Si Pingget Tangan Itu Mamaku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Kisah Nyata, Cerpen Motivasi
Lolos moderasi pada: 19 July 2016

Hari ini aku melihatnya berbicara di podium itu. Lagi.
Ya, ini bukan pertama kalinya dia berdiri di sana. Memberi pencerahan bagi semua muridnya. Memberi dorongan untuk orang-orang di sekitarnya. Menyebarkan keceriaannya kepada orang-orang sedih di sekelilingnya walaupun aku tau dia tidak selalu tersenyum tulus.
Memang itu bukan kali pertamanya melakukan itu, tapi ini adalah kali pertamaku, selama menjadi keturunannya, mendengarkannya berbicara di tempat itu. Sungguh, aku sangat kagum dengannya.
Apakah aku sebegitu keterlaluan dengannya sampai-sampai aku tidak pernah tahu “semangatnya” yang ia sebarkan kepada orang lain?
Aku jadi ingat ceritanya tentang masa kecilnya dulu. “Mama gak pernah kepikiran bisa jadi kayak gini, Mbak.” Kalimat itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Kalimat yang sangat nyantol di kepalaku. Kalimat yang awalnya tidak pernah kupikirkan, namun sekarang membuatku termotivasi. Mungkin juga dengan orang lain.
Kulihat lagi senyumnya yang sumringah mengiringi pembicaraannya di podium itu.
Akan kuceritakan padamu, kawan. Kisah yang pernah diungkapkannya kepadaku. Sebuah kisah yang membuat orang-orang di sekitarnya, dan juga mungkin diriku, menjadi terbakar gejolak api semangat dan motivasi.
Inilah dia, beliau… Mamaku.

Matahari bersinar menjalani rutinitasnya seperti biasa. Awan-awan mendung tampak menemani dan menutupi matahari dengan santainya. Hal itu seperti mengakibatkan matahari yang awalnya cerah, lalu mengalah untuk ikut bersedih.
Tampaknya kesedihan itu juga datang kepada seorang suami yang menunggui istrinya mengeluarkan bayi kedua dari rahimnya. Tangan sang istri yang memegang tangan suaminya seakan menjadi pelampiasan sakit dan usahanya mengeluarkan bayi itu.
Tak lama kemudian, terdengar tangisan kencang bayi kedua itu yang keluar secara perlahan. Tak tampak raut menderita pada wajah sang suami yang menerima genggaman keras istrinya itu. Yang ada hanya senyuman tulus untuk menyemangati istrinya itu. Sang dokter terus memberikan dorongan dan arahan kepada ibu itu tanpa berhenti satu nafas pun. “Sebentar lagi, Bu. Ayo, terus…” ujar dokter itu.
Peluh yang bercucuran tampak deras menetes dari wajah ibu itu. Sang suami yang berada di sampingnya perlahan-lahan mengelap peluh itu sambil membacakan surat-surat pendek dalam Alquran yang dihafalnya. Lampu yang menyala tepat di atas perut sang Ibu membuat suasana semakin panas.
Tak lama terdengar suara yang ditunggu-tunggu itu menangis dengan keras.
Sang suami langsung mencium kening istrinya itu dan bersujud di ruang itu. “Alhamdulillah ya Allah…” bisiknya sambil bersujud.
Sang istri masih tampak kelelahan dan nafasnya pun masih tersengal-sengal. Namun, kini tergambar jelas raut bahagia di mukanya. Tergurat senyuman indahnya setelah mendengar tangisan bayi itu. “Anakku…” gumamnya.
Perawat pun langsung membersihkan manusia tanpa dosa itu. Dengan perlahan, perawat membersihkannya. Raut muka bahagia tampak juga dari perawat dan dokter di ruang tersebut yang membantu sang Ibu mengeluarkan manusia kecil ini. Setelah membersihkannya, perawat tersebut melihat tangan bayi tersebut. Tiba-tiba, “Dokter, tangan bayi ini…” bisik perawat panik namun berusaha menyembunyikan dari Ayah dan Ibunya. “Ini pasti gara-gara tali pusarnya. Kita harus bilang kepada orangtuanya.” balasnya. Sang Dokter pun segera menemui lelaki yang sedang menenangkan istrinya itu.
“Maaf, Pak. Saya ingin bicara sebentar di luar.” ujar Dokter. Lelaki itu kebingungan sambil menatap sang istri. Wanita yang sedang berusaha mengembalikan nafas normalnya itu menganggukkan kepala sambil memegang pundak suaminya. Lelaki dan dokter itu pun bergegas pergi keluar ruangan operasi.
“Ada apa ya, Dok?” tanya lelaki itu ragu-ragu.
“Sebelumnya, Selamat ya, Pak atas kelahiran anak perempuannya. Anaknya cantik sekali sayangnya…” jawab Dokter terputus. Ia tahu bagaimana reaksi keluarganya setelah mengetahui ini semua. Bagaimana pun dia juga orangtua yang mempunyai anak. Sama seperti lelaki itu.
“Ada apa, Dok? Apa yang terjadi dengan anak saya? Cepat katakan!” teriak lelaki itu dengan panik. Di dalam hati, lelaki itu berdoa agar tidak ada kabar buruk yang menghapus kebahagiaan yang baru saja diberi Tuhan ini.
“Anak Bapak mengalami sedikit kekurangan di tangan kanannya. Hal ini dikarenakan tali pusar yang terlalu kencang melilit tangannya sehingga akan membekas selamanya dan tidak bisa dihilangkan. Bekas itu tidak membahayakan organ atau jaringan yang ada di dalam tubuh. Namun, ketika kelelahan atau membawa beban-beban terlalu berat dengan tangannya, bekas itu menjadi sedikit nyeri dan cukup menganggu aktivitas. Namun, itu dapat dipulihkan dengan menggunakan salep yang nanti saya berikan. Tenang saja, Bapak. Semuanya akan baik-baik saja. Sekali lagi, mohon maaf atas berita buruk ini dan selamat atas kelahiran bayinya. Semoga menjadi pembawa rezeki bagi keluarga Bapak.” jelas sang Dokter panjang lebar. Ia pun segera bergegas meninggalkan lelaki yang berdiri termangu itu.
Lelaki itu hanya bisa berdiam mematung melihat keramik-keramik putih yang juga melihatnya.

Bertahun-tahun lamanya setelah peristiwa itu, anak tersebut tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan pintar. Tak heran, peringkat 1 sering diraihnya di sekolah.

Suatu hari, Ia pulang sekolah dengan raut muka tidak seperti biasanya. Ia menangis sambil menghampiri ibunya. “Ada apa, Nak? Apa yang membuatmu menangis?” tanya sang Ibu dengan lembut. “Mereka jahat, Bu. Mereka…” belum sampai selesai menjawab, Ia langsung menangis dengan kerasnya. Ibunya pun tersadar. “Pasti masalah ini lagi.” pikirnya sambil melihat tangan anak perempuannya itu.
“Ya Allah… Nak, Sudah berapa kali Ibu bilang ke kamu. Kamu harus sabar. Kamu gak usah dengerin kata-kata temenmu. Biarpun tanganmu kayak gini, kamu itu pintar. Kamu itu hebat. Kamu harus buktikan walaupun tanganmu gak kayak temen-temen yang lain, tapi kamu juga bisa jadi orang yang lebih hebat dari temen-temenmu yang lain. Janji sama Ibu kamu gak akan nangis lagi. Oke?” tanya sang Ibu yang dibalas dengan anggukan pelan anak itu.

Ini sudah keberapa kalinya anak itu diejek. Memang, mereka hanyalah anak kecil yang masih sering bercanda. Tapi tidakkah mereka tau kalau suatu saat nanti perilaku itu bisa berefek kepada anak itu?
Tidak tahu kapan. Yang jelas, itu adalah awal masalah bagi anak itu.

“Bapak kapan, sih pulang? Nanyain keadaan anak-anaknya? Peduli sama anak-anaknya? Apa yang dipikirin Bapak itu cuma duit, Bu? Sebenarnya kenapa, sih Bapak kerja sampai lupa keluarga?” tanya sang Anak dengan penuh kemarahan. Ia tahu, secara tidak langsung ia sudah berbuat ‘durhaka’ kepada orangtuanya. Yaitu Bapaknya.
“Bapak itu gak pernah tau, kan kalau aku selalu diejek-ejek di sekolah. Selalu dibilang Si Pingget Tangan. Kenapa, sih Bapak gak perhatian?” keluhnya sekali lagi sambil menutup pintu kamarnya dengan kencang. Suara gebrakan pintu mengagetkan Sang Ibu. Wanita tua itu hanya bisa diam dan mengelus dada perlahan.
Sang Ibu pun mengambil telepon butut peninggalan orangtuanya dulu. Nomor demi nomor diputarnya perlahan-lahan agar tidak salah sambung.
Tak lama, suara berat muncul di telepon itu. “Ada apa, Bu?”
“Bapak bisa pulang? Tolong pulang sebentar saja. Penting.” jawab sang Ibu dengan lembut takut suaminya marah atau tidak suka dengan perintahnya itu.
“Aku usahakan.” balas sang suami dengan singkat. Lalu suara telepon ditutup pun terdengar dari ujung sana.

“Tuhan, tabahkanlah anak perempuan saya, Tuhan. Kuatkanlah dia, Tuhan. Aamiin.” doanya di dalam hati.

Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu anak perempuan itu pun datang. Dengan baju yang berantakan, raut muka yang tampak semakin menua, tas kerja seperti koper yang selalu dibawanya kemana-mana, Ia langsung menghampiri istrinya yang duduk di samping telepon dengan kepala menunduk.
“Akhirnya Bapak pulang.” sapa Ibu sambil menyalami suaminya itu.
“Lihat anakmu di kamar. Tolong bilangin dia. Nasihatku sudah tak mempan lagi.” sambung istrinya. Suaminya langsung menaruh tas dan menghampiri anaknya yang ada di kamar. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Entah kapan, tapi yang jelas hal ini akan sangat menyakiti hati anaknya sematawayangnya itu.
“Sari, apa gerangan yang membuatmu bersedih? Ceritakan pada Bapak,” ujar sang Bapak dengan lembut. Anak itu masih menangis dengan memeluk bantal yang tampaknya sudah sangat basah. Ia pasti sudah menangis sangat lama.
“Bapak sebenarnya sayang gak, sih sama Sari?” tanya Sari dengan sesenggukan yang mengiringinya. Sang Bapak menghampiri anak perempuannya itu dan membelai rambutnya dengan halus. “Kamu ngomong apa, sih? Sayangnya Bapak sama kamu gak bisa diungkapin dengan kata-kata. Besaaar sekali. Coba sekarang cerita sama Bapak, kenapa kamu menangis?” jawab sang Bapak.

ADVERTISEMENT

Anak perempuan itu pun bercerita kepada sang Bapak tentang semua peristiwa yang sudah dialaminya. Dari celaan temannya hingga Bapak yang tidak pernah pulang dan memperhatikannya. “Aku kangen Bapak. tutupnya mengakhiri ceritanya.
Sang Bapak mengambil napas panjang untuk membalas perkataan sang anak.
“Nak, Bapak maaf kalau selama ini jarang memperhatikan Sari. Bapak yakin, walaupun jarak kita tidak dekat, tapi hati dan kasih sayang Bapak masih ada di sini.” ujarnya sambil menunjuk dada Sari.
“Jangan dengarkan perkataan temanmu. Mereka semua iri sama kamu karena kamu pintar. Kamu selalu ranking 1 di kelas. Kamu cantik. Kamu dipuja oleh guru-guru di sekolahmu. Tangan kamu itu adalah suatu anugerah dari Tuhan untuk selalu bersyukur denganNya. Kamu masih bisa sekolah. Kamu masih bisa menulis juga, kan? Kekurangan itu tidak menghalangi kamu untuk beraktivitas, bukan?” ujarnya lagi dengan penuh semangat.
“Bapak percaya, Nduk. Suatu saat nanti kamu akan menjadi orang besar yang akan memotivasi orang-orang di sekitarmu, keluargamu, juga orangtu mu ini, Nak. Bapak percaya itu.” tutupnya mengakhiri pertemuan ini.
Bapak pun mencium kening anak perempuan itu lalu memeluknya dengan penuh kehangatan.

Sari pun tersadar, ini merupakan karunia Tuhan. Dia akan membuktikan bahwa inilah anugerah dari Tuhan yang akan menjadikannya orang besar seperti yang dikatakan Bapaknya itu.

Sari percaya itu.

“Inilah yang membuat saya menjadi seperti sekarang. Anugerah Tuhan yang mungkin hanya memberikan ini kepada beberapa orang. Ini yang menguatkan saya. Bapak. Bapaklah orang pertama yang menyadarkan saya, yang memotivasi saya, yang menumbuhkan semangat saya untuk menjadi seperti sekarang ini. Ibu, orang yang selalu mendengar keluh kesah saya dengan tabah dan sabar. Terimakasih semuanya.”

Tepuk tangan riuh terdengar setelah pidato itu selesai. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Kulihat wajah mereka, tampak keharuan muncul di raut muka mereka. Beberapa tampak tak bisa membendung tangisannya.

Begitu juga denganku, kawan. Mulai saat ini, menit ini, detik ini, aku tahu. Mamaku adalah wanita yang hebat.

Tak perlu menunggu lama, aku pun langsung berdiri menemui wanita yang masih berada di podium itu dan memeluknya. Tak terasa air mata ikut berjatuhan dari mataku.
“Maaf, Mama. Aku janji aku akan selalu mendengarkan motivasi Mama. Mama adalah orang yang paling hebat di seluruh dunia. Selama-lamanya. Sampai kapanpun”.

Mamaku adalah Si Pingget Tangan yang hebat.

Cerpen Karangan: Melodia Rezadhini
Blog: melodiarezadhini525.blogspot.com
Facebook: Melodia Rezadhini

Instagram @melodia_rd
Facebook Melodia Rezadhini
Twitter @MeloRezadhini
Blog melodiarezadhini525.blogspot.com
Terima kasih 🙂

Cerpen Si Pingget Tangan Itu Mamaku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tentang Rasa

Oleh:
Nama gue Geisha Adhyaksa, anak bungsu dari 2 bersaudara. Mereka biasa manggil gue dengan sebutan Gege. Entahlah, sedikit aneh, tapi katanya panggilan kesayangan untuk putri satu satunya. Gue punya

Kesadaran si Pemalas

Oleh:
Sebuah Desa dekat kota yang tidak sepi hiduplah sebuah keluarga tidak lengkap yang sederhana. Bu Istaka berbicara kepada anaknya, “Pryme..! ayo makan dulu sini”, Ibu Pryme dengan berteriak dari

Orangtua Kandungku

Oleh:
Namaku Rina, aku tinggal di Panti Asuhan. Aku sangat ingin bertemu orangtuaku, hari hariku kuisi dengan belajar, membantu ibu panti menyiapkan makanan, merawat adik adik di panti yang masih

Aku (Tidak) Mau Punya Adik

Oleh:
Betapapun kerasnya mencoba, tetap saja aku tidak bisa fokus pada pelajaranku, pada makan siangku, pun pada kelas musik yang biasanya sangat menghiburku. Aku terpikirkan sesuatu. Tadi pagi di dapur

Teori Bahagia

Oleh:
Tahukah kamu apa yang bisa membahagiakan seseorang? Untuk para pengusaha, mungkin bahagia adalah saat omzetnya sampai puluhan atau ratusan juta per bulan. Untuk bapak-ibu guru, mungkin bahagia saat anak

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *