Sepotong Donat Untuk Ayah

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 6 May 2014

Hari ini hujan mengguyur tidak terbendung, sekitar pukul tiga subuh Ia mulai turun hingga pukul sepuluh siang ini belum juga reda. Mungkin benar, seperti yang diberitakan oleh media-media minggu ini. Bahwa cuaca di Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah curah hujan. Salah satunya di wilayah Sumatera yang berdekatan dengan laut cina selatan, termasuk juga daerahku: Kabupaten Natuna. Sebuah Pulau kecil milik NKRI yang berbatasan langsung dengan Vietnam dan Malaysia.

Keadaan itu diakibatkan oleh efek dari topan haiyan yang melewati laut cina selatan dan memporak-porandakan Filipina kemudian melemah ke arah Vietnam dalam bentuk badai tropis, sehingga menimbulkan perubahan cuaca pada wilayah yang dilewatinya. Topan itu juga mengakibatkan adanya gelombang tinggi di perairan laut cina selatan. Begitu informasi yang sedang heboh di beritakan oleh media beberapa minggu ini.

Ayah dan ibu tadi malam sudah berencana untuk pergi menoreh karet. Menoreh adalah kegiaan menghasilkan air susu dari pohon karet dengan cara menggoreskannya dengan pisau khusus. Air susu pohon karet itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah cetakan segi empat dan didiamkan selama satu hari agar ia mengeras menjadi karet mentah, karet mentah inilah yang menjadi bahan baku di pabrik Ban.

Memang begitulah aktivitas keluargaku sedari Aku kecil. Hingga kini aku sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Ayah dan Ibu masih saja setia dengan profesinya: petani karet. Walaupun penghasilannya tidak semewah orang yang bekerja di pabrik atau bekerja di perkantoran, namun kami selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Sebab masih banyak tentunya manusia di luar sana yang lebih pelik kehidupannya dibandingkan dengan keluargaku.
Saat adikku: Imin, masih berumur tiga hingga empat tahun, Ayah mengerjakan sendiri menoreh karet. Aku juga kadang-kadang diajak ayah hanya sekedar memecahkan kesunyian dan kesepian di hutan karet sana. Barulah setelah Imin berusia lima tahun, Ibu kembali bekerja bersama ayah. Penghasilan yang didapat tergantung harga jual karet. Ketika harga naik, senyum ayah melebar di bibirnya, sebab persentase atau jumlah pembagian atas penjualan itu juga besar.
Ayah bekerjasama dengan Bu Haji Ira, pemilik kebun karet yang ditoreh ayah dan ibu. Ia tinggal di Ranai, Ia juga orang kaya, anaknya menjadi salah satu aktor di kursi pemerintahan kabupaten Natuna. Ayah dan ibu mendapat kerjasama pembagian hasil karet dengan system bagi tiga, yaitu satu bagian untuk pemilik dan dua bagian untuk petaninya.

Bu haji sangat mempercayai ayah sebagai pekerjanya yang sangat loyal. Ayah tidak pernah mengecewakannya, walau hasil yang diberikan ayah tidak sebanding dengan gaji anaknya atau gaji pensiunannya. Namun ia tidak pernah berpikir untuk memutuskan kerja ayah. Ia sangat prihatin dengan keluarga-keluarga prasejahtera, seperti kami. Mungkin itulah uluran tangannya untuk membantu rakyat. Dan ayah pun selalu bekerja dengan sebaik mungkin, tidak pernah mengeluh ataupun berbohong atas hasil penjualan karetnya.

Saat musim hujan, omset keluargaku menurun drastis, kening ayah mengerut seribu, pertanda adanya kemalangan pada dirinya. Selama ini, Ia hanya mengandalkan cuaca cerah untuk karetnya. Ketika hujan, menoreh karet adalah hal terburuk, sebab air susu karet akan bercampur air hujan, bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman karet itu sendiri.

Ayah tidak dapat merubah apapun, Ia hanya tamatan sekolah dasar, hanya petanilah yang bisa disandang dengan pendidikannya itu. Begitu juga dengan Ibu yang tamatan sekolah menengah, Juga tidak ada yang bisa dilakukan di masa kini, ditambah lagi ia tidak mengerti dengan teknologi seperti komputer. jangankan komputer, Handphone saja Ibu gagap memakainya.

Ketika cuaca suram hujam, ibu terpaksa mengisi buku hutangnya kepada Pamanku, agen karet. Seorang pembeli karet mentah dari petani seperti ayahku dan kemudian dijual kembali ke pabrik, misalnya ke Kalimantan ataupun semarang.

Pagi ini keluargaku utuh, sebab cuaca hujan. Ayah dan ibu tidak pergi ke kebun karet Bu haji. Aku dan adik-adikku bisa berkumpul bersama ayah dan ibu pagi ini, sarapan bersama, menonton TV bersama. Jika cuaca cerah, ayah dan ibu sudah menghilang dari rumah setelah sholat subuh, ibu selalu meninggalkan sarapan pagi untuk kami. Mereka kembali ke rumah sudah paruh siang, sekitar pukul sepuluh pagi.
Namun tidak untuk pagi ini, semuanya berada di rumah. Ayah merebahkan tubuhnya di kasur dalam kamarnya. Menikmati istrahatnya bersama rintikan hujan yang berdetak-detak menyentuh atap rumah. Ibu sibuk membersihkan perkarangan rumah, menyapu, merapikan tempat tidur, juga mencuci pakaian. Hujan masih saja merintik hingga mentari enggan menampakkan wajah asrinya hari ini. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang. Cadangan makanan dalam lambung sudah menipis, cacing-cacing penghuni di dalamnya memberontak. Akibatnya, rasa lapar pun melanda.

Imin masih berada di rumah, ia belum ke sekolah. Karena di sekolahnya: kelas dua Sekolah Dasar, tidak cukup lokal jika kelompok Imin harus sekolah pagi, sehingga mereka dialihkan sekolahnya sore. Aku duduk di tempat belajarku, menulis apa yang ada di pikiranku. Ya, aku memang senang sekali menulis. Walau aku bukanlah penulis profesional atau penulis kondang, namun aku menulis untuk kebahagiannku, dengan menulis pikiranku hidup dan rasa senang tercipta dalam dadaku ketika menulis. Tulislah terus, jangan pernah berhenti. Tiada hari tanpa menulis, tiada hari tanpa membaca. Jika ingin menjadi penulis. Begitu pesan yang aku tangkap dari salah satu buku yang aku baca.

ADVERTISEMENT

Di meja belajarku, aku melirik dua lembar uang berada dalam kotak penaku. Sisa belanjaku kemarin. Aku segera memanggil Imin yang sedang bermain dengan kucing kuning di ruang tengah rumahku. Ya, kucing itu memang bewarna kuning.
“Min, sini dulu,” sorakku.
“Ya, Bang.” sahutnya
Segera Imin menghampiriku. Aku menyodorkan uang empat ribu tadi kepadanya dan menyuruhnya membeli kue di warung depan, warung Bu Emi. Biasanya warung itu tersedia panganan, seperti kue-kue, roti dan sebagainya. “Mungkin saja masih ada jam segini,” batinku.

Sejurus Imin melesat dari hadapanku setelah meraih uang empat ribu rupiah di tanganku. Ia menuju warung Bu Emi. Dilihatnya semua tempat kue sudah kosong, hanya ada satu tempat yang tidak bisa dilihat isinya, sebab tempat itu tidak transparan seperti tempat kue lainnya. Setelah dibuka, didapati roti bulat yang berlubang di tengahnya tergolek menunggu jemputan tangan pembeli yang siap melamarnya. Roti berbentuk huruf nol itu tersisa tiga potong. Imin langsung meminta kepada bu Emi untuk membungkusnya. Dan ia bergegas kembali ke rumah bersama uang seribu rupiah, sisa dari pembayarannya.

Setiba di rumah. Roti dengan coklat butir di atasnya langsung kami bagi, satu untukku, satu untuk Imin dan satunya lagi diberikan untuk Ibu. Ibu menghampiri kami yang sedang sibuk dengan donat itu. Imin menyodorkan kantong plastik berisi satu donat kepada ibu.
“Ibu akan berbagi kepada ayah,” kata ibu sambil menuju kamar.
Setelah tirai kamar dibuka, ibu melihat ayah sedang tidur pulas, Ia tidak tega membangunkannya. Ibu kembali menuju ke arah kami di meja makan.
“Cepat sekali ayahmu tidur, baru saja masuk kamar semenit yang lalu,” tukas ibu.
Kemudian ibu memotong donat itu menjadi dua bagian. Satu bagian dimakannya, satu bagian lagi diletakkan di dalam piring kecil, kemudian disimpan dalam lemari, tempat biasa ia menyimpan makanan. Agar aman dari gangguan kucing kelaparan yang suka mencuri ikan-ikan panggangnya. Sepotong donat itu, disimpan untuk ayah, agar dicicipi ketika ia bangun dari tidurnya nanti. Aku dan Imin masih sibuk menghabiskan roti yang ada di tangan kami, dengan bantuan segelas air putih, donat itu melesat ketenggorokan kemudian menyelam ke lambung. Siap diolah menjadi energi untuk siang ini. Ibu pun sudah selesai dengan donatnya. Ia kemudian melanjutkan aktivitasnya.

Aku kembali kepekerjaan menulisku, sambil menunggu listrik menyala kembali. Sejak subuh, bersama guyuran hujan, listrik di daerahku padam total. Entah apa penyebabnya, aku kurang tahu tentang hal itu. Yang aku amati, ketika hujan, PLN selalu saja memutuskan aliran listriknya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya di ruang tamu, ibu kembali ke ruang dapur untuk bersiap memasak untuk makan siang. Potongan ikan tongkol sudah menunggu untuk di goreng, kelapa juga sudah selesai diparut, untuk dijadikan santan. Santan menjadi bahan penting dalam sayur daun singkong Ibu. Ibu menyebutnya sayur lemak, jika memakai santan.

Di depan lemari penyimpan makanan. Ia melirik potongan donatnya dikerumuni beberapa semut merah, sontak ibu membuka tutup kaca lemari, diangkatnya piring roti itu. Kemudian di hentak-hentaknya pelan di meja makan. Semut-semut berjatuhan akibat goncangan hentakan ibu. Semut yang masih bertahan di jumputnya dengan jarinya. Hingga bersih kembali donat itu dari kerumunan semut.

Untuk mengantisipasi serangan berikutnya, ibu mengisi air dalam piring yang agak besar. Kemudian piring kecil berisi donat tadi dimasukkan ke dalam piring besar berisi air. Dengan demikian, semut-semut yang ingin mencicipi donat itu harus berenang seajuh empat senti meter untuk mencapai bibir piring yang berisi donat. Itulah teknik ibu mengalahkan serangan semut. Biasanya teknik itu digunakan untuk menyelamatkan air teh, atau kopinya.

Selesai memasak untuk makan siang, ibu merebahkan tubuhnya di tikar pandan. Istirahat sejenak, menunggu kami semua siap untuk menikmati hidangannya di meja makan. Roni, adik keduaku sampai di rumah. Ia baru pulang sekolah. Ia duduk di bangku kelas satu sekolah lanjutan. Rasa letih tentu melandanya, ia menggunakan bus sekolah untuk pulang-pergi ke sekolahnya. Pagi-pagi sekali ia sudah harus berada di terminal. Jika tidak, ia akan ketinggalan bus. Kadang-kadang ia tidak sempat sarapan di rumah.

Ia melepaskan pakaiannya beserta pernak-pernik seragamnya. Bergegas ia menuju ruang dapur, mencuci tangan, kaki dan muka untuk melepaskan kepenatan dari perjalanan pulangnya. Dibalik kaca lemari makanan, ia melihat sepotong donat tergeletak diatas piring, di sekeliling piring itu tergenang air. Semut-semut nekat banyak yang mati tenggelam dan kehabisan napas mengarungi lautan buatan ibu. Ada juga yang masih bermain-main di pinggir piring besar, mencari cara untuk mencapai piring kecil berisi potongan donat untuk ayah. Semut memang selalu tahu, ada makanan manis yang lezat. Barangkali otaknya sudah diisi dengan sinyal tentang gula. Sehingga ia selalu mengetahui lokasi makanan yang mengandung gula atau berbau manis. Roni langsung membuka kaca lemari dan meraihnya. Ia melahap tanpa ampun.
“Mungkin ini ditinggalkan Ibu untukku,” begitu pikirnya.

Lenyap sudah donat untuk ayah. Ibu masih terbaring di tikarnya, ia agak terlelap walau tidak terlalu lama. Ia menyadari kepulangan Roni. Ibu kemudian beranjak dari tempatnya, ayah juga sudah keluar dari kamarnya, bersiap-siap untuk sholat zhuhur. Begitu juga aku dan Roni.
Sedangkan Imin, ia sibuk mengurusi perlengkapan sekolahnya. sebentar lagi ia berangkat. Diantar ayah ataupun aku. Selepas solat bersama, ibu memanggil kami untuk makan siang. Ibu telah melihat donat simpanannya hilang. Piring kecilnya kosong. Ia menyadari, pastilah Roni yang memakannya, sebab ia tidak tahu itu donat untuk ayah.
“Ya, sudahlah,” pikir Ibu.

Kami pun makan bersama, ibu menghidangkan nasi putih, ditambah ikan tongkol gorengnya, tidak lupa pula sayur lemak daun ubi yang masih sedikit hangat. Suasana rumah kami sangat damai, rasa kekeluargaan yang luar biasa sangat aku rasakan, tidak terkecuali adik-adikku, juga orangtuaku. Menjadi petani karet bukanlah pekerjaan yang buruk. Walau makanan yang kami makan tidak semewah orang-orang kaya di luar sana, namun inilah nikmat yang diberikan Tuhan.
Begitu pula dengan donat untuk ayah, Ibu tidak pernah mengatakan kepada ayah bahwa ada donat untuknya dan sudah dimakan oleh Roni, bukannya ibu ingin berbohong. Tapi ibu tidak ingin ada rasa yang mengganggu kebahagiaan kami yang sedang menikmati hidangannya. Ibu tidak ingin menciptakan harapan palsu di pikiran ayah tentang sepotong donat yang telah habis dilahap Roni. Ia juga tidak mengatakan kepada Roni, bahwa donat yang ia makan adalah untuk ayah. Ia mengisyaratkan bahwa itu untuk Roni, dan bukan rejeki bagi ayah. Bukan masalah baginya tentang sepotong donat itu. Besok tentu masih banyak donat-donat baru di warung Bu Emi yang siap untuk dibeli dan disantap.
“Besok bisa dibeli lagi donatnya,” batinnya.

Selepas makan, aku mengantarkan Imin ke sekolah menggunakan sepeda motorku, Roni melepaskan kepenatannya di depan televisi hingga ia terlelap. Ayah meraih pisau parangnya untuk menuju kebun ubinya, membersihkan kayu-kayu yang menghambat pertumbuhan ubi-ubi mungil itu. Ibu merapikan piring-piring di lemari setelah ia mencucinya. Kemudian, ibu turun menuju halaman belakang rumah. Mengangkat pakaian yang sedikit lembab, akibat matahari tidak begitu terik hari ini. Pakaian itu diangin-anginkannya di dalam rumah dan esoknya akan di jemur kembali. Aktivitas seperti inilah yang terjadi saat cuaca hujan. Kadang aku bahagia menikmatinya, namun aku juga sedih ayah tidak bisa menorah karet. Tentunya ayah tidak mendapatkan penghasilan. Tapi hujan adalah nikmat Tuhan. Mungkin Ia menyuruh hambanya istrahat bersama keluarga di rumah. Bercengkrama bersama keluarga lebih penting daripada terus mengejar uang yang tiada batas itu.

Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju
Lahir di Ranai 19 april 1991. Kini belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna. Semester VII.

Cerpen Sepotong Donat Untuk Ayah merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Si Hitaf

Oleh:
Sunyi senyap ditemani dendangan melodi jangkrik seakan-akan mengisi kegelapan hatiku. Di sebuah kegelapan gubuk dengan berjuta kemalangan di dalamnya kisahku bermula. Tempat aku dan keluarga kecilku bertahta dan mengarungi

Aksara Cinta Tanpa Tinta (Part 1)

Oleh:
“Jinan berangkat ke Sekolah dulu yah bu, Assalamualaikum,” ucapku seraya mencium tangan ibu. “Waalaikumsalam, hati-hati yah nak. Bekalnya jangan lupa di bawa, terus ini kue tolong titip di kantin

Adalah Waktu

Oleh:
Putaran jarum jam dinding yang berdetak mengitari angka-angka yang tercantum dengan ditemani dinginnya udara yang tercipta dari hembusan AC yang menyala di sebuah ruangan yang lumayan cukup luas untuk

Mama Untuk Dara

Oleh:
Perempuan yang duduk bersimpuh di samping sebuah makam itu bernama Dara. Makam itu adalah tempat peristirahat terakhir mamanya, Malena. Sudah seminggu terakhir Dara mengunjungi makam setelah bubaran sekolah dan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *