Sebuah Kisah Klasik
Cerpen Karangan: Muthia IriyawanKategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Remaja, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 23 October 2017
Kuraih sebuah buku hitam berlapis debu, Tertera sebuah tulisan di sampul buku yang sudah sangat kumuh termakan oleh waktu. Kubersihkan beberapa debu yang menutupi tulisan tersebut. “Perpisahan”, Buku tersebut sepertinya sangat kubutuhkan untuk mempermudahkan urusanku saat ini.
Kemudian, Kulihat dan kupandang sekeliling perpustakaan. Sepi dan tak ada seorangpun yang menemaniku di sini. Dan Tepatnya hari ini, 1 hari sebelum datangnya sebuah kata “Perpisahan”, aku akan merangkai kata menuliskan sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Aku pun beranjak dari rak buku tersebut, dan berjalan perlahan ke luar perpustakaan.
“Thiaaa!!!” Teriak Seseorang dari koridor kelas. Aku pun terhenti, dan mengalihkan pandanganku ke sekeliling koridor, Terlihat seorang cewek dengan rambut lurus terurai dan wajah yang penuh keringat berlari kegirangan menuju ke arahku.
“Thia, Aku dari tadi keliling sekolah cari kamu ke sana ke sini, terus kamu harus denger ini. Ini sangat penting dan..” Ucap Mita dengan nafas yang tersengal
“Dan…” Ucapku untuk memastikan
“Minummm!!!!” Teriak Mita
“Oh kamu mau minum, bilang dong dari tadi kita ke kantin aja yuk” Ucapku sambil menarik tangan Mita.
“Eittt… Sabar dulu Thia, aku memang mau minum tapi bukan itu yang mau aku bicarain sama kamu.” Jelas Mita sambil terus membenarkan rambutnya yang berantakan.
“Owhhh, Emangnya ada apa yah Ta?” Tanyaku dengan penuh kebingungan
“Cepetan ikut aku” Ucap Mita sambil menarik tanganku berlari keluar koridor kelas menuju ruang BK.
kringg… kringggg…
“Yahhh… Sudah bel masuk ta. Buruan ke kelas yok, soalnya jam ke-5 kan kita ulangan harian.”
Ucapku dengan nada yang terkesan mengeluh, memperhatikan jam dinding yang tergantung di dinding sekolah.
“Sebentar Thia, nanti juga kamu bakal seneng denger informasi ini. Dan aku yakin Pak Marlin nggak bakalan marah kalau seandainya kamu… Udah deh, nanti kamu bakal tau sendiri” Jawab Mita dengan santainya
“Tapi…” Ucapku terputus.
Tok.. tok.. tok…
“Assalamualaikum bu, ini bu Thia nya” Ucap Mita sambil terus menarikku masuk ke ruang BK. Di sana terlihat ada Seorang laki-laki, dan Ibu Bella sebagai Guru BK.
“Nah, ini dia anaknya. Terima kasih yah Mita. Silahkan duduk sebentar nak” Ucap bu Bella sambil menarik sebuah bangku kosong yang telah disediakan untukku. Aku pun duduk dan terus membayangkan hal apa yang akan terjadi denganku nantinya, ada urusan apa aku dengan orang asing ini?. Pertanyaan itu pun masih terus mencuat di dalam dadaku.
“Jadi, nama kamu Muthia Iriyawan?” Tanya salah seorang laki-laki tersebut
“Iya pak. Tapi, kalau boleh tau ini ada apa yah pak? Sampai dibawa ke ruang BK?” Jawabku masih dengan nada penasaran
“Hmm Jadi gini nak, Kami dari pihak dinas UPTD kota Palembang, sudah dari satu bulan yang lalu kami mendata nama siswa berprestasi di kota ini. Dan yang terpilih mewakili sekolah ini ialah kamu. Jadi, kami Cuma mau kabarin bahwa kamu telah mendapat beasiswa 250 juta untuk melanjutkan ketingkat sekolah yang lebih tinggi.” Ucap orang tersebut dengan nada yang serius
“Selanjutnya, setelah dirunding dengan pihak sekolah, kamu akan masuk ke salah satu sekolah menengah ternama di kota ini. Gratis dan tanpa tes” Jelas laki-laki itu sambil menarik beberapa berkas dari sebuah tas hitam kecil yang berisi penuh dengan map-map penting. Sebenarnya aku masih belum begitu yakin dengan perkataan laki-laki tersebut. Tetapi, melihat begitu banyak berkas dan wajah bu Bella yang begitu meyakinkan, aku pun tertegun untuk mempercayai semua perkataannya.
“Dan ini berkas-berkas yang harus kamu tanda tangani dan diserahakan kepada orangtua kamu. Itu pun kalau kamu berkenan untuk menerima beasiswa ini” Laki-laki itu pun menyerahkan berkas tersebut kepadaku, Kubaca satu persatu berkas tersebut, semakin kuat keyakinanku dan seketika rasa senang pun membuncah dari dalam tubuhku.
“Pasti pak, tapi nanti thia kabarin sama bunda Thia dulu yah pak” Ucapku dengan senyum yang sumringah.
“Oke, kalau begitu kamu dipersilahkan untuk pamit nak, agar secepatnya kamu sampaikan kabar buat bunda kamu, karena paling lambat berkas tersebut harus diserahkan besok nak” Ucap Bu Bella dengan nada penuh perhatian
“Baiklah, Thia pamit dulu yah pak, bu.” Ucap ku sambil mencium tangan mereka sebagai tanda hormatku.
Aku pun berlari sekuat tenaga mengambil tas ke kelas dan langsung melesat ke luar gerbang sekolah. Aku sudah tidak sabar buat melihat senyuman bunda ketika aku mengabarkan bahwa aku dapat beasiswa.
Sesampainya di depan gang, kulihat terdapat papan pemberitahuan. Tetapi, karena sudah tidak sabar buat ketemu bunda aku pun tidak terlalu menghiraukannya.
Tercekat dan terdiam.
Bendera itu …
Bendera itu mengisyaratkan sebuah kesedihan. Tapi, siapakah itu?, siapa yang ditandakan itu? Sekejap, semua perasaan senang dipikiranku pun hilang, bagaikan hujan yang menghapus jejak. Muncul perasaan yang aneh ketika aku melihat bendera tersebut.
“Thia…” Ucap kak Rey yang langsung menghampiriku sambil memeluk tubuh kakuku. Perasaanku semakin tak karuan, Kakiku semakin lemas tak berdaya. Jangan-jangan…
“Kak… Itu Siapa…” Ucapku sambil terus memandang bendera yang rasanya ingin kubakar sejenak, sehingga hilang semua perasaan yang berada di pikiranku saat ini.
“Bunda dik.. Bunda sudah ninggalin kita…” Tangis kak rey
Semilir angin berlalu menggetarkan tubuhku, Diam dan terpaku tak berdaya seakan dunia telah menjauh. Berkas yang sedari tadi terbelenggu di tangan, kini hilang tak bertuan bagaikan karang yang terhampas ombak. Perlahan tetesan air mata bebas meluncur dari belenggunya. Hatiku terasa sesak begitu menyakitkan, bagaikan dihujam ribuan panah kesakitan akan sebuah perpisahan. Aku begitu tak percaya akan secepat ini jadinya. Terduduk ku di antara semua kenangan yang mengikis luka, Bunda jangan pergi… Thia ada kabar baik buat bunda… Bisikku dalam hati.
“Nggak mungkin kak… Nggak mungkin bunda secepat itu ninggalin kita, Thia nggak percaya!!! Bunda masih ada!!! Bunda masih sayang sama kita, dan Bunda nggak mungkin ninggalin Kita…” Tangisku Sejadinya. Dunia serasa terguncang, Ombak seakan mengamuk, Bayangan Kilat hujan dan petir pun turut merajai perasaanku saat ini. Aku begitu lemah… Tanpa bunda aku bukanlah siapa-siapa..
“Sudahlah dik. jangan nangis lagi nanti bunda juga nangis lihat kamu nangis… kamu mau liat bunda?” Ucap kak Rey sambil membawaku bangun dari pangkuannya
Aku pun hanya membalas ucapannya dengan anggukan kecil.
Seketika tepat di hadapan tubuh kaku bunda, aku pun terduduk dan berlutut lemas tak berdaya. Kupeluk tubuh bunda untuk yang terakhir kalinya, terisak ku di antara kesakitan akan sebuah perpisahan.
“BUNDA!!!!” Jeritku dalam tangis
“Bunda… bangun bunda… Kenapa bunda lebih dulu ninggalin kami… Kenapa bunda harus meninggal… Thia belum siap bunda, thia belum siap buat hidup tanpa bunda… … Bunda bangun yaaa… Bunda nggak boleh tidur terus… Buka matanya bunda… Liat thia… Thia bawa kabar baik buat bunda, Thia dapet beasiswa bunda… Ini semua buat bunda… Bunda harus bangun…” Tangis ku sejadi-jadinya di hadapan bunda.
“Bunda kok nggak bangun… Bunda nggak sayang ya sama Thia… Bunda bangun Bunda… Bunda nggak boleh tidur-rr” Isakku sambil mencium wajah mulus bunda
“Thia, sudah ya… Mungkin bunda sudah capek, dan bunda butuh istirahat untuk selamanya. Kamu jangan nangis, kalau kita bisa ikhlaskan bunda, kak Rey yakin, bunda juga pasti bisa tersenyum melihat kita. Kamu yang tenang yah dik” Ujar Bang Rey sambil terus mengelus pundakku.
“Tapi kak..”
“Sudah, serahkan semuannya kepada Allah. Allah tau mana yang terbaik buat kita” Ucap kak Rey
Aku pun tersadar. kak Rey saja bisa dengan sangat mudah mengikhlaskan bunda, bukan karena senang karena bunda telah tiada, tapi kak Rey percaya bahwa tuhan akan selalu mengambil yang terbaik buat mengisi surga- Nya. Dan kami yakin, bunda akan selalu berada di sisi tuhan. Kami harus mengikhlaskan, supaya bunda tenang berada di surga Allah…
Selepasnya diri ini kubawa untuk menggiring bunda ke tempat peristirahatannya yang terakhir, aku pun tertidur untuk menghilangkan semua perasaan penat yang kualami seharian ini. Tinggal tunggu datangnya esok hari, hari yang juga tak kalah menyakitkan dengan hari Ini…
Jujur, hari ini adalah hari perpisahanku bersama bunda dan entah bagaimana kabarnya esok hari, yaitu hari perpisahan bersama para sahabatku. Mungkin memang sudah takdirnya, perpisahan yang tak diharapkan, malah terjadi begitu bertubi-tubi di kehidupanku saat ini. Aku pun tak mengerti, bagaimana datangnya sebuah firasat yang bodohnya tanpa kusadari. Aku sendiri begitu lemah ketika berhadapan dengan suatu masalah, masalah rumit malahan. Tetapi, betapa beruntungnya aku saat ini karena disetiap lelahku, tuhan pasti menyiapkan sebuah sandaran untukku berpaku. Tuhan menyangiku, tetapi, mengapa tuhan jadikan kisah hidup ini layaknya sebuah kisah klasik yang begitu menyakitkan.
Cerpen Karangan: Muthia Iriyawan
Facebook: Muthia nandita
Muthia Nandita. Siswi kelas 9 SMP Negeri 2 Palembang, Sangat hobby menulis beberapa cerita, bahkan pada saat ini akan merilis sebuah novel. Tunggu cerita-cerita selanjutnya yah teman-teman.
Cerpen Sebuah Kisah Klasik merupakan cerita pendek karangan Muthia Iriyawan, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Hadiah Untuk Ikoh
Oleh: Naomi PaatNamaku Miiko, tapi kalian bisa memanggilku Ikoh. Aku sangat menyesal atas kejadian saat itu. “Ikoh! Ayo segera sarapan, nanti kamu terlambat!” “Iya Mama… Mama bawel banget sih!” “Ya udah
If You Like Someone
Oleh: Lia Farikha NDi sebuah taman sekolah, aku termenung menunggu kedatangan seseorang yang sedari tadi belum muncul batang hidungnya. Beberapa saat kemudian orang yang ditunggu pun datang, dia menuju ke arahku. Aku
Kuning
Oleh: SspenyendiriDi bawah senja. Kala jemariku menelisik lipatan kertas beraroma parfum citrus. Tertanda untukku. Untukmu yang kuanggap kekasih. Hujan tengah membasahi seisi kota. Di tengah kesibukan kantor, mataku menatap semesta
Surat Untuk Ibu
Oleh: Rif'il HusniyahPagi berembun pengingat masa kecilku. Ketika ibu bercerita bahwa sebelum diinjak oleh orang lain ibu berusaha membangunkanku untuk berjalan di air embun pagi itu. Kasih sayang ibu tak terbalas
Mencintai dan Memaafkan
Oleh: Athaya Haidaranis NadhiraMenyandang nama belakang Irawan, hidup Maura Kalena bisa dikatakan mendekati kata sempurna. Kehidupan mewah yang bagi kebanyakan orang hanyalah isapan jempol belaka merupakan suatu hal yang dimiliki Maura sejak
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply