Sepucuk Surat Dari Ibu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 12 December 2015

Desir angin yang lembut menenangkan jiwa, percikan air hujan yang menciptakan irama yang merdu, diikuti lantunan adzan yang menyejukkan kalbu, membuat perempuan paru baya itu enggan beranjak dari tempat duduknya, ia memandangi halaman yang luas, raut wajahnya mengambarkan kesedihan, batinnya menjerit, ia merindukan anak semata wayangnya yang merantau ke luar kota sejak 5 tahun yang lalu. Lamunannya buyar setelah disadarkan oleh seorang laki-laki tua yang usianya beranjak 70 tahun, tak lain dan tak bukan adalah suaminya.

“Ibu lagi apa di sini? Ayo salat, ini sudah magrib!”
“Ibu kangen Hari pak, bagaimana kabarnya di sana?”
“kenapa dia tidak pulang? apa di sana hidupnya sudah enak?”
“sudah 5 tahun kita tidak pernah mendengar kabarnya, apa dia sudah melupakan kita pak?”
Air matanya jatuh bercucuran membasahi wajah yang sudah keriput dimakan usia.

“Bapak juga merindukannya bu, sebentar lagi lebaran idul adha, Hari pasti pulang.”
“Hari tidak pernah melupakan kita, ke mana dia akan berlabuh kalau bukan sama kita.”
“percayalah bu, putra kita pasti kembali.”

Bapak tua itu pun menenangkan istrinya yang sedari tadi risau akan kondisi putranya, sepasang suami istri yang sudah renta itu pun menuju ruang keluarga untuk melaksanakan rukun islam yang kedua. Jam sudah menunjukkan pukul 10:00 tapi matahari tak jua menampakkan sinarnya, hempasan angin yang seakan menumbangkan tubuh rentanya tak menyurutkan niatnya untuk mencari sesuap nasi, nampaknya alam tak bersahabat kepada mereka, hanya kicauan burunglah yang menemani langkah mereka menelusuri hutan yang terletak tidak jauh dari rumahnya, di sanalah tempat mereka menggantungkan hidupnya.

“sepertinya hujan akan turun, kita pulang saja pak, ini juga sudah lumayan.”
“Ibu pulang saja duluan, masih ada kayu sisa kemarin yang belum Bapak simpulkan, nanti kalau basah harganya pasti turun bu.”
“ya sudah, saya pulang duluan pak.” dengan badan yang mulai membungkuk ia melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah untuk menukarkan kayu bakarnya dengan beras yang bisa dibilang tidak layak konsumsi, akan tetapi ia tidak pernah mengeluh akan hidup yang dijalaninya, ia selalu bersyukur atas apa yang didapatkannya.

Sesampai di rumah ia langsung menyiapkan makan siang untuk mereka berdua, cukup lama ia menunggu suaminya akhirnya ia memutuskan untuk istirahat sejenak, ia terbangun dari tidurnya saat mendengar langkah kaki yang bergemuruh dari arah luar rumahnya, segera ia membuka pintu memastikan apa yang terjadi di luaran sana, tubuh perempuan paru baya itu bergetar hebat menyaksikan pemandangan yang tidak pernah dibayangkannya, tanpa disadari tubuh rentanya tergeletak di tanah, ia menangis sejadi-jadinya saat mendapati tubuh suaminya yang terbujur kaku tak bernyawa dibopong oleh para tetangga, suaminya tertimpa pohon besar membuat nyawanya hilang seketika.

“maafkan Ibu, maafkan Ibu meninggalkanmu di hutan sendirian, maafkan Ibu, pak.”

Hanya kata maaf yang terucap dari bibirnya tapi kali ini air mata tak lagi membasahi wajahnya, bukannya ia tidak sedih akan kepergian suaminya tapi ia tahu betul, hidup dan mati seseorang sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, ia menyayangi suaminya tapi rupanya Allah lebih menyayanginya dan dia sadar akan hal itu. Ia mengatur napasnya, berusaha mengendalikan emosinya, berserah diri kepada-Nya, mencoba tegar menghadapi semuanya, ia yakin hanya emaslah yang diuji sesering ini.

Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah satu bulan ia hidup seorang diri, semakin hari kesehatannya semakin menurun akan tetapi anaknya tak kunjung menemuinya, Hari-harinya ia habiskan untuk menunggu kedatangan putranya. Hari ini adalah hari yang paling ia nantikan. Hari idul adha di mana ia percaya putranya akan kembali, dengan perasaan bahagia yang menyelimutinya ia melangkahkan kakinya ke mesjid yang bersebelahan dengan rumahnya, rakaat pertama dilaluinya dengan khusyuk, tiba-tiba geraknya terhenti, Ibu menghembuskan napas terakhirnya.

Dibawalah jasad perempuan tua itu untuk disemayamkan di rumahnya, dari kejauhan nampak pemuda yang gagah perkasa turun dari mobil sedan dengan raut wajah datar tanpa ekspresi, insting seorang Ibu tidak pernah salah, putranya kembali setelah 5 tahun meninggalkannya dan benar saja putranya sudah sukses di perantauan sana. Memang betul doa orangtua selalu diijabah buktinya banyak perubahan yang terjadi pada dirinya yang dulunya adalah seorang berandalan kini ia tumbuh menjadi pria yang baik hati nan elok perilakunya.

ADVERTISEMENT

Langkah kaki pemuda itu terhenti tepat di bawah sehelai kain putih, bertanda ada seseorang yang meninggal, tanpa pikir panjang ia mempercepat langkahnya memasuki rumahnya, langkah kakinya lagi-lagi terhenti melihat jasad yang dibungkus kain putih yang dikelilingi sekumpulan orang yang melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya pucat, badanya lemas seketika, aliran darahnya seakan terhenti saat menyaksikan pemandangan di depan matanya. Air matanya tumpah membasahi wajah tampannya, pelan tapi pasti ia melangkahkan kakinya menuju apa yang sedang diamati oleh indera penglihatannya.

“bangun bu, kenapa secepat ini meninggalkanku.”
“maafkan aku bu, maafkan aku tidak pernah mengabari kalian.”
“aku sudah kembali aku sudah menjadi seperti apa yang Ibu dan Bapak inginkan.”
“bangun bu, bangun, ini aku anak Ibu, aku Hari bu, aku sudah pulang.” didekaplah jasad Ibunya dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes.

Dengan mata yang sembab ia mengamati sekeliling, cukup lama ia mengamati orang-orang yang ada di sekitarnya tapi ia tak menemukan sosok Bapaknya, ia pun menanyakan keberadaan Bapaknya. Raut mukanya menampakkan kehancuran, air matanya kembali tumpah, tubuh yang sudah lemas jatuh tak berdaya saat mengetahui Bapaknya sudah meninggal sebulan yang lalu, dipeluklah foto orangtuanya dengan penuh penyesalan. Dengan perasaan sedih yang amat dalam ia mengantarkan jasad Ibunya ke peristirahatan terakhirnya. Tepat berdampingan dengan makam Bapaknya. Satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman, tinggallah Hari seorang diri, datanglah seorang gadis yang memberikan selembar kertas putih bergoreskan tinta hitam yang didapatkannya saat membersihkan rumah almarhum.

“Untuk putra semata wayangku, Bambang Hariyanto.”

“Suatu saat kamu kembali, kembali dengan kemewahan. Percayalah nak bukan itu yang Ibu inginkan, Ibu tidak pernah menunggu rupiah darimu. Keinginan Ibu cukup sederhana, cukup kamu ada di sisi Ibu, menemani masa tua Ibu. Bersamamu di saat terakhir Ibu adalah keinginan terbesar Ibu, Ibu merindukanmu nak. Kelak jika kamu kembali dan hanya mendapati pusara Ibu, berjanjilah nak untuk tidak membanjiri pusara Ibu dengan air mata tapi banjirilah dengan doa. Kelak jika Ibu sudah tiada jangan kau hiasi pusara Ibu dengan puluhan kembang elok tapi hiasilah dengan doa. Putraku, jadilah manusia layaknya manusia yang dicintai Allah, ingatlah nak kehidupan dunia hanyalah sementara di akhiratlah tempat kita akan abadi.
Dari Ibu yang mencintaimu.”

Air matanya tumpah seketika, ia mendekap selembar kertas yang ditulis oleh Ibunya, ia memeluk batu nisan orangtuanya secara bergantian, kata maaf dan penyesalan berulang kali dilontarkannya tapi apalah daya nasi sudah menjadi bubur. Hujan yang semakin deras membuat luka di hatinya semakin perih, petir yang seakan menyambarnya tidak ia hiraukan, ia masih bersimpuh penuh penyesalan di hadapan pusara orangtuanya.

Cerpen Karangan: Hastuti Mahmud
Facebook: Hastuti Hahmud

Cerpen Sepucuk Surat Dari Ibu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Personality

Oleh:
Mungkin yang diketahui mereka tentangku adalah PEMALAS. Tapi percayalah .. Aku juga tidak menginginkan pilihan ini. Aku ingin bebas melakukan apapun seperti layaknya orang sehat. Disebut malas gerak sudah

Kata Mutiara Dari Si Mulut Mungil

Oleh:
Dikala itu Minggu sore, Saya sedang duduk-duduk santai bersama salah satu keluarga, sebuah keluarga yang menurut saya sangatlah Sakinah, Mawaddah, Warohmah. Dengan diiringi hembusan angin yang seakan-akan menari-nari menyambar

Kekurangan

Oleh:
“Mikaaaa!! Main yuk!” Teriakan beberapa gadis berumur lima belas tahun terdengar sampai ke ruang duduk rumah megah tersebut. Aku menoleh pada Mika yang langsung bangkit. Tetapi mengernyit ketika menemukan

Dendam Ataukah Karma?

Oleh:
Gadis itu, mengapa bayangannya masih mengganggu setiap tidur malamku? Apakah ini karena aku terlalu merasa bersalah padanya? Ataukah aku yang mulai menyesal karena mengabaikannya? Entahlah. Perkenalkan namaku davian, aku

Pria Di Alun Alun Kota

Oleh:
Pria itu masih mematung di dipan berwarna coklat berkarat, di alun-alun kota, senja sudah meranum, pria itu masih tak bergeming, dia telah duduk sejak siang tadi, kira-kira bakda luhur

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *