Sepatah Maaf dari Papa

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 25 May 2015

Peluh menetes di dahiku. Sungguh siang hari yang panas. Matahari melotot, teriknya membakar kulitku. Suara klakson menjerit bersahut-sahutan dari kendaraan di jalan raya, motor saling serobot, angkot berhenti seenaknya di pinggir jalan. Inilah wajah Jakarta di siang hari.

Begitu perkuliahan selesai, segera aku pun bergegas ke tempat kost dan membaringkan tubuh di atas kasur yang empuk. Kantuk yang sebenarnya sudah sejam menguasai tubuhku, membuat mataku lengket dan sulit untuk kubukakan. Tiba-tiba lagu favorit yang kujadikan ringtone HPku pun terdengar.
“Halo”
“Halo, apakah ini Dimas?” tanya suara bapak-bapak.
“Iya, ini Dimas” sahutku.
“Dimas, bagaimana kabarmu, Nak? Sehat?”
Aku tercengang, bertanya-tanya dalam hati siapa orang ini.
“Ini siapa, ya?” aku bertanya penasaran.
“Ini… ini… ini Papa, Nak.”
Papa? Sudah kuhabiskan bertahun-tahun hidup tanpa Papa sejak ia meninggalkan rumah tanpa ada kabar mengenainya. Terpatri dalam jiwaku bahwa ia adalah pria tanpa rasa peduli dan kasih sayang terhadap anak dan istrinya. Bagaimana mungkin kini ia meneleponku setelah sekian lama melupakan keluarganya?
Suatu emosi yang aneh menyergap kalbuku, membuat nada bicaraku agak membentak.
“Papa? Aku tak punya Papa. Anda sebenarnya siapa?!”
“Dimas, tenang dulu, tidak usah marah-marah,” pinta lelaki itu.
“Ini Papa, pasti kamu masih ingat. Kita pernah menghabiskan waktu bersama sewaktu kamu SMP, pasti kamu tidak lupa ketika kita menonton bola di stadion dan kamu girang sekali.”
Aku terdiam sesaat, berpikir, memanggil kembali memori masa SMPku yang nyaris pudar dari ingatan. Akhirnya aku dapat mengingat, pernah aku tertawa bersama Papa, menyoraki dukungan kepada tim sepakbola favorit kami. Muncul pula ingatan akan masa-masa sulit yang lebih mendominasi riwayat hidupku. Ketika aku kelas 3 SMP, Papa meninggalkan Mama, Kak Veni, dan aku untuk memilih hidup bersama wanita lain. Sejak saat itu aku membencinya dan berharap tak akan bertemu dengannya lagi karena ia telah mencampakkan ibuku dan menelantarkan kami.
Timbul hasratku untuk melontarkan makian di telepon, menyalurkan sakit hati yang sekian lama kupendam dan bahkan telah membusuk di dada. Aku mencoba menahannya namun aku tak kuasa.
“Apakah Papa sudah puas hidup dengan Si Tante Angie yang cantik?! Untuk apa Papa menelepon Dimas yang Papa telantarkan?!”
Tanpa berpikir lagi, kumatikan telepon selulerku. Telepon yang baru saja kuterima bagaikan mimpi buruk dan gemuruh guntur di malam yang gelap.

Setelah kejadian siang itu, pikiranku tak luput dari Papa yang begitu kubenci, Kak Veni yang kini tak berdaya, Mama yang begitu terkhianati, dan masa kecil kelam yang kulalui dengan pertengkaran orangtua setiap malam. Segala cara kulakukan untuk mengalihkan memori akan masa lalu, tetapi kenangan pahit itu selalu mondar-mandir dalam ingatanku.

Siang ini kantin kampus tidak seramai biasanya. Aku berjalan menyusuri koridor kantin seorang diri, mataku tertuju pada makanan yang dijajakan. Seorang kawanku bernama Rio memanggil tiba-tiba.
“Dimas, ada seorang bapak yang mencarimu. Kau ditunggu di lobby kampus”
Aku terkesiap, “Sekarang?”
Rio yang tengah menyeruput es teh menganggukkan kepala.
“Siapa orang yang mencariku?” tanyaku.
Rio mengangkat bahu.

Segera aku menuju lobby kampus, melihat sekeliling untuk mencari siapa yang mencariku. Satu-satunya orang yang kulihat adalah seorang bapak yang tengah duduk dengan kaki menyilang, bahasa tubuhnya menyiratkan kegelisahan karena ia terus-menerus menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri seperti ibu yang kehilangan anaknya. Meski tak lagi muda, sosoknya tampan dibalut sweater hitam dan jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Dugaanku mengatakan aku mengenal orang ini, serupa sekali dengan Papa yang terakhir kulihat sewaktu usiaku 15 tahun.
Ia menatapku, lalu memanggil, “Dimas”
Aku memicingkan mata, “Anda siapa? Mencari saya?”
Bapak itu tersenyum, “Benar, saya mencari kamu. Ini Papa, Nak. Papa yakin kamu belum lupa sama Papa.”
Rasa kaget mengejutkan dadaku, begitu pula dengan rasa muak. Cerahnya langit hari ini menjadi mendung dan muram bagiku. Mimpi buruk datang kembali dalam wujud yang lebih menyeramkan. Ingin rasanya kuusir pria ini dengan kasar, sekasar hardikannya dahulu kepada Mama.
“Dimas, duduklah di sebelah Papa. Papa ingin bicara denganmu,” bujuknya.
“Sebaiknya kita bicara di luar saja,” sahutku kesal, berjalan ke luar gedung menuju taman kampus tanpa mempedulikan Papa yang mengikutiku dari belakang. Pandanganku lurus ke depan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Ia menepuk pundakku, “Dimas, kita mau bicara di mana?”
“Kita bicara di sini,” jawabku dengan nada meninggi.
Keyakinanku kuat bahwa amarah akan menggelora ketika berbincang dengan Papa, maka aku memilih taman kampus sebagai tempat kami berbincang dengan harapan teduhnya pohon dapat sedikit meredam kobaran api amarahku. Sebenarnya, aku sendiri ragu dapat mengontrol emosi bila berhadapan dengan pria yang hampir telah kuhapus dari rekaman hari silamku.
“Papa khilaf atas semua kesalahan Papa,” ujar Papa, wajahnya menunduk.
Aku mematung mendengar kata maaf darinya. Maaf? Apalah arti dari sepatah kata maaf atas pengkhianatan kepada Mama dan nafkah untuk keluarganya yang tidak diberi selama bertahun-tahun?
“Dimas, Papa khilaf karena selama ini meninggalkan keluarga dan mengkhianati Mama. Papa ingin kembali kepada keluarga kita, merangkul kalian, bersatu sebagai keluarga utuh seperti dulu.”
“Bagaimana dengan Tante Angie yang membuat Papa bertekuk lutut dan rela mengorbankan segalanya?” kuhujam ia dengan pertanyaan yang setajam duri.
“Papa sudah cerai dengan dia. Papa sadar ia hanya wanita bertabiat buruk yang mengincar harta Papa saja” Papa menjawab, sorot matanya berkaca-kaca. “Papa ingin rujuk dengan Mama dan berkumpul lagi dengan kalian. Kalian harus tahu betapa sayang Papa kepada kalian.”
Api murkaku meletup-letup, berkobar dahsyat.
“Persetan dengan penyesalan Papa! Ke mana saja Papa selama ini?! Kalau saja Papa tahu keadaan Kak Veni dan Mama saat ini, pasti Papa mengerti seberat apa penderitaan kami!” jeritku tanpa mempedulikan orang-orang di sekeliling yang memperhatikan kami dengan heran.
Kesalku tak terhingga, angkara berkecamuk dengan liar, luka hatiku pecah. Terbayang kembali wajah bengkak Mama akibat tinjuan Papa, Kak Veni yang mengurung diri di kamar saat ia belia, dan diriku dengan seragam putih biru tercengang sepulang sekolah menyaksikan Papa bercumbu mesra di ruang tamu dengan seorang wanita.
Mata Papa sedikit berair seolah penyesalan menaungi wajahnya, lantas ia berkata, “Jadi kamu tidak sudi menerima maaf dan penyesalan Papa?”
“Sudah terlambat untuk mendapatkan keluarga kita utuh kembali,” jawabku ketus.
“Apa maksudmu, Nak? Tak ada yang terlambat bila Mama, Veni dan kamu bersedia memaafkan Papa,” tukas Papa, suaranya sedikit serak.
Aku meggeleng, “Tidak, ini sudah terlambat. Akan kuajak Papa pulang ke rumah untuk melihat apa yang terjadi. Papa pasti akan mengerti bahwa ini sudah terlambat.”
“Apa yang membuatmu berkata seperti itu, Dimas?” alisnya berkerut, nada suaranya bergetar menunjukkan kekhawatiran. “Katakan saja apa yang terjadi.”
“Papa harus lihat sendiri,” tukasku geram. “Hari Sabtu pukul 7 pagi, Dimas akan pulang ke Bandung dengan mobil travel, kita bisa bertemu di pangkalan Bandung Travel dan berangkat bersama. Bagaimana? Papa bisa?”
Papa mengangguk pasrah. Ketika mulutnya terbuka seperti hendak berkata-kata lagi, aku bergegas pergi menjauh darinya.

Sabtu pagi pukul 7 aku dan Papa berangkat dari Jakarta, sesuai dengan janji kami. Sepanjang perjalanan, ia mengajakku mengobrol, mengakrabkan diri denganku. Tak sedikitpun aku menyahut, aku tak mempedulikannya.

Akhirnya Bandung kami pijak, berdiri di depan rumah masa kecilku yang menyimpan kenangan kelam. Di rumah inilah air mata Mama tumpah karena kekerasan rumah tangga dan caci-maki Papa terhadap Mama terdengar hingga ke rumah tetangga. Semua luka masa silamku yang begitu pedih telah kukubur dalam-dalam, tetapi kehadiran Papa membuat perih ini terasa lagi.

“Mama ada di rumah, Nak?” tanya Papa.
Aku enggan menjawab, pura-pura tidak mendengarnya.
Kutekan bel, seorang pembantu rumah tangga berlari ke beranda, membukakan pintu dan kami pun masuk. Rumah ini dingin, sepi dan penuh dengan berbagai duka sehingga tak pernah membuatku kerasan.
“Papa mau ketemu Kak Veni?” aku akhirnya bicara.
“Mau,” nada suaranya bersemangat, rona wajahnya yang pucat seketika merah cerah.
“Papa kangen sekali dengan Veni, dia gadis yang cantik dan supel. Pasti sekarang ia sudah dewasa, sukses…”

Pintu kamar Kak Veni kubuka sebelum Papa sempat menyelesaikan kata-katanya, tampak Kak Veni tengah asyik menggendong boneka sambil bersenandung.
“Aku ingin sekali menyisir rambutmu yang indah, Anakku… Kau anakku yang cantik, jangan pernah lepas dari dekapanku…”
Melihat keadaan Kak Veni, Papa terkejut di ambang pintu. Sejuta tanda tanya nampak memenuhi raut wajahnya. Kami pun menghambur ke dalam kamar meghampiri Kak Veni.
“Kak Veni,” panggilku pelan. “Ada yang ingin ketemu Kakak.”
Mulut Papa membisu, air mata membanjiri pipinya. Barulah beberapa menit kemudain, ia dapat bicara.
“Veni anakku,” ucapnya sambil mengelus rambut Kak Veni yang panjang dan ikal. “Ini Papa, Nak. Ada apa dengan keadaanmu?”
Spontan Kak Veni menampik tangan Papa dengan kasar dan berteriak sekeras sambaran halilintar, “Aku tidak punya Papa!!! Papaku kabur dan menikah dengan wanita lain! Aku tidak punya Papa!!!”
Air mata Papa semakin deras, memunculkan rasa tak tega di hatiku akan kesedihannya yang begitu larut diantara setumpuk kekesalanku padanya. Dengan berat hati dan sedikit ragu tubuhnya kurangkul, berdamai dengan kebencianku terhadapnya, berusaha meredakan kepiluannya.
“Beginilah kondisi Kak Veni sekarang, Pa. Ia mengalami gangguan mental. Masa remajanya diisi dengan kenakalan yang luar biasa, sering ia keluyuran entah ke mana bersama teman lelaki. Saat itu ia bilang ia hanya ingin melampiaskan keresahannya karena tidak betah di rumah dengan pertengkaran Papa dan Mama, ia tak tahan melihat penyiksaan dan kekerasan. Di usia 17 tahun ia dihamili pacarnya, lalu pacarnya kabur meninggalkannya entah ke mana. Begitu bayi perempuannya lahir, Mama mengirim bayinya ke panti asuhan. Semenjak itu, Kak Veni mengurung diri di kamar, tak mampu mengelola stresnya,” aku menjelaskan panjang lebar.
Sepatah kata pun tak terucap oleh Papa. Wajahnya benar-benar basah oleh air mata, terenyuh aku melihatnya bersedih.
“Papa mau Dimas ajak ketemu Mama?” aku menawarkan.
Ia mengangguk lemas, mukanya memucat. Kuajak ia ke tanah kosong di belakang rumah.

“Dimas, mengapa kamu ajak Papa ke tempat ini?” ia bingung.
Aku tak menjawab dan terus berjalan. Di balik pohon kamboja, terlihat seonggok batu nisan tetancap di tanah.
“Mama istirahat di sana, Pa,” kataku, menunjuk ke arah batu nisan.
Mata papa terbelalak. Ia menggoyang-goyangkan bahuku kencang, meraung pilu.
“Mama di mana, Nak? Tunjukkan Papa di mana Mama berada!”
Aku mengulang pernyataanku dengan lambat, “Mama ada di sana, Pa.”
“Selepas kepergian Papa, kesehatan Mama berangsur-angsur menurun. Tumornya mengganas, kanker dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhnya,” jelasku.
Rasa pilu menyergap sukmaku melihat tangis penyesalan Papa yang tak kujung berhenti. Namun tak bisa kupungkiri, masih ada setitik cinta kepadanya di balik kebencianku yang dalam. Separah apapun luka yang telah ia goreskan pada kehidupanku, aku tetaplah darah dagingnya.

ADVERTISEMENT

Ia berlari menghampiri batu nisan, berjongkok untuk menyentuhnya.
“Sudahkah aku terlambat untuk menyesal dan menyampaikan maaf?” suaranya terisak, entah kepada siapa ia bicara.
Kusahut perkataannya, “Mungkin terlambat untuk kembali sebagai keluarga yang utuh, tetapi Dimas masih di sini. Tangan Dimas terbuka untuk Papa, kita tetap keluarga.”
Kurangkul ia di tengah semilir angin yang dengan malu-malu menerpa di sela dedaunan

Cerpen Karangan: Hanifah Rahadianty Kusmana
Facebook: Hanifah Rahadianty Kusmana

Cerpen Sepatah Maaf dari Papa merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Cinta Palsu

Oleh:
Adzan isya telah berkumandang, menandakan waktu sholat isya bagi umat muslim telah tiba. Tapi tidak untuk beberapa umat muslim yang tidak menghiraukan panggilan sholat tersebut, seperti 2 cewek manis

Renungkan

Oleh:
Alex terlahir dari keluarga cukup berada, masalah uang, alex tinggal mengulurkan tangan, masalah makan dan sebagainya sudah di atur oleh baby sister yang biasanya dipanggilnya “BIBI”. Dan semua keindahan

Ingat Alas Lupa Kaki

Oleh:
“Koran. koran..” Suara Jale yang tiap hari lantang terdengar di sepanjang jalan perempatan yang penuh dengan kendaraan berlalu lalang. Tentu saja bukan karena keinginannya Jale seperti itu, namun apa

Maafkan Aku Ayah

Oleh:
Perlahan kuarahkan badan yang dari tadi memintaku ke tempat ini. Tempat dimana terdapat sepetak ruangan yang terhiasi foto sesosok perempuan berhijab putih. Senyumnya yang menawan terlihat begitu mempesona dibaluti

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *