Smash Ku Untuk Ibu Pertiwi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Nasionalisme, Cerpen Perjuangan
Lolos moderasi pada: 2 December 2015

Peluit Pak Karta yang terdengar begitu keras membuat kami semua berlari begitu kencang mengelilingi lapangan bulu tangkis yang berjajar sebanyak sepuluh buah. Beliau adalah pelatihku di klub bulu tangkis Indomaju. Begitulah hari-hari yang aku lewati bersama teman-teman satu klubku untuk menjadi seorang pemain tim nasional bulu tangkis Indonesia. Di sebuah pusat pelatihan bulu tangkis itulah aku sedikit demi sedikit menata masa depan. Bermodalkan raket, sepatu, dan semangat yang bergelora itu aku tak mudah menyerah. Tak peduli orang mau bilang apa tentangku, tapi tekadku tak akan pernah hilang semudah itu. Sangat ingin suatu saat nanti tertulis nama Indonesia di punggung baju bulu tangkisku dan merah putih terjahit tepat di dada bagian kanan sebagai semangat juangku.

Tak ada seorang pun yang tidak berjuang dapat meraih apa yang dia inginkan. Kata-kata itulah yang selalu aku tanamkan selama ini di dalam hatiku untuk dapat meraih impianku. Selalu terucap saat aku sedang berlatih di GOR Indomaju yang menjadi markas klub Indomaju. Napas terengah-engah usai latihan selalu aku rasakan, namun tak sebanding dengan apa yang akan aku dapatkan nanti. Biarlah aku sengsara terlebih dahulu agar hidup yang aku lalui berakhir bahagia. Jam bulat putih besar yang menempel di dinding GOR sudah menunjukkan pukul 10.00 malam, saatnya untukku kembali ke rumah dan melepas segala lelah yang aku rasakan. Aku langsung naik ke lantai dua dan masuk ke kamar yang dipenuhi oleh poster Taufik Hidayat di dinding. Ku taruh tas raket merah bertuliskan Yonex di pojok kamar dan aku langsung turun ke lantai satu untuk mandi air hangat yang sudah disiapkan oleh Ibuku.

Setiap kali aku berada di dalam kamar mandi, aku selalu termenung membayangkan diriku menjadi juara dunia bulu tangkis. Terkadang Ibuku mengetuk pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam karena aku terlalu lama termenung. Setelah kelelahan yang aku rasakan usai berlatih hilang, aku kembali ke kamar. Hari yang semakin malam mulai terasa, ku setting jam wekerku tepat pukul 04.00 pagi agar aku bisa berlatih dengan udara pagi yang masih segar. Di kesunyian malam, aku terbangun dan menyalakan lampu kamarku. Aku melihat jarum jam weker yang masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Aku mendengar Ibu dan Ayah berbincang di ruang tengah, ruangan yang tepat berada di depan kamarku. Aku pun mematikan lagi lampu kamarku dan tenang mendengarkan perbincangan Ayah dan Ibu di gelapnya malam.

“Ayah tahu kan, kalau keadaan ekonomi keluarga kita tiga bulan terakhir ini sedang mengalami penurunan. Ini semua karena Ayah menginginkan Wisnu menjadi juara dunia bulu tangkis. Biaya hidup yang kita miliki sebagian besar digunakan untuk membiayai latihan dan peralatan bulu tangkis. Semua itu sia-sia di negara kita ini. Jika dia telah meraih juara dunia lalu pensiun dari dunia bulu tangkis, paling-paling dia nanti hanya menjadi tukang becak. Negara kita tidak mau menghargai pejuang yang telah mengharumkan nama bangsa ini,” Ibu mengawali pembicaraan.

“Masa depan seorang anak tidak ada yang bisa mengetahuinya. Bahkan oleh Ibunya sendiri yang melahirkannya. Masa depan seseorang hanya diketahui oleh Allah Swt. Yang sudah dilakukan biarlah berlanjut, memang apa salahnya anak kita berusaha untuk mencapai impiannya? Sudah cukup perbincangan malam ini, tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Mari kita tidur, ini sudah larut,” Ayah menjawab dengan suara yang lembut dan segera masuk ke kamar.

Mendengarkan pembicaraan orangtuaku itu, hatiku merasa berat untuk melanjutkan karir bulu tangkis yang aku jalani selama ini. Ku minum air mineral yang berada tepat di atas bantalku untuk menenangkan pikiran. Jam weker berdering dengan begitu keras, tanpa ku sadari aku tidak mengistirahatkan tubuhku ini semalam suntuk. Aku bangkit dari tempat tidur, namun aku urungkan niatku untuk berlatih. Aku segera ke kamar mandi dan berwudu untuk melaksanakan salat subuh. Di ujung doaku, aku memohon agar diberikan petunjuk dan kemudahan oleh Allah Swt.
“Ya Allah, apakah yang aku lakukan selama ini hanyalah sia-sia? Haruskah aku menjatuhkan impianku begitu saja? Mohon berilah hamba-Mu ini petunjuk dan kemudahan,” dengan air mata mengalir di pipi aku berdoa.

Fajar mulai menjelang, saatnya untukku bersiap dan berangkat ke sekolah yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah. Tepat pukul 07.00 pagi jam pelajaran dimulai, awalnya aku sangat antusias mengikuti pelajaran matematika yang disampaikan oleh Pak Tata, namun akhirnya aku pun tertidur karena lelah. Pak Tata memergoki aku sedang tidur dengan enaknya di kelas dan melemparkan sebuah penghapus papan tulis tepat mengenai kepalaku. Amarah Pak Tata pun tak mampu dibendung.
“Wisnu! Siapa yang menyuruhmu tidur saat pelajaranku berlangsung?! Sekarang kamu keluar dan hormat kepada bendera sampai jam pelajaranku selesai,” Pak Tata marah besar padaku.

Aku beranjak ke luar dari kelas dan menuju ke lapangan untuk melaksanakan hukuman yang aku terima. Dengan menghadap sang merah putih aku memutuskan untuk berhenti bermain bulu tangkis dan konsentrasi pada prestasi akademisku. Itulah yang aku putuskan setelah dimarahi oleh Pak Tata. Siang mulai menampakkan diri, jam menunjukkan pukul 02.00 siang dan seluruh jam pelajaran telah usai. Kini saatnya untuk pulang dan aku ingin membicarakan apa yang aku pikirkan kepada Ayah dan Ibu.

Sesampainya di rumah, aku meminta Ayah dan Ibu duduk di kursi rotan tua yang ada di ruang tengah.
“Aku ingin menjelaskan sesuatu kepada Ayah dan Ibu. Setelah aku menimbang dan akhirnya aku mendapat satu keputusan bahwa aku ingin berhenti bermain bulu tangkis. Aku tidak mau memberitahukan alasannya. Tetapi, hari ini adalah hari terakhirku untuk berlatih bulu tangkis,” dengan berat aku menyampaikan kalimat itu.
“Apa kamu yakin mengucapkan kalimat tersebut? Jika kamu telah memutuskan, Ayah tidak mampu menghalangimu. Namun Ayah hanya akan mengingatkan, jangan sampai kamu menyesal dengan keputusan yang telah kamu buat ini,” Ayah merelakanku untuk berhenti bermain bulu tangkis.

Setelah perbincangan yang memilukan itu, aku pamit dan berangkat latihan bulu tangkis untuk yang terakhir kalinya. Di GOR Indomaju, kami semua diminta Pak Karta melakukan pertandingan, namun hanya latihan. Jarang sekali Pak Karta mau melakukan pertandingan latihan, tetapi berbeda dengan hari ini. Dengan bersusah payah, aku berhasil memenangkan latihan tersebut dengan mengalahkan temanku yang sangat kuat, yaitu Bintang. Setelah semua pertandingan usai, seseorang datang dengan memakai jaket bertuliskan Indonesia pada bagian punggungnya. Kami semua tidak mengenal beliau. Beliau memanggilku dan menawarkan hal yang sangat menarik.

ADVERTISEMENT

“Saya datang kemari tidak sia-sia, karena saya berhasil menemukan seseorang untuk bergabung ke pelatnas dan juga mendapat beasiswa bulu tangkis. Apakah kamu tertarik dengan tawaran saya? Ingat Korea Open 2013 sebentar lagi dan negara ini membutuhkan kamu, maka siapkan dirimu,” kata beliau yang ternyata adalah pencari bakat dari pelatnas.
“Tentu saja saya menerima tawaran tersebut, Pak,” dengan rasa gembira yang meledak aku menjawab.
Baru kali ini selesai berlatih aku tidak merasa letih, mungkin karena kabar yang sangat menggembirakan itu datang menghampiri. Saatnya untuk pulang dan memberitahu orangtuaku dengan kabar yang baru saja aku terima. Aku meminta Ayah dan Ibu duduk di kursi rotan tua untuk yang kedua kalinya.

“Sepertinya aku mengurungkan niatku untuk berhenti di dunia bulu tangkis karena aku dipanggil masuk ke pelatnas dan aku juga mendapatkan beasiswa bulu tangkis. Jadi, ekonomi keluarga kita tidak akan terasa terbebani. Apakah Ayah dan Ibu memperbolehkan aku bergabung dengan pelatnas dan berangkat ke Jakarta minggu depan?” dengan nada gembira aku memohon restu kepada Ayah dan Ibu.
“Tentu saja Ayah memperbolehkan kamu bergabung, itu adalah satu langkah lebih dekat untuk menggapai impian yang kamu inginkan. Kamu harus bersyukur karena Allah Swt telah memberikan kemudahan,” dengan senyum tersirat Ayah menjawab.
“Ibu hanya ingin kamu mendapat yang terbaik, jika ini yang terbaik untuk kamu, maka Ibu setuju,” dengan terharu Ibu menyetujui.
Rasanya aku ingin menangis melihat keharuan Ibu. Dengan spontan aku memeluknya dan Ibu pun menangis. Aku tak mampu melihat Ibuku menangis, air mataku pun ikut membasahi pipi.

Satu minggu kemudian, aku berangkat ke Jakarta tanpa seorang pun yang mendampingi. Berangkat dengan tekad bulat yang ada dalam diriku. Saat aku di Jakarta, terkadang aku rindu dengan Ayah dan Ibu. Tapi aku yakin doa mereka pasti mengiringi perjuanganku. Enam bulan berlatih tanpa pulang ke kampung halaman, kini saatnya aku membuktikan bahwa diriku yang terbaik. Korea Open 2013 digelar di Jeonju, Korea Selatan. Aku menelepon orangtuaku bahwa aku kini sedang berada di Korea Selatan. Aku ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa dan tak sekadar omong belaka. Kini Indonesia telah tertulis di punggung bajuku dan merah putih pun ikut terjahit rapi. Perjuanganku kali ini harus lebih keras dari sebelumnya. Perjuangan yang dahulu aku anggap tiada artinya. Inilah perjuangan yang sesungguhnya.

Gemuruh dukungan penonton terdengar begitu keras membuatku merinding. TrIbun penonton dipenuhi supporter dari berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Sekarang aku di sini, disaksikan oleh ribuan penonton yang hadir. Pertandingan demi pertandingan berhasil ku menangkan, China, Malaysia, dan Jepang berhasil aku tumbangkan. Aku pun berhasil masuk final dan akan berhadapan dengan lawan tangguh dari tuan rumah, yaitu Kim Jong Geun. Hari penentuan siapa yang terbaik tiba, aku langkahkan kaki memasuki lapangan dengan diiringi tepuk tangan para penonton. Dukungan penonton lebih terdengar dari hari-hari sebelumnya. Ini adalah final, semua mata tertuju padaku dan aku harus memberikan yang terbaik. Indonesia menunggu kepulanganku, menunggu kepulangan sang juara.

Aku menatap Kim Jong Geun dengan tajam, di dalam hati aku ingin menghancurkannya. Memang terdengar agak kasar, tetapi itulah yang harus aku lakukan untuk negaraku. Set pertama diawali dengan forehand service oleh Kim Jong Geun. Aku balas dengan smash keras di sisi kanan lapangan Kim Jong Geun dan satu angka untukku. Pertandingan berjalan sangat menegangkan. Alunan drum dari pendukung Indonesia membuatku semangat dan tak mau menyerah. Aku tak mau mengecewakan bangsaku. Dropshot dibalas dengan lob dan lob dibalas dengan smash, begitu seterusnya sepanjang pertandingan berlangsung.

Aku dan Kim Jong Geun terlihat berimbang, kejar mengejar skor, itulah yang terjadi. Sampai harus dilakukan rubber game. Stamina benar-benar terkuras, aku berharap dukungan penonton tak akan surut. Lagi-lagi ketegangan terjadi di rubber game ini. Skor di set ketiga ini adalah 19-19. Backhand service oleh Kim Jong Geun aku balas dengan mengangkat shuttlecock ke belakang. Kim Jong Geun melompat dan melakukan smash keras. Beruntunglah aku, smash tersebut hanya mengenai net dan satu angka bertambah untukku. Skor saat ini 20-19, aku satu angka lebih unggul.

Inilah detik-detik penentuan, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Aku lakukan backhand service berharap Kim Jong Geun mengangkat shuttlecok ke belakang. Dan dugaanku benar, aku langsung melompat dan melakukan smash keras dengan tenaga yang tersisa. Shuttlecock melesat dengan begitu cepat ke sisi kiri lapangan Kim Jong Geun. Kim Jong Geun berhasil aku tumbangkan dengan skor 21-18, 19-21, dan 21-19. Hanya tepuk tangan dan teriakan dari penonton yang bisa aku dengar. Merah putih berkibar diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Aku telah mengharumkan nama bangsa dan sekaligus membuktikan bahwa Indonesia bisa. Ku genggam merah putih yang ada di dadaku dan air mata bahagia ke luar tanpa aku sadari. Inilah aku, Wisnu, sang juara dunia yang baru saja lahir.

“Wisnu! Wisnu! Wisnu!” penonton dengan keras menyebut-nyebut namaku.
Inilah kadoku untuk Ibu Pertiwi, smashku untuk Ibu Pertiwi, yang dibalut oleh rasa bangga dan perjuangan yang tiada henti-hentinya.

Cerpen Karangan: Wisnu Wijayandaru

Cerpen Smash Ku Untuk Ibu Pertiwi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kematian Tanpa Sesal

Oleh:
“Rara, bangun..!” “Hoamm.. iya ibu, Rara sudah bangun”. Kulirik jam dinding yang tergantung manja di tembok kamarku. Jarum-jarum mungilnya menunjukkan bahwa saat ini jam berjalan pukul 04.50 pagi. Saatnya

Mama, Lihatlah Aku Di Sini

Oleh:
Tanggal 19 Desember 2013. Hari ini pun sama dengan hari kemarin. Aku yang seorang anak tunggal Ayah dan Mama. Ayahku bekerja sebagai pekerja kantoran, sedang Mamaku adalah seorang editor

Surat Kecil Buat Bunda

Oleh:
Cakrawala senja yang indah menawan terlihat sebuah keluarga yang asyik berliburan di pantai. Eh ternyata ada seorang bidadari cantik yang sedang duduk sendirian sepi di tepi pantai memandang indahnya

I’m Sorry Mom

Oleh:
Terkadang dada ini terasa sesak dalam sujudku menghadap Nya, bagaimana tidak, bayangan itu selalu datang, sosok yang tak akan pernah terbandingkan berharganya walau dengan apapun di dunia ini. Rasanya

Menggapai Mimpi Walau Tanpa Ayah

Oleh:
Di suatu hari ada rumah yang cukup besar yang berisi dua keluarga yaitu anak dan ibu, tidak ada sesosok ayah yang dapat menjadi kepala keluarga. Mereka berdua telah berpisah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *