit.
“Hmm.. ya. Kamu juga suka?”
“Tentu saja. Magenta itu bagaikan sekumpulan malaikat yang sedang mengepakkan sayapnya. Terkadang aku menantikannya dan berharap pelangi akan ikut serta bersamanya” itulah asumsinya tentang magenta.
“Kamu pendatang baru? Aku tidak pernah melihatmu,” Aku dengan mudahnya membuka pembicaraan.
“Ya, aku baru kembali dari Paris.” Jawabnya datar. Sepertinya memang begitu. Tubuhnya jangkung, matanya yang kebiruan tampak kontras dengan kulitnya yang putih dan rambut kecoklatan. Namun, bingkai wajahnya mirip orang Indonesia kebanyakan. Walaupun dia berbicara dalam Bahasa Indonesia, logat Perancisnya masih terdengar kental. Mungkin dia adalah darah blasteran -perpaduan Perancis dan Indonesia-

Aku terdiam sejenak. Aku pun ingat bahwa kota cinta itu pernah menjadi bagian dalam hidupku. Di kota teromantis di seluruh dunia, aku menemukan mimpi burukku. Itu Dulu.
“Kamu pernah ke Paris? Sekarang di sana sedang musim dingin.” katanya, seolah baru saja menyapu habis isi pikiranku. Aku mengangkat bahu dengan cuek.
“Rumahmu di sekitar sini?” tanyanya.
“Ya, setiap sore aku selalu kesini.”
“Mulai besok kamu akan bertemu denganku di sini. Kita lihat magenta sama-sama.”
Sore yang indah di sebuah taman bernama Grevida.

– Sore di Café La Vouza
Alunan musik terdengar sayup-sayup. Aku melangkah memasuki café yang lumayan sepi. Aku memilih duduk di bagian sudut, ditemani secangkir Chocolate Cetroccino Latte. Pandanganku menembus kaca-kaca café yang transparan. Tatapanku tak lepas dari jalanan yang saat ini terlihat basah. Hujan berkoloni menyapu debu-debu yang menempel disana. Inilah kebiasaan kedua yang aku lakukan untuk menghabiskan sisa sore apabila cuaca sedang tidak bersahabat. Ahh, kalau sudah begini pasti aku tidak akan bisa menikmati magenta, karena magenta akan ditutupi oleh awan hitam yang suram. Tetapi, ini bukan berarti aku membenci hujan. Aku juga menyukai hujan, karena hujan adalah alat transportasi pelangi. Dan satu hal yang dari dulu selalu menjadi harapanku adalah, agar pelangi bisa berjumpa dengan magenta untuk yang kedua kalinya. Ya, aku pernah melihat pelangi dan magenta bergandengan tangan. Sore ketika itu aku sangat senang dan berharap suatu hari nanti bisa menyaksikannya lagi. Sepertinya ada orang yang juga punya harapan sama denganku. Aku jadi teringat pada…
“Atha?” sosok itu muncul tiba-tiba di hadapanku. Teman sore hariku selama beberapa bulan ini.
“Hai Agie..” sapaannya terdengar ramah di telingaku, kemudian dia meraih kursi dan duduk di hadapanku. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Café sudah tampak ramai. Di luar pun sudah mulai gelap. -Astaga- sudah berapa lama aku melamun?
“Hai, sudah lama?” aku merapatkan sweater-ku.
“Lumayan. Bahkan aku sudah menyelesaikan satu lukisan.” dia tertawa ringan sembari memperlihatkan lukisannya padaku. –Ya Tuhan- aku hanya melongo. Objek lukisan itu adalah aku. Seorang gadis yang tengah melamun dengan tangan kiri ditopangkan pada dagu, dan tangan kanan memegang sebuah cangkir minuman. Lukisan yang sangat bagus, tentu saja bukan karena aku sebagai model lukisannya. Tetapi karena orang yang melukisnya sangat pandai memainkan pensil di atas kertas putih ini.
“Bagus.. sangat bagus.” pujian itu keluar saja dari mulutku tanpa mau ditahan.
“Thanks. Orang pertama yang memuji lukisanku,” Apa? Benarkah? Dia tidak sedang bercanda kan? Sangat tidak mungkin aku menjadi orang pertama yang mengagumi hasil karyanya.
“Oh, kamu berbohong.” Aku membulatkan mata.
“Tentu saja itu benar.”
“Sudahlah, aku percaya padamu.” Aku tak mau berdebat dengannya hanya karena sesuatu yang sepele.
Kami sama-sama terdiam. Kenapa? Kenapa lelaki bernama Atha ini selalu saja membuatku ingat pada kenanganku di kota Paris yang jauh disana? Atha dan lukisannya. Itu mengingatkanku pada dua orang lelaki dari masa lalu yang sangat aku sayangi. Namun, salah satu dari mereka telah terpisah dari kehidupanku, dulu dia pernah berjanji akan menjadikanku sebagai model lukisannya. Janji itu hilang, dan cerita tentang lukisan pun ikut musnah. Kini, Atha menumbuhkan kembali kenangan yang sengaja aku buang itu.
“Aku pulang dulu.. Ayahku sudah menunggu.” aku memecah suasana yang kaku ini. Mataku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, pukul setengah delapan malam.
“Ibumu tidak menunggu?” mata birunya menatapku penuh selidik.
“Tidak ada yang pernah mau tau dengan kehidupanku selama ini. Cuma kamu yang bertanya begitu. Ya, aku tinggal berdua dengan Ayah di Apartemen kami”
“Itu kejutan untukku. Selama berteman denganmu aku hanya tau namamu. Itu saja. Boleh aku tau yang lain?”
“Tentang apa?”
“Tentang kehidupanmu.. Kalau kamu tidak keberatan menceritakannya padaku.”
“Untuk apa kamu tau?”
“Tidak ada salahnya kan seorang teman bertanya begitu?” dia mengedipkan sebelah matanya.
“Baiklah.. baiklah. Aku tinggal berdua dengan Ayah sejak kecil. Aku adalah anak adopsinya. Dulu, sebelum di sini kami pernah tinggal di Paris”
“Kamu masih beruntung punya seorang Ayah walaupun dia Ayah adopsimu. Ngomong-ngomong kamu ternyata memang pernah ke Paris. Aku pikir waktu itu tebakanku salah.” Entah kenapa aku melihat sinar lain di matanya.
“Hmm, ya. Sekarang giliranmu. Ceritakan padaku kenapa kamu pindah ke sini?”
“Aku ke sini mencari sebagian hatiku yang hilang. Setiap hari dalam hidupku selama sepuluh tahun terakhir, aku selalu saja merasa ada yang kurang dari hidupku. Di Paris aku tinggal berdua dengan Ibuku, dan di sini aku menyewa sebuah Apartemen.”
“Apakah kamu mencari kekasihmu? Lalu bagaimana dengan Ayahmu?”
“Bukan. Aku tidak mencari kekasihku. Nanti akan kuceritakan padamu, tapi tidak sekarang. Ayah? Sampai sekarang di usiaku delapan belas tahun aku tak pernah tau siapa Ayahku.” dia tersenyum, namun senyum itu hambar.
“Baiklah, nanti aku akan menagih ceritamu” candaku.
“Ya, itu janjiku. Kamu tidak pulang? Kamu bilang Ayahmu telah menunggu.”
“Oh dear, aku melupakan janji makan malam dengan Ayah. Ayah pasti sudah menunggu. Baiklah, aku pulang dulu. Lain kali aku akan mampir ke Apartemenmu. Sampai jumpa.” Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan tergesa menuju pintu keluar.

– Sore di Apartemen 202
Sudah seminggu aku tidak melihat Atha mengunjungi taman Grevida. Setiap sore aku menunggunya, namun dia tak pernah datang lagi. Aku tidak tau, kenapa aku begitu merindukannya. Orang yang tidak kukenal dengan dekat ini sanggup menyita waktuku untuk terus menerus memikirkannya. Aku rasa aku telah jatuh cinta padanya. Mungkin hanya itu yang bisa kusimpulkan untuk mengartikan perasaanku sekarang ini.
Aku tidak tau apa yang harus kulakukan untuk menemukannya, aku tidak tau alamat e-mail atau nomor ponselnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi Apartemennya. Bodohnya, aku tidak tau nama lengkap dan nomor kamarnya. Beruntung, seorang nenek yang ramah menolongku. Dia mengantar ku ke kamar Atha, kamar 202.
“Dia sudah kembali ke kotanya.” Nenek itu duduk di atas sofa dan mulai bercerita. Aku hanya diam mendengarkan nenek itu melanjutkan ceritanya.
“Dia berpesan, kalau ada seorang gadis manis berambut sebahu dengan mata hitam mencarinya, beritahu gadis itu kamarnya dan perihal kepergiannya.” Nenek itu bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke luar kamar dan menutup pintu.
Aku menemukan secarik kertas di atas tempat tidur Atha, merasa penasaran aku membacanya.
Aku tidak tau, apakah kamu akan membacanya atau tidak. Tapi, semoga saja kamu membacanya ya? Aku minta maaf, tidak berpamitan langsung padamu. Ini sedikit mendadak. Ibuku masuk Rumah Sakit dan aku harus segera menemaninya, karena Ibu hanya punya aku -anak laki-lakinya- untuk menjaganya. Kamu ingat, janjiku padamu? Aku berjanji satu cerita padamu. Aku akan menceritakannya. Aku kesini untuk melihat Ayah dan Adik perempuanku. Aku kehilangan mereka ketika usiaku enam tahun, dan adikku berusia lima tahun. Itu sudah lama sekali. Tapi kenangan itu tak bisa kulupakan sampai hari ini. Mereka selalu saja menjadi bayangan dan menjadi luka dalam hatiku. Ibu bilang, aku bisa menemukan mereka di daerah ini. Ibu memberitahuku sebuah nama tempat, sebuah taman dan sebuah café. Ibu bilang, aku akan menemukan apa yang aku cari di sana. Tentu saja pada waktu pergantian siang dan malam, langit magenta. Dan aku menemukanmu di kedua tempat itu. Aku senang, aku menemukan sebagian hatiku yang hilang. Itu adalah dirimu, adikku Pelangi. Sudahlah, tanya saja pada Ayah. Selama di sini aku selalu bertemu dengan Ayah dan aku meminta pertemuan kami dirahasiakan darimu. Maaf Aggie, bukan karena apa-apa. Aku hanya tak ingin Pelangi-ku bersedih. Aku tau kamu berusaha melupakan aku dan cerita masa kecil kita. Kamu tak pernah menyinggung namaku ketika aku bertanya tentang kehidupanmu di café waktu itu. Datanglah ke Paris jika ada waktu luang. Aku akan menunggu. Je t’aime Pelangi. Aku tidak berdosa kan?
-Magenta-

Aku terduduk lemas dengan bola-bola bening membasahi kedua pipiku. Tidak kak, kamu tidak berdosa. Kenapa aku tak pernah menyadarinya? Atha adalah kak Genta. Pahlawanku, pahlawan pelangi. Pangeran kebanggaanku semasa kecil dulu. Inikah yang disebut takdir? Inikah rahasia Tuhan? Aku menelusuri sebuah kenangan yang sengaja aku isolasi di ruangan terjauh dalam hatiku. Aku kembali mengingat waktu yang sudah berlalu sangat lama itu. Tapi kali ini tidak dengan tangisan.

– Sore Perpisahan Pelangi dan Magenta
Kota Paris sedang memasuki musim gugur. Dedaunan yang mengantung di pohon-pohon tampak berjatuhan. Dari siang tadi hujan tak berhenti turun. Aku dan Kak Genta sedang bermain di Apartemen kami di Avenue Victor Hugo. Selama ini keadaan keluarga kami biasa-biasa saja. Tidak ada masalah serius yang pernah terjadi. Itu menurutku, tapi tidak dengan kedua orangtuaku. Aku tak pernah tau kalau ternyata keluargaku punya masalah yang rumit, Kak Genta juga tidak pernah tau tentang hal ini.

“Lihat langitnya. Ada pelangi yang muncul. Pelangi di Langit Magenta. Seperti kita.” Kak Genta berteriak padaku.
Aku hanya diam menyaksikannya. Untuk yang pertama kalinya aku melihat pertemuan langit magenta dan pelangi. Kak Genta langsung melukis fenomena alam itu.
“Kenapa selalu dilukis kak? Kakak maniak sekali.” Aku memprotes tingkah Kak Genta. Menjengkelkan sekali kalau dia sudah tenggelam dengan lukisannya. Dia tidak akan menghiraukan aku lagi. Menyebalkan.
“Kak, kenapa tidak menjawabku?” aku merebut pensil di tangannya.
“Hei, kembalikan. Aku kan sudah bilang, kalau aku melukis jangan diganggu.” Dia memelototiku.
“Kakak tidak pernah menjawab pertanyaanku.” Aku berkacak pinggang dan mengangkat dagu.
“Oh ayolah Pelangi. Aku melukis karena aku menyukainya. Sekarang kembalikan.” Kak Genta berusaha merebut pensil yang ada di tangan kiriku.
“Lukisanmu bagus kak” Aku memujinya.
“Ejek saja aku terus.” Kak Genta merendah.
“Aku tidak mengejekmu.”
“Oke oke. Pengagum pertama lukisan Magenta adalah Pelangi. Kembalikan pensilnya.”
“Nih, lain kali lukis aku juga ya?” Aku mengembalikan pensil lukisnya.
“Baiklah, Aku akan melukismu dengan tampang yang jelek.” Kak Genta tersenyum menggoda.
“Coba saja. Kakak pasti akan melukisku dalam pose yang paling menarik.” Aku tertawa dan bergaya ala Model terkenal.
“Hallo. Siapa yang mau ikut dengan Ayah?” Ayah muncul di antara perdebatan kami. Tampaknya Ayah sangat lelah sepulang bekerja. Namun, Ayah tetap tersenyum dan menyapa kami seolah-olah keletihannya telah hilang.
“Aku ikut.” Kami menjawab serempak.
“Bagaimana dengan Ibu? Ibu tidak pulang dengan Ayah?” Kak Genta celingak-celinguk mencari sosok Ibu.
“Hhmm, Ibu kalian sibuk. Kita akan pergi bertiga. Kita akan menyaksikan indahnya Paris di malam hari. Kita akan lihat indahnya kerlap-kerlip Menara Eiffel.” Ayah tampak semangat.

Kira-kira pukul Sembilan malam, lampu-lampu di Menara Eiffel dinyalakan. Kerlap-kerlipnya sangat indah. Aku dan Kak Genta berseru senang bersama dengan turis-turis lain dari berbagai belahan dunia. Pantas saja, Paris dinobatkan sebagai kota yang romantis.
Kami pulang setelah dua jam menghabiskan waktu berkeliling. Aku merebahkan tubuhku di atas sofa di depan televisi. Kak Genta menuju kamar mandi sedangkan Ayah berjalan menuju dapur untuk memasukkan makanan yang kami beli ke dalam lemari pendingin.

ADVERTISEMENT

Pintu Apartemen diketuk, sepertinya itu Ibu. Ya Tuhan, Ibu pulang dalam keadaan mabuk. Ibu meracau tidak jelas dan memaki Ayah. Kemudian mereka bertengkar. Saat itulah aku dan Kak Genta tau kalau hubungan orangtua kami sudah renggang sejak lama. Apa penyebabnya tentu saja aku tidak tau. Aku hanyalah anak kecil lima tahun yang tidak mengerti tentang apapun. Kemudian Ibu mengusir Ayah. Malam itu juga Ayah pergi dan membawaku bersamanya. Walaupun begitu, aku tetap menyayangi Ibu. Aku hanya membenci kenangan itu. Lalu aku dan Ayah pun memulai hidup baru kami.

Hari itu adalah sore terakhirku bersama Kak Genta. Tak ada lagi sore untuk esok hari. Aku dan Kak Genta terpisah, seperti perpisahan pelangi dan langit magenta kala itu. Walaupun setiap hari aku berusaha melupakan kenangan tentang Kak Genta, tetap saja aku tak bisa menghapus kenangan itu. Hatiku pun merubah rasanya, dan entah kenapa hatiku memutuskan untuk mencintai kakakku sendiri, Kak Genta. Rasa itu kubiarkan saja tanpa aku tau apakah aku telah berdosa atau tidak. Sampai akhirnya sosok Atha muncul dan hatiku tiba-tiba saja berubah haluan. Tapi tetap saja aku mencintai satu orang yang sama.

Nenekku dari pihak Ibu adalah keturunan Perancis asli, sedangkan kakekku adalah orang Indonesia. Ibu adalah anak tunggal. Tidak ada yang kurang dari hidupnya, baik dari segi materi maupun kasih sayang. Kakekku adalah pengacara terkenal dan kaya raya. Bahkan dia membeli sebuah apartemen di Avenue Victor Hugo, itu adalah daerah yang sangat mahal. Ketika kakek dan nenek meninggal, Apartemen itu di wariskan pada Ibu.

Ayah adalah keturunan Indonesia asli yang sejak kuliah telah menghabiskan waktunya di Negara Mode ini. Ayah pun memilih untuk bekerja sebagai pengusaha di sini. Sejak pertemuan pertama, Ayah dan Ibu saling jatuh hati. Tapi, Ibu melakukan suatu kesalahan. Dia pergi dengan teman-temannya ke sebuah club dan tanpa dia sadari dia telah tidur dengan beberapa orang laki-laki yang tidak dia kenal dalam semalam. Ayah tidak marah dan tetap menjadikan Ibu sebagai Istrinya. Kemudian Ibu melahirkan anak laki-laki bernama Magenta. Tentu saja itu bukan anak Ayah, tapi Ayah tetap menyayanginya sepenuh hati. Ayah dan Ibu sama-sama menyukai langit magenta dan pelangi. Kemudian magenta dan pelangi dihadiahkan untuk nama kedua anak mereka. Setahun sesudah kelahiran kak Genta, Ayah mengajak Ibu ke Indonesia dan memperkenalkan taman Grevida serta café La Vouza. Lalu Ayah mengadopsiku dan memberiku nama, Pelangi. Disanalah hari terakhir keromantisan mereka. Sejak itu Ibu berubah dingin, apa penyebabnya Ayah juga tidak tau. Aku mendengar semua cerita ini ketika aku menginjak remaja. Ayah menceritakan semuanya padaku. Saat itu juga aku tau, kalau ternyata di dalam diriku dan Kak Genta tidak mengalir darah yang sama. Harusnya dari dulu aku bertanya tentang perbedaan fisik kami. Tak ada satu pun yang mirip. Wajah Kak Genta lebih kebaratan sedangkan aku lebih ketimuran. Kami hanya dipertemukan takdir dalam sebuah kehidupan, dimana kami saling melalui masa yang sama dan terikat. Mungkin itu adalah jembatan waktu agar kami saling bertemu. Dan itu semua kuanggap jawaban dari perasaanku selama ini. Aku lega, aku tidak berdosa telah mencintai kakakku, tapi salahkah jika Pelangi mencintai Magenta?

– Sore Pertemuan Pelangi dan Magenta
Setahun sudah berlalu sejak pertemuanku dengan Kak Genta. Aku dan Ayah berancana mengunjunginya.
“Coba Ayah tidak merahasiakan tentang kak Genta padaku waktu itu.” aku menggerutu pelan.
“Ayah hanya tidak ingin kalian saling terluka. Sudahlah Aggie, kita akan ke sana kan?” Ayah mengelus kepalaku pelan.
“Ya, tapi aku sangat merindukannya Yah. Sudah lama sekali kami tidak saling bertemu.”
“Tapi kan kamu bertemu dengannya.”
“Iya, tapi aku bertemu dengan Atha. Tidak dengan kak Genta.”
“Maafkan Ayah.”
“Sudahlah..” Itu sudah berlalu, tak perlu sesali.
“Oh iya, Ayah tau? Dulu waktu kami kecil Kak Genta pernah berjanji akan melukisku. Dan secara kebetulan ketika kami bertemu di café La Vouza. Kak Genta yang aku tau sebagai Atha melukisku dengan pose yang sangat menarik. Kak Genta tidak ingkar janji. Keren kan Yah? Takdir itu terkadang indah juga ya?” Aku menceritakannya dengan semangat, Ayah menanggapinya dengan senyum yang selama ini belum pernah aku lihat.

Pertengahan musim gugur, aku menginjakkan kakiku kembali di Kota Paris. Aku membiarkan Ayah pergi lebih dulu menuju Apartemen Kak Genta, sedangkan aku berjalan sepanjang jembatan dan menyaksikan keindahan sungai Seine dari atas. Langit terdengar bergemuruh, sepertinya akan turun hujan.
“Bonjour Mademoiselle,” Suara itu..
“Kak Genta..” Aku berteriak senang.
“Bukankah dulu kamu memanggilku Atha?” kak Genta menggodaku.
“Oh, Ayolah, waktu itu aku tidak tau. Kakak yang memperkenalkan diri sebagai Atha. Bagaimana keadaan Ibu?”
“Atha nama kecil dari Magenta, seperti namamu Aggie. Ayo kita ke bawah, aku akan menceritakan tentang Ibu padamu. Ayah sudah kuberi tau.”
“Ya ya ya. Baiklah. Terserah saja. Aku tak ingin berdebat denganmu. Kita bukan anak kecil lagi.”
“Ya, dulu kamu selalu menggangguku melukis.”
“Karena kamu menjengkelkan kak. Sudahlah, aku ingin tau keadaan Ibu.” Aku membesarkan pipi.
“Ayo turun.” Kak Genta meraih tanganku.

Kami menuruni tangga batu untuk sampai ke tepi sungai. Kak Genta menceritakan tentang penyesalan Ibu sejak aku dan Ayah pergi. Ibu hanya merasa tertekan dengan kebaikan Ayah. Ibu merasa sangat bersalah dan dilema dengan perlakuan Ayah yang sangat baik. Ibu bingung dengan apa yang harus dia lakukan, dan malam itu ketika Ibu mengusir Ayah, itu hanya kata-kata sesaat ketika Ibu tidak sepenuhnya sadar. Beberapa tahun terakhir Ibu menderita kanker lambung, dan akhirnya pergi meninggalkan dunia dengan ikut serta membawa cinta Ayah. Selama ini aku tidak pernah tau tentang alasan ini. Aku pikir Ibu memang membenci Ayah
“Semoga Ibu tenang disana..” kataku lirih.
“Ibu sudah tenang. Dan memintaku menjagamu dan Ayah. Nanti aku akan membawamu ke Istana terakhir Ibu.”
Aku mengangguk sedih. Tiba-tiba saja kak Genta mengecup pipiku dengan lembut. Aku berdebar. Rintik hujan pun turun berirama senada dengan suasana hatiku. Aku baru ingat kalau waktu itu Kak Genta pernah menuliskan kata “Je t’aime”, Bukankah itu artinya ungkapan cinta? Kami tidak berdosakan kalau memutuskan untuk saling mencintai? Entahlah.
“Je t’aime Pelangi..” kata itu lagi. Kak Genta memelukku. Aku menyandarkan dagu di bahunya dengan mata terpejam. Nyaman sekali rasanya. Perasaanku jadi tenang. Salahkah jika Pelangi mencintai Magenta?

Mimpi burukku berakhir sudah. Kini, kisah cintaku baru saja dimulai di Kota ini, di antara gemericik sungai Seine yang merdu. Di musim gugur yang indah, aku berhasil menyusun puzzle kehidupan yang berserakkan. Dan untuk yang kedua kalinya, kami kembali menyaksikan pertemuan magenta dan pelangi di bentangan langit senja yang indah.

Cerpen Karangan: Sahila Daniara
Facebook: Sahila Daniara

Cerpen Pelangi di Langit Magenta merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


I’m Sorry I Love You

Oleh:
“Diaaaa, please stop, dengarkan aku bicara sebentar, aku mohon untuk kali ini sajaa, Anindya putri! Aku mohon untuk yang terakhir kalinya,” jeritku di pelataran parkir kampus bawah fakultas ekonomi,

Cintakah Atau…?

Oleh:
Hujan mulai turun tatkala aku tiba di depan gerbang kompleks apartemen tempat Ibeng tinggal. Dia adalah laki-laki yang sudah hampir dua tahun menjadi kekasihku. Sudah dua hari ini dia

Cinta, Barcelona dan Analogy

Oleh:
Barulah seabad saja, sinar cakrawala berwarna kuning emas itu tumbuh mengembang dari balik gagahnya Gunung Gambir nan hijau rupawan. Pelukan embun-embun musim kemarau merayapi ranting-ranting bunga Clerodendron Paniculatum dipekarangan

Kereta

Oleh:
Cahaya entah kembali Kusentuh aksara hidup Untuk tertatih melangkah Memangku kertas lusuh. Memang siapa sempurna Tapi tinta telah memutih Tak bisa tetesskan air mata Meski hati tersakiti Harapku tenggelam

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

4 responses to “Pelangi di Langit Magenta”

  1. Roza afrina says:

    ass,
    saya juga ingin mengirimkan cerpen saya,
    bagaimana caranya,,,dikirim ke mana?

    • Shasa says:

      Halo Roza, gampang kok kalau mau kirim cerpen ke website ini. Di bagian paling atas ada tulisan ‘kirim cerpen’. Kamu bisa kirim di sana, dan tentu aja memperhatikan kriteria yang diminta adminnya. Misalkan panjang karakternya berapa.

  2. Shasa says:

    Halo Roza, gampang kok kalau mau kirim cerpen ke website ini. Di bagian paling atas ada tulisan ‘kirim cerpen’. Kamu bisa kirim di sana, dan tentu aja memperhatikan kriteria yang diminta adminnya. Misalkan panjang karakternya berapa.

  3. Lyneta says:

    Bagus banget!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *