Satu Ginjal Satu Dunia

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Pengorbanan
Lolos moderasi pada: 29 February 2016

“Hei, Alex. Tetaplah hidup sampai aku kembali!”

Itulah kata terakhir yang diucapkan Ray padaku sebelum ia berangkat menuju Singapura untuk mengejar cita-citanya, yaitu menjadi dokter. Dan saat itu aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum pedih untuk menanggapinya. Sungguh, aku masih belum bisa menerima keputusan Ray untuk sekolah di luar negeri -ia memberitahuku seminggu sebelum keberangkatannya, dan tentu saja itu membuatku spontan menggeleng. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin melarangnya untuk mencapai cita-citanya, itu sangat egois. Aku tiba-tiba diingatkan pada masa kecilku dengan Ray. Aku masih ingat, sewaktu itu ayah menerima telepon dari sepupu jauhnya tentang Ray.

Sepupu ayah itu menemukan Ray yang masih berumur sepuluh tahun itu tergeletak tak berdaya di pinggir jalan, dan ia berniat untuk mengadopsinya kala itu juga karena tidak tega. Tetapi faktor ekonomi yang agak pas-pasan itu membuat niat baiknya terhalang, dan tiba-tiba ia teringat pada ayah. Dan saat itu juga pamanku langsung menelepon ayah dan menyuruhnya untuk mengadposinya. Nama Ray bukanlah nama aslinya Karena ketika ditanya ia hanya menggeleng dan mengedikkan bahunya. Tiba-tiba aku teringat pada pemain tinju yang bernama Ade Ray itu -agak berlebihan, memang, tetapi karena badannya tinggi besar dan ia terlihat gagah, jadi aku mengatakan pada ayahku untuk menamainya Ray. Dan sewaktu itu ia mengangguk dengan mata berbinar. Dan dari situlah ia tinggal bersama kami.

“Alex?” panggil seseorang membuyarkan lamunanku. Aku pun menoleh, ternyata perawat yang tadi kulihat bolak-balik itu memanggilku. Ayah, yang duduk di sampingku langsung berdiri, “Ayo Alex!”

Aku menunduk sebentar sebelum aku mengekori Ayah yang sedang berjalan ke ruang pemeriksaan itu. Ah, aku lupa memberitahumu mengapa aku tiba-tiba berada di poliklinik ini. Sedari kecil, aku divonis mengidap lupus -semacam penyakit yang menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia- dan kebetulan penyakit lupusku itu menyerang ginjalku. Lama kelamaan, dokter mengatakan bahwa lupusku itu telah membuat ginjalku mengalami komplikasi dan aku terpaksa menjalani operasi pengangkatan ginjal. Jadi, sampai saat ini, aku hidup dengan satu ginjal dan harus menjalani cuci darah yang rutin.

“Alex? Kau siap?” lagi-lagi lamunanku terhenti karena panggilan itu. Aku menengadah dan mendapati Dr. Adrian sedang mempersiapkan segala peralatan untuk pencucian darahku ini.
“Yup. Karena aku tidak punya pilihan lain selain siap, kan?”
Dr. Adrian tertawa, “Bukalah mata lebar-lebar dan lihatlah dunia ini Alex. Kau masih punya ribuan bahkan jutaan pilihan. Tapi pada akhirnya kau harus memilih satu.” Aku hanya mengangguk. Dr. Adrian ini memang paling sering menasihatiku.

Satu tahun telah berlalu semenjak kepergian Ray ke Singapura. Bahkan sampai sekarang, aku masih belum lupa pada kata-kata terakhirnya yang memang terlihat konyol itu. Dan sampai sekarang juga, aku masih menjalani perawatan cuci darah yang membosankan itu -walaupun jadwalnya sudah mulai renggang- karena aku tidak ingin mengecewakan Ray. Aku berjuang mati-matian melawan segala penyakit yang tinggal dalam tubuhku, hanya karena satu alasan: aku ingin tetap hidup sampai Ray kembali dengan profesi dokter dan gelarnya yang patut diacungi jempol.

“Hei, telepon dari Ray!” teriak ayah di lantai bawah, membuatku dan ibu langsung berlari tergopoh-gopoh mendekati ayah. Memang, semenjak 6 bulan yang lalu Ray berhenti mengabari kami. Dan telepon yang tiba-tiba ini membuat kami semua melonjak kegirangan. Tetapi terlambat, Ray sudah menutup teleponnya bahkan sebelum aku dan ibu mencapai tangga terakhir. “Ia berhasil!” ujar ayah singkat, sambil tersenyum lebar.

Aku memasang telingaku baik-baik, mencoba mendengarkan puluhan kata yang ke luar dari mulut Dr. Adrian. Aku sangat yakin aku tidak mengalami kelainan pada telingaku, tetapi entah mengapa aku tak yakin pada perkataan-perkataan Dr. Adrian di poliklinik. Bahkan ketika aku dan ayah tiba di rumah pun, aku masih belum yakin pada kata-kata Dr. Adrian. Tapi aku diam saja, sampai akhirnya ayahku memulai pembicaraan.

ADVERTISEMENT

“Alex..” Dengan enggan aku menoleh pada ayah.
“Aku tahu. Aku tahu aku mengidap gagal ginjal.”
“Bukan itu maksud ayah.”

Kemudian aku diam saja, tapi mulutku seolah bekerja sendiri dan tiba-tiba mengeluarkan beberapa kata secara spontan, “lalu apa lagi? Apakah Ayah mau mengatakan bahwa hidupku tidak akan lama lagi hanya karena infeksi pada ginjalku yang satunya?”
Ayah mengangguk pelan. “Tapi Ayah berjanji akan mendapat donor secepatnya.” Aku hanya membuang muka untuk menanggapinya. Tak mungkin ayah bisa mendapat donor secepat yang diharapkan. Tiba-tiba ponselku berdering memecah keheningan yang canggung ini. Aku menatap layar. Nama Ray terpampang jelas di layar ponselku. Lalu dengan cepat aku menekan tombol hijau.

“Alex? Kau baik-baik saja?” tanya suara di seberang sana dengan khawatir.
“Tidak. Ada masalah lagi dengan ginjalku yang satu ini.”
“Oh, astaga. Aku akan segera pulang, oke?”
“Tidak, tidak Ray. Donor akan datang secepatnya dan sesudah itu aku akan baik-baik saja. Kau tak perlu pulang, oke? Jangan jadikan aku orang egois yang akan menghalangi mimpi terbesarmu. Dan..” Tut.. tut.. tut…, telepon terputus. Ray yang memutuskannya.

Seminggu ini keadaanku memburuk. Aku masuk rumah sakit dan mendapat perawatan yang intens karena aku belum juga menemukan ginjal yang tepat sementara ginjalku yang tersisa ini sudah semakin terinfeksi. Dan sampai saat ini juga aku belum menerima kabar Ray. Hatiku memang sedikit sakit mengingat ia bahkan tak bisa menjengukku. Tapi tak apa, aku tak mau ia gagal dalam mencapai cita-citanya hanya karena aku. Tiba-tiba mesin di sampingku mengeluarkan suara bip-bip yang keras. Ayah, yang sedang tertidur di sofa langsung terbangun dan dengan panik memanggil-manggil nama Dr. Adrian beberapa kali. Tak sampai satu menit, Dr. Adrian bersama para suster datang dengan tergesa-gesa. Begitu tiba, Dr. Adrian langsung mengambil suntikan dan langsung menyuntikku. Mungkin itu diberi obat bius, karena sesudahnya aku tertidur pulas sekali.

Hal pertama yang aku sadari adalah bahwa aku sedang dalam keadaan di antara alam sadar dan tidak sadar. Aku dapat mendengar bunyi bip… bip… bip… yang konstan dan terus-menerus, seperti bunyi air menetes dari keran yang tidak ditutup rapat. Bunyi itulah yang membangunkanku. Ku coba berkata-kata dan meminta seseorang agar memberiku minum, tetapi lidahku terasa berat dan kelu. Aku mencoba membuka mataku, usaha yang juga tidak membuahkan hasil. Ku tenangkan diriku dan berusaha membuka mataku sekali lagi. Kali ini aku berhasil membukanya sedikit, tetapi aku harus segera menutupnya kembali karena ada sinar terang yang tiba-tiba membutakan penglihatanku. Ketika mataku tertutup lagi, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang menempel pada hidungku dan membuatku sulit bernapas.

Sekali lagi ku buka mataku, tetapi kini lebih perlahan. Awalnya semuanya terlihat buram, namun lama-kelamaan aku dapat menangkap warna dinding di hadapanku. Putih keabu-abuan, ucapku dalam hati. Bunyi bip… bip… bip… yang tadi aku dengar menjadi semakin keras. Bunyi itu ternyata berasal dari sebuah mesin di sebelah kiriku. Garis hijau pada layarnya melonjak-lonjak setiap detik, menunjukkan aku masih hidup. Samar-samar aku bisa mendengar suara orang bercakap-cakap, tetapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas topik percakapannya. Ku alihkan perhatianku untuk mengenali sekelilingku. Ada jendela besar di sebelah kananku, dan beberapa bingkisan di atas satu-satunya meja yang bisa aku lihat.

Ketika aku sedang menggerakkan tangan kananku untuk menyingkapkan selimutku, tiba-tiba aku mendengar suara orang berbisik, “Dia bangun.”

Ku alihkan tatapanku dari jendela ke arah seorang wanita, yang dari pakaiannya jelas-jelas seorang suster. Tiba-tiba ku lihat wajah Ayah yang terlihat cemas. Kemudian dia tersenyum lebar karena melihatku sudah sadar dan buru-buru berjalan menghampiriku. Suster itu kemudian berdiri di sebelah kiriku.
“Beruntung saudaramu mau mendonorkan satu ginjalnya padamu.”
Aku menatapnya bingung, lalu bergantian menatap Ayah. “Ray datang ke sini minggu lalu. Kebetulan ginjalnya cocok dengan ginjalmu. Dan ia bersedia untuk mendonorkannya,” jelas ayah panjang lebar. Lalu, secara mendadak, Ray sudah berdiri di belakang ayah. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya masih selebar dulu dan matanya masih berbinar menatapku.

“Aku bersyukur kau tetap hidup sampai saat ini.” Mataku langsung melebar. Aku masih tidak percaya aku hidup dengan ginjalnya Ray. Tentu saja aku senang, tetapi di sisi lain aku merasa marah pada diriku sendiri. Tak mungkin hidup Ray akan berjalan lancar dengan satu ginjal. Dan, yeah, aku sudah menghalangi mimpinya. Aku pun melemparkan tatapanku pada ayah. Ia mengerti dan langsung meninggalkanku di susul oleh Dr. Adrian dan para suster. Sekarang, tinggal aku berdua dengan Ray di ruangan berbau obat ini.

“Kau seharusnya tak perlu melakukan ini, Ray! Dasar bodoh!” entah mengapa, aku mengucapkannya dengan marah. Itu membuat Ray terkejut dan langsung membuang mukanya ke arah jendela. “Lihat! Kau telah menjadikanku orang egois yang sudah menghalang-halangi mimpimu.” Aku berseru marah dengan dengan tertahan karena infus ini menggangguku. “Ray!” bentakku sekali lagi karena Ray masih menatap ke jendela seolah-olah aku tidak ada di situ.

Tetapi kemudian dengan tatapan lembut ia menoleh, menatapku dengan binar matanya, dan mengatakan, “Tak apa. Sejak kecil aku selalu merepotkan kalian. Dan dari situ aku berpikir, apakah suatu hari nanti hidupku akan berguna bagi orang lain? Aku tidak percaya, tapi sekarang akau melakukannya. Aku bahagia kau hidup dengan ginjalku. Itu sama saja seperti dokter yang menyelamatkan orang. Dan kau tahu, ini bahkan lebih dari menyelamatkan orang saja. Ini menyelamatkan nyawa. Dan aku telah berhasil. Kita hidup dengan masing-masing satu ginjal. Satu untukmu..” ia menunjuk ke arah perutku, lalu ke perutnya, “dan satu untukku.” Kemudian Ray meninggalkanku dalam kebisuan.

Cerpen Karangan: Sesilia Della Sagala
Facebook: Sesilia Della
Sesilia Della lahir pada tanggal 12 desember 2002. Sekarang ini ia sedang menempuh pendidikan di SMPN 1 Baleendah dan memilih sekolah akselerasi, yaitu sekolah yang lamanya hanya 2 tahun. Ia membuat cerpen ini karena terinspirasi dari guru bahasa Indonesianya yang bernama Yanti Rosmayanti. Kalian bisa mengirim kritik dan saran lewat facebooknya yang bernama Sesilia Della.

Cerpen Satu Ginjal Satu Dunia merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sahabatku Zahra dan Nayla

Oleh:
Namaku Rainy, usiaku 10 tahun, aku bersekolah di SD The Emergency school, disana, aku mempunyai 2 sahabat dekatku yaitu Zahra dan Nayla. “Hai Zahra, Nayla” Sapaku kepada Zahra dan

Trust Me Darling

Oleh:
Blossom Vialey menatap kepergian ayahnya bersama wanita asing yang tengah mengandung itu tanpa ekspresi. Kepulangannya kali ini pun selalu membuat Valey berfikir tidak ada sedikitpun kebaikan dari dalam diri

Semua Ini Terjadi Secara Tiba Tiba

Oleh:
UASBN hampir tiba. Aku belajar dengan bersungguh-sungguh. Aku ingin menunaikan harapan ayah terhadapku, menjadi orang yang berjaya dalam hidup. Bagiku, UASBN adalah langkah pertama untuk mencapai kejayaan. Aku hanya

Damai di Tengah Badai

Oleh:
Preston adalah seorang mantan tentara yang baik hati dan peduli yang menetap di goa-goa di atas lembah California, Ia hidup sendirian tanpa ada kontak dengan orang lain bertahun-tahun lamanya

Ibu Maafkan Aku

Oleh:
Aku adalah mahasiswa baru yang baru setahun masuk dan sekarang lagi ada Ujian Semester. Aku yang selalu hidup bersantai santai dan mulai jarang pulang ke rumah bermain dengan teman

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Satu Ginjal Satu Dunia”

  1. mambi says:

    Sedih yahpengen nangis banget tapi aku paksa ngga huh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *