The Orphan (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 25 January 2017

Dari depan pintu utama pak darto segera keluar menuju pos satpam. “Kenapa pak de? Masih pagi sudah teriak-teriak, bikin kaget aja”, ujar pak darto. “Itu loh pak, tadi ada anak kecil ngaku-ngaku katanya dia anak bapak”, sahut si satpam. “Anak saya? Jenenge sopo toh?” Tanya pak darto dengan bahasa jawa.

“Gak tau juga pak, orang tadi tampangnya kucel begitu kayak pengemis, yo wes langsung tak usir aja”, sahut si satpam. “Ya sudah pak de, lain kali kalo ada tamu ditanya aja baik-baik, nda usah dibentak-bentak begitu”, ujar pak darto. “Siap pak”, sahut si satpam.

Pak darto pun segera kembali ke dalam rumahnya menuju ruang tamu. Tak berapa lama istrinya pun datang menghampirinya. “Tadi ada siapa sich pak? Kok sampai heboh begitu?” Tanya bu darto. “Gak tau bu, pengemis kali”, sahut pak darto ketus. Sambil memandangi foto rio saat masih bayi. “Kenapa pak? Kamu kangen sama anakmu?” Tanya bu darto sambil membelai mesra bahu suaminya.

“Ya kangen lah bu, namanya juga sama anak”, sahut pak darto. “Ya didatangin-lah pak ke rumah mbahnya, tanya gimana kabarnya”, ujar bu darto. “Takut bu, kayak dulu aku pernah diusir sama mamaknya”, sahut pak darto.

Sejak bangkit dari keterpurukannya pak darto sudah menikah lagi dengan temannya sesama ABK. Kini ia telah sukses dengan usahanya di bidang perkapalan. Sama seperti ibunya rio yang juga telah sukses menggeluti bisnis kuliner.

Selang beberapa menit kemudian, akhirnya rio kembali ke rumah dengan tangan hampa. Di depan ruang tamu, tampak neneknya yang sedang menyapu. Si nenek tidak tahu apa yang sedang menimpa cucunya itu. Kedua matanya hanya terfokus pada kotoran-kotoran nakal yang terselip di balik meja dan kursi.

Di usianya yang sudah hampir 80 tahun ia masih saja tampak segar bugar. Walau gerak langkahnya sudah tak selincah sewaktu muda dulu. Penyakit rematik yang dideritanya seakan membatasi gerak-geriknya. Untuk berjalan saja ia harus menahan rasa ngilu yang semakin mendera di telapak kakinya. Sambil berjalan dengan terseret-seret, ia susuri setiap bagian rumah yang ada. Dengan perlahan ia sapu setiap jengkal lantai rumah yang berdebu.

Rumah kayu yang usianya hampir setengah usia si nenek.. Rumah jabuk yang meskipun sudah tua namun meninggalkan banyak kenangan di hati si nenek. Rumah yang ia bangun dengan susah payah bersama almarhum suaminya. Rumah yang menjadi awal terbentuknya keluarga kecil mereka. Rumah yang di dalamnya dihuni oleh sepasang suami-istri beserta putri kecil mereka.

Rumah yang menjadi saksi sejarah kehidupan mereka. Di rumah itulah cucu kesayangannya lahir. Rumah yang menjadi saksi bisu perpisahan kedua orangtuanya rio. Rumah yang juga menjadi saksi bisu tempat suaminya berpulang kehadirat tuhan yang maha esa.

Di tempat inilah ia menghabiskan masa tuanya bersama cucu semata wayangnya ini. Terkadang ia merasa khawatir akan nasib cucunya kelak sepeninggalnya ia nanti.

ADVERTISEMENT

Waktu begitu cepat berlalu, bagaikan riak air yang menyusup ke dalam sendi-sendi bebatuan. Diusianya yang sudah sangat renta itu entah sampai kapan ia masih punya waktu. Kehadiran rio dalam kehidupannya benar-benar telah membawa semangat baru. Jika ia diberi kesempatan oleh tuhan, ia ingin terus hidup sampai 10 tahun lagi.

Ketika senja tiba, rio sedang berbicara dengan ibunya melalui handphone. “Haloo, dengan siapa yach?” sahut bu sarah. Ibu rio. “Hallo, ini rio mak”, sahut rio. “Bentar yach, aku ngomong sama anakku dulu”, ujar bu sarah kepada teman-temannya yang pada saat itu sedang berkumpul di rumah kontrakan bu sarah.

Sambil menutup handphone dengan tangan sebelahnya, ia keluar dengan perlahan. “Iya nak kenapa?” Tanya bu sarah. Untuk sejenak ada hening yang sangat panjang. Buat rio, bicara dengan ibunya nampak seperti bicara dengan orang asing. Mulutnya terasa berat untuk berkata-kata. “Haloo rio, rio kamu kenapa nak? Kamu ngomong donk!”, seru bu sarah.

“Tut, tut, tut, tut”, telpon tiba-tiba terputus. Dengan ekspresi kebingungan bu sarah kembali ke dalam rumah kontrakannya, menuju ruang tamu di mana teman-temannya sedang berkumpul. “Abis nelepon siapa sich bu? Serius bener sampe lari keluar gitu, lagi nelpon pacar yach?” Tanya salah satu temannya. “Hush, sembarangan aja kamu, itu tadi telepon dari anakku tau!!!”, bentak bu sarah.

Sebenarnya ia ingin berbicara banyak dengan ibunya. Meluapkan segala kekesalan yang ada dalam hatinya. Mulai dari masalah dengan ayahnya hingga kondisi kesehatan neneknya yang sering sakit-sakitan.

Tapi ia urungkan niat tersebut, mengingat akan terjadi masalah besar kalau sampai mengungkit-ngungkit tentang ayahnya. Di samping itu ia juga tidak ingin menambah beban pikiran ibunya dengan kondisi kesehatan nenek yang sering sakit-sakitan. Biarlah ia yang merawat neneknya seorang diri.

Lenyap sudah keinginannya untuk bertamasya ke balikpapan. Tidak ada yang menemani neneknya di rumah. Ia khawatir dengan kondisi neneknya jika sewaktu-waktu rio sedang tidak ada di rumah. Dan ia pun berbaring di atas ranjang kapuknya sambil menatap ke atas, seolah-olah sedang meratapi langit malam.

Keesokan harinya…

Seperti dibeberapa hari sebelumnya, si Rio masih saja berkutat dengan buku-buku bacaannya. Di hadapannya tampak beberapa buku pelajaran yang tergeletak di atas meja. Sambil mengisi beberapa lembar jawaban pada LKS-nya, ia belajar dengan giat. Kini kemampuan membacanya telah meningkat pesat. Ia tidak harus mengeja lagi karena sudah lancar membaca.

Tepat di kursi paling belakang, si Putra sedang asyik bermain lempar-lempar kertas. Hingga tanpa sengaja mengenai kepala rio. “Kenapa sich put? Kamu gak liat apa? Orang lagi belajar juga!”, bentak rio. “Coba kamu ke sini dulu yok!” Seru putra. Ia pun segera menghampiri putra sambil membawa serta buku LKS-nya. Dengan segera Ia menuju putra.

“Ada apaan sich?” Tanya rio penasaran. “Gimana bro, kamu jadi ikut kan?” Sahut Putra. “Kan udah aku bilang! Aku gak bisa, biar bisa juga gak ada yang jaga mbah, Mbahku lagi sakit put”, ujar rio lesu. “Yaaah, kamu mah gitu orangnya”, sahut putra dengan kecewa.

Beberapa menit kemudian…

Sambil menyeka keringat yang berjatuhan, di tengah jalan rio terbayang akan betapa serunya bertamasya ke balikpapan. Bersama putra dan teman-teman sekelasnya yang lain. Berenang di pantai lalu berjemur.

Bermain-main membuat istana pasir sambil tertawa kegirangan. Namun apalah daya, mungkin sekarang bukan saatnya. Pikirannya kembali tertuju pada neneknya. Bayang-bayang kegembiraan di pantai manggar sirna seketika. Sambil menghela nafas panjang Ia menambah laju jalannya. Sejak dari kecil rio memang sudah terbiasa berjalan kaki. Jarak antara rumah dan sekolahnya yang cukup jauh tidak menjadi halangan untuk menuntut ilmu.

Sesampainya di rumah ia pun mandi. Saat itu tepat di jam 12.30, matahari sedang panas-panasnya. Setidaknya dengan mandi, sejenak rio dapat menyegarkan tubuhnya dari rasa penat dan lelah, setelah hampir seharian belajar.

“Le, sudah selesai belum mandinya?” Tanya nenek. “Beluum mbaah, bentar lagi!”, sahut rio sedikit berteriak. “Kalo sudah nanti ke depan ya le, mbah ada perlu”, ujar nenek.

Selang beberapa menit kemudian, rio pun segera keluar menghampiri nenek yang sedari tadi menunggu di depan rumah. “Duduk le”, ujar nenek. “Ada apaan sich mbah?” Tanya rio penasaran. “Jadi gini le, kemarin mbah baru aja dapet rejeki, kiriman dari bu de mu. Nah, ini untuk kamu”, ujar nenek sambil memberikan sejumlah uang sebesar 300.000,- “Buaanyak banget mbah, untuk apa toh?” Tanya rio bingung.
“Lah kamu ini gimana toh? Katanya kamu mau jalan-jalan ke balikpapan, ya ini uangnya untuk kamu!” Seru si nenek. “Males ah, gak ada yang nemenin mbah di rumah”, sahut Rio. “Ya nda papa toh le, mbah sudah nda sakit lagi, wong di sini juga banyak tetangga yang nemenin mbah, wes lah kamu pergi aja udah!”, seru si nenek.

Rio bukannya tidak ingin pergi, namun di sisi lain Ia merasa sangat cemas jika harus meninggalkan neneknya di rumah seorang diri. Ia takut jika sewaktu-waktu penyakit neneknya bakal kambuh lagi.

“Beneran nie mbah? Gak papa ditinggal sendirian?” Tanya rio. “Mbah gak papa, udah siapin bajunya! 2 hari lagi kan kalian mau berangkat”, ujar nenek. “Ya sudah, aku tak pergi antar uangnya dulu, makasih ya mbah,” sahut rio. Dan mereka berdua saling berpelukan.

Minggu Pagi…
Suasana di pantai manggar tampak begitu ceria. Saat dihari libur pantai ini memang banyak kedatangan pengunjung. Pohon-pohon rindang yang terdapat di pinggir lokasi pantai, membuat pantai manggar terasa sejuk. Sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan pantai-pantai yang lain.

Dengan kondisi pantainya yang bersih, indah serta alur ombak yang tidak terlalu besar. Pantai manggar adalah tempat wisata paling aman. Para pengunjung juga tidak akan bosan karena disuguhi oleh pemandangan yang begitu menawan.

Para siswa yang telah mengenakan pakaian renang berhamburan ke sana-kemari. Tak mau ketinggalan rio dan putra segera mengganti pakaiannya. “Buruan yok, ntar ketinggalan lo”, ujar putra terburu-buru. “Bentar, ini juga udah selesai,” sahut rio sambil menenteng pakaian yang ia kenakan sewaktu berangkat.

Kini tubuh mereka telah berbalut pakaian renang. Lebih tepatnya mereka hanya mengenakan celana renang. Mereka lebih senang bertelanjang dada, menunjukan lekuk tubuh yang tak seberapa isinya. Mereka mengangap bahwa berenang di sungai itu tidak ada bedanya dengan berenang di pantai. Beberapa anak ada yang menaburkan sunblock ke sekujur tubuhnya.

“Eh, bro coba kamu liat, itu si winda pake apaan?”, tanya rio. Oh itu mah sunblock, biar gak item, sahut putra cuek. “Cieh, ngapain lagi dia pake gituan? Kalo emang dasarnya item, ya item aja,” ujar rio.

“Rio!, Putra!, sini!”, seru winda sambil melambai ke arah rio dan putra. Merasa ketahuan. Rio dan putra segera mengambil langkah seribu. Tak peduli dengan winda yang juga ikut berlari. Alhasil selama beberapa saat, mereka saling kejar-kejaran.

Deru nafas yang semakin memburu membuat rio menghentikan langkahnya, disusul putra yang tergeletak akibat kelelahan. Panas matahari semakin menyengat. “Kalian ini ngapain sich? Dipanggil-panggil kok malah lari!”, seru winda sambil terengah-engah.

“Sorry win, kirain tadi kamu marah sama kita”, ujar putra. “Yeee, siapa juga yang marah sama kalian, memangnya tadi kalian ngapain?” Tanya winda. “Gak kok win, gak papa”, sahut rio terbata-bata.

“Trus tadi ngapain teriak-teriak? Kirain marah sama kita”, tanya putra.
“Ini lo put, tadi aku mau ngasih ini sama kalian”, sahut winda sambil meraih sunblock di tangan kanannya.

“Alaaah, si rio mah gak butuh yang beginian, dia mah emank dasarnya udah item, liat aja mukanya!, paling yang putih giginya doank”, ejek putra. “Sialan kamu put, ngaca donk! Itu muka apa papan penggilesan? Sahut rio tak mau kalah.

Dan mereka pun saling berjambak-jambakan sambil berguling-guling di atas pasir pantai, mirip adegan film h*mo versi india. Karena reflek winda langsung melerai mereka.

“Sudah-sudah!”, sambil memisahkan mereka berdua, “ngapain sich berantem-berantem, kalian kan temen? Masa gitu doang mesti harus berantem sich!” Bentak Winda. “Ya udah, buruan gieh sapuin ke badan kalian!”

Seolah mengiyakan perintahnya winda mereka pun secara bergantian menyapukan cream sunblock tersebut ke sekujur tubuh masing-masing. Kini kulit mereka sudah tampak mengkilat dan lengket. Cream sunblock yang terpapar sinar matahari meleleh dengan perlahan. Bahkan sunblock yang mahal sekalipun takkan mampu menghalau teriknya matahari.

Rio, putra dan winda tampak berlari-larian ke sana-kemari. Sejenak rio seakan kembali menjadi anak-anak normal pada umumnya, bermain-main dan bersenda gurau, tidak seperti saat dia sedang di rumah. Keadaan dan kondisi keluarganya yang brokenhome mengharuskan ia untuk bertutur kata dan bertindak seperti orang yang sudah dewasa.

Bersama kedua temannya rio setidaknya dapat mengobati rasa kegelisahannya. Walau tidak pernah sekalipun Ia bisa menjauhkan rasa kecemasannya terhadap kondisi kesehatan neneknya yang saat ini sedang di rumah seorang diri.

“Anak-anak harinya sudah hampir sore, ayo kita pulang,” ujar pak mamat guru yang mendampingi mereka selama perjalanan, sambil menatap jam tangan, “Jangan sampai kita kemalaman, bapak tidak enak sama orangtua kalian.”

Dan kesenangan ini pun harus segera berakhir. Saatnya mereka kembali ke rumah masing-masing. Saatnya rio harus kembali ke rumah untuk merawat neneknya yang sedang sakit, melewati hari-harinya yang terasa berat, berdua saja.

Cerpen Karangan: Leo Christianto
Facebook: Leo Christianto

Cerpen The Orphan (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Anak Koruptor

Oleh:
Tetesan air hujan bagai sebuah piano yang mengeluarkan melodi indah. Suara yang hampir setiap harinya menemani gadis yang tengah menunggu bus di halte-bila musim hujan tiba. Gadis itu dilihat

My Brother

Oleh:
Namaku Renni, aku lahir dan bahagia dari keluarga yang sangat baik. Aku punya banyak kakak karena aku adalah anak terakhir di keluargaku, namun dari antara semua kakak-kakakku, aku paling

Rainbow at The End of Twilight

Oleh:
Ketika senyuman mentari menyambut datangnya hari dan suara kokokan ayam telah mengakhiri malam yang kelam, nampak seorang pemuda berseragam putih abu-abu memulai hari dengan sepeda butut peninggalan ayahnya. Hanya

Ayah

Oleh:
“Rila… Sini!!!” Teriak Frita “Paan sih ta… Berisik banget” Kataku “Ntar datang ya ke rumah gue” Kata Frita “Iye iye kalo dibolehin ma bokap” Kataku “Yaelah… Plis ril datang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *